"Mama! Mama! Bangun, Ma! Kakak pulang bawa cowok."Ranu, adik Rhea satu-satunya, dengan perbedaan jarak 17 tahun, tapi hubungan mereka tetap terjalin akrab. Sama-sama punya jiwa menindas. Rhea menindas adiknya dengan segala perintahnya yang harus dituruti karena ia anak tertua dan Ranu membalas kakaknya dengan segala jenis kejahilannya. Melihat kakaknya mengajak teman laki-laki pulang ke rumah tentu saja akan menjadi bahan kejahilannya yang terbaru."Beneran?" Wanita bernama Dyah Hapsari itu segera membuka mata, tanpa ekspektasi terlalu tinggi. Rhea masih memegang prinsipnya seperti dulu, hanya akan mengenalkan pacarnya kalau ia dalam tahapan yang serius. Maka setiap laki-laki yang diajak pulang, statusnya hanya mentok sebagai teman, benar-benar teman, tidak lebih.Dyah merapikan tampilannya sebelum turun ke ruang tamu. Ia sempat mengintip sebelum masuk ke ruang tamu. Benar, ada seorang lelaki yang duduk di seberang anaknya, terlihat cukup canggung menghadapi suaminya."Udah pulang,
"Kamu ngapain, Kak?” tanya Haris yang tengah mengenakan kaus kaki di kursi teras depan rumahnya.Dua koper sudah tersusun rapi di ujung teras. Rhea yang sedang mengelap spion mobilnya seketika menoleh kepada papanya sambil mengernyit bingung. “Manasin mobil buat nganter ke bandara kan?”“Oooh, nggak usah,” jawab Haris tanpa mendongak sama sekali ke arah putrinya.“Lah terus? Mau naik taksi? Aku anter aja lah, Pa.”Belum sempat papanya menjawab, teriakan seseorang terdengar dari luar pagar. “Sore, Om.”“Sore. Bukain pagernya, Kak.”Rhea menatap Naren dan papanya bergantian, kemudian beranjak ke belakang pagar untuk menuruti perintah papanya membukakan pagar untuk Naren.“Mau ngapain? Aku mau nganter keluargaku ke bandara.” ucap Rhea di depan Naren. Ia sengaja tidak bersuara terlalu kencang. Orang tuanya bisa memberinya ceramah tujuh hari tujuh malam kalau ia bersikap atau berucap kasar ke orang lain, apalagi orang tuanya kelihatan menyukai Naren yang selalu dipuji-puji telah ‘menyelama
Rhea melemparkan diri ke kasurnya begitu tiba di kamar. Ia meraih bantal dan menangkupkannya di atas wajahnya."Aaaargh. Rhea!" Ia berteriak lumayan kencang karena itulah ia membutuhkan bantal untuk meredam suaranya.Selain teriakannya, kini kakinya ikut menendang-nendang udara.Semua sel tubuhnya seakan protes atas apa yang telah dilakukan si empunya tubuh. Padahal semua sel itu berhianat padanya saat kejadian itu terjadi.Bisa-bisanya ia menerima ciuman Naren dan malah memejamkan mata.***-Beberapa jam sebelumnya-Rhea menatap fotonya dengan Naren. Ia tersenyum melihatnya. Lelaki di foto itu, Naren, adalah pacar pertamanya. Kadang ia rindu saat itu, saat di mana ia rela menjadi pacar tiga puluh hari seorang Narendra, dan diperlakukan istimewa oleh lelaki itu.Sekarang lelaki itu ada di sampingnya, memberikan harapan, lalu menyakiti, dan datang kembali dengan mengaku cinta. Harus bagaimana ia bersikap?Saat pikirannya tengah bercabang, ia merasakan dagunya ditarik seseorang dan dala
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-"Kamu ngantuk banget kayaknya?" Naren menatap Jingga yang beberapa kali menguap saat Naren mengajaknya ke mall untuk mencari jaket.Jingga tersenyum menahan malu sekaligus menahan kantuknya."Ya udah sabar ya, bentar, aku bayar dulu ini, abis itu pulang."Pada akhirnya, Naren mengajak Jingga pulang ke rumahnya karena Jingga bersikeras tidak mau pulang ke rumahnya sendiri. Mamanya sedang mengadakan arisan di rumahnya, dan Jingga terlalu malas menghadapi kebisingan ibu-ibu itu, sementara kantuknya sudah tidak tertahan lagi."Kamu begadang semalam?" Naren mengambilkan guling dari dalam kamar tamu agar Jingga merasa nyaman walaupun dia tidur di sofa."Aku nggak bisa ngerjain PR fisika, Kak. Serius otakku bener-bener nggak nyampe.""Kita nggak harus bisa di semua pelajaran, Ngga. Toh nilai kamu di matematika bagus, di kimia apa lagi. Udah lah, nyerah aja sama fisika." Naren kini duduk di lantai dengan bersandar pada sofa, sekaligus merebahkan kepala
"Habis nganter kamu ke kantor, aku langsung berangkat ke Bogor ya." ucap Naren yang kini tengah menyetir dengan Rhea di sampingnya."Ngapain? Masih ada yang mesti diurus?""Hari ini persidangan Brama.""Aku perlu ikut?"Naren menggeleng tegas. "Nggak usah. Aku nggak mau Brama ngelihat kamu. Lagian bukti-bukti yang ada, ditambah pengakuan Ayu, semuanya udah lebih dari cukup buat menjerat dia."Rhea menghirup napas perlahan kemudian menghembuskannya."Kenapa?" tanya Naren yang memperhatikannya."Nggak. Kadang aku mikir aja, kok bisa dulu aku pacaran sama dia bertahun-tahun? Kok bisa dia berubah jadi orang yang sejahat itu?""Kalian itu cuma bersinggungan takdir. Kebetulan aja bersinggungannya agak lama. Dan dia berubah jadi kayak gitu ya bukan karena salahmu. Dia udah dewasa kan buat nentuin jalan hidupnya."Rhea bertepuk tangan dengan sarkastis. "Wow! Diucapkan oleh Narendra yang jumlah mantannya bisa buat bikin beberapa tim sepakbola."Ucapan Rhea membuat Naren terbahak. Iya, mungkin
Rhea mengacak rambutnya dengan frustasi.Ia masih mencoba menghubungi Naren tanpa henti, meskipun ia tahu mungkin percuma.Tangannya mulai bergetar. Ia tidak tahu harus mencari bantuan ke mana atau ke siapa.Andai ia tahu nomor ponsel sahabat Naren, mungkin kini ia akan merengek kepada mereka untuk membantunya.Di tengah rasa frustasinya, ia mencoba mengecek kembali nomor contact di ponselnya. Siapa tahu ada yang bisa dia hubungi di tengah kepanikannya.Dio.Hanya atasannya yang juga sahabat Naren yang kini ada di pikirannya.Ah, ia tidak peduli kalaupun jarum jam dinding hampir menunjuk ke angka sepuluh.Dengan gemetar, ia mencoba menghubungi Dio.Suara serak Dio terdengar di ujung sambungan telepon, sepertinya lelaki itu sudah terlelap sebelumnya."Halo, Rhe. Kenapa?"Rhea menahan tangisnya agar bisa berbicara jelas dengan Dio. "Maaf ganggu, Pak. Saya ... Saya bingung, Naren nggak bisa dihubungi sampe sekarang.""Hah? Naren belum balik dari Bogor?" tanya Dio bingung, pasalnya ia jug
Naren tidak tahu telah melakukan kebaikan seperti apa hingga hari seindah ini datang dalam kehidupannya. Saat membuka mata, ia menyaksikan wanita yang dicintainya masih terlelap di atas kasurnya. Tidurnya di atas sofa yang tidak terlalu nyaman itu seperti tak ada artinya dibanding kesempatannya menyaksikan pemandangan itu.Ia lantas berjalan mendekat ke kasur dan duduk di lantai sambil mengamati Rhea yang masih memejamkan mata."Sayang, bangun," ucap Naren sambil memainkan jarinya di kening Rhea.Rhea mengerjap pelan hingga akhirnya mampu membuka matanya."Kerja nggak? Kalo mau nggak masuk, nanti tinggal kukasih tau Dio.""Emangnya perusahaan ka—" Rhea menutup mulutnya setelah menyadari apa yang akan dikatakannya.Naren hanya terkekeh. "Ya emang perusahaan kakekku."Rhea memaksa dirinya untuk bangun dan bersandar di head board ranjang, sementara Naren mengubah posisinya menjadi duduk di pinggir ranjang menghadap ke Rhea."Rhe, kapan orang tuamu ke Jakarta lagi?" tanya Naren sambil mer
Leny dan Naren berdiri secara bersamaan, menatap punggung wanita yang berjalan menjauh itu dengan perasaan kesal setengah mati.Rhea memberikan gesture dengan tangannya agar Naren dan Leny kembali duduk.Tak dapat dipungkiri, suasana makan malam mereka menjadi sedikit terganggu."Siapa sih dia? Dateng-dateng ngomong aneh-aneh." Leny menatap Rhea dengan penuh pertanyaan."Temen, dulu. Lo percaya sama gue kan, Len? Nggak mungkin kan gue ngembat calon suami lo?""Iya lah, nggak mungkin gue langsung percaya sama omongan orang yang gue nggak kenal. Lagian ya, bisa jadi pertumpahan darah kalo itu sampe terjadi." Leny melirik ke arah Naren yang sepertinya sedang menyembunyikan rasa penasarannya."Lo kebiasaan deh, dulu juga waktu dilabrak mantannya Kak Naren lo diem aja. Kalo ada orang ngomong nggak bener tu bales, Ngga," ucap Leny penuh amarah.Naren yang tiba-tiba namanya dibawa dalam pembicaraan seketika merasa bersalah. Dulu, ia tidak bisa melindungi Rhea karena tidak menyangka ada manta