"Habis nganter kamu ke kantor, aku langsung berangkat ke Bogor ya." ucap Naren yang kini tengah menyetir dengan Rhea di sampingnya."Ngapain? Masih ada yang mesti diurus?""Hari ini persidangan Brama.""Aku perlu ikut?"Naren menggeleng tegas. "Nggak usah. Aku nggak mau Brama ngelihat kamu. Lagian bukti-bukti yang ada, ditambah pengakuan Ayu, semuanya udah lebih dari cukup buat menjerat dia."Rhea menghirup napas perlahan kemudian menghembuskannya."Kenapa?" tanya Naren yang memperhatikannya."Nggak. Kadang aku mikir aja, kok bisa dulu aku pacaran sama dia bertahun-tahun? Kok bisa dia berubah jadi orang yang sejahat itu?""Kalian itu cuma bersinggungan takdir. Kebetulan aja bersinggungannya agak lama. Dan dia berubah jadi kayak gitu ya bukan karena salahmu. Dia udah dewasa kan buat nentuin jalan hidupnya."Rhea bertepuk tangan dengan sarkastis. "Wow! Diucapkan oleh Narendra yang jumlah mantannya bisa buat bikin beberapa tim sepakbola."Ucapan Rhea membuat Naren terbahak. Iya, mungkin
Rhea mengacak rambutnya dengan frustasi.Ia masih mencoba menghubungi Naren tanpa henti, meskipun ia tahu mungkin percuma.Tangannya mulai bergetar. Ia tidak tahu harus mencari bantuan ke mana atau ke siapa.Andai ia tahu nomor ponsel sahabat Naren, mungkin kini ia akan merengek kepada mereka untuk membantunya.Di tengah rasa frustasinya, ia mencoba mengecek kembali nomor contact di ponselnya. Siapa tahu ada yang bisa dia hubungi di tengah kepanikannya.Dio.Hanya atasannya yang juga sahabat Naren yang kini ada di pikirannya.Ah, ia tidak peduli kalaupun jarum jam dinding hampir menunjuk ke angka sepuluh.Dengan gemetar, ia mencoba menghubungi Dio.Suara serak Dio terdengar di ujung sambungan telepon, sepertinya lelaki itu sudah terlelap sebelumnya."Halo, Rhe. Kenapa?"Rhea menahan tangisnya agar bisa berbicara jelas dengan Dio. "Maaf ganggu, Pak. Saya ... Saya bingung, Naren nggak bisa dihubungi sampe sekarang.""Hah? Naren belum balik dari Bogor?" tanya Dio bingung, pasalnya ia jug
Naren tidak tahu telah melakukan kebaikan seperti apa hingga hari seindah ini datang dalam kehidupannya. Saat membuka mata, ia menyaksikan wanita yang dicintainya masih terlelap di atas kasurnya. Tidurnya di atas sofa yang tidak terlalu nyaman itu seperti tak ada artinya dibanding kesempatannya menyaksikan pemandangan itu.Ia lantas berjalan mendekat ke kasur dan duduk di lantai sambil mengamati Rhea yang masih memejamkan mata."Sayang, bangun," ucap Naren sambil memainkan jarinya di kening Rhea.Rhea mengerjap pelan hingga akhirnya mampu membuka matanya."Kerja nggak? Kalo mau nggak masuk, nanti tinggal kukasih tau Dio.""Emangnya perusahaan ka—" Rhea menutup mulutnya setelah menyadari apa yang akan dikatakannya.Naren hanya terkekeh. "Ya emang perusahaan kakekku."Rhea memaksa dirinya untuk bangun dan bersandar di head board ranjang, sementara Naren mengubah posisinya menjadi duduk di pinggir ranjang menghadap ke Rhea."Rhe, kapan orang tuamu ke Jakarta lagi?" tanya Naren sambil mer
Leny dan Naren berdiri secara bersamaan, menatap punggung wanita yang berjalan menjauh itu dengan perasaan kesal setengah mati.Rhea memberikan gesture dengan tangannya agar Naren dan Leny kembali duduk.Tak dapat dipungkiri, suasana makan malam mereka menjadi sedikit terganggu."Siapa sih dia? Dateng-dateng ngomong aneh-aneh." Leny menatap Rhea dengan penuh pertanyaan."Temen, dulu. Lo percaya sama gue kan, Len? Nggak mungkin kan gue ngembat calon suami lo?""Iya lah, nggak mungkin gue langsung percaya sama omongan orang yang gue nggak kenal. Lagian ya, bisa jadi pertumpahan darah kalo itu sampe terjadi." Leny melirik ke arah Naren yang sepertinya sedang menyembunyikan rasa penasarannya."Lo kebiasaan deh, dulu juga waktu dilabrak mantannya Kak Naren lo diem aja. Kalo ada orang ngomong nggak bener tu bales, Ngga," ucap Leny penuh amarah.Naren yang tiba-tiba namanya dibawa dalam pembicaraan seketika merasa bersalah. Dulu, ia tidak bisa melindungi Rhea karena tidak menyangka ada manta
"Yo. Ikut gue dong. Negosiasi sama PT Nugraha dimajuin. Jaga-jaga aja kalo dia nyodorin perhitungan Opex."Dio sudah tidak kaget lagi dengan kelakuan Naren yang selalu merangsek masuk ke dalam ruangannya tanpa ketuk pintu."Tapi gue nggak bisa. Abis ini mau finalisasi perhitungan Capex yang buat proyek sama PT Agung Jaya. Ajak Rhea aja.""Eh?""Kenapa? Mau bilang makasih? Traktir gue aja nanti," balas Dio tanpa sedikit pun mendongak dari layar komputernya sehingga ia tidak melihat ekspresi Naren yang keberatan. Dio tidak meragukan sedikit pun kemampuan Rhea. Karena itu, dia menyodorkan nama Rhea menggantikannya, bukan sekadar karena hubungan Rhea dan Naren, tapi memang Rhea memiliki kemampuan."Selain Rhea nggak ada?"Barulah setelah pertanyaan itu keluar dari mulut Naren, Dio mendongakkan kepala. "Berantem lagi? Hubungan macem apa sih? Berantem melulu.""Nggak!" seru Naren. "Gue cuma nggak pengen—""Udah jangan banyak alesan deh. Sana sekalian kencan," sahut Dio kesal."Ya udah deh,"
Rhea tengah duduk menunggu Bella di sebuah restoran bertema Italia. Restoran itu direkomendasikan Naren karena merupakan salah satu restoran yang dimiliki Brian. Ditambah lagi restoran itu belum lama buka, pengunjungnya terlihat lumayan padat karena masih banyak diskon opening yang ditawarkan. Naren tidak bisa membiarkan Rhea bertemu dengan Bella di restoran yang sepi, yang memungkinkan buat Bella menyakiti Rhea.Seorang wanita mengenakan blue jeans dan T-shirt berwarna putih polos datang mendekat ke arah Rhea.Senyuman manis diperlihatkan Rhea, bagaimana pun mereka dulu pernah sedekat sahabat. "Hai, Bel. Susah nggak nyari restonya?""Nggak juga," jawab Bella yang langsung duduk di hadapan Rhea."Kamu sampe kapan di Jakarta?" Rhea masih mencoba membangun pembicaraan yang baik dengan wanita di hadapannya itu."Kenapa? Takut banget aku ganggu kamu ya?""Nggak, Bel." Rhea kemudian menghela napas. Susah ternyata bicara lagi dengan orang yang sudah sangat lama tidak berkomunikasi dengannya
"Mikirin apa sih, Mas? Tegang amat.""Itu ...." Tadinya Naren akan menjawab pertanyaan Rhea, tapi panggilan baru yang terdengar asing di telinganya membuat Naren seketika menoleh ke arah Rhea di sampingnya yang sedang menonton salah satu serial Thailand—yang entah sejak kapan jadi hobby Rhea. "Kamu manggil apa barusan?""Mas, boleh manggil gitu nggak? Kan kamu lebih 'tua' daripada aku." Rhea terkekeh sambil menekankan kata 'tua'.Sebenarnya Rhea memang tidak terlalu nyaman memanggil Naren hanya dengan namanya dan Naren melarang Rhea untuk memanggilnya 'Kak' lagi. Jadi Rhea mulai memikirkan panggilan apa yang sekiranya pantas untuk disematkan ke laki-laki itu."Boleh lah, boleh banget. I like it. Tapi nggak usah bawa-bawa 'tua' juga." Naren menyentil pelan kening Rhea."Kan emang lebih tua ... dua tahun kan," ledek Rhea. "Tapi beneran deh, kamu kenapa tegang banget?""Besok jemput orang tuamu jam berapa?""Oooh, gara-gara itu? Besok sore kayaknya. Kamu beneran mau ikut? Aku sendiri jug
"Kakak!" pekik suara wanita terdengar dari luar ruang kerja di mana Haris dan Naren berada.Dengan refleks, keduanya berlari menuju pintu.Naren yang pertama kali membuka pintu dan menemukan Rhea telah tergeletak di lantai, dengan Dyah yang memangku kepala Rhea sambil mengusapnya.Mengingat kembali pembicaraannya dengan papa Rhea, Naren hampir yakin kalau Rhea mendengar semuanya."Tan, saya angkat Rhea ke kamar ya, Tan," izin Naren.Dyah mengangguk lantas menyingkir, memberikan akses agar Naren bisa membopong Rhea ke kamar.Dengan hati-hati, Naren merebahkan Rhea di atas kasur. Ia tidak langsung beranjak, masih duduk di samping Rhea sambil merapikan anak rambutnya yang berantakan.Dyah mencoba mencari minyak angin untuk dibalurkan, sementara Haris memijat telapak kaki Rhea yang terasa dingin."Saya panggilin dokter aja ya, Om, Tan."Haris mengangguk. Tidak menyangka kalau anaknya akan jadi seperti itu. Haris juga sama seperti Naren, hampir yakin kalau Rhea mendengar pembicaraan mereka
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n