Rhea tengah duduk menunggu Bella di sebuah restoran bertema Italia. Restoran itu direkomendasikan Naren karena merupakan salah satu restoran yang dimiliki Brian. Ditambah lagi restoran itu belum lama buka, pengunjungnya terlihat lumayan padat karena masih banyak diskon opening yang ditawarkan. Naren tidak bisa membiarkan Rhea bertemu dengan Bella di restoran yang sepi, yang memungkinkan buat Bella menyakiti Rhea.Seorang wanita mengenakan blue jeans dan T-shirt berwarna putih polos datang mendekat ke arah Rhea.Senyuman manis diperlihatkan Rhea, bagaimana pun mereka dulu pernah sedekat sahabat. "Hai, Bel. Susah nggak nyari restonya?""Nggak juga," jawab Bella yang langsung duduk di hadapan Rhea."Kamu sampe kapan di Jakarta?" Rhea masih mencoba membangun pembicaraan yang baik dengan wanita di hadapannya itu."Kenapa? Takut banget aku ganggu kamu ya?""Nggak, Bel." Rhea kemudian menghela napas. Susah ternyata bicara lagi dengan orang yang sudah sangat lama tidak berkomunikasi dengannya
"Mikirin apa sih, Mas? Tegang amat.""Itu ...." Tadinya Naren akan menjawab pertanyaan Rhea, tapi panggilan baru yang terdengar asing di telinganya membuat Naren seketika menoleh ke arah Rhea di sampingnya yang sedang menonton salah satu serial Thailand—yang entah sejak kapan jadi hobby Rhea. "Kamu manggil apa barusan?""Mas, boleh manggil gitu nggak? Kan kamu lebih 'tua' daripada aku." Rhea terkekeh sambil menekankan kata 'tua'.Sebenarnya Rhea memang tidak terlalu nyaman memanggil Naren hanya dengan namanya dan Naren melarang Rhea untuk memanggilnya 'Kak' lagi. Jadi Rhea mulai memikirkan panggilan apa yang sekiranya pantas untuk disematkan ke laki-laki itu."Boleh lah, boleh banget. I like it. Tapi nggak usah bawa-bawa 'tua' juga." Naren menyentil pelan kening Rhea."Kan emang lebih tua ... dua tahun kan," ledek Rhea. "Tapi beneran deh, kamu kenapa tegang banget?""Besok jemput orang tuamu jam berapa?""Oooh, gara-gara itu? Besok sore kayaknya. Kamu beneran mau ikut? Aku sendiri jug
"Kakak!" pekik suara wanita terdengar dari luar ruang kerja di mana Haris dan Naren berada.Dengan refleks, keduanya berlari menuju pintu.Naren yang pertama kali membuka pintu dan menemukan Rhea telah tergeletak di lantai, dengan Dyah yang memangku kepala Rhea sambil mengusapnya.Mengingat kembali pembicaraannya dengan papa Rhea, Naren hampir yakin kalau Rhea mendengar semuanya."Tan, saya angkat Rhea ke kamar ya, Tan," izin Naren.Dyah mengangguk lantas menyingkir, memberikan akses agar Naren bisa membopong Rhea ke kamar.Dengan hati-hati, Naren merebahkan Rhea di atas kasur. Ia tidak langsung beranjak, masih duduk di samping Rhea sambil merapikan anak rambutnya yang berantakan.Dyah mencoba mencari minyak angin untuk dibalurkan, sementara Haris memijat telapak kaki Rhea yang terasa dingin."Saya panggilin dokter aja ya, Om, Tan."Haris mengangguk. Tidak menyangka kalau anaknya akan jadi seperti itu. Haris juga sama seperti Naren, hampir yakin kalau Rhea mendengar pembicaraan mereka
"Kak, Boleh Papa masuk?" Haris mengetuk pintu kamar Rhea yang sengaja dikunci dari dalam."Kak." Sekali lagi ia memanggil anaknya, barulah pintu kamar di hadapannya terbuka.Haris menghilang di balik pintu kamar anaknya, menghabiskan waktu berdua untuk membicarakan masalah yang membuat anaknya itu shock dan terlihat berantakan di pagi hari itu.Sementara Naren yang masih berada di ruang makan hanya bisa menunduk lesu melihat belum ada perubahan positif pada diri Rhea. Ia belum menyentuh sama sekali makanan yang ada di piringnya, yang sengaja ia bawakan untuk keluarga Rhea karena yakin mama Rhea tidak akan punya waktu untuk memasak sarapan."Ren, dimakan aja duluan, sekalian temenin Tante sama Ranu makan," ucap Dyah sambil tersenyum, walau senyuman itu tidak mampu menutupi raut khawatir di wajahnya."Iya, Tante." Naren berusaha tersenyum demi kesopanan.Tak berselang lama, Haris kembali ke ruang makan dengan muka kusutnya. Sendiri. Tanpa terlihat Rhea mengekorinya. "Nanti bawa sarapann
Haris seketika menahan Naren yang terlihat berdiri dari duduknya. "Biarin aja, Ren. Kita omongin tanpa Jingga. Om pengen denger keputusanmu.""Jawaban saya masih sama, Om. Saya berniat serius sama Rhea. Saya terima semua kondisi Rhea, apa pun yang terjadi sama Rhea di masa lalu, saya terima semuanya.""Kamu akan menghargai anak Om dalam kondisi apa pun?"Naren mengangguk. "Yang saya cintai Rhea, bukan sesuatu yang udah hilang dari Rhea. Apa yang hilang dari Rhea sama sekali nggak mengurangi kehormatan Rhea sebagai wanita, apalagi itu terjadi bukan atas kehendaknya," ucapnya dengan sehalus mungkin."Kamu bener-bener yakin?""Dari awal Om cerita pun saya sudah yakin. Tapi Om ngasih waktu lagi ke saya buat berpikir, dan ... itu semakin menambah keyakinan saya, Om. Yang saya khawatirkan justru keadaan Rhea sekarang," ucap Naren sambil menatap ke mana arah Rhea tadi menghilang.Meskipun Naren sudah menyampaikan jawabannya, sebagian hatinya masih terasa berat, mengingat bagaimana Rhea berea
"Muka dikontrol, please!" ujar Dio pada Naren saat Naren mampir ke ruangannya setelah mengantar Rhea. Terdengar berlebihan memang. Rhea sampai mendengkus kesal berkali-kali karena tingkah Naren yang memaksa mengantarnya hingga tempat duduk. "Ada kejadian apa, sampe senyum lo mirip joker?""Lebay lo,” balas Naren."Udah jadian lagi sama Rhea?" tebak Dio."Nggak. Gue mau langsung lamar dia. Udah dapet restu dari orang tuanya. Rhea juga udah ok.""What?" Dio yang semula duduk di kursi kerjanya beranjak menuju sofa demi mendapat cerita seutuhnya.Naren menceritakan dengan detail, hingga kebohongan orang tua Rhea. Kalau semula ia menutupi dengan rapat dari sahabatnya yang lain tentang kondisi Rhea, sekarang ia bisa menceritakannya dengan hati lapang, karena yang diucapkan orang tua Rhea hanyalah untuk mengetesnya."Gila! Sadis juga bokapnya Rhea."Naren mengangguk-angguk. "Tapi gue kalo punya anak cewek gitu juga kali ya."Dio mendengus melihat khayalan Naren. Lamaran saja belum terwujud,
Baru Rhea menatap Adityo seakan meminta izin untuk menyusul Naren, tiba-tiba saja kursi di sebelahnya terisi kembali. Rhea mengernyit bingung dengan tingkah Naren.Adityo yang paham kalau Naren ingin menyampaikan sesuatu ke Rhea namun terhalang keberadaannya, memilih pergi untuk mengambil makanan lain. Ia tak berharap banyak, mungkin saat kembali nanti meja yang semula ditempatinya sudah kosong karena anaknya yang tidak betah berada di dekatnya."Mas marah?" tanya Rhea memperhatikan Naren yang bersungut-sungut."Kan aku udah bilang, kalo dia ngajak ketemu, kamu ngomong sama aku dulu.""Kalo aku ngomong sama kamu, pasti kamu nggak akan ngizinin kan?" balas Rhea.Naren kini menatap Rhea sambil memiringkan badan. "Rhe, hubunganku sama dia—""Aku tau, Mas. Tapi dia papamu. Kamu nggak akan ada di sini kalau nggak ada papamu. Kamu ... maksudku kita juga butuh restu dari beliau kan?"Menuruti egonya yang masih terlalu tinggi, Naren menggeleng pasti. "Nggak, kita perlu minta restu ke Kakek, b
“Itu kan yang sekarang lagi deket sama Pak Naren?”Sudah hampir seminggu Rhea mendengar bisikan-bisikan serupa, kadang benar-benar berupa bisikan yang tak ia dengar, tapi bisa ditangkap melalui indra penglihatannya kalau orang-orang sedang menggunjingkan dia. Tapi kadang juga ucapan itu sengaja dikeraskan agar Rhea mendengarnya.“Biarin aja Rhe, namanya juga udah go public,” ledek Kaira yang berjalan bersisian dengan Rhea usai makan siang bersama.“Go public? Emangnya saham?”Kaira terkekeh dibuatnya. Ia kagum pada sikap Rhea yang mampu mengabaikan omongan sumbang di sekitarnya. Yang Kaira tidak tahu, sebenarnya Rhea merasa jengah dan kadang mengamuk ke Naren yang tidak bisa mengontrol tingkahnya walaupun mereka berada di area kantor.“Ditembaknya di mana, Rhe?”“Di jantung hatiku,” kelakar Rhea. “Nggak jadian kok. Cuma ya ... gitu deh, komitmen aja buat langsung melangkah ke step berikutnya.”“Wooow! Udah dilamar? Yang berdua doang gitu, bukan acara tunangan yang melibatkan keluarga?
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n