Rhea mengacak rambutnya dengan frustasi.Ia masih mencoba menghubungi Naren tanpa henti, meskipun ia tahu mungkin percuma.Tangannya mulai bergetar. Ia tidak tahu harus mencari bantuan ke mana atau ke siapa.Andai ia tahu nomor ponsel sahabat Naren, mungkin kini ia akan merengek kepada mereka untuk membantunya.Di tengah rasa frustasinya, ia mencoba mengecek kembali nomor contact di ponselnya. Siapa tahu ada yang bisa dia hubungi di tengah kepanikannya.Dio.Hanya atasannya yang juga sahabat Naren yang kini ada di pikirannya.Ah, ia tidak peduli kalaupun jarum jam dinding hampir menunjuk ke angka sepuluh.Dengan gemetar, ia mencoba menghubungi Dio.Suara serak Dio terdengar di ujung sambungan telepon, sepertinya lelaki itu sudah terlelap sebelumnya."Halo, Rhe. Kenapa?"Rhea menahan tangisnya agar bisa berbicara jelas dengan Dio. "Maaf ganggu, Pak. Saya ... Saya bingung, Naren nggak bisa dihubungi sampe sekarang.""Hah? Naren belum balik dari Bogor?" tanya Dio bingung, pasalnya ia jug
Naren tidak tahu telah melakukan kebaikan seperti apa hingga hari seindah ini datang dalam kehidupannya. Saat membuka mata, ia menyaksikan wanita yang dicintainya masih terlelap di atas kasurnya. Tidurnya di atas sofa yang tidak terlalu nyaman itu seperti tak ada artinya dibanding kesempatannya menyaksikan pemandangan itu.Ia lantas berjalan mendekat ke kasur dan duduk di lantai sambil mengamati Rhea yang masih memejamkan mata."Sayang, bangun," ucap Naren sambil memainkan jarinya di kening Rhea.Rhea mengerjap pelan hingga akhirnya mampu membuka matanya."Kerja nggak? Kalo mau nggak masuk, nanti tinggal kukasih tau Dio.""Emangnya perusahaan ka—" Rhea menutup mulutnya setelah menyadari apa yang akan dikatakannya.Naren hanya terkekeh. "Ya emang perusahaan kakekku."Rhea memaksa dirinya untuk bangun dan bersandar di head board ranjang, sementara Naren mengubah posisinya menjadi duduk di pinggir ranjang menghadap ke Rhea."Rhe, kapan orang tuamu ke Jakarta lagi?" tanya Naren sambil mer
Leny dan Naren berdiri secara bersamaan, menatap punggung wanita yang berjalan menjauh itu dengan perasaan kesal setengah mati.Rhea memberikan gesture dengan tangannya agar Naren dan Leny kembali duduk.Tak dapat dipungkiri, suasana makan malam mereka menjadi sedikit terganggu."Siapa sih dia? Dateng-dateng ngomong aneh-aneh." Leny menatap Rhea dengan penuh pertanyaan."Temen, dulu. Lo percaya sama gue kan, Len? Nggak mungkin kan gue ngembat calon suami lo?""Iya lah, nggak mungkin gue langsung percaya sama omongan orang yang gue nggak kenal. Lagian ya, bisa jadi pertumpahan darah kalo itu sampe terjadi." Leny melirik ke arah Naren yang sepertinya sedang menyembunyikan rasa penasarannya."Lo kebiasaan deh, dulu juga waktu dilabrak mantannya Kak Naren lo diem aja. Kalo ada orang ngomong nggak bener tu bales, Ngga," ucap Leny penuh amarah.Naren yang tiba-tiba namanya dibawa dalam pembicaraan seketika merasa bersalah. Dulu, ia tidak bisa melindungi Rhea karena tidak menyangka ada manta
"Yo. Ikut gue dong. Negosiasi sama PT Nugraha dimajuin. Jaga-jaga aja kalo dia nyodorin perhitungan Opex."Dio sudah tidak kaget lagi dengan kelakuan Naren yang selalu merangsek masuk ke dalam ruangannya tanpa ketuk pintu."Tapi gue nggak bisa. Abis ini mau finalisasi perhitungan Capex yang buat proyek sama PT Agung Jaya. Ajak Rhea aja.""Eh?""Kenapa? Mau bilang makasih? Traktir gue aja nanti," balas Dio tanpa sedikit pun mendongak dari layar komputernya sehingga ia tidak melihat ekspresi Naren yang keberatan. Dio tidak meragukan sedikit pun kemampuan Rhea. Karena itu, dia menyodorkan nama Rhea menggantikannya, bukan sekadar karena hubungan Rhea dan Naren, tapi memang Rhea memiliki kemampuan."Selain Rhea nggak ada?"Barulah setelah pertanyaan itu keluar dari mulut Naren, Dio mendongakkan kepala. "Berantem lagi? Hubungan macem apa sih? Berantem melulu.""Nggak!" seru Naren. "Gue cuma nggak pengen—""Udah jangan banyak alesan deh. Sana sekalian kencan," sahut Dio kesal."Ya udah deh,"
Rhea tengah duduk menunggu Bella di sebuah restoran bertema Italia. Restoran itu direkomendasikan Naren karena merupakan salah satu restoran yang dimiliki Brian. Ditambah lagi restoran itu belum lama buka, pengunjungnya terlihat lumayan padat karena masih banyak diskon opening yang ditawarkan. Naren tidak bisa membiarkan Rhea bertemu dengan Bella di restoran yang sepi, yang memungkinkan buat Bella menyakiti Rhea.Seorang wanita mengenakan blue jeans dan T-shirt berwarna putih polos datang mendekat ke arah Rhea.Senyuman manis diperlihatkan Rhea, bagaimana pun mereka dulu pernah sedekat sahabat. "Hai, Bel. Susah nggak nyari restonya?""Nggak juga," jawab Bella yang langsung duduk di hadapan Rhea."Kamu sampe kapan di Jakarta?" Rhea masih mencoba membangun pembicaraan yang baik dengan wanita di hadapannya itu."Kenapa? Takut banget aku ganggu kamu ya?""Nggak, Bel." Rhea kemudian menghela napas. Susah ternyata bicara lagi dengan orang yang sudah sangat lama tidak berkomunikasi dengannya
"Mikirin apa sih, Mas? Tegang amat.""Itu ...." Tadinya Naren akan menjawab pertanyaan Rhea, tapi panggilan baru yang terdengar asing di telinganya membuat Naren seketika menoleh ke arah Rhea di sampingnya yang sedang menonton salah satu serial Thailand—yang entah sejak kapan jadi hobby Rhea. "Kamu manggil apa barusan?""Mas, boleh manggil gitu nggak? Kan kamu lebih 'tua' daripada aku." Rhea terkekeh sambil menekankan kata 'tua'.Sebenarnya Rhea memang tidak terlalu nyaman memanggil Naren hanya dengan namanya dan Naren melarang Rhea untuk memanggilnya 'Kak' lagi. Jadi Rhea mulai memikirkan panggilan apa yang sekiranya pantas untuk disematkan ke laki-laki itu."Boleh lah, boleh banget. I like it. Tapi nggak usah bawa-bawa 'tua' juga." Naren menyentil pelan kening Rhea."Kan emang lebih tua ... dua tahun kan," ledek Rhea. "Tapi beneran deh, kamu kenapa tegang banget?""Besok jemput orang tuamu jam berapa?""Oooh, gara-gara itu? Besok sore kayaknya. Kamu beneran mau ikut? Aku sendiri jug
"Kakak!" pekik suara wanita terdengar dari luar ruang kerja di mana Haris dan Naren berada.Dengan refleks, keduanya berlari menuju pintu.Naren yang pertama kali membuka pintu dan menemukan Rhea telah tergeletak di lantai, dengan Dyah yang memangku kepala Rhea sambil mengusapnya.Mengingat kembali pembicaraannya dengan papa Rhea, Naren hampir yakin kalau Rhea mendengar semuanya."Tan, saya angkat Rhea ke kamar ya, Tan," izin Naren.Dyah mengangguk lantas menyingkir, memberikan akses agar Naren bisa membopong Rhea ke kamar.Dengan hati-hati, Naren merebahkan Rhea di atas kasur. Ia tidak langsung beranjak, masih duduk di samping Rhea sambil merapikan anak rambutnya yang berantakan.Dyah mencoba mencari minyak angin untuk dibalurkan, sementara Haris memijat telapak kaki Rhea yang terasa dingin."Saya panggilin dokter aja ya, Om, Tan."Haris mengangguk. Tidak menyangka kalau anaknya akan jadi seperti itu. Haris juga sama seperti Naren, hampir yakin kalau Rhea mendengar pembicaraan mereka
"Kak, Boleh Papa masuk?" Haris mengetuk pintu kamar Rhea yang sengaja dikunci dari dalam."Kak." Sekali lagi ia memanggil anaknya, barulah pintu kamar di hadapannya terbuka.Haris menghilang di balik pintu kamar anaknya, menghabiskan waktu berdua untuk membicarakan masalah yang membuat anaknya itu shock dan terlihat berantakan di pagi hari itu.Sementara Naren yang masih berada di ruang makan hanya bisa menunduk lesu melihat belum ada perubahan positif pada diri Rhea. Ia belum menyentuh sama sekali makanan yang ada di piringnya, yang sengaja ia bawakan untuk keluarga Rhea karena yakin mama Rhea tidak akan punya waktu untuk memasak sarapan."Ren, dimakan aja duluan, sekalian temenin Tante sama Ranu makan," ucap Dyah sambil tersenyum, walau senyuman itu tidak mampu menutupi raut khawatir di wajahnya."Iya, Tante." Naren berusaha tersenyum demi kesopanan.Tak berselang lama, Haris kembali ke ruang makan dengan muka kusutnya. Sendiri. Tanpa terlihat Rhea mengekorinya. "Nanti bawa sarapann