"Loh kamu udah pulang, Rhe? Gimana ibu-ibu di sana? Pada ngerti kan setelah kamu ajari beberapa hari?"Rhea tersenyum sambil mengangguk. Di antara kegiatannya akhir-akhir ini, bisa dibilang permintaan Aditama untuk mengajarkan sedikit ilmu akuntansi, atau lebih tepatnya pembukuan sederhana kepada beberapa orang yang memiliki usaha rumahan, adalah hal yang paling berfaedah.Rhea memang datang ke Dieng, ke rumah Aditama, setelah ia berhasil menghindari Naren di Malang. Semula ia hanya ingin menghubungi kakek Naren itu via telepon, untuk membicarakan masalah ruko di Bintaro yang tidak ingin dikelolanya lagi. Bagaimana pun harus ada orang yang menggantikannya mengawasi finishing interior ruko yang dirombak menjadi coffee shop itu.Tapi Aditama tidak menerimanya begitu saja. Ia meminta Rhea untuk bertemu langsung dan mendiskusikan semuanya.Rhea yang saat itu tengah berada dalam perjalanan ke Surabaya, akhirnya mengalah dan mengubah tujuannya ke Wonosobo. Toh dia memang tidak punya tujuan
"Mas! Aku serius! Lepasin! Mau ngomong nggak? Kakek pasti nggak main-main," ucap Rhea dengan tegas, yang berhasil membuat Naren melepaskan dekapannya."Kamu masih mau manggil aku 'Mas'?" tanya Naren yang dilanjutkan dengan senyumannya."Ya terus aku harus manggil apa? Pak Naren? Atau Pak Direktur?" Rhea kemudian melangkah menuju sofa letter L yang ada di sudut ruangan.Baru beberapa langkah Rhea berjalan, ia merasakan tangannya ditarik dengan menghentak, cukup untuk membuatnya berbalik dan kembali ke dalam dekapan Naren."Apaan sih, Mas?""Bentar aja. Please. Rasanya aku masih belum percaya bisa meluk kamu lagi," ujar Naren sambil menahan punggung Rhea karena wanita itu masih saja berontak."Ralat. Bisa maksa meluk." Rhea akhirnya menghentikan aksinya mendorong Naren yang tentu saja gagal."Iya, terserah kamu." Setelah merasakan Rhea berhenti memberontak, Naren mengusap punggung Rhea pelan. "Maafin aku ya.""Lepasin dulu. Aku mau kita bicara dulu."Meski berat untuk Naren melepaskan p
"Mas." Rhea menghela napas. "Aku serius waktu balikin cincin ke kamu. Aku nggak main-main atau cuma gertak sambal," ucap Rhea lirih. Walau ia ingat tangannya bergetar saat menitipkan cincin itu kepada Leny. Ada bagian dari dirinya yang hancur. Ia hanya berharap keputusannya bukan diambilnya karena rasa emosi dan amarah.Ucapan Rhea itu membuat hati Naren terasa ngilu. Sejujurnya, ia memang sempat berpikir kalau Rhea hanya sedang emosi saat itu.Melihat Naren masih terdiam, Rhea melanjutkan perkataannya. "Aku ... kayaknya nggak kuat—"“Rheee." Naren menyela kalimat Rhea dengan cepat karena tidak sanggup mendengar kelanjutannya. "Waktu itu kamu lagi emosi, Sayang."Rhea menatap Naren yang terlihat kalut. "Aku mikir berhari-hari sampai akhirnya aku minta Leny buat balikin ke kamu.""Kamu lagi marah sama aku waktu itu. Aku nggak pernah mikirin cewek lain termasuk Zanna sebagai masa depanku, Rhe. Kamu masa depanku. Aku cintanya sama kamu."Keduanya bertatapan, seolah mencari sedikit saja k
"Rhe.""Apalagi, Mas?" Sudah beberapa kali Rhea mulai memejamkan mata dan Naren selalu saja mengganggunya."Jangan pergi lagi. Nggak apa-apa kalo kamu masih perlu waktu buat mikir. Tapi ... please jangan pergi lagi," pinta Naren."Memangnya kenapa kalo aku pergi?""Kan udah kubilang, aku kehilangan arah.""Oh ya? Tapi buktinya kamu masih bisa nyusul ke Karimunjawa sama ke Malang. Ngganggu liburan orang aja," sahut Rhea masih sambil memejamkan mata.Naren membuka mulut namun mengatupkannya kembali. Andai Rhea bisa melihat ekspresi Naren saat ini."Ya karena tujuanku kamu."Rhea tercekat, tidak tahu harus menjawab apa. "Udah tidur sana, Mas. Kamu baru nyampe hari ini kan.""Rhe, aku masih kangen."Tidak terdengar sahutan dari Rhea, pun napasnya sudah terlihat teratur.Naren mendekat ke arah Rhea, lalu mengecup keningnya.Rhea yang belum benar-benar terlelap, menyadari saat Naren mengecup keningnya, tapi ia memilih diam dan tetap memejamkan matanya."I love you, Rhe."Bisikan Naren di de
"Kamu masih ngambek?"Rhea melirik kesal ke arah lelaki lanjut usia—dengan penampilannya masih mirip lelaki paruh baya—yang duduk di kursi paling ujung, menandakan dia lah pemimpin di sana."Bisa-bisanya Kakek ngurung aku sama laki-laki di ruangan tertutup." Rhea merajuk mirip seorang cucu yang marah pada kakeknya sendiri."Tapi Naren nggak ngapa-ngapain kamu kan?" tanya Aditama penasaran sambil menatap keduanya bergantian.Rhea menelan ludah, ia ingin menjawab ‘tidak’, tapi ...."Kalo maksud Kakek kami kebablasan …, nggak, Kek, tenang aja," jawab Naren diplomatis.Aditama mendengkus, ia sudah mengenal bagaimana karakter Naren dan kepiawaiannya bersilat lidah. Pasti ada yang terjadi dengan mereka berdua, entah itu apa, tapi yang jelas mereka masih bisa menahan gejolak pada diri mereka."Aku mau balik ke Jakarta," ucap Rhea masih dengan bersungut-sungut."Loh, kamu belum kelar kok natar ibu-ibu itu. Nanti mereka nyariin kamu. Tuntasin dulu ngajarin mereka.""Iya, Rhe. Nggak usah keburu
"Besok aku anter ya. Ke Amigos kan?" tanya Naren sebelum benar-benar pamit dari hadapan Rhea.Sebelum kembali ke Jakarta, keduanya (lagi-lagi) adu mulut untuk menentukan moda transportasi yang akan mereka gunakan. Naren meminta Rhea untuk naik mobil saja dengannya, sementara Rhea ingin menyelesaikan perjalanannya menggunakan transportasi umum.Setelah perdebatan yang hampir memakan waktu setengah hari itu, akhirnya Naren mengalah, menuruti permintaan Rhea untuk naik bus menuju Purwokerto dan lanjut menggunakan kereta."Masuk gih, istirahat, udah jam dua malem. Masih ada waktu istirahat." Naren melihat jam tangannya yang menunjuk angka dua.Tiba-tiba Rhea mengulas senyum. "Capek? Sekali-kali keluar dari zona nyaman enak kan?"Naren mengacak rambut Rhea. "Iya, udah lama juga nggak naik kereta. Gara-gara kamu, semua kendaraan udah kunaikin, sampe pesawat twin otter."Rhea hampir saja terbahak kalau tidak ingat hari itu sudah sangat larut, dan tawanya bisa saja membuat orang lain takut."
"Boleh gabung?" tanya Naren.Ketiga wanita itu terkesiap dan menatap Naren dengan ekspresi tegang.Rhea yang pertama kali bisa menguasai keadaan lantas berdiri dan menyapa Naren yang juga masih berdiri sambil menatap kedua wanita yang kini menunduk."Kok ke sini nggak bilang?" tanya Rhea mencoba santai."Tadinya mau ngasih kejutan, tapi aku yang kayaknya malah dapet kejutan."Rhea baru berniat mengajak Naren untuk duduk di meja lain, saat tiba-tiba Naren menarik kursi yang ada di samping Rhea dan duduk begitu saja tanpa meminta persetujuan dua wanita yang ada di depannya."Siang, Pak.""Hmm." Naren kemudian mengetukkan jarinya di meja, yang membuat kedua wanita itu semakin gelisah.Rhea menghela napas. "Kamu mau dipesenin makan apa? Biar dibeliin keluar sama Diki.""Orderin online aja, Yang. Kasihan Diki kalo mesti keluar, lagi rame kan siang-siang gini.""Ok. Mau pesen apa?" Rhea lantas membuka ponselnya dan mengutak-atik layarnya."Terserah kamu. Apa pun yang kamu pesenin aku makan.
Naren menatap ponselnya dengan gamang, setelah beberapa kali mendapat telepon dari orang yang sama, dan sedari tadi telah diabaikannya. Ia tidak ingin mengganggu makan malamnya bersama Rhea.Rhea yang asik menonton series kesukaannya di ruang tengah rumah Naren, sambil sesekali menyuap makanan yang ada di piringnya, lantas menatap ponsel Naren yang terus saja bergetar dan sedikit banyak memecah konsentrasinya."Mas, itu hpnya diangkat sih. Dari tadi loh. Siapa sih?""Biarin aja.""Siapa tau penting. Kalo nggak penting, nggak mungkin dari tadi telepon nggak berhenti.""Dari papanya Zanna. Biarin aja," ucap Naren yang kembali melanjutkan makannya.Rhea terdiam setelah mendengar siapa penelepon yang sudah berkali-kali menghubungi Naren.Dan setelah kesekian kalinya ponsel Naren berdering kembali, Rhea menatap Naren dengan sungguh-sungguh. "Angkat, Mas. Takutnya penting."Mengikuti permintaan Rhea, dengan berat hati Naren meraih ponselnya dan menyentuh tanda hijau untuk berbicara dengan o