Setelah sampai di depan rumah Naira. Gibran segera ke luar untuk membukakan pintu samping. Naira yang melihat aksinya pun tersenyum dengan sedikit merasa malu. Gadis itu merasa diistimewakan karena tindakan Gibran.
“Silakan ke luar, Tuan putri,” ujar Gibran dengan gayanya mempersilakan.
“Terima kasih! Pangeran—tapi bohong!” sahut Naira dengan ketus.
Gibran yang mendengar merasa sedikit kesal karena awalnya dipanggil pangeran oleh Naira lalu tidak jadi.
“Pulang, ah!” sindir Gibran.
“Iya, sana pulang.”
“Hati-hati?” sindir Gibran pada Naira.
“Hati-hati di jalan,” balas Naira yang mengerti. Gibran segera berjalan masuk ke dalam mobilnya.
“Naira!” teriak Gibran dari dalam mobil. Naira menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke sumber suara.
Ia berkata, “Apa?”
“Ketemu lagi besok!” Gibran melambaikan tangannya dengan menunggu agar Naira masuk ke dalam rumah.
Kriinngg! Kriingg!
Ponsel Gibran berdering saat dirinya baru saja ingin menyalakan mesin mobilnya. Terpampang jelas nama 'Bang Boy' di layar ponsel, dengan segera ia mengangkat teleponnya.
“Halo, Bang?” ucap Gibran setelah mengangkat ponselnya.
“Udah pulang sekolahnya, Ko?”
Kakak lelakinya Boy memang memanggil dirinya dengan sebutan Koko, sama dengan mama dan adiknya. Tetapi, berbeda dengan papanya yang memanggil dirinya dengan sebutan Iban.
“Udah kok, kenapa, Bang?” tanya Gibran.
“Cepat pulang, Kyra sakit,” jelas Boy.
“Kok bisa sakit sih? Ya udah, gue pulang sekarang,” ujar Gibran lalu melajukan mobilnya.
Dua puluh lima menit Gibran telah sampai pada rumahnya yang tidak kalah megah dan terkesan klasik dengan rumah Naira. Ia memarkirkan mobilnya sembarangan lalu berlari memasuki rumahnya.
Lelaki itu melihat raut wajah Boy yang khawatir dengan berkali-kali mengangkat teleponnya untuk memanggil seseorang. Mungkin dokter yang ia panggil, pikir Gibran.
“Hai? Princess-nya Bang Gibran kenapa?” tanya Gibran. Lelaki itu berlutut di pinggir kasur Kyra dengan melihat adiknya.
“Abang baru pulang, ya?” tanya Kyra dengan tatapan yang sayu.
“Iya, kok bisa sakit sih? Pasti makannya nggak teratur, ya?”
“Kyra cuma kecapekan aja kok, Bang,” jelas Naira.
“Silakan masuk, Dok,” sela Boy. Boy masuk ke dalam kamar Kyra dengan diikuti seorang dokter.
“Kenapa Kyra bisa sakit, Bang?” tanya Gibran pada Boy.
“Kemarin dia minta jalan-jalan keliling mall,” jelas Boy padanya.
“Cuma keliling mall?”
“Kyra minta main game setelah shopping,” jelas Boy lagi.
“Papa mana?” tanya Gibran.
“Di kantor.”
“Mama?” tanya Gibran dengan mengangkat salah satu alisnya.
“Mama ada urusan,” ujar Boy yang dibalas mengangguk oleh Gibran.
Dokter telah selesai memeriksa Kyra. Kyra adalah adik perempuannya Boy dan Gibran. Namun, umurnya juga tidak jauh berbeda dengan Naira, lebih tepatnya selisih satu tahun.
Mereka berdua sangat sayang pada Kyra, sehingga apa pun yang terjadi padanya mereka dengan sigap selalu ada di sampingnya.
“Gimana, Dok?” tanya mereka serempak. Dokter yang mendengar kekompakan mereka pun tersenyum.
“Hanya demam biasa, Mas, mungkin karena kelelahan, ini sudah saya tuliskan resep obat. Semoga Adiknya cepat sembuh, ya,” jelas Dokter.
Setelah itu dokter pergi meninggalkan ruangan dan diikuti oleh Boy. Berbeda dengan Gibran yang mendekat ke arah Kyra dan duduk di sampingnya.
“Cepat sembuh ya, Princess-nya Abang,” ucap Gibran dengan mengelus kepala Naira.
“Iya, Bang,” jawab Kyra.
“Abang ke kamar ya? Kamu istirahat,” kata Gibran dengan mengecup dahinya.
Gibran membenarkan selimut agar menutup tubuh Kyra dan segera keluar dari kamarnya. Lelaki itu merasa lelah dan segera merebahkan tubuhnya dengan menatap langit-langit kamarnya.
“Telepon Naira, ah!” gumamnya. Ia tengah mencari-cari kontak telepon yang bernama Naira.
“Halo?” Terdengar suara Naira dari balik ponsel setelah teleponnya tersambung.
“Hai, Nai?” sapa Gibran dengan tersenyum.
“Aku boleh cerita nggak sama kamu?” Lanjut Gibran.
“Boleh, cerita apa?” tanya Naira.
“Tapi kamu nggak sibuk, kan?”
“Nggak kok, baru selesai mandi,” jelas Naira.
“Terus sekarang lagi ngapain?” tanya Gibran.
“Duduk di kamar, lo?”
“Sama deh! Aku mau cerita, Nai, kalau aku itu.... ”
“Apa?” tanya Naira yang sangat penasaran menunggu ucapannya.
“Aku sekarang lagi jatuh cinta sama seseorang, Nai, dia satu sekolah sama kita namanya Hanum Aini,” jelas Gibran. Terdengar suara Gibran yang terkekeh di balik ponsel Naira.
Naira yang mendengar perkataaannya pun langsung terdiam dengan memegang dadanya, terasa sesak dan nyeri di sana. Seolah-olah jantungnya berhenti sejenak. Ia menahan air matanya agar tidak terjatuh.
Tetapi, ia tidak bisa menahannya begitu lama dan akhirnya air mata Naira terjatuh dengan bibirnya yang masih tersenyum. Kenapa hati Naira tiba-tiba sakit? Padahal Naira baru saja mengenal sosok Girbran. Apa ini yang dinamakan suka?
“Nai?” panggil Gibran.
“Iya, Bran, kenapa?” tanya Naira dengan mencoba baik-baik saja.
“Are you okay?” tanya Gibran.
“I’m okay, kenapa, Bran?”
“Mmm, aku sebenarnya sayang sama dia udah lama sih, Nai.”
“Terus? Kenapa nggak lo nyatain aja cinta lo ke dia? Nanti diambil orang baru tahu rasa lo!”
“Aku nggak bisa, Nai,” jawab Gibran.
“Kenapa nggak bisa?” tanya Naira.
“Aku takut ditolak sama dia, Nai.”
“Bran? Lo nggak boleh takut sebelum mencoba, semangat dong! Masa karena cewek doang lo jadi lemah,” ujar Naira menyemangati.
“Hehe, makasih ya, Nai, besok aku mau coba deh kebetulan besok kan hari minggu dan itu sih kalau aku ingat,” jawab Gibran.
“Kok kalau ingat? Ya udah, semoga diterima! Gue matiin ya teleponnya?”
“Kenapa, Nai?” tanya Gibran.
“Aku lupa tadi mau tidur, mumpung Abang belum pulang,” jelas Naira berbohong.
“Oh, iya udah, makasih ya sarannya. Bye!” kata Gibran lalu mematikan ponselnya.
Naira yang masih merasakan sakit di dadanya pun menangis sejadi-jadinya, karena tidak kuat menahan air matanya, dengan sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara agar tidak ada yang tahu kalau dirinya sedang menangis di dalam kamar.
Seharusnya Naira tidak menaruh harapan yang pada akhirnya hanya menghancurkan dirinya dengan harapan-harapan yang semu. Naira mengusap air matanya dengan kasar lalu menarik napasnya dengan panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia beranjak ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya, lalu kembali ke kasur empuknya dan tertidur dengan lelap agar dirinya bisa melupakan semuanya.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Naira berbaring di atas kasur dengan tatapan yang kosong. Ia bingung harus apa saat ini. Pikirannya berkecamuk hanya tentang Gibran, Gibran, dan Gibran.
Kenapa hatinya menyukai seorang lelaki yang baru saja dikenalnya? Seharusnya sejak awal dirinya harus menahan perasannya agar tidak terlalu jauh.
Bip! Bip!
Ponsel Naira berbunyi. Terdengar suara notifikasi pesan. Sebenarnya Naira ingin sekali untuk meraih ponsel dan mengecek siapa yang mengirimkan pesan padanya. Tetapi, rasa malasnya sore ini sangat tinggi, sehingga ia membiarkan ponselnya tergeletak sembarangan sejak tadi.
“Seharusnya gue nggak usah suka sama Gibran, semua lelaki kan selalu manis terhadap wanita, haha.” Naira bermonolog dengan menatap langit kamarnya yang gelap.
Bip! Bip!
Ponselnya berdering untuk ketiga kalinya. Akhirnya Naira bangun dengan malas untuk meraih ponselnya di lantai. Ia melihat isi pesannya dengan tersenyum kecut, karena yang mengirimkannya pesan adalah Gibran.
“Naira? Main yuk?”
“Aku jemput, ya?”
“Kalau nggak jawab berarti mau.”
Naira terdiam sejenak karena bingung untuk membalas apa. Sebenarnya Naira ingin mengiyakan tawaran dari Gibran. Namun, ia malu karena matanya yang sembab seusai menangis.
“Maaf, Bran, gue nggak bisa,” balas Naira dengan ragu-ragu.
“Kenapa, Nai?” balas Gibran dengan cepat.
“Aku sibuk, maaf.”
“Kalau gitu akuu main ke rumah kamu, ya?”
“Nggak usah!”
Setelah mengirimkan pesan yang terakhir, ia segera mematikan ponselnya dan meletakkannya ke dalam laci meja. Ia tidak ingin diganggu oleh siapa pun saat ini.
***
“Naira! Buka dong! Alisya kangen nih!”
Alisya yang baru saja datang pun menggedor pintu kamar Naira dengan keras dan berteriak. Tetapi, tidak ada sahutan apapun dari kamar Naira.
Alisya khawatir akan terjadi sesuatu dengan Naira, dengan segera ia menelpon Naira. Tidak ada jawaban karena ponselnya masih mati.
“NAIRA! BUKAIN DONG!”
Alisya meningkatkan volume suaranya dengan suara yang sangat nyaring seperti toa masjid. Naira yang mendengarkannya pun dengan sigap menutup telinganya menggunakan bantal.
“Cewek tolol!” umpat Naira yang kesal karena tidurnya diganggu.
“NAIRA! LO NGGAK TAHU YA KALAU SEKARANG UDAH JAM DELAPAN HAH?”
Seketika Naira langsung membelalakkan matanya mendengar suara Alisya. Ia segera melirik ke arah jam dan terkejut. Ternyata benar bahwa saat ini sudah pukul 08.15 WIB. Gadis itu segera bangkit dari tidurnya dan beranjak ke pintu untuk membukanya, karena ia tidak ingin Alisya berteriak terus-terusan di luar kamarnya dengan suaranya yang jelek sekali.
“Bisa diam nggak lo? Suara lo tuh cempreng!” cetus Naira setelah membuka pintunya.
“Sembarangan lo, Ra! Suara gue ini biarpun cempreng udah cocok jadi dubber tahu!”
“Dubber apaan hah?” tanya Naira dengan mengedikkan kepalanya.
“Spongebob dong,” balasnya dengan penuh percaya diri.
“Udah lah! Jangan halusinasi, mending lo pergi gue mau mandi.” Naira berjalan menuju kamar mandi dan tidak menghiraukan Alisya yang masih berdiri di depan kamar.
“Makasih, Ra,” kata Alisya.
Ia berjalan masuk ke dalam kamar Naira dengan bermain ponsel. Mungkin pendengarannya bermasalah. Padahal Naira berkata dengan menyuruhnya untuk pergi dan bukan masuk.
“Tuli ya, Mbak?” tanya Naira.
“Nggak dong, Mbak, alhamdulillah baik,” jawab Alisya dengan santai.
Naira tidak menghiraukan ucapan Alisya dan segera masuk ke kamar mandinya.
“Mau ngapain lo, Ra?” tanya Alisya.
“Ritual sesajen! Ya mandi lah!” cetus Naira. Alisya hanya mengangguk mengerti dan merebahkan tubuhnya ke atas kasur.
Tok! Tok!
Pintu kamar Naira diketuk oleh Bi Inah dari luar. Alisya segera bangkit dan berjalan untuk membuka pintunya.
“Ada apa, Bi?” tanya Alisya dengan menaikkan sebelah alisnya.
“Ada telepon untuk Neng Naira, Neng,” jelas Bi Inah.
“Biar saya aja yang angkat, Bi, mana?”
Bi Inah langsung mengantar Alisya menuju ke ponsel rumah. Gadis itu segera meraih dan meletakkannya pada telinga. Ia berkata, “Halo? Dengan siapa di mana?”
“Naira di mana?” tanya seseorang dari balik telepon. Alisya langsung mengerti siapa yang menelpon Naira. Ia adalah Gibran dengan suaranya yang khas.
“Lagi mandi, kenapa?”
“Kenapa HP-nya mati?” tanya Gibran penasaran. Karena sejak tadi ponsel Naira tidak dapat dihubungi.
“Mati? Masa sih?”
“Iya mati, dari siang nggak bisa dihubungin,” jelas Gibran.
“Apa hak lo nanya begitu?” tanya Alisya dengan mengerutkan keningnya. Telepon kan milik Naira, kenapa dia sangat sewot sih?
“Gue mau ngajak dia main, kenapa? Cemburu lo?”
“Idih! Najis gue cemburu sama lo!”
Alisya dan Gibran saling berdebat sejak sepuluh menit yang lalu. Bahkan gadis itu tidak menyadari kalau Naira sudah selesai dengan aktivitasnya dan sedang berdiri di belakang punggung Alisya.
“Siapa yang telepon?” tanya Naira. Alisya terkejut dan teleponnya terjatuh, sehingga sambungan teleponnya pun terputus.
“Gibran, Ra,” jawab Alisya. Naira tidak menjawab dan hanya mengangguk dengan pelan. Ia kembali ke kamarnya lagi dengan meninggalkan Alisya.
Bersambung...
Malam ini sudah pukul 23.30 WIB. Dirga telah pulang dari kantornya. Ia berjalan menuju kamar dan segera membersihkan tubuhnya agar terasa lebih fresh.Berbeda dengan Naira dan Alisya, mereka belum juga tertidur. Tetapi sedang bertengkar karena Alisya yang tidak terima karena dituduh seperti ikan buntal oleh Naira.“Nyebelin lo!” teriak Alisya dengan melemparkan bantal ke wajah Naira.“Jangan sentuh bantal gue, nanti bau comberan lagi, ah!” canda Alisya.Alisya yang dituduh pun kesal karena dirinya sudah berusaha sewangi mungkin malah disamakan dengan air comberan. Gadis itu duduk di pinggir kasur Naira dengan mengembangkan kedua pipinya.“Tuh kan mirip ikan buntal, haha!” Naira menyindir setelah melihat wajah Alisya yang sedang cemberut dengan bibirnya yang manyun.“Sewot banget sih netijen!” murka Alisya. Naira yang berhasil membuat sahabatnya merasa kesal pun tertawa penuh kemenangan.“Ketawa lo palsu, Naira!” kata Alisya dengan lantang dan tajam.Naira yang mendengar ucapan dari sah
Pagi yang cerah di hari Minggu. Jam sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB dengan seorang gadis yang masih terlelap dalam mimpinya. Ia memang juaranya dalam masalah tidur. Bahkan Dirga telah membangunkannya sejak pukul 06.00 WIB dan sampai sekarang pun belum juga terbangun dari tidurnya. “Bangun! Atau gue dobrak ini pintu!” Dirga berteriak dengan lantang dan mengancam. Sejak tadi ia sudah membangunkan adiknya dengan cara apapun tapi tidak juga berhasil. Ia terdiam sebentar menyesap secangkir kopi yang tengah digenggamnya lalu duduk di kursi yang berada di pinggir pintu kamar Naira. Bip! Bip! Suara ponsel Naira berbunyi terus sejak semalam tanpa henti. Bahkan hingga saat ini ia belum juga mengecek siapa yang mengirimkan pesan sebanyak itu. Ia terlihat tidak perduli dengan siapa yang mengirimkan pesan. Ia merasa muak dengan semuanya. “Neng!” teriak Dirga lagi. “Gue dobrak di hitungan ketiga!” ancam Dirga. “Satu, Dua....” Dirga mulai menghitung. “Tig—” Ceklek! Naira segera membuka p
Saat ini Gibran telah berada di rumah temannya, Farrel. Ia merebahkan tubuhnya dengan kasar lalu menatap langit kamar Farrel dengan tatapan yang kosong, ia kepikiran oleh kejadian tadi. “Kenapa lo, Bran?” tanya Farrel dengan tersenyum lebar. “Pusing gue” Gibran menjawab dengan membenarkan posisinya menjadi duduk. “Pusing? Minum oska—” Bugh! Gibran melempar guling ke wajah Farrel yang hendak menirukan iklan di televisi, sehingga Farrel tidak dapat melanjutkan ucapannya dan langsung terdiam. “Tapi yang satu ini pusingnya nggak bisa disembuhin pakai obat, Rel,” jelas Gibran. Gibran langsung mengacak lagi rambutnya. “Soal cewek?” tanya Farrel dan dibalas anggukan oleh Gibran. “Makannya, Bran, jangan kebanyakan cewek lo!” pungkas Farrel. “Gue nggak punya cewek, bego!” seru Gibran. Lelaki itu melirik tajam ke arah Farrel sehingga sahabatnya langsung terdiam. Ia hanya ingin mengalah pada Gibran yang lagi dipenuhi oleh rasa emosi, karena takut jika dirinya akan menjadi pelampiasan am
Sore ini Gibran sedang asik bercanda dengan adik perempuannya di ruang keluarga. Dengan memakai kaos bercorak army, celana jeans hitam, dan kalung perak dengan gantungan berbentuk salib yang menggantung di lehernya. Saat ini ia juga tengah mempersiapkan diri untuk menemui seorang wanita yang akan menjadi kekasihnya. Ya, lelaki itu akan menyatakan cintanya hari ini. Ia celingukan mencari ponselnya. Setelah mendapati ponselnya ia segera mengetik tombol nomor untuk menelpon seseorang. “Sudah disiapkan semua, Pak?” tanyanya pada seseorang itu. “Oh gitu, terima kasih,” ucapnya lagi dengan tersenyum lebar. Setelah itu Gibran berdiri karena ingin berpamitan dengan Kyra. Adiknya pun mengiyakan. Gibran mengacak rambut Kyra dan segera menuju garasi untuk memanasi mobilnya. Krinngg! Krinngg! Ponsel Gibran berdering, terpampang sebuah nama dari sahabatnya, yaitu Farrel. Akan tetapi, Gibran tidak mengangkat teleponnya karena sedang mengendarai mobil, ia tidak ingin kejadian yang tidak seharu
Malam ini sudah tepat pukul setengah tujuh. Naira juga sudah selesai mempersiapkan dirinya dengan rapi, tapi masih dengan gayanya yang tomboi dan terkesan modis. Ia mengenakan kemeja berwarna abu-abu dengan celana jeans hitam. Kali ini Naira membiarkan rambutnya terurai dan tidak menggulungnya seperti biasa. Krinngg! Krinngg! Ponsel Naira berdering. Ia segera mengecek siapa yang menelponnya. Gadis itu dengan sigap mengangkat ponselnya dengan berkata, “Halo?” “Gue ke rumah lo ya, Ra? Gue bosan ini di rumah terus.” “Ah! Gue pikir siapa tadi yang nelpon gue, ternyata cuma salah sambung,” ucap Naira dengan ngasal. Karena dipikirnya Gibran yang menelponnya tadi. Ternyata hanya Alisya yang sedang gabut ingin pergi ke rumahnya. “Heh! Salah sambung apaan! Jangan ngada-ngada deh, Ra!” protes Alisya yang dituduh salah menelpon. Naira langsung tertawa setelah mendengar Alisya yang kesal. “Jangan! Gue mau ke luar soalnya, Sya,” jelas Naira. “Jangan bilang ke luar sama si cowok gila itu?”
Dirga menunggu kedatangan ajudannya dengan sesekali mengecek pekerjaan yang kebetulan belum juga selesai sejak seharian ini. Padahal sekarang sudah pukul 22.00 WIB. Terlebih lagi dengan adiknya, si Naira belum juga pulang ke rumah. Ke mana kira-kira Naira saat ini? Padahal sekarang sudah malam. Pikiran Dirga mulai berkecamuk dengan hal-hal negatif mendatangi satu demi satu di dalam kepalanya.“Permisi, Pak?” ujar Pak Bimo yang membuat Dirga terkejut.“Bapak tahu di mana Adik saya?” tanya Dirga lalu berdiri.“Mbak Naira sedang di danau, Pak Dirga,” jelas Pak Bimo.Tanpa rasa berterima kasih, Dirga segera bergegas berjalan ke luar ruangan dan mengambil motornya. Ia segera melajukan motornya untuk mencari keberadaan Naira. Kenapa adiknya berdiam di tepi danau? Padahal tadi Naira sedang ke luar dengan Gibran. Dirga mulai pusing memikirkan kejadian yang menurutnya terasa jangkal ini, dengan segera ia menelpon ajudannya untuk
“Naira!”Alisya berlari menghampiri Naira dengan berteriak heboh sehingga suaranya yang melengking terdengar seantreo koridor. Naira yang melihat tindakannya pun menghentikan langkah kakinya lalu melihat perilaku Alisya yang sangat tidak wajar. Padahal sekarang masih pagi dan ia malah berteriak sehingga membuat setiap siswa-siswi refleks menutup telinganya dengan sigap dan rapat. Naira tersenyum simpul melihat Alisya yang ditertawakan.“Sialan! Semerdu itu suara gue, Ra?” tanya Alisya dengan percada dirinya. Namun, ia tidak mendapatkan jawaban malah mendapati Naira yang tertawa terbahak-bahak. “Ah! Lo sama aja kayak mereka,” ujar Alisya dengan kesal. Ia berjalan meninggalkan Naira yang masih tertawa terbahak-bahak.“Iya, Sya! Merdu banget parah, sampai gendang telinga gue goyang,” pungkas Naira.“Tenang, Ra! Anda tidak perlu khawatir tentang itu, kalau nggak ada gendang bisa lo ganti sama ketipung,&rdq
Hari demi hari sudah banyak yang terlewati. Hari ini, sudah dua minggu setelah ujian dilaksanakan. Seluruh siswa bersorak senang setelah berhasil melewatinya. Begitu pula dengan Naira, ia menampakkan senyumnya yang menawan. Berbeda dengan Alisya yang tengah menaiki kursi dengan berteriak sangat heboh. Ada-ada saja sifatnya yang memalukan itu. Naira hanya menggelengkan kepalanya pelan melihat tingkah sahabatnya.Tiba-tiba saja Naira terdiam sehingga senyumnya memudar. Ia menyangga kepalanya dengan pikiran yang berkecamuk. Karena sudah dua minggu ia tidak mendapatkan kabar dari sahabatnya yang lain, yaitu Gibran Alandra. Mungkin saja Gibran sedang sibuk dengan ujiannya atau memang sengaja melupakan Naira dan bermesraan dengan Hanum pacar barunya. “Arrgghh! Ini namanya cemburu, Nai!” Gadis itu bergumam dalam hati dengan mengacak rambutnya gusar.“Ra? Ra? Setelah ini kita ke mall, yuk?” ucap Alisya dengan mata yang berbinar. Naira bukannya