Sudah satu jam setelah Naira melakukan check-in. Saat ini ia sudah di waiting room dengan Alisya yang sudah berada di sampingnya. Tapi anehnya sudah ada Alvalino yang juga ikut karena dipaksa oleh kakak lelakinya. Ia tidak ingin adiknya mengalami hal nuruk di negara orang lain. Maka dari itu, Dirga sudah menyiapkan semua keperluan mereka bertiga sebelum berangkat.
“Naira?” panggil Alvalino yang sudah duduk di samping Naira. Gadis itu langsung menoleh ke arah Alvalino yang sudah terlihat begitu grogi dengan menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.
“Ehem! Ehem!” Alisya mengacaukan suasana dengan pura-pura batuk. Mungkin ia merasa iri karena kekasihnya tidak berada di sampingnya sekarang. Lebih tepatnya sudah berada di Paris dengan Gibran yang sedang terbaring di rumah sakit.
Naira menatap kosong ke depan dengan pikiran yang sudah tidak beraturan. Ia sangat ingin tahu apa yang sudah terjadi pada Gibran. Apalagi sa
Bersambung...
Sudah dua minggu berlalu Gibran Alandra meninggalkan semua orang. Hari-hari Naira sangat membosankan. Tapi untungnya ia memiliki Alvalino dan Alisya yang selalu siap menemaninya kapan saja. Jujur saja, Naira masih tertekan atas pengakuan Gibran waktu itu, tapi ia juga tidak ingin terus-menerus terlarut ke dalam kesedihan. Seorang gadis duduk di gazebo dengan membuka novel tebal yang sudah lama sekali tidak dibacanya. Dengan sebotol air mineral dan juga ponsel yang tergeletak dengan earphone yang sudah tersambung. Ia sangat menikmati dentuman suara music yang sedang diputarnya melalui ponsel. Lelaki datang dan mendekat ke arah gadis itu untuk mengacaukan semuanya. Bahkan lelaki itu mencabut kabel earphone yang tadinya tersambung di ponsel Naira. Gadis itu langsung kesal karena ketenangannya diganggu terus-menerus. Jika sekarang Alvalino, mungkin saja nanti berganti jadi Alisya yang mengganggunya. “Lagi baca apa sih,
Seluruh murid tampak sibuk belajar di bangkunya masing-masing. Bahkan Naira yang tak ingin kalah pun belajar sangat giat kemarin malam. Sampai rambutnya terlihat acak-acakan seperti orang gila yang kabur dari RSJ. Alvalino yang baru saja datang dan langsung duduk di samping Naira pun tertawa terbahak-bahak melihat wajah Naira yang sangat lesu. Alisya datang dengan bersenandung ria lalu berjalan tanpa memperdulikan Naira dan Alvalino yang masih saja tertawa. Saat Naira mulai kesal, ia menggebrak mejanya yang membuat Alisya langsung terkejut dan menghentikan langkah kakinya. Hal itu membuat Alisya segera menoleh ke arah Naira untuk memarahinya habis-habisan. Tapi ia malah tertawa terbahak-bahak karena rambut Naira yang terlihat sangat kacau hari ini. “Rambut lo kenapa kusut banget sih, Ra?” tanya Alisya lalu tertawa kembali. Naira tidak memperdulikan pertanyaan itu lalu bangkit dari tempat duduknya untuk segera pergi dari sana. Padahal jam
Naira sedang bersantai di dekat kolam ikan dengan memejamkan matanya dan duduk di sebuah kursi. Hari ini sudah hari minggu dan ia merasa sangat bosan. Terlebih lagi ucapan dari papanya Gibran selalu mengganggu isi pikirannya. Hal itu membuat Naira sangat ingin tahu isi di dalam paket yang sedang dikirim padanya. Semoga saja bukan bom, pikir Naira. Suasana di pagi ini sangatlah mendukung dengan Naira yang sudah mandi tentunya. Hal yang sangat jarang terjadi ketika gadis itu mandi di hari libur, bukan? Yang merubahnya seperti ini adalah Gibran Alandra yang selalu menyuruhnya untuk mandi walaupun di hari libur sekali pun. Maka dari itu, Naira sudah terbiasa dengan yang namanya mandi pagi di saat hari libur. “Neng? Ayo sarapan dulu!” Kakak lelakinya berteriak dan selalu saja mengganggu ketenangan Naira. Gadis itu hanya terdiam sejenak lalu berkata, “Gue nanti aja, Bang!” Dirga langsung tidak berselera makan ketika mend
Hari yang sudah ditunggu-tunggu telah tiba. Ujian telah selesai dan waktunya para murid kelas 12-AKS bersantai di ruang kelasnya masing-masing. Seharian ini full dengan jam kosong. Mereka bertiga sibuk bermain kartu ‘Truth Or Dare’ dengan Alvalino yang saat ini sedang meneria tantangan dari Naira. Gadis itu menyuruh Alvalino menggunakan lipstiknya Alisya di kelopak mata dan juga bibirnya. Siapa pun murid yang melihat Alvalino seperti itu langsung tertawa terbahak-bahak. Karena wajahnya terlihat sangat cantik. Bahkan Alisya dan Naira kalah cantik sekarang. Sial, bisa-bisanya seorang lelaki mendahului kecantikan seorang gadis. Alisya melirik tajam ke arah Alvalino karena merasa iri dan gagal menjadi gadis cantik. “BATU, KERTAS, GUNTING!” Mereka semua serempak berteriak. Yang kalah sekarang adalah Naira lalu memilih ‘Dare.’ Saat gadis itu membuka kartu ia langsung mendelik karena di sana sudah tertulis ‘Peluk seseorang yang berada di sampin
Kedua gadis itu menyibukkan dirinya di salon. Naira yang tidak terbiasa pergi ke salon hanya mampu menurut oleh perkataan Alisya yang akan mengatur semuanya mulai dari gaun, make up, sampai gaya rambut yang sedang dikerjakan oleh pemilik salon. Alisya terlihat sangat akrab dengan pemilik salon itu, mungkin saja karena Alisya yang sering pergi ke sini dan menjadi pelanggan tetap.Pemilik salon itu sibuk memotong sedikit rambut Naira. Berbeda dengan Alisya yang sibuk menelpon seseorang. Saat Naira melirik Alisya melalui kaca, ia malah menatapnya dengan tersenyum licik. Entah apa yang sedang direncanakannya malam ini. Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB dan Naira sudah merasa lelah. Mungkin jika nanti rambutnya di creambath ia akan tertidur sebentar karena masih ada waktu selama tiga jam.Sudah dua jam telah berlalu dan Naira sudah terlihat sangat cantik dengan gaya rambutnya yang baru. Gaya rambut yang sangat pas untuk dipamerkan kepada semua orang ketika sampai di sekolah. Siapa yang
“Naira? Lo ngapain di pantai sendirian? Udah malam ini, Ra!” Teriak seorang gadis ke arahnya dengan sedikit berlari. Ia menghampiri gadis yang saat ini tengah duduk di pinggir pantai. Gadis itu mencoba mendekatinya karena dirinya sudah melamun sejak dua jam yang lalu, dengan penampilannya yang acak-acakan, gayanya yang sedikit tomboi, dan rambutnya yang diikat asal-asalan. “Lo kenapa, Ra?” tanya gadis itu setelah melihat mata merah Naira. “Gue—nggak apa-apa kok,” kata Naira dengan santai. Lalu ia berjalan meninggalkan Alisya yang sedang kebingungan melihat sikapnya. “Naira! Kalau ada masalah jangan di pendam, gue sahabat lo kan, Ra?” ujar Alisya. “Maaf, ngomong-ngomong kenapa lo ke sini?” tanya Naira dengan menghentikan langkahnya. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan. “Tadi gue ke rumah lo Naira! Cuma lo nggak ada, jadinya gue ke sini nyariin lo,” jelas Alisya. “Pulang yuk, Ra?” ajak Alisya yang dibala anggukan oleh Naira. Naira berjalan di samping sahabatnya dengan malas lalu m
Tiga puluh menit kemudian mereka telah sampai pada tempat tujuan. Mereka berdua bersekolah di SMK Kesehatan yang tempatnya berada di kota Jakarta. Mereka adalah siswi baru di sekolah ini. Ya, mereka masih kelas sepuluh SMK. Naira yang sedikit tomboi dan Alisya yang feminim itu menjadi pusat perhatian banyak siswa dan siswi di parkiran sekolah. Dengan gaya rambut Naira yang di cepol ke atas, berbeda dengan Alisya yang rambutnya dibiarkan terurai. Itu membuat Alisya tampak anggun. “Sya?” panggil Naira secara tiba-tiba setelah keluar dari mobil. “Apa Naira cantik?” jawabnya dengan sedikit menggoda. “Najis! Nggak jadi,” seru Naira. “Bercanda Naira, kenapa?” tanya Alisya dengan memiringkan kepalanya. “Tadi pagi ada temennya Abang gue telepon,” jelasnya dengan berjalan berdampingan menyusuri koridor. “Siapa? Pacar lo pasti,” ujar Alisya dengan menggodanya lagi. “Ck!” Naira berdecak lalu meninggalkan Alisya dan berjalan cepat setelah menemukan kelasnya. Ia langsung masuk ke dalam kela
“Neng? Di luar ada tamu yang nyariin, Neng,” ujar Bi Inah. “Malam-malam begini, Bi?” jawab Naira dengan sedikit rasa tidak percayanya. “Iya atuh, katanya sih pacarnya Neng Naira,” jelas Bi Inah. Naira yang mendengarnya pun langsung menutup buku yang sedang dibacanya. Ia segera bangkit dari duduknya dan mencari tahu siapa yang mencarinya malam-malam seperti ini. Padahal saat ini sudah pukul sebelas malam. Siapa yang berani bertamu malam-malam seperti ini. Sangat tidak sopan, bukan? Naira sudah sampai di lantai satu dan segera membuka pintu rumahnya. Terlihat jelas ada seorang lelaki yang tengah berdiri di depan sana. Namun, Naira hanya mampu melihat punggungnya saja. “Ada yang bisa saya bantu, Mas?” ucap Naira dengan sopan. Alhasil membuat lelaki itu langsung menoleh ke arah Naira dengan melambaikan tangannya. “Gibran? Tahu dari mana alamat gue?” tanya Naira dengan penuh penasaran. “Mau tahu aja atau mau tahu banget?” tanyanya kembali dengan kedua tangannya yang dilipat. Naira l