Tiga puluh menit kemudian mereka telah sampai pada tempat tujuan. Mereka berdua bersekolah di SMK Kesehatan yang tempatnya berada di kota Jakarta. Mereka adalah siswi baru di sekolah ini. Ya, mereka masih kelas sepuluh SMK.
Naira yang sedikit tomboi dan Alisya yang feminim itu menjadi pusat perhatian banyak siswa dan siswi di parkiran sekolah. Dengan gaya rambut Naira yang di cepol ke atas, berbeda dengan Alisya yang rambutnya dibiarkan terurai. Itu membuat Alisya tampak anggun.
“Sya?” panggil Naira secara tiba-tiba setelah keluar dari mobil.
“Apa Naira cantik?” jawabnya dengan sedikit menggoda.
“Najis! Nggak jadi,” seru Naira.
“Bercanda Naira, kenapa?” tanya Alisya dengan memiringkan kepalanya.
“Tadi pagi ada temennya Abang gue telepon,” jelasnya dengan berjalan berdampingan menyusuri koridor.
“Siapa? Pacar lo pasti,” ujar Alisya dengan menggodanya lagi.
“Ck!” Naira berdecak lalu meninggalkan Alisya dan berjalan cepat setelah menemukan kelasnya. Ia langsung masuk ke dalam kelas tanpa menghiraukan Alisya.
“Naira! Jangan tinggalin gue dong, gue kan nggak bisa hidup tanpa lo!” teriak Alisya dengan nada yang sok puitis.
Alisya mengikuti langkah Naira yang masuk ke dalam kelas dan segera duduk di samping Naira.
“Berisik lo!” umpat Naira yang berhasil membuat Alisya langsung terdiam.
“Maaf,” rayu Alisya dengan matanya yang dikedipkan berkali-kali.
“Apa sih, Sya! Jijik gue,” lirih Naira.
“Maaf!” teriak Alisya.
“Awas gitu lagi.”
“Iya, Naira, tadi siapa yang telepon?”
“Teman Abang gue, tapi gue nggak tahu dia siapa.”
“Kok bisa dapatin nomor lo sih, Ra?” tanya Alisya penasaran.
“Wah, jangan-jangan itu cowok suka sama lo, Ra?” Tambahnya lagi sebelum Naira menjawab pertanyaan yang sebelumnya.
“Bisa diam dulu nggak, Sya? Gue belum jawab yang tadi,” ucap Naira dengan tersenyum jahat.
Alisya yang melihatnya pun ketakutan dan hanya mampu menggunakan tangan untuk mengunci mulutnya. Naira yang melihat tingkahnya menaikkan salah satu alisnya bingung.
“Jadi—gue nggak tahu dia dapat nomer gue dari mana,” jelas Naira.
“Hmm,” jawab Alisnya singkat.
“Dan nggak mungkin juga dia suka sama gue, kenal aja nggak!”
“Hmm,” jawab Alisya dengan mengangguk-angguk seolah mengerti.
“Anaknya master limbad lo?” umpat Naira kesal.
Alisya menjawab pertanyaan Naira dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Gue dari tadi ngomong panjang lebar dan lo cuma jawab hmm aja? Bagus!” protes Naira.
“Hmm, hmm,” Alisya menunjuk bibirnya dengan jari telunjuk yang sebelumnya sudah ia kunci menggunakan tangannya sendiri.
“Ah! Udah lah, bisa gila gue punya teman kayak lo,” jawab Naira dengan nada sedikit frustasi karena melihat sahabatnya yang aneh.
“Gimana sih, Ra? Tadi gue disuruh diam, sekarang malah—”
Belum sempat Alisya meneruskan kalimatnya karena tangan Naira yang sudah membungkam mulut Alisya terlebih dahulu menggunakan tisu yang ada di loker meja.
Tidak lama setelahnya ada seorang guru wanita yang masuk ke dalam kelas untuk segera memulai pelajaran pertamanya. Naira yang melihatnya pun membenarkan posisi duduknya. Berbeda dengan Alisya yang masih sibuk dengan tisu yang berada di dalam mulut.
***
Jam pelajaran sudah selesai dari lima belas menit yang lalu, mereka memutuskan untuk pergi ke kantin bersama. Alisya yang berada di samping Naira merasa canggung karena didiamkan sejak tadi oleh Naira.
“Mang? Siomay sama es teh manisnya satu, ya!” teriak Naira ke salah satu penjual di dalam kantin.
Alisya langsung menoleh ke arah Naira dengan kebingungan. Kenapa Naira hanya memesan satu menu? Padahal dirinya berada tepat di depan Naira.
“Siap atuh, Neng!” balas Mang Adi penuh semangat. Ia adalah penjual siomay yang ada di kantin sekolah.
“Kok satu sih bego! Kan dua seharusnya, Ra!” protes Alisya.
“Berisik! Pesan aja sendiri,” jawab Naira ketus.
“Mang! Tadi siomay sama es teh manisnya dua ya!” teriak Alisya pada Mang Adi.
“Siap, neng geulis,” jawab lagi Mang Adi dengan logat sundanya.
“Naira?” panggil Alisya.
“Hmm,” balas Naira.
“Lo marah sama gue?” tanya Alisya padanya.
Naira hanya melirik ke arah Alisya sebentar lalu melihat ke arah lain. Alisya yang merasa bersalah pun mencoba mencairkan suasana.
“Gue minta maaf deh, nggak akan gitu lagi, Ra,” ujarnya dengan memohon.
“Dimaafin,” jawab Naira.
“Tapi—kalau gue gitu lagi nanti minta maaf lagi kok, Ra,” balasnya lagi dengan memasang wajah sok polos.
Naira melirik tajam ke arah Alisya setelah mendengar jawabannya yang tidak menyenangkan. Alisya yang menyadari malah tersenyum tanpa memiliki rasa bersalah sedikit pun.
Sepuluh menit setelahnya, Mang Adi mendekat dengan membawa nampan yang berisi pesanan yang tadinya dibeli oleh mereka berdua.
“Makasih, Mang!” jawab mereka serentak.
“Sama-sama, Neng,” balas Mang Adi.
Naira langsung menyantap makanannya dengan lahap. Gadis itu sangat lapar karena tadi pagi tidak sarapan ketika berangkat ke sekolah.
Di samping itu, Alisya malah asik melihat cowok di meja sebelah. Ia adalah cowok paling keren yang berada di sekolahnya.
“Astaga, ganteng banget,” gumam Alisya yang membuat Naira menghentikan aktivitasnya.
“Kalau ada yang ganteng aja mata lo hijau!” seru Naira.
“Emang ganteng kok, tuh lihat!”
Alisya menolehkan kepala Naira dengan kedua tangannya yang jahil sehingga Naira menoleh ke arah lelaki itu. Dan tanpa sengaja mata mereka bertabrakan. Ya, lelaki itu menatap mata Naira, begitu juga sebaliknya.
“A...Apaan sih lo, Sya!” ujar Naira sedikit grogi setelah menatap matanya.
“Gimana, Ra? Ganteng, kan? Dia itu kakak kelas kita lho, gosipnya sih paling populer di sekolah ini,” bisik Alisya dengan menaik-turunkan alisnya.
Naira yang mendengar penjelasan sahabatnya itu terdiam sejenak. Bagaimana mungkin Alisya sudah tahu gosip-gosip yang beredar di dalam sekolah ini. Padahal dirinya baru saja masuk. Sungguh aneh memang sosok Alisya.
“Nggak! biasa aja,” balas Naira ketus.
“Tapi kok—sampai grogi gitu barusan?” Alisya menggodanya.
Naira yang mendengar celoteh sahabatnya langsung tersedak ketika makan. Alisya yang menyadari langsung merasa bersalah karena membuatnya tersedak. Ia hendak menyodorkan minuman pada Naira.
“Sya? Lo udah gil—” umpat Naira setelah selesai menyesap minumnya.
Naira belum sempat melanjutkan ucapannya karena terkejut. Ia sempat tidak percaya bahwa kenyataannya bukan Alisya yang memberikannya minuman. Melainkan lelaki yang duduk di samping mejanya tadi.
“Sama-sama?” sindir lelaki itu dengan senyum yang manis karena lesung pipitnya.
Naira yang melihatnya pun ikut tersenyum dan salah tingkah dibuatnya.
“Ehem!” Alisya berdeham karena sempat diabaikan begitu saja oleh mereka.
“Kenalin, Kak! Namaku Alisya Intika Putri, panggil aja Alisya, tapi kalau mau panggil sayang juga boleh kok, hehe.”
Ucapan Alisya terdengar sangat genit tanpa memiliki rasa malu sedikit pun, sehingga membuat Naira geram ingin melempari wajahnya dengan sedotan plastik.
“Gue Gibran Alandra, panggil aja Gibran,” balasnya.
Kriinngg!
Tiba-tiba suara bel masuk sudah terdengar.
“Ya udah, gue masuk kelas dulu, ya?” ucap Gibran yang kemudian berjalan menjauh.
“Gibran?” panggil Naira yang membuat langkahnya terhenti.
“Iya?” jawabnya sopan setelah menoleh ke arah Naira.
“Makasih,” ujar Naira.
“Makasih kembali, kembaliannya buat lo aja. Daah!” jawabnya dengan melambaikan tangan dan berjalan meninggalkan mereka berdua.
Naira dan Alisya segera menghabiskan makanannya dengan segera karena bel masuk sudah berbunyi.
Alisya menatap Naira dengan tersenyum licik dan berkata, “Ra? Ganteng, kan? Lo mau nggak kalau sama Kak Gibran? Haha!”
Plak!
Naira memukul kepala Alisya dengan pelan setelah mendengar tawa Alisya yang mengganggu aktivitas makannya. Sehingga Alisya langsung memegang kepalanya dengan bibir yang cemberut.
“Kalau gue jadi lo nih, Ra, gue mau sama Kak Gibran. Apalagi Kak Gibran itu ganteng terus badannya lo nggak lihat barusan, Ra? Astaga, nggak terbayang kalau seragamnya dibuka pasti banyak roti sobeknya.”
Naira tetap melanjutkan makannya dan tidak menghiraukan Alisya yang mengoceh mulai dari A hingga Z. Maklum, sejak dahulu Alisya anak yang sangat berisik.
***
Alisya berlari dengan sesekali berhenti untuk mencari Naira. Ia kelelahan karena Naira sudah meninggalkan kelas dan dirinya sejak lima menit yang lalu.
Gadis itu berteriak dengan lantang memanggil nama Naira, sehingga yang dipanggilnya pun menghentikan langkahnya.
Brak!
Naira langsung mendelik dan dengan sigap menoleh ke belakang. Ia khawatir Alisya kenapa-kenapa. Tetapi, ia hanya mendapati badan Gibran yang sudah berdiri tepat di belakangnya.
Dan suara tadi adalah ulah Alisya yang menabrak punggung Gibran dengan keras karena berlari. Alhasil buku yang dibawa Alisya pun terjatuh ke tanah.
“Boleh minta nomor kamu?” tanya Gibran dengan wajah yang datar.
“B...Boleh, ketik aja nomor lo.”
Naira memberikan ponselnya pada Gibran dengan grogi. Gibran pun langsung meraih ponsel Naira dan mengetik nomornya. Tidak lupa juga dirinya menelpon nomornya sendiri agar mengetahui nomor Naira dengan segera.
Lalu, Gibran berbalik badan untuk membantu Alisya berdiri. Alisya pun dengan senang hati mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Gibran.
Tetapi, tangan Gibran tidak ingin menyentuh tangan Alisya dan segera pergi begitu saja dengan senyum yang terlihat sangat angkuh.
“Kok— Kok gue diabaikan gitu aja sih, Kak? Ih, nyebelin banget sih!”
Alisya terus-menerus mengumpat karena kesal. Berbeda dengan Naira, ia malah tertawa setelah melihat sahabatnya yang diabaikan oleh lelaki yang tadinya dipuji setengah mati oleh Alisya.
“Gimana, Sya? Rasanya diabaikan sama cowok populer di sekolah ini, hm?” tanya Naira dengan sesekali terkekeh. Alisya makin kesal karena ucapan Naira terkesan menyindir dirinya.
“Bantuin bangun, Naira!” teriak Alisya. Naira segera mengulurkan tangannya dan menarik Alisya. Ibarat kata pepatah yang mengatakan, sudah jatuh tertimpa tangga. Hehe.
“Ngapain dia tadi?” tanya Alisya.
“Minta nomor gue, terus nomornya langsung gue blokir.”
“Hah? Udah stres ya lo? Nomor langkah itu, Naira!” umpat Alisya kesal karena kebodohan Naira. Naira pun hanya membalas dengan mengedikkan bahunya saja seolah acuh tak acuh.
***
Setelah setengah jam berlalu, akhirnya mereka sampai pada rumah Naira. Alisya segera memasukkan mobilnya setelah gerbang sudah dibuka oleh Pak satpam yang bekerja di rumah Naira.
Alisya tersenyum dengan ramah dan berkata, “Terima kasih, Pak.”
“Lo langsung pulang ata—” tanya Naira.
“Gue mau mampir ke rumah lo!” potong Alisya dengan ketus.
Naira yang mendengarkannya pun terkejut. Mungkin Alisya masih kesal karena tadi ditertawakan olehnya.
“Masih marah lo sama gue?” tanya Naira setelah membuka pintu mobil.
Alisya diam tidak menghiraukan pertanyaan. Ia berjalan memasuki rumah Naira dengan santainya. Sangat aneh, bukan? Padahal yang memiliki rumah belum masuk.
“Maaf, Sya! Nomor dia yang gue blokir kenapa lo yang sewot sih!” teriak Naira.
Ia mengikuti langkah kaki Alisya dan masuk ke dalam rumah. Naira mendapati Alisya yang sudah duduk di kursi tamu dengan Bi Inah yang sudah dipanggil sebelumnya.
“Tolong buatkan jus mangga dong, Bi,” ujarnya dengan memerintah Bi Inah.
Naira hanya terdiam dengan berkacak pinggang melihat perilaku sahabatnya. Setelah itu Naira duduk di samping Alisya dengan melihat wajahnya yang sudah sangat bad mood sekali.
“Masih marah, ya?” tanya Naira.
“Iya marah karena lo bego!”
“Astaga, jutek banget sih cantik.”
Naira menggoda Alisya dengan menowel dagunya. Alisya langsung menepis dan menjauh dari Naira yang malah memperburuk suasana hatinya.
“Maafin nggak?” tanya Naira lagi.
“Iya, iya dimaafin.”
Naira yang mendengar dirinya sudah dimaafkan pun langsung memeluk Alisya dengan gemas. Setelah itu Naira berjalan ke kamar untuk membersihkan tubuhnya di kamar mandi.
Bersambung...
“Neng? Di luar ada tamu yang nyariin, Neng,” ujar Bi Inah. “Malam-malam begini, Bi?” jawab Naira dengan sedikit rasa tidak percayanya. “Iya atuh, katanya sih pacarnya Neng Naira,” jelas Bi Inah. Naira yang mendengarnya pun langsung menutup buku yang sedang dibacanya. Ia segera bangkit dari duduknya dan mencari tahu siapa yang mencarinya malam-malam seperti ini. Padahal saat ini sudah pukul sebelas malam. Siapa yang berani bertamu malam-malam seperti ini. Sangat tidak sopan, bukan? Naira sudah sampai di lantai satu dan segera membuka pintu rumahnya. Terlihat jelas ada seorang lelaki yang tengah berdiri di depan sana. Namun, Naira hanya mampu melihat punggungnya saja. “Ada yang bisa saya bantu, Mas?” ucap Naira dengan sopan. Alhasil membuat lelaki itu langsung menoleh ke arah Naira dengan melambaikan tangannya. “Gibran? Tahu dari mana alamat gue?” tanya Naira dengan penuh penasaran. “Mau tahu aja atau mau tahu banget?” tanyanya kembali dengan kedua tangannya yang dilipat. Naira l
Suara bel berbunyi, menandakan jam pelajaran telah selesai. Bunyi yang sangat dinanti-nantikan oleh seluruh siswa. Ada juga yang menganggap suara bel pulang merupakan bunyi yang menandakan bahwa pintu surga kebebasan telah tiba. Siswa-siswi yang mendengarkannya pun bersorak dengan senang dan segera merapikan peralatan menulisnya ke dalam tas mereka masing-masing. Berbeda dengan Naira, ia justru memilih tertidur di jam terakhir pelajaran. Khawatir ditegur oleh guru yang mengajar saat itu, ia sudah memilih pindah tempat ke bangku yang paling belakang. “Ra?” panggil Alisya. Gadis itu mengguncangkan pelan tubuh Naira. Naira yang tidak suka diganggu tidurnya pun mendorong Alisya agar menjauh darinya. Alhasil, hampir saja Alisya terjatuh dari kursinya. “Naira?” panggil Alisya dengan cemas. Alisya bingung harus dengan cara apa lagi agar sahabatnya yang tertidur ini segera bangun. Ia mengetuk dagunya dengan jari telunjuk seraya berpikir dan mencari cara sehingga menemukan sebuah ide. “R
Setelah sampai di depan rumah Naira. Gibran segera ke luar untuk membukakan pintu samping. Naira yang melihat aksinya pun tersenyum dengan sedikit merasa malu. Gadis itu merasa diistimewakan karena tindakan Gibran. “Silakan ke luar, Tuan putri,” ujar Gibran dengan gayanya mempersilakan. “Terima kasih! Pangeran—tapi bohong!” sahut Naira dengan ketus. Gibran yang mendengar merasa sedikit kesal karena awalnya dipanggil pangeran oleh Naira lalu tidak jadi. “Pulang, ah!” sindir Gibran. “Iya, sana pulang.” “Hati-hati?” sindir Gibran pada Naira. “Hati-hati di jalan,” balas Naira yang mengerti. Gibran segera berjalan masuk ke dalam mobilnya. “Naira!” teriak Gibran dari dalam mobil. Naira menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke sumber suara. Ia berkata, “Apa?” “Ketemu lagi besok!” Gibran melambaikan tangannya dengan menunggu agar Naira masuk ke dalam rumah. Kriinngg! Kriingg! Ponsel Gibran berdering saat dirinya baru saja ingin menyalakan mesin mobilnya. Terpampang jelas nama 'B
Malam ini sudah pukul 23.30 WIB. Dirga telah pulang dari kantornya. Ia berjalan menuju kamar dan segera membersihkan tubuhnya agar terasa lebih fresh.Berbeda dengan Naira dan Alisya, mereka belum juga tertidur. Tetapi sedang bertengkar karena Alisya yang tidak terima karena dituduh seperti ikan buntal oleh Naira.“Nyebelin lo!” teriak Alisya dengan melemparkan bantal ke wajah Naira.“Jangan sentuh bantal gue, nanti bau comberan lagi, ah!” canda Alisya.Alisya yang dituduh pun kesal karena dirinya sudah berusaha sewangi mungkin malah disamakan dengan air comberan. Gadis itu duduk di pinggir kasur Naira dengan mengembangkan kedua pipinya.“Tuh kan mirip ikan buntal, haha!” Naira menyindir setelah melihat wajah Alisya yang sedang cemberut dengan bibirnya yang manyun.“Sewot banget sih netijen!” murka Alisya. Naira yang berhasil membuat sahabatnya merasa kesal pun tertawa penuh kemenangan.“Ketawa lo palsu, Naira!” kata Alisya dengan lantang dan tajam.Naira yang mendengar ucapan dari sah
Pagi yang cerah di hari Minggu. Jam sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB dengan seorang gadis yang masih terlelap dalam mimpinya. Ia memang juaranya dalam masalah tidur. Bahkan Dirga telah membangunkannya sejak pukul 06.00 WIB dan sampai sekarang pun belum juga terbangun dari tidurnya. “Bangun! Atau gue dobrak ini pintu!” Dirga berteriak dengan lantang dan mengancam. Sejak tadi ia sudah membangunkan adiknya dengan cara apapun tapi tidak juga berhasil. Ia terdiam sebentar menyesap secangkir kopi yang tengah digenggamnya lalu duduk di kursi yang berada di pinggir pintu kamar Naira. Bip! Bip! Suara ponsel Naira berbunyi terus sejak semalam tanpa henti. Bahkan hingga saat ini ia belum juga mengecek siapa yang mengirimkan pesan sebanyak itu. Ia terlihat tidak perduli dengan siapa yang mengirimkan pesan. Ia merasa muak dengan semuanya. “Neng!” teriak Dirga lagi. “Gue dobrak di hitungan ketiga!” ancam Dirga. “Satu, Dua....” Dirga mulai menghitung. “Tig—” Ceklek! Naira segera membuka p
Saat ini Gibran telah berada di rumah temannya, Farrel. Ia merebahkan tubuhnya dengan kasar lalu menatap langit kamar Farrel dengan tatapan yang kosong, ia kepikiran oleh kejadian tadi. “Kenapa lo, Bran?” tanya Farrel dengan tersenyum lebar. “Pusing gue” Gibran menjawab dengan membenarkan posisinya menjadi duduk. “Pusing? Minum oska—” Bugh! Gibran melempar guling ke wajah Farrel yang hendak menirukan iklan di televisi, sehingga Farrel tidak dapat melanjutkan ucapannya dan langsung terdiam. “Tapi yang satu ini pusingnya nggak bisa disembuhin pakai obat, Rel,” jelas Gibran. Gibran langsung mengacak lagi rambutnya. “Soal cewek?” tanya Farrel dan dibalas anggukan oleh Gibran. “Makannya, Bran, jangan kebanyakan cewek lo!” pungkas Farrel. “Gue nggak punya cewek, bego!” seru Gibran. Lelaki itu melirik tajam ke arah Farrel sehingga sahabatnya langsung terdiam. Ia hanya ingin mengalah pada Gibran yang lagi dipenuhi oleh rasa emosi, karena takut jika dirinya akan menjadi pelampiasan am
Sore ini Gibran sedang asik bercanda dengan adik perempuannya di ruang keluarga. Dengan memakai kaos bercorak army, celana jeans hitam, dan kalung perak dengan gantungan berbentuk salib yang menggantung di lehernya. Saat ini ia juga tengah mempersiapkan diri untuk menemui seorang wanita yang akan menjadi kekasihnya. Ya, lelaki itu akan menyatakan cintanya hari ini. Ia celingukan mencari ponselnya. Setelah mendapati ponselnya ia segera mengetik tombol nomor untuk menelpon seseorang. “Sudah disiapkan semua, Pak?” tanyanya pada seseorang itu. “Oh gitu, terima kasih,” ucapnya lagi dengan tersenyum lebar. Setelah itu Gibran berdiri karena ingin berpamitan dengan Kyra. Adiknya pun mengiyakan. Gibran mengacak rambut Kyra dan segera menuju garasi untuk memanasi mobilnya. Krinngg! Krinngg! Ponsel Gibran berdering, terpampang sebuah nama dari sahabatnya, yaitu Farrel. Akan tetapi, Gibran tidak mengangkat teleponnya karena sedang mengendarai mobil, ia tidak ingin kejadian yang tidak seharu
Malam ini sudah tepat pukul setengah tujuh. Naira juga sudah selesai mempersiapkan dirinya dengan rapi, tapi masih dengan gayanya yang tomboi dan terkesan modis. Ia mengenakan kemeja berwarna abu-abu dengan celana jeans hitam. Kali ini Naira membiarkan rambutnya terurai dan tidak menggulungnya seperti biasa. Krinngg! Krinngg! Ponsel Naira berdering. Ia segera mengecek siapa yang menelponnya. Gadis itu dengan sigap mengangkat ponselnya dengan berkata, “Halo?” “Gue ke rumah lo ya, Ra? Gue bosan ini di rumah terus.” “Ah! Gue pikir siapa tadi yang nelpon gue, ternyata cuma salah sambung,” ucap Naira dengan ngasal. Karena dipikirnya Gibran yang menelponnya tadi. Ternyata hanya Alisya yang sedang gabut ingin pergi ke rumahnya. “Heh! Salah sambung apaan! Jangan ngada-ngada deh, Ra!” protes Alisya yang dituduh salah menelpon. Naira langsung tertawa setelah mendengar Alisya yang kesal. “Jangan! Gue mau ke luar soalnya, Sya,” jelas Naira. “Jangan bilang ke luar sama si cowok gila itu?”