Bersambung...
Dirga menunggu kedatangan ajudannya dengan sesekali mengecek pekerjaan yang kebetulan belum juga selesai sejak seharian ini. Padahal sekarang sudah pukul 22.00 WIB. Terlebih lagi dengan adiknya, si Naira belum juga pulang ke rumah. Ke mana kira-kira Naira saat ini? Padahal sekarang sudah malam. Pikiran Dirga mulai berkecamuk dengan hal-hal negatif mendatangi satu demi satu di dalam kepalanya.“Permisi, Pak?” ujar Pak Bimo yang membuat Dirga terkejut.“Bapak tahu di mana Adik saya?” tanya Dirga lalu berdiri.“Mbak Naira sedang di danau, Pak Dirga,” jelas Pak Bimo.Tanpa rasa berterima kasih, Dirga segera bergegas berjalan ke luar ruangan dan mengambil motornya. Ia segera melajukan motornya untuk mencari keberadaan Naira. Kenapa adiknya berdiam di tepi danau? Padahal tadi Naira sedang ke luar dengan Gibran. Dirga mulai pusing memikirkan kejadian yang menurutnya terasa jangkal ini, dengan segera ia menelpon ajudannya untuk
“Naira!”Alisya berlari menghampiri Naira dengan berteriak heboh sehingga suaranya yang melengking terdengar seantreo koridor. Naira yang melihat tindakannya pun menghentikan langkah kakinya lalu melihat perilaku Alisya yang sangat tidak wajar. Padahal sekarang masih pagi dan ia malah berteriak sehingga membuat setiap siswa-siswi refleks menutup telinganya dengan sigap dan rapat. Naira tersenyum simpul melihat Alisya yang ditertawakan.“Sialan! Semerdu itu suara gue, Ra?” tanya Alisya dengan percada dirinya. Namun, ia tidak mendapatkan jawaban malah mendapati Naira yang tertawa terbahak-bahak. “Ah! Lo sama aja kayak mereka,” ujar Alisya dengan kesal. Ia berjalan meninggalkan Naira yang masih tertawa terbahak-bahak.“Iya, Sya! Merdu banget parah, sampai gendang telinga gue goyang,” pungkas Naira.“Tenang, Ra! Anda tidak perlu khawatir tentang itu, kalau nggak ada gendang bisa lo ganti sama ketipung,&rdq
Hari demi hari sudah banyak yang terlewati. Hari ini, sudah dua minggu setelah ujian dilaksanakan. Seluruh siswa bersorak senang setelah berhasil melewatinya. Begitu pula dengan Naira, ia menampakkan senyumnya yang menawan. Berbeda dengan Alisya yang tengah menaiki kursi dengan berteriak sangat heboh. Ada-ada saja sifatnya yang memalukan itu. Naira hanya menggelengkan kepalanya pelan melihat tingkah sahabatnya.Tiba-tiba saja Naira terdiam sehingga senyumnya memudar. Ia menyangga kepalanya dengan pikiran yang berkecamuk. Karena sudah dua minggu ia tidak mendapatkan kabar dari sahabatnya yang lain, yaitu Gibran Alandra. Mungkin saja Gibran sedang sibuk dengan ujiannya atau memang sengaja melupakan Naira dan bermesraan dengan Hanum pacar barunya. “Arrgghh! Ini namanya cemburu, Nai!” Gadis itu bergumam dalam hati dengan mengacak rambutnya gusar.“Ra? Ra? Setelah ini kita ke mall, yuk?” ucap Alisya dengan mata yang berbinar. Naira bukannya
Ponsel Gibran berdering di atas nakas, dengan malas ia meraih ponselnya dan mengecek siapa yang menelpon di saat dirinya sedang santai seperti ini. Terlihat jelas nomor seorang wanita yang kebetulan sedang dibicarakan oleh Gibran dan Farrel. Ia adalah Hanum Aini.“Tuh kan, gue bilang apa? Pasti dia nyariin gue,” kata Gibran pada Farrel dengan tersenyum simpul. Ia segera mengangkat telepon dan berkata, “Halo?”“Temuin aku di caffetaria sekarang juga!” cetus gadis itu dengan singkat lalu mematikan sambungan teleponnya sepihak. Gibran yang bingung segera mengecek kembali ponselnya, ia mengerutkan keningnya bingung, mengapa Hanum tiba-tiba mengajaknya ketemu? Padahal biasanya kalau ia rindu akan segera ke rumahnya untuk menemui.“Kenapa lo tiba-tiba diam?” tanya Farrel setelah mendapati sahabatnya terdiam mematung. Gibran tidak memperdulikan Farrel dan langsung menghabiskan semangkuk serealnya dengan cepat. Ia
Dirga bersantai di ruang keluarga dengan menonton berita di televisi. Padahal bel rumahnya sudah berbunyi untuk yang ketiga kalinya, ia merasa sangat terganggu oleh bel yang terdengar terus menerus tanpa jeda sedikit pun. Ia menutup telinganya dengan bantal dan fokus lagi ke acara berita di televisi. Tetapi, bel rumahnya masih juga mengganggu aktivitasnya malam ini."Bi Inah! Tolong buka pintunya, Bi, ada tamu!" panggil Dirga dengan berteriak. Namun, Dirga tidak mendengar suara sahutan dari Bi Inah sejak Dirga memanggil namanya selma beberapa kali. Padahal biasanya Bi Inah akan segera datang ketika Dirga meminta bantuannya. Ke mana perginya Bi Inah malam-malam seperti ini."Bibi?" panggilnya lagi dengan mengerutkan keningnya."Astaga, berisik ah!" umpatnya yang kesal sembari mengacak rambutnya gusar. Dirga terpaksa berdiri dan meninggalkan aktivitasnya, karena ia juga ingin tahu siapa yang sudah memencet bel dengan cara yang sangat tidak sopan."Udah! Bia
"Woi, Ra! Cepetan bangun!" Alisya mengetuk pintu kamar Naira dengan kasar dan secara berulang. Sengaja Alisya melakukan itu semua karena sahabatnya sangat susah untuk dibangunkan. "Si bego ngapain sih, ah!" cetus Naira yang kesal karena Alisya sangat berisik. Padahal saat ini sekolah mereka libur karena para guru tengah sibuk mempersiapkan ujian praktik untuk besok pagi."Ra! Lo harus bangun dan buka ini pintu!" teriak Alisya lagi."Pergi aja lo! Ganggu gue aja!" teriak Naira dengan menutup telinganya mengunakan guling yang ada di sampingnya. "Eh, cewek tomboi! Gue punya kabar buruk ini buat lo, yakin lo nggak mau tahu?" Alisya mencoba merayunya. Namun, Naira tidak terbangun juga untuk membuka pintunya."Alah! Paling juga gosip yang nggak bermutu!" cetus Naira lagi."Ini tentang Gibran, Naira!"Ceklek!Naira langsung sigap membuka pintunya setelah mendengar nama lelaki yang disayangnya. "Ya elah! Kalau nama Gibran aja langs
Pagi ini Naira sudah terlihat dengan seragam yang dikenakannya secara rapi. Ia menenteng tas sekolah dan tas kecil berbentuk persegi, isinya adalah alat-alat yang akan digunakan untuk praktik nanti. Akan tetapi, botol spesimen-nya masih kosong karena ia lupa belum membeli sperm yang akan digunakan untuk ujian praktik. Ah, kenapa sahabatnya tidak menelponnya semalam? Harapannya hanya pada Alisya pagi ini. Ia mondar-mandir tidak jelas karena merasa sangat cemas."Neng? Ayo sarapan dulu," kata Dirga sembari menyiapkan sarapan."Siap!" jawabnya dengan tersenyum lebar. Naira meraih piring yang di suguhkan oleh kakaknya. Ia meletakkan tasnya sembarangan dan duduk di kursi untuk makan. Sebentar, suara siapa yang berlari itu?"Gue ikutan dong!" Ternyata Alisya yang berlari dengan berteriak menuju meja makan. Kenapa ia tidak makan di rumahnya saja? Kenapa harus di rumahnya Naira? Oh mungkin ia tidak dapat jatah makan dari maminya tercinta, karena mengha
Naira telah sampai pada rumah sakit yang tempatnya berada di kota Jakarta. Ia segera memarkirkan motor dan melepas helmnya. Ia juga menggulung rambutnya ke atas agar terlihat rapi, karena Naira tidak suka ketika rambutnya terurai. Gadis itu berjalan dengan sesekali berlari memasuki rumah sakit."Suster? Saya mau nanya dong?” tanya Naira dengan sopan pada seorang suster yang kebetulan sedang melintas. Suster yang mendengar segera menoleh dan berkata, “Iya, Mbak?“Di sini ada pasien atas nama Gibran Alandra nggak, Sus?”“Oh, pasien yang kakinya patah itu, ya? Ada di ruangan VIP lantai delapan kamar nomor tiga," jelasnya pada Naira. Naira yang mendengarnya pun refleks terkejut, karena baru saja suster itu mengatakan kalau kaki Gibran patah. Ia terdiam sejenak lalu berkata, “M...Makasih, Suster.” Suster itu tersenyum dan pegi meninggalkan Naira yang masih berdiri mematung.Naira segera berlari menyusuri rumah sakit un