“Naira!”
Alisya berlari menghampiri Naira dengan berteriak heboh sehingga suaranya yang melengking terdengar seantreo koridor. Naira yang melihat tindakannya pun menghentikan langkah kakinya lalu melihat perilaku Alisya yang sangat tidak wajar. Padahal sekarang masih pagi dan ia malah berteriak sehingga membuat setiap siswa-siswi refleks menutup telinganya dengan sigap dan rapat. Naira tersenyum simpul melihat Alisya yang ditertawakan.
“Sialan! Semerdu itu suara gue, Ra?” tanya Alisya dengan percada dirinya. Namun, ia tidak mendapatkan jawaban malah mendapati Naira yang tertawa terbahak-bahak. “Ah! Lo sama aja kayak mereka,” ujar Alisya dengan kesal. Ia berjalan meninggalkan Naira yang masih tertawa terbahak-bahak.
“Iya, Sya! Merdu banget parah, sampai gendang telinga gue goyang,” pungkas Naira.
“Tenang, Ra! Anda tidak perlu khawatir tentang itu, kalau nggak ada gendang bisa lo ganti sama ketipung,&rdq
Bersambung...
Hari demi hari sudah banyak yang terlewati. Hari ini, sudah dua minggu setelah ujian dilaksanakan. Seluruh siswa bersorak senang setelah berhasil melewatinya. Begitu pula dengan Naira, ia menampakkan senyumnya yang menawan. Berbeda dengan Alisya yang tengah menaiki kursi dengan berteriak sangat heboh. Ada-ada saja sifatnya yang memalukan itu. Naira hanya menggelengkan kepalanya pelan melihat tingkah sahabatnya.Tiba-tiba saja Naira terdiam sehingga senyumnya memudar. Ia menyangga kepalanya dengan pikiran yang berkecamuk. Karena sudah dua minggu ia tidak mendapatkan kabar dari sahabatnya yang lain, yaitu Gibran Alandra. Mungkin saja Gibran sedang sibuk dengan ujiannya atau memang sengaja melupakan Naira dan bermesraan dengan Hanum pacar barunya. “Arrgghh! Ini namanya cemburu, Nai!” Gadis itu bergumam dalam hati dengan mengacak rambutnya gusar.“Ra? Ra? Setelah ini kita ke mall, yuk?” ucap Alisya dengan mata yang berbinar. Naira bukannya
Ponsel Gibran berdering di atas nakas, dengan malas ia meraih ponselnya dan mengecek siapa yang menelpon di saat dirinya sedang santai seperti ini. Terlihat jelas nomor seorang wanita yang kebetulan sedang dibicarakan oleh Gibran dan Farrel. Ia adalah Hanum Aini.“Tuh kan, gue bilang apa? Pasti dia nyariin gue,” kata Gibran pada Farrel dengan tersenyum simpul. Ia segera mengangkat telepon dan berkata, “Halo?”“Temuin aku di caffetaria sekarang juga!” cetus gadis itu dengan singkat lalu mematikan sambungan teleponnya sepihak. Gibran yang bingung segera mengecek kembali ponselnya, ia mengerutkan keningnya bingung, mengapa Hanum tiba-tiba mengajaknya ketemu? Padahal biasanya kalau ia rindu akan segera ke rumahnya untuk menemui.“Kenapa lo tiba-tiba diam?” tanya Farrel setelah mendapati sahabatnya terdiam mematung. Gibran tidak memperdulikan Farrel dan langsung menghabiskan semangkuk serealnya dengan cepat. Ia
Dirga bersantai di ruang keluarga dengan menonton berita di televisi. Padahal bel rumahnya sudah berbunyi untuk yang ketiga kalinya, ia merasa sangat terganggu oleh bel yang terdengar terus menerus tanpa jeda sedikit pun. Ia menutup telinganya dengan bantal dan fokus lagi ke acara berita di televisi. Tetapi, bel rumahnya masih juga mengganggu aktivitasnya malam ini."Bi Inah! Tolong buka pintunya, Bi, ada tamu!" panggil Dirga dengan berteriak. Namun, Dirga tidak mendengar suara sahutan dari Bi Inah sejak Dirga memanggil namanya selma beberapa kali. Padahal biasanya Bi Inah akan segera datang ketika Dirga meminta bantuannya. Ke mana perginya Bi Inah malam-malam seperti ini."Bibi?" panggilnya lagi dengan mengerutkan keningnya."Astaga, berisik ah!" umpatnya yang kesal sembari mengacak rambutnya gusar. Dirga terpaksa berdiri dan meninggalkan aktivitasnya, karena ia juga ingin tahu siapa yang sudah memencet bel dengan cara yang sangat tidak sopan."Udah! Bia
"Woi, Ra! Cepetan bangun!" Alisya mengetuk pintu kamar Naira dengan kasar dan secara berulang. Sengaja Alisya melakukan itu semua karena sahabatnya sangat susah untuk dibangunkan. "Si bego ngapain sih, ah!" cetus Naira yang kesal karena Alisya sangat berisik. Padahal saat ini sekolah mereka libur karena para guru tengah sibuk mempersiapkan ujian praktik untuk besok pagi."Ra! Lo harus bangun dan buka ini pintu!" teriak Alisya lagi."Pergi aja lo! Ganggu gue aja!" teriak Naira dengan menutup telinganya mengunakan guling yang ada di sampingnya. "Eh, cewek tomboi! Gue punya kabar buruk ini buat lo, yakin lo nggak mau tahu?" Alisya mencoba merayunya. Namun, Naira tidak terbangun juga untuk membuka pintunya."Alah! Paling juga gosip yang nggak bermutu!" cetus Naira lagi."Ini tentang Gibran, Naira!"Ceklek!Naira langsung sigap membuka pintunya setelah mendengar nama lelaki yang disayangnya. "Ya elah! Kalau nama Gibran aja langs
Pagi ini Naira sudah terlihat dengan seragam yang dikenakannya secara rapi. Ia menenteng tas sekolah dan tas kecil berbentuk persegi, isinya adalah alat-alat yang akan digunakan untuk praktik nanti. Akan tetapi, botol spesimen-nya masih kosong karena ia lupa belum membeli sperm yang akan digunakan untuk ujian praktik. Ah, kenapa sahabatnya tidak menelponnya semalam? Harapannya hanya pada Alisya pagi ini. Ia mondar-mandir tidak jelas karena merasa sangat cemas."Neng? Ayo sarapan dulu," kata Dirga sembari menyiapkan sarapan."Siap!" jawabnya dengan tersenyum lebar. Naira meraih piring yang di suguhkan oleh kakaknya. Ia meletakkan tasnya sembarangan dan duduk di kursi untuk makan. Sebentar, suara siapa yang berlari itu?"Gue ikutan dong!" Ternyata Alisya yang berlari dengan berteriak menuju meja makan. Kenapa ia tidak makan di rumahnya saja? Kenapa harus di rumahnya Naira? Oh mungkin ia tidak dapat jatah makan dari maminya tercinta, karena mengha
Naira telah sampai pada rumah sakit yang tempatnya berada di kota Jakarta. Ia segera memarkirkan motor dan melepas helmnya. Ia juga menggulung rambutnya ke atas agar terlihat rapi, karena Naira tidak suka ketika rambutnya terurai. Gadis itu berjalan dengan sesekali berlari memasuki rumah sakit."Suster? Saya mau nanya dong?” tanya Naira dengan sopan pada seorang suster yang kebetulan sedang melintas. Suster yang mendengar segera menoleh dan berkata, “Iya, Mbak?“Di sini ada pasien atas nama Gibran Alandra nggak, Sus?”“Oh, pasien yang kakinya patah itu, ya? Ada di ruangan VIP lantai delapan kamar nomor tiga," jelasnya pada Naira. Naira yang mendengarnya pun refleks terkejut, karena baru saja suster itu mengatakan kalau kaki Gibran patah. Ia terdiam sejenak lalu berkata, “M...Makasih, Suster.” Suster itu tersenyum dan pegi meninggalkan Naira yang masih berdiri mematung.Naira segera berlari menyusuri rumah sakit un
Pagi yang cerah dengan suasananya yang sangat sejuk. Ponsel Naira berbunyi di atas nakas berkali-kali sehingga aktivitas tidurnya terganggu. Naira langsung melirik ponselnya sekilas dan meraihnya dengan sesekali memejamkan matanya karena masih mengantuk. Kira-kira siapa seorang yang menelponnya di pagi buta seperti ini? Sangat menganggu acara tidurnya saja, pikir Naira.“Aku pergi dulu ya, Nai? Kamu jangan nangis, nanti jelek tahu!”Itulah isi pesan yang dikirim oleh Gibran Alandra pagi ini. Ya, yang diucapkan Gibran memang ada benarnya. Setelah pulang kemarin Naira menangis di dalam kamar hingga tertidur. Sekuat-kuatnya seseorang pasti akan menangis juga, bukan? Naira segera membelalakkan matanya setelah membaca pesan singkat itu.“Siapa juga yang nangis, bego!” balas Naira dengan berbohong.“Ih! Naira kasar banget sih sama pangeran kodok.” Naira langsung tersenyum geli setelah membaca pesannya, karen
Hai, Naira? Kamu apa kabar di sana?Aku kangen banget pengen bikin kamu kesel lagi.Aku juga pengen cerita banyak sama kamu, Nai.Maafin aku ya. Maaf karena sudah seminggu aku tidak ada kabar. Aku belum bisa pulang ke Indonesia. Oh iya, aku juga udah putus sama Hanum, soalnya dia selingkuhin aku, Nai. Tapi kamu tenang aja, aku nggak apa-apa kok di sini. Surat ini sengaja aku tulis buat kamu.Aku bosan, Nai, aku pengen ke Indonesia. Nanti malam aku mau bilang sama mama biar aku bisa kembali ke sana dan gangguin kamu lagi. Do’ain ya, Nai, semoga aku boleh pulang ke sana.Gimana kamu di sana? Udah punya gebetan? Haha. Kalau udah kamu cerita, ya? Aku siap dengarin semuanya kok. Jangan kelamaan jomblonya, Nai. Nanti kujodohin sama satpam sekolah mau? Haha.Salam rindu,Pangeran kodok yang ganteng seduniaItulah isi sur
Kedua gadis itu menyibukkan dirinya di salon. Naira yang tidak terbiasa pergi ke salon hanya mampu menurut oleh perkataan Alisya yang akan mengatur semuanya mulai dari gaun, make up, sampai gaya rambut yang sedang dikerjakan oleh pemilik salon. Alisya terlihat sangat akrab dengan pemilik salon itu, mungkin saja karena Alisya yang sering pergi ke sini dan menjadi pelanggan tetap.Pemilik salon itu sibuk memotong sedikit rambut Naira. Berbeda dengan Alisya yang sibuk menelpon seseorang. Saat Naira melirik Alisya melalui kaca, ia malah menatapnya dengan tersenyum licik. Entah apa yang sedang direncanakannya malam ini. Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB dan Naira sudah merasa lelah. Mungkin jika nanti rambutnya di creambath ia akan tertidur sebentar karena masih ada waktu selama tiga jam.Sudah dua jam telah berlalu dan Naira sudah terlihat sangat cantik dengan gaya rambutnya yang baru. Gaya rambut yang sangat pas untuk dipamerkan kepada semua orang ketika sampai di sekolah. Siapa yang
Hari yang sudah ditunggu-tunggu telah tiba. Ujian telah selesai dan waktunya para murid kelas 12-AKS bersantai di ruang kelasnya masing-masing. Seharian ini full dengan jam kosong. Mereka bertiga sibuk bermain kartu ‘Truth Or Dare’ dengan Alvalino yang saat ini sedang meneria tantangan dari Naira. Gadis itu menyuruh Alvalino menggunakan lipstiknya Alisya di kelopak mata dan juga bibirnya. Siapa pun murid yang melihat Alvalino seperti itu langsung tertawa terbahak-bahak. Karena wajahnya terlihat sangat cantik. Bahkan Alisya dan Naira kalah cantik sekarang. Sial, bisa-bisanya seorang lelaki mendahului kecantikan seorang gadis. Alisya melirik tajam ke arah Alvalino karena merasa iri dan gagal menjadi gadis cantik. “BATU, KERTAS, GUNTING!” Mereka semua serempak berteriak. Yang kalah sekarang adalah Naira lalu memilih ‘Dare.’ Saat gadis itu membuka kartu ia langsung mendelik karena di sana sudah tertulis ‘Peluk seseorang yang berada di sampin
Naira sedang bersantai di dekat kolam ikan dengan memejamkan matanya dan duduk di sebuah kursi. Hari ini sudah hari minggu dan ia merasa sangat bosan. Terlebih lagi ucapan dari papanya Gibran selalu mengganggu isi pikirannya. Hal itu membuat Naira sangat ingin tahu isi di dalam paket yang sedang dikirim padanya. Semoga saja bukan bom, pikir Naira. Suasana di pagi ini sangatlah mendukung dengan Naira yang sudah mandi tentunya. Hal yang sangat jarang terjadi ketika gadis itu mandi di hari libur, bukan? Yang merubahnya seperti ini adalah Gibran Alandra yang selalu menyuruhnya untuk mandi walaupun di hari libur sekali pun. Maka dari itu, Naira sudah terbiasa dengan yang namanya mandi pagi di saat hari libur. “Neng? Ayo sarapan dulu!” Kakak lelakinya berteriak dan selalu saja mengganggu ketenangan Naira. Gadis itu hanya terdiam sejenak lalu berkata, “Gue nanti aja, Bang!” Dirga langsung tidak berselera makan ketika mend
Seluruh murid tampak sibuk belajar di bangkunya masing-masing. Bahkan Naira yang tak ingin kalah pun belajar sangat giat kemarin malam. Sampai rambutnya terlihat acak-acakan seperti orang gila yang kabur dari RSJ. Alvalino yang baru saja datang dan langsung duduk di samping Naira pun tertawa terbahak-bahak melihat wajah Naira yang sangat lesu. Alisya datang dengan bersenandung ria lalu berjalan tanpa memperdulikan Naira dan Alvalino yang masih saja tertawa. Saat Naira mulai kesal, ia menggebrak mejanya yang membuat Alisya langsung terkejut dan menghentikan langkah kakinya. Hal itu membuat Alisya segera menoleh ke arah Naira untuk memarahinya habis-habisan. Tapi ia malah tertawa terbahak-bahak karena rambut Naira yang terlihat sangat kacau hari ini. “Rambut lo kenapa kusut banget sih, Ra?” tanya Alisya lalu tertawa kembali. Naira tidak memperdulikan pertanyaan itu lalu bangkit dari tempat duduknya untuk segera pergi dari sana. Padahal jam
Sudah dua minggu berlalu Gibran Alandra meninggalkan semua orang. Hari-hari Naira sangat membosankan. Tapi untungnya ia memiliki Alvalino dan Alisya yang selalu siap menemaninya kapan saja. Jujur saja, Naira masih tertekan atas pengakuan Gibran waktu itu, tapi ia juga tidak ingin terus-menerus terlarut ke dalam kesedihan. Seorang gadis duduk di gazebo dengan membuka novel tebal yang sudah lama sekali tidak dibacanya. Dengan sebotol air mineral dan juga ponsel yang tergeletak dengan earphone yang sudah tersambung. Ia sangat menikmati dentuman suara music yang sedang diputarnya melalui ponsel. Lelaki datang dan mendekat ke arah gadis itu untuk mengacaukan semuanya. Bahkan lelaki itu mencabut kabel earphone yang tadinya tersambung di ponsel Naira. Gadis itu langsung kesal karena ketenangannya diganggu terus-menerus. Jika sekarang Alvalino, mungkin saja nanti berganti jadi Alisya yang mengganggunya. “Lagi baca apa sih,
Sudah satu jam setelah Naira melakukan check-in. Saat ini ia sudah di waiting room dengan Alisya yang sudah berada di sampingnya. Tapi anehnya sudah ada Alvalino yang juga ikut karena dipaksa oleh kakak lelakinya. Ia tidak ingin adiknya mengalami hal nuruk di negara orang lain. Maka dari itu, Dirga sudah menyiapkan semua keperluan mereka bertiga sebelum berangkat. “Naira?” panggil Alvalino yang sudah duduk di samping Naira. Gadis itu langsung menoleh ke arah Alvalino yang sudah terlihat begitu grogi dengan menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. “Ehem! Ehem!” Alisya mengacaukan suasana dengan pura-pura batuk. Mungkin ia merasa iri karena kekasihnya tidak berada di sampingnya sekarang. Lebih tepatnya sudah berada di Paris dengan Gibran yang sedang terbaring di rumah sakit. Naira menatap kosong ke depan dengan pikiran yang sudah tidak beraturan. Ia sangat ingin tahu apa yang sudah terjadi pada Gibran. Apalagi sa
Dirga berjalan dengan nampan yang sudah disiapkan sebelumnya oleh asisten rumah tangganya. Di atas nampan sudah terdapat semangkuk bubur ayam dan segelas susu rasa coklat kesukaan Naira. Lelaki itu berdiri di depan kamar Naira dengan sesekali mengetuk pintu kamar adiknya yang masih tertutup sejak satu bulan ini. Belum ada yang dapat menghiburnya sekarang. Lebih tepatnya tidak ada yang menghibur karena dirinya sudah kehilangan sang mood booster. Satu bulan yang lalu setelah Dirga mengertahui adiknya pulang dalam keadaan mata sembab, dari sana lah lelaki itu sudah dipenuhi oleh rasa emosinya yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Tidak perduli sedang malam, Dirga sudah bergegas pergi saat itu untuk mencari keberadaan Gibran Alandra. Dipukulnya lelaki itu sampai babak belur, sehingga tidak dapat berjalan. Bahkan sampai kaki dan hidungnya patah. Tidak ada satu orang pun yang dapat menghentikan Dirga. Bahkan adiknya saja sangat kewalahan k
Dua sahabat itu sedang berjalan di mall yang tempatnya tidak begitu jauh dari rumah Naira. Bahkan kakak lelakinya juga sudah memberikan izin dengan syarat kalau Naira tidak boleh pulang melebihi dari jam 21.30 WIB. Sifatnya yang posesif tidak juga memudar dari dahulu. Bahkan sebelum diizinkan ke mall, Naira sempat bertengkar dengan kakak lelakinya. Karena sebuah kesepakatan yang dibuat oleh kakaknya antara ‘kakaknya tetap posesif’ atau ‘mendiamkan Naira.’ Hal itu membuat Naira langsung mengalah dengan kakaknya yang sudah tersenyum licik. Alisya menggandeng tangan sahabatnya ke tempat photo box. Karena Naira sangat susah ketika diajak berfoto. Maka dari itu, tanpa adanya basa-basi Naira langsung mengiyakan ajakan menyebalkan dari sahabatnya itu. Setelah selesai berfoto, Alisya terlihat sangat bahagia ketika melihat hasil fotonya yang sudah ke luar. Sebuah senyuman yang tadinya terlihat dari bibir Alisya pun memudar setelah melihat foto me
Suasana di ruang kelas terlihat ramai dan Naira segera duduk di kursi yang tempatnya berada di depan bangku Alisya. Ada sekumpulan murid yang sedang berbincang dengan temannya yang lain. Alisya yang baru masuk langsung berjalan dan mendekat ke arah Naira dengan senyuman yang sudah mengembang. “Selamat pagi, Ra!” Gadis itu berteriak dengan suaranya yang sangat menyebalkan, sehingga membuat murid-murid langsung melirik ke arahnya dengan tatapan yang terlihat sinis. Maklum, karena masih pagi dan Alisya sudah berteriak dengan suaranya yang cempreng seperti toa masjid. Kemudian seorang lelaki datang dan langsung duduk di belakang Naira. Ia melalui Naira begitu saja seperti tidak mengenalnya sama sekali. Hal itu membuat Naira merasa kebingungan. Bahkan Alvalino sudah memberikan kode pada Alisya supaya dirinya duduk di tempatnya dan membiarkan Alisya duduk sebangku dengan Naira lagi. “Alva?” panggil Naira yang membuat lan