Bersambung...
Pagi yang cerah di hari Minggu. Jam sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB dengan seorang gadis yang masih terlelap dalam mimpinya. Ia memang juaranya dalam masalah tidur. Bahkan Dirga telah membangunkannya sejak pukul 06.00 WIB dan sampai sekarang pun belum juga terbangun dari tidurnya. “Bangun! Atau gue dobrak ini pintu!” Dirga berteriak dengan lantang dan mengancam. Sejak tadi ia sudah membangunkan adiknya dengan cara apapun tapi tidak juga berhasil. Ia terdiam sebentar menyesap secangkir kopi yang tengah digenggamnya lalu duduk di kursi yang berada di pinggir pintu kamar Naira. Bip! Bip! Suara ponsel Naira berbunyi terus sejak semalam tanpa henti. Bahkan hingga saat ini ia belum juga mengecek siapa yang mengirimkan pesan sebanyak itu. Ia terlihat tidak perduli dengan siapa yang mengirimkan pesan. Ia merasa muak dengan semuanya. “Neng!” teriak Dirga lagi. “Gue dobrak di hitungan ketiga!” ancam Dirga. “Satu, Dua....” Dirga mulai menghitung. “Tig—” Ceklek! Naira segera membuka p
Saat ini Gibran telah berada di rumah temannya, Farrel. Ia merebahkan tubuhnya dengan kasar lalu menatap langit kamar Farrel dengan tatapan yang kosong, ia kepikiran oleh kejadian tadi. “Kenapa lo, Bran?” tanya Farrel dengan tersenyum lebar. “Pusing gue” Gibran menjawab dengan membenarkan posisinya menjadi duduk. “Pusing? Minum oska—” Bugh! Gibran melempar guling ke wajah Farrel yang hendak menirukan iklan di televisi, sehingga Farrel tidak dapat melanjutkan ucapannya dan langsung terdiam. “Tapi yang satu ini pusingnya nggak bisa disembuhin pakai obat, Rel,” jelas Gibran. Gibran langsung mengacak lagi rambutnya. “Soal cewek?” tanya Farrel dan dibalas anggukan oleh Gibran. “Makannya, Bran, jangan kebanyakan cewek lo!” pungkas Farrel. “Gue nggak punya cewek, bego!” seru Gibran. Lelaki itu melirik tajam ke arah Farrel sehingga sahabatnya langsung terdiam. Ia hanya ingin mengalah pada Gibran yang lagi dipenuhi oleh rasa emosi, karena takut jika dirinya akan menjadi pelampiasan am
Sore ini Gibran sedang asik bercanda dengan adik perempuannya di ruang keluarga. Dengan memakai kaos bercorak army, celana jeans hitam, dan kalung perak dengan gantungan berbentuk salib yang menggantung di lehernya. Saat ini ia juga tengah mempersiapkan diri untuk menemui seorang wanita yang akan menjadi kekasihnya. Ya, lelaki itu akan menyatakan cintanya hari ini. Ia celingukan mencari ponselnya. Setelah mendapati ponselnya ia segera mengetik tombol nomor untuk menelpon seseorang. “Sudah disiapkan semua, Pak?” tanyanya pada seseorang itu. “Oh gitu, terima kasih,” ucapnya lagi dengan tersenyum lebar. Setelah itu Gibran berdiri karena ingin berpamitan dengan Kyra. Adiknya pun mengiyakan. Gibran mengacak rambut Kyra dan segera menuju garasi untuk memanasi mobilnya. Krinngg! Krinngg! Ponsel Gibran berdering, terpampang sebuah nama dari sahabatnya, yaitu Farrel. Akan tetapi, Gibran tidak mengangkat teleponnya karena sedang mengendarai mobil, ia tidak ingin kejadian yang tidak seharu
Malam ini sudah tepat pukul setengah tujuh. Naira juga sudah selesai mempersiapkan dirinya dengan rapi, tapi masih dengan gayanya yang tomboi dan terkesan modis. Ia mengenakan kemeja berwarna abu-abu dengan celana jeans hitam. Kali ini Naira membiarkan rambutnya terurai dan tidak menggulungnya seperti biasa. Krinngg! Krinngg! Ponsel Naira berdering. Ia segera mengecek siapa yang menelponnya. Gadis itu dengan sigap mengangkat ponselnya dengan berkata, “Halo?” “Gue ke rumah lo ya, Ra? Gue bosan ini di rumah terus.” “Ah! Gue pikir siapa tadi yang nelpon gue, ternyata cuma salah sambung,” ucap Naira dengan ngasal. Karena dipikirnya Gibran yang menelponnya tadi. Ternyata hanya Alisya yang sedang gabut ingin pergi ke rumahnya. “Heh! Salah sambung apaan! Jangan ngada-ngada deh, Ra!” protes Alisya yang dituduh salah menelpon. Naira langsung tertawa setelah mendengar Alisya yang kesal. “Jangan! Gue mau ke luar soalnya, Sya,” jelas Naira. “Jangan bilang ke luar sama si cowok gila itu?”
Dirga menunggu kedatangan ajudannya dengan sesekali mengecek pekerjaan yang kebetulan belum juga selesai sejak seharian ini. Padahal sekarang sudah pukul 22.00 WIB. Terlebih lagi dengan adiknya, si Naira belum juga pulang ke rumah. Ke mana kira-kira Naira saat ini? Padahal sekarang sudah malam. Pikiran Dirga mulai berkecamuk dengan hal-hal negatif mendatangi satu demi satu di dalam kepalanya.“Permisi, Pak?” ujar Pak Bimo yang membuat Dirga terkejut.“Bapak tahu di mana Adik saya?” tanya Dirga lalu berdiri.“Mbak Naira sedang di danau, Pak Dirga,” jelas Pak Bimo.Tanpa rasa berterima kasih, Dirga segera bergegas berjalan ke luar ruangan dan mengambil motornya. Ia segera melajukan motornya untuk mencari keberadaan Naira. Kenapa adiknya berdiam di tepi danau? Padahal tadi Naira sedang ke luar dengan Gibran. Dirga mulai pusing memikirkan kejadian yang menurutnya terasa jangkal ini, dengan segera ia menelpon ajudannya untuk
“Naira!”Alisya berlari menghampiri Naira dengan berteriak heboh sehingga suaranya yang melengking terdengar seantreo koridor. Naira yang melihat tindakannya pun menghentikan langkah kakinya lalu melihat perilaku Alisya yang sangat tidak wajar. Padahal sekarang masih pagi dan ia malah berteriak sehingga membuat setiap siswa-siswi refleks menutup telinganya dengan sigap dan rapat. Naira tersenyum simpul melihat Alisya yang ditertawakan.“Sialan! Semerdu itu suara gue, Ra?” tanya Alisya dengan percada dirinya. Namun, ia tidak mendapatkan jawaban malah mendapati Naira yang tertawa terbahak-bahak. “Ah! Lo sama aja kayak mereka,” ujar Alisya dengan kesal. Ia berjalan meninggalkan Naira yang masih tertawa terbahak-bahak.“Iya, Sya! Merdu banget parah, sampai gendang telinga gue goyang,” pungkas Naira.“Tenang, Ra! Anda tidak perlu khawatir tentang itu, kalau nggak ada gendang bisa lo ganti sama ketipung,&rdq
Hari demi hari sudah banyak yang terlewati. Hari ini, sudah dua minggu setelah ujian dilaksanakan. Seluruh siswa bersorak senang setelah berhasil melewatinya. Begitu pula dengan Naira, ia menampakkan senyumnya yang menawan. Berbeda dengan Alisya yang tengah menaiki kursi dengan berteriak sangat heboh. Ada-ada saja sifatnya yang memalukan itu. Naira hanya menggelengkan kepalanya pelan melihat tingkah sahabatnya.Tiba-tiba saja Naira terdiam sehingga senyumnya memudar. Ia menyangga kepalanya dengan pikiran yang berkecamuk. Karena sudah dua minggu ia tidak mendapatkan kabar dari sahabatnya yang lain, yaitu Gibran Alandra. Mungkin saja Gibran sedang sibuk dengan ujiannya atau memang sengaja melupakan Naira dan bermesraan dengan Hanum pacar barunya. “Arrgghh! Ini namanya cemburu, Nai!” Gadis itu bergumam dalam hati dengan mengacak rambutnya gusar.“Ra? Ra? Setelah ini kita ke mall, yuk?” ucap Alisya dengan mata yang berbinar. Naira bukannya
Ponsel Gibran berdering di atas nakas, dengan malas ia meraih ponselnya dan mengecek siapa yang menelpon di saat dirinya sedang santai seperti ini. Terlihat jelas nomor seorang wanita yang kebetulan sedang dibicarakan oleh Gibran dan Farrel. Ia adalah Hanum Aini.“Tuh kan, gue bilang apa? Pasti dia nyariin gue,” kata Gibran pada Farrel dengan tersenyum simpul. Ia segera mengangkat telepon dan berkata, “Halo?”“Temuin aku di caffetaria sekarang juga!” cetus gadis itu dengan singkat lalu mematikan sambungan teleponnya sepihak. Gibran yang bingung segera mengecek kembali ponselnya, ia mengerutkan keningnya bingung, mengapa Hanum tiba-tiba mengajaknya ketemu? Padahal biasanya kalau ia rindu akan segera ke rumahnya untuk menemui.“Kenapa lo tiba-tiba diam?” tanya Farrel setelah mendapati sahabatnya terdiam mematung. Gibran tidak memperdulikan Farrel dan langsung menghabiskan semangkuk serealnya dengan cepat. Ia
Kedua gadis itu menyibukkan dirinya di salon. Naira yang tidak terbiasa pergi ke salon hanya mampu menurut oleh perkataan Alisya yang akan mengatur semuanya mulai dari gaun, make up, sampai gaya rambut yang sedang dikerjakan oleh pemilik salon. Alisya terlihat sangat akrab dengan pemilik salon itu, mungkin saja karena Alisya yang sering pergi ke sini dan menjadi pelanggan tetap.Pemilik salon itu sibuk memotong sedikit rambut Naira. Berbeda dengan Alisya yang sibuk menelpon seseorang. Saat Naira melirik Alisya melalui kaca, ia malah menatapnya dengan tersenyum licik. Entah apa yang sedang direncanakannya malam ini. Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB dan Naira sudah merasa lelah. Mungkin jika nanti rambutnya di creambath ia akan tertidur sebentar karena masih ada waktu selama tiga jam.Sudah dua jam telah berlalu dan Naira sudah terlihat sangat cantik dengan gaya rambutnya yang baru. Gaya rambut yang sangat pas untuk dipamerkan kepada semua orang ketika sampai di sekolah. Siapa yang
Hari yang sudah ditunggu-tunggu telah tiba. Ujian telah selesai dan waktunya para murid kelas 12-AKS bersantai di ruang kelasnya masing-masing. Seharian ini full dengan jam kosong. Mereka bertiga sibuk bermain kartu ‘Truth Or Dare’ dengan Alvalino yang saat ini sedang meneria tantangan dari Naira. Gadis itu menyuruh Alvalino menggunakan lipstiknya Alisya di kelopak mata dan juga bibirnya. Siapa pun murid yang melihat Alvalino seperti itu langsung tertawa terbahak-bahak. Karena wajahnya terlihat sangat cantik. Bahkan Alisya dan Naira kalah cantik sekarang. Sial, bisa-bisanya seorang lelaki mendahului kecantikan seorang gadis. Alisya melirik tajam ke arah Alvalino karena merasa iri dan gagal menjadi gadis cantik. “BATU, KERTAS, GUNTING!” Mereka semua serempak berteriak. Yang kalah sekarang adalah Naira lalu memilih ‘Dare.’ Saat gadis itu membuka kartu ia langsung mendelik karena di sana sudah tertulis ‘Peluk seseorang yang berada di sampin
Naira sedang bersantai di dekat kolam ikan dengan memejamkan matanya dan duduk di sebuah kursi. Hari ini sudah hari minggu dan ia merasa sangat bosan. Terlebih lagi ucapan dari papanya Gibran selalu mengganggu isi pikirannya. Hal itu membuat Naira sangat ingin tahu isi di dalam paket yang sedang dikirim padanya. Semoga saja bukan bom, pikir Naira. Suasana di pagi ini sangatlah mendukung dengan Naira yang sudah mandi tentunya. Hal yang sangat jarang terjadi ketika gadis itu mandi di hari libur, bukan? Yang merubahnya seperti ini adalah Gibran Alandra yang selalu menyuruhnya untuk mandi walaupun di hari libur sekali pun. Maka dari itu, Naira sudah terbiasa dengan yang namanya mandi pagi di saat hari libur. “Neng? Ayo sarapan dulu!” Kakak lelakinya berteriak dan selalu saja mengganggu ketenangan Naira. Gadis itu hanya terdiam sejenak lalu berkata, “Gue nanti aja, Bang!” Dirga langsung tidak berselera makan ketika mend
Seluruh murid tampak sibuk belajar di bangkunya masing-masing. Bahkan Naira yang tak ingin kalah pun belajar sangat giat kemarin malam. Sampai rambutnya terlihat acak-acakan seperti orang gila yang kabur dari RSJ. Alvalino yang baru saja datang dan langsung duduk di samping Naira pun tertawa terbahak-bahak melihat wajah Naira yang sangat lesu. Alisya datang dengan bersenandung ria lalu berjalan tanpa memperdulikan Naira dan Alvalino yang masih saja tertawa. Saat Naira mulai kesal, ia menggebrak mejanya yang membuat Alisya langsung terkejut dan menghentikan langkah kakinya. Hal itu membuat Alisya segera menoleh ke arah Naira untuk memarahinya habis-habisan. Tapi ia malah tertawa terbahak-bahak karena rambut Naira yang terlihat sangat kacau hari ini. “Rambut lo kenapa kusut banget sih, Ra?” tanya Alisya lalu tertawa kembali. Naira tidak memperdulikan pertanyaan itu lalu bangkit dari tempat duduknya untuk segera pergi dari sana. Padahal jam
Sudah dua minggu berlalu Gibran Alandra meninggalkan semua orang. Hari-hari Naira sangat membosankan. Tapi untungnya ia memiliki Alvalino dan Alisya yang selalu siap menemaninya kapan saja. Jujur saja, Naira masih tertekan atas pengakuan Gibran waktu itu, tapi ia juga tidak ingin terus-menerus terlarut ke dalam kesedihan. Seorang gadis duduk di gazebo dengan membuka novel tebal yang sudah lama sekali tidak dibacanya. Dengan sebotol air mineral dan juga ponsel yang tergeletak dengan earphone yang sudah tersambung. Ia sangat menikmati dentuman suara music yang sedang diputarnya melalui ponsel. Lelaki datang dan mendekat ke arah gadis itu untuk mengacaukan semuanya. Bahkan lelaki itu mencabut kabel earphone yang tadinya tersambung di ponsel Naira. Gadis itu langsung kesal karena ketenangannya diganggu terus-menerus. Jika sekarang Alvalino, mungkin saja nanti berganti jadi Alisya yang mengganggunya. “Lagi baca apa sih,
Sudah satu jam setelah Naira melakukan check-in. Saat ini ia sudah di waiting room dengan Alisya yang sudah berada di sampingnya. Tapi anehnya sudah ada Alvalino yang juga ikut karena dipaksa oleh kakak lelakinya. Ia tidak ingin adiknya mengalami hal nuruk di negara orang lain. Maka dari itu, Dirga sudah menyiapkan semua keperluan mereka bertiga sebelum berangkat. “Naira?” panggil Alvalino yang sudah duduk di samping Naira. Gadis itu langsung menoleh ke arah Alvalino yang sudah terlihat begitu grogi dengan menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. “Ehem! Ehem!” Alisya mengacaukan suasana dengan pura-pura batuk. Mungkin ia merasa iri karena kekasihnya tidak berada di sampingnya sekarang. Lebih tepatnya sudah berada di Paris dengan Gibran yang sedang terbaring di rumah sakit. Naira menatap kosong ke depan dengan pikiran yang sudah tidak beraturan. Ia sangat ingin tahu apa yang sudah terjadi pada Gibran. Apalagi sa
Dirga berjalan dengan nampan yang sudah disiapkan sebelumnya oleh asisten rumah tangganya. Di atas nampan sudah terdapat semangkuk bubur ayam dan segelas susu rasa coklat kesukaan Naira. Lelaki itu berdiri di depan kamar Naira dengan sesekali mengetuk pintu kamar adiknya yang masih tertutup sejak satu bulan ini. Belum ada yang dapat menghiburnya sekarang. Lebih tepatnya tidak ada yang menghibur karena dirinya sudah kehilangan sang mood booster. Satu bulan yang lalu setelah Dirga mengertahui adiknya pulang dalam keadaan mata sembab, dari sana lah lelaki itu sudah dipenuhi oleh rasa emosinya yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Tidak perduli sedang malam, Dirga sudah bergegas pergi saat itu untuk mencari keberadaan Gibran Alandra. Dipukulnya lelaki itu sampai babak belur, sehingga tidak dapat berjalan. Bahkan sampai kaki dan hidungnya patah. Tidak ada satu orang pun yang dapat menghentikan Dirga. Bahkan adiknya saja sangat kewalahan k
Dua sahabat itu sedang berjalan di mall yang tempatnya tidak begitu jauh dari rumah Naira. Bahkan kakak lelakinya juga sudah memberikan izin dengan syarat kalau Naira tidak boleh pulang melebihi dari jam 21.30 WIB. Sifatnya yang posesif tidak juga memudar dari dahulu. Bahkan sebelum diizinkan ke mall, Naira sempat bertengkar dengan kakak lelakinya. Karena sebuah kesepakatan yang dibuat oleh kakaknya antara ‘kakaknya tetap posesif’ atau ‘mendiamkan Naira.’ Hal itu membuat Naira langsung mengalah dengan kakaknya yang sudah tersenyum licik. Alisya menggandeng tangan sahabatnya ke tempat photo box. Karena Naira sangat susah ketika diajak berfoto. Maka dari itu, tanpa adanya basa-basi Naira langsung mengiyakan ajakan menyebalkan dari sahabatnya itu. Setelah selesai berfoto, Alisya terlihat sangat bahagia ketika melihat hasil fotonya yang sudah ke luar. Sebuah senyuman yang tadinya terlihat dari bibir Alisya pun memudar setelah melihat foto me
Suasana di ruang kelas terlihat ramai dan Naira segera duduk di kursi yang tempatnya berada di depan bangku Alisya. Ada sekumpulan murid yang sedang berbincang dengan temannya yang lain. Alisya yang baru masuk langsung berjalan dan mendekat ke arah Naira dengan senyuman yang sudah mengembang. “Selamat pagi, Ra!” Gadis itu berteriak dengan suaranya yang sangat menyebalkan, sehingga membuat murid-murid langsung melirik ke arahnya dengan tatapan yang terlihat sinis. Maklum, karena masih pagi dan Alisya sudah berteriak dengan suaranya yang cempreng seperti toa masjid. Kemudian seorang lelaki datang dan langsung duduk di belakang Naira. Ia melalui Naira begitu saja seperti tidak mengenalnya sama sekali. Hal itu membuat Naira merasa kebingungan. Bahkan Alvalino sudah memberikan kode pada Alisya supaya dirinya duduk di tempatnya dan membiarkan Alisya duduk sebangku dengan Naira lagi. “Alva?” panggil Naira yang membuat lan