“Naira? Lo ngapain di pantai sendirian? Udah malam ini, Ra!”
Teriak seorang gadis ke arahnya dengan sedikit berlari. Ia menghampiri gadis yang saat ini tengah duduk di pinggir pantai. Gadis itu mencoba mendekatinya karena dirinya sudah melamun sejak dua jam yang lalu, dengan penampilannya yang acak-acakan, gayanya yang sedikit tomboi, dan rambutnya yang diikat asal-asalan.
“Lo kenapa, Ra?” tanya gadis itu setelah melihat mata merah Naira.
“Gue—nggak apa-apa kok,” kata Naira dengan santai. Lalu ia berjalan meninggalkan Alisya yang sedang kebingungan melihat sikapnya.
“Naira! Kalau ada masalah jangan di pendam, gue sahabat lo kan, Ra?” ujar Alisya.
“Maaf, ngomong-ngomong kenapa lo ke sini?” tanya Naira dengan menghentikan langkahnya. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Tadi gue ke rumah lo Naira! Cuma lo nggak ada, jadinya gue ke sini nyariin lo,” jelas Alisya.
“Pulang yuk, Ra?” ajak Alisya yang dibala anggukan oleh Naira.
Naira berjalan di samping sahabatnya dengan malas lalu masuk ke dalam mobil milik Alisya. Alisya melajukan mobilnya dan segera pergi dari tempat itu.
***
“Dari mana aja lo, Neng?” tanya seorang lelaki dari arah ruang tamu.
“Main,” jawab Naira singkat. Ia melanjutkan jalannya untuk ke kamar.
Lelaki itu mengernyitkan dahinya kebingungan karena tingkah adik perempuannya yang sedikit berubah. Lalu, ia menarik kasar tangan Naira sampai gadis itu kesakitan.
“Argghh! Lepasin, sakit!” protes Naira. Ia mencoba melepas tangannya yang tengah digenggam oleh kakak lelakinya.
“Udah, lo diam! Gue nanya, lo habis dari mana?” tanyanya sekali lagi dengan tatapan tajam.
“Gue dari pantai, lepasin nggak!” jerit Naira dengan meringis kesakitan.
“Benar dari pantai, Sya?” tanyanya pada teman Naira untuk memastikan.
“I...Iya, Bang, tadi gue ketemu dia lagi di pantai sendirian,” jawab Alisya terbata-bata karena grogi.
“Awas kalau main lagi nggak bilang-bilang sama gue!” ancam Dirga dengan melepas genggamannya.
“Urus aja diri lo sendiri, jangan urusin gue!” teriak Naira.
Gadis itu lalu pergi dengan memegang tanganya yang sakit. Dirga sedikit terkejut dengan perkataan Naira. Sehingga ia memutuskan untuk memastikannya sekali lagi.
Dirga mengerutkan keningnya dengan berteriak, “Neng! Gue nanya!”
“Mmm, Bang? Alisya pamit pulang dulu, ya?” pamit Alisya dengan ketakutan.
“Iya,” balas Dirga singkat lalu pergi.
Alisya yang mendengar jawaban itu langsung berlari ke luar dari rumah Naira. Ia menuju ke mobil miliknya dan segera pulang.
Naira yang sudah masuk ke dalam kamarnya langsung merebahkan tubuhnya dengan kasar. Ia memejamkan matanya dan tanpa tersadar dirinya telah meneteskan air mata.
“Coba kalau Mama dan Papa masih hidup, mungkin Naira nggak sendirian sekarang,” lirih Naira.
Naira sama sekali tidak menyadari bahwa kakaknya, si Dirga sudah berada di depan pintu kamar yang tadinya lupa ia ditutup kembali. Dirga yang melihat adiknya menangis pun langsung mendekat karena merasa empati.
Naira adalah adik kesayangannya Dirga, adik satu-satunya yang ia punya setelah mama dan papanya meninggal.
“Neng?” panggil Dirga pelan sembari mengelus kepala Naira.
“Lo nggak sendirian kok, kan ada gue di sini, gue janji akan jagain lo terus,” jelasnya yang mencoba untuk menenangkan Naira.
Naira yang mendengar ucapan dari Dirga bukannya berhenti menangis malah tangisannya semakin kencang. Dirga yang melihatnya merasa bingung dan langsung memeluk Naira dengan harapan bahwa ia akan tenang setelahnya.
“Kenapa, Bang?” tanya Naira dengan sesenggukan.
“Kenapa, apa?” jawab Dirga dengan mengangkat salah satu alisnya.
“Kenapa Mama sama Papa ninggalin Naira? Ninggalin kita?” ucapnya dengan tangis yang tersedu-sedu.
Dirga langsung terdiam sejenak karena terkejut dengan pertanyaan adiknya yang tiba-tiba seperti itu.
“Suuut! Nggak boleh ngomong kayak gitu, Neng! Ayo tidur!”
Dirga berusaha meyakinkan Naira sampai pada akhirnya gadis itu menurut dan tertidur pulas dipelukan kakaknya.
***
Kriinggg! Kriinggg!
Terdengar dering suara ponsel Naira di atas nakas. Ia melirik ponselnya sekilas, lalu memejamkan matanya lagi. Naira masih tertidur dengan pulas, ia merasa benar-benar terganggu dengan suara ponsel itu, ia menutup telinganya menggunakan guling yang berada di sampingnya.
Kriinggg!
Kriinggg!
Telepon berbunyi untuk yang ketiga kalinya. Namun, Naira tetap membiarkan ponselnya yang berdering.
“Angkat! Siapa tahu penting, Neng.”
Terdengar suara Dirga yang sudah masuk ke dalam kamar Naira. Ia membawakan segelas susu kesukaan Naira.
“Oh, mau gue aja yang angkat?” sindir Dirga dengan sedikit menggoda. Karena Dirga tahu bahwa Naira paling tidak suka ketika ada seseorang yang mengambil ponselnya dengan lancang.
Naira yang mendengar ucapan Dirga langsung membelalakkan matanya dan langsung bergerak cepat untuk mengambil ponselnya. Dirga terdiam menaikkan salah satu alisnya kebingungan setelah melihat reaksi Naira hanya dengan gertakannya.
“Jangan pernah lo sentuh HP gue!” seru Naira dengan mengancam di atas kasur empuknya.
“Bangun, keburu dingin itu susu,” ucap Dirga dengan santai. Setelah Naira mengambil ponselnya tadi. Ia langsung kembali melanjutkan tidurnya.
“Neng!” teriak Dirga dengan mengernyitkan dahinya.
“Ah! Berisik banget sih lo!” jerit Naira kesal karena diganggu tidurnya.
“Itu mulut belum pernah di sekolahin?” tanya Dirga dengan menjewer salah satu telinga Naira.
Cup!
“Diminum ya susunya? Awas aja kalau nggak,” balas Dirga dengan mengecup dahi Naira.
“Ih! Gue jij—,“ ujar Naira tertahan karena mulutnya dibungkam oleh Dirga.
“Ngomong sekali lagi, awas lo!” tegas Dirga dengan mendelikkan matanya. Dirga lalu berdiri setelah mendapati anggukan dari Naira dan segera beranjak pergi dari kamar adiknya.
Naira yang melihatnya langsung bangun dan berlari terbirit-birit setelah Dirga ke luar dari kamar. Ia segera mengunci pintunya dengan rapat dan menghembuskan napasnya lega setelah Dirga pergi.
Kriinggg! Kriinggg!
Ponsel gadis itu berdering lagi. Dengan terpaksa ia mengangkat teleponnya.
“Apa sih, Sya! Lo nggak ngerti gue masih tidur!” seru Naira dengan kesal.
“Maaf, Dirganya ada?”
Terdengar suara lelaki dari balik ponsel. Naira membelalakkan matanya karena terkejut dan langsung memastikan lagi siapa yang menelponnya pagi ini.
“Duh, bego! Gue salah ngomelin orang,” gumamnya pelan dengan sedikit kebingungan. Karena sudah terpampang nomor yang sama sekali tidak dikenalnya.
“Halo? Ini Adiknya, Julian Dirga?” ujarnya lagi dari balik ponsel.
“Mampus! belum gue matiin teleponnya,” lirih Naira.
“Apanya yang mampus?” tanyanya setelah mendengar suara Naira.
“B...Bukan apa-apa kok! Tadi nyariin Bang Dirga, kan?” sahutnya dengan sedikit nervous karena kebingungan.
“Iya, Dirganya ada? Sorry kalau gue salah sambung,” jelasnya dari balik telepon.
“Nggak apa-apa, gue Adiknya Bang Dirga kok, nanti biar gue yang kirim nomornya ke nomor lo. Bye!” jawabnya spontan tanpa ragu.
Naira langsung mematikan teleponnya sebelum mendengar jawaban ‘iya’ dari seorang yang menelponnya tadi.
Lalu, Naira duduk sebentar untuk mengatur napasnya. Kemudian ia melirik susu yang tadinya dibawakan oleh Dirga dan langsung dihabiskannya dengan segera.
Yang benar saja susunya sudah hampir dingin. Setelah menghabiskan susu, Naira ke luar dari kamarnya untuk mencari kakak lelakinya.
“BANG! BANG DIRGA!” teriak Naira yang membuat kakaknya langsung berlari. Ia sangat khawatir akan terjadi sesuatu pada Naira ketika berteriak seperti itu.
“Apa, Neng, apa?” tanya Dirga.
“Ada yang nyariin Abang barusan, malah telepon ke nomer gue lagi,” jelas Naira.
“Ah! Gue pikir ada apa,” jawab Dirga santai.
Lalu, ia pergi begitu saja untuk melanjutkan aktivitasnya, yaitu mencuci motor kesayangannya.
“Woi! Lo nyebarin nomor gue, ya?” tanya Naira dengan berteriak
“Bang!” Lanjutnya lagi dengan kesal.
Dirga sengaja tidak mempedulikan adik perempuannya. Karena ia sangat suka melihat adiknya yang kesal karena ulahnya. Dirga tetap mengelap motor kesayangannya dengan bersiul seolah tidak mendengar apa pun.
“WOI PREMAN! NGGAK DENGAR LO!” teriak Naira dengan spontan.
Naira yang menyadari sudah mengucapkan kalimat yang sama sekali tidak disukai oleh Dirga langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Dirga paling tidak suka ketika dirinya disebut ‘preman’ oleh seseorang, apalagi adiknya sendiri.
“Mampus! Dalam hitungan ketiga gue harus lari masuk ke kamar,” gumamnya pelan dengan berjalan mundur.
Dirga menghentikan aktivitasnya lalu mendekat ke arah Naira yang hendak pergi dari sana. Ia menyilangkan tangannya menghadap ke arah Naira dengan tatapan yang tajam.
“Tig—”
“Mau ke mana, Neng?” potong Dirga.
Naira yang hampir selesai menghitung lagsung terhenti setelah tangannya digenggam oleh Dirga.
“Coba ulangin tadi ngomong apa? Telinga gue nggak kedengaran soalnya,” pinta Dirga mendekatkan telinganya ke Naira.
Naira yang ketakutan mencoba mencari sebuah ide untuk dapat berlari dari situasi ini. Setelah menemukan ide, ia nekat untuk mencoba membohongi kakaknya.
“Bang? Motor lo!”
“Nggak usah ngeles, motor gue aman,” ujar Dirga santai.
“Nggak! Gue serius, coba lo lihat motor lo kenapa itu.”
Naira masih berusaha meyakinkan Dirga. Dirga yang terpancing akan terjadi sesuatu oleh motor kesayangannya langsung menoleh begitu saja tanpa menghiraukan Naira yang ingin kabur dari sana.
Naira Anggiana Olivia, mengambil kesempatan untuk berlari menuju ke kamarnya dan segera mengunci pintunya dengan rapat. Dirga yang kesal karena dibohongi oleh Naira hanya mampu berdecih.
Naira menghelakan napas panjang setelah sampai dalam kamarnya yang aesthetic. Tidak lama setelahnya ponsel gadis itu berdering lagi. Kali ini adalah Alisya Intika Putri. Ya, sahabatnya yang kemarin meneriakinya di pantai.
“NAIRA! LO LUPA SEKARANG HARI APA!”
Terdengar suara Alisya yang sangat lantang sehingga membuat telinga Naira sakit ketika mendengarnya. Naira menutup telinganya dengan kedua tangannya dan melempar teleponnya sembarangan.
Padahal dirinya ingin mengucapkan kata halo. Namun, Alisya malah melemparinya dengan suara yang terdengar seperti toa masjid.
“Naira!” teriak Alisya lagi.
“Naira! Luwak kopi paswordnya, Mbak?” racaunya yang tidak jelas karena didiamkan oleh Naira.
“Kopi nikmat—dari biji salak!” sahut Naira dengan ngasal setelah mengambil ponselnya.
“Haha! Mana ada kopi dari biji salak bego!”
Alisya tertawa setelah mendengar jawaban Naira yang asal-asalan. Setelah menghentikan tawanya, Alisya mengatakan maksud dirinya menelepon Naira.
“Naira? Lo nggak ke sekolah? Buta jam ya, Mbak?” ejek Alisya dari balik ponsel.
“Sialan lo! Jemput gue sekarang!” murka Naira.
“Baru aja gue sampai di rumah lo, lo turun sini,” jelas Alisya.
“Bego! Terus kenapa lo telepon?” umpat Naira.
“Kan baru sampai, Ra, capek kalau naik ke lantai dua cuma buat ngeliatin muka lo yang super jut....”
Tut! Tut!
Naira langsung mematikan teleponnya sepihak setelah mendengar ocehan dari Alisya. Padahal Alisya belum menyelesaikan kalimatnya. Alisya kesal karena ucapannya yang terhenti lalu mengomel di kursi tamu, “Ah! Dimatiin lagi, dasar nggak sopan!”
“Nggak lama lo yang gue matiin,” ujar Naira dari belakang Alisya.
“N...Ngeri banget sih lo!” sahut Alisya dengan menoleh ke sumber suara.
“Ayo berangkat!” ajak Naira.
“Sarapan dulu, Neng!” teriak Dirga dari ruang tengah.
“Udah, kita kabur aja,” jelas Naira dengan berjalan.
“Neng!” teriak Dirga lagi karena dibiarkan oleh mereka berdua.
Alisya mengikuti langkah kaki Naira yang meninggalkan rumah. Lalu, mereka menuju mobil sport berwarna biru dan segera berangkat pergi ke sekolah.
Bersambung...
Tiga puluh menit kemudian mereka telah sampai pada tempat tujuan. Mereka berdua bersekolah di SMK Kesehatan yang tempatnya berada di kota Jakarta. Mereka adalah siswi baru di sekolah ini. Ya, mereka masih kelas sepuluh SMK. Naira yang sedikit tomboi dan Alisya yang feminim itu menjadi pusat perhatian banyak siswa dan siswi di parkiran sekolah. Dengan gaya rambut Naira yang di cepol ke atas, berbeda dengan Alisya yang rambutnya dibiarkan terurai. Itu membuat Alisya tampak anggun. “Sya?” panggil Naira secara tiba-tiba setelah keluar dari mobil. “Apa Naira cantik?” jawabnya dengan sedikit menggoda. “Najis! Nggak jadi,” seru Naira. “Bercanda Naira, kenapa?” tanya Alisya dengan memiringkan kepalanya. “Tadi pagi ada temennya Abang gue telepon,” jelasnya dengan berjalan berdampingan menyusuri koridor. “Siapa? Pacar lo pasti,” ujar Alisya dengan menggodanya lagi. “Ck!” Naira berdecak lalu meninggalkan Alisya dan berjalan cepat setelah menemukan kelasnya. Ia langsung masuk ke dalam kela
“Neng? Di luar ada tamu yang nyariin, Neng,” ujar Bi Inah. “Malam-malam begini, Bi?” jawab Naira dengan sedikit rasa tidak percayanya. “Iya atuh, katanya sih pacarnya Neng Naira,” jelas Bi Inah. Naira yang mendengarnya pun langsung menutup buku yang sedang dibacanya. Ia segera bangkit dari duduknya dan mencari tahu siapa yang mencarinya malam-malam seperti ini. Padahal saat ini sudah pukul sebelas malam. Siapa yang berani bertamu malam-malam seperti ini. Sangat tidak sopan, bukan? Naira sudah sampai di lantai satu dan segera membuka pintu rumahnya. Terlihat jelas ada seorang lelaki yang tengah berdiri di depan sana. Namun, Naira hanya mampu melihat punggungnya saja. “Ada yang bisa saya bantu, Mas?” ucap Naira dengan sopan. Alhasil membuat lelaki itu langsung menoleh ke arah Naira dengan melambaikan tangannya. “Gibran? Tahu dari mana alamat gue?” tanya Naira dengan penuh penasaran. “Mau tahu aja atau mau tahu banget?” tanyanya kembali dengan kedua tangannya yang dilipat. Naira l
Suara bel berbunyi, menandakan jam pelajaran telah selesai. Bunyi yang sangat dinanti-nantikan oleh seluruh siswa. Ada juga yang menganggap suara bel pulang merupakan bunyi yang menandakan bahwa pintu surga kebebasan telah tiba. Siswa-siswi yang mendengarkannya pun bersorak dengan senang dan segera merapikan peralatan menulisnya ke dalam tas mereka masing-masing. Berbeda dengan Naira, ia justru memilih tertidur di jam terakhir pelajaran. Khawatir ditegur oleh guru yang mengajar saat itu, ia sudah memilih pindah tempat ke bangku yang paling belakang. “Ra?” panggil Alisya. Gadis itu mengguncangkan pelan tubuh Naira. Naira yang tidak suka diganggu tidurnya pun mendorong Alisya agar menjauh darinya. Alhasil, hampir saja Alisya terjatuh dari kursinya. “Naira?” panggil Alisya dengan cemas. Alisya bingung harus dengan cara apa lagi agar sahabatnya yang tertidur ini segera bangun. Ia mengetuk dagunya dengan jari telunjuk seraya berpikir dan mencari cara sehingga menemukan sebuah ide. “R
Setelah sampai di depan rumah Naira. Gibran segera ke luar untuk membukakan pintu samping. Naira yang melihat aksinya pun tersenyum dengan sedikit merasa malu. Gadis itu merasa diistimewakan karena tindakan Gibran. “Silakan ke luar, Tuan putri,” ujar Gibran dengan gayanya mempersilakan. “Terima kasih! Pangeran—tapi bohong!” sahut Naira dengan ketus. Gibran yang mendengar merasa sedikit kesal karena awalnya dipanggil pangeran oleh Naira lalu tidak jadi. “Pulang, ah!” sindir Gibran. “Iya, sana pulang.” “Hati-hati?” sindir Gibran pada Naira. “Hati-hati di jalan,” balas Naira yang mengerti. Gibran segera berjalan masuk ke dalam mobilnya. “Naira!” teriak Gibran dari dalam mobil. Naira menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke sumber suara. Ia berkata, “Apa?” “Ketemu lagi besok!” Gibran melambaikan tangannya dengan menunggu agar Naira masuk ke dalam rumah. Kriinngg! Kriingg! Ponsel Gibran berdering saat dirinya baru saja ingin menyalakan mesin mobilnya. Terpampang jelas nama 'B
Malam ini sudah pukul 23.30 WIB. Dirga telah pulang dari kantornya. Ia berjalan menuju kamar dan segera membersihkan tubuhnya agar terasa lebih fresh.Berbeda dengan Naira dan Alisya, mereka belum juga tertidur. Tetapi sedang bertengkar karena Alisya yang tidak terima karena dituduh seperti ikan buntal oleh Naira.“Nyebelin lo!” teriak Alisya dengan melemparkan bantal ke wajah Naira.“Jangan sentuh bantal gue, nanti bau comberan lagi, ah!” canda Alisya.Alisya yang dituduh pun kesal karena dirinya sudah berusaha sewangi mungkin malah disamakan dengan air comberan. Gadis itu duduk di pinggir kasur Naira dengan mengembangkan kedua pipinya.“Tuh kan mirip ikan buntal, haha!” Naira menyindir setelah melihat wajah Alisya yang sedang cemberut dengan bibirnya yang manyun.“Sewot banget sih netijen!” murka Alisya. Naira yang berhasil membuat sahabatnya merasa kesal pun tertawa penuh kemenangan.“Ketawa lo palsu, Naira!” kata Alisya dengan lantang dan tajam.Naira yang mendengar ucapan dari sah
Pagi yang cerah di hari Minggu. Jam sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB dengan seorang gadis yang masih terlelap dalam mimpinya. Ia memang juaranya dalam masalah tidur. Bahkan Dirga telah membangunkannya sejak pukul 06.00 WIB dan sampai sekarang pun belum juga terbangun dari tidurnya. “Bangun! Atau gue dobrak ini pintu!” Dirga berteriak dengan lantang dan mengancam. Sejak tadi ia sudah membangunkan adiknya dengan cara apapun tapi tidak juga berhasil. Ia terdiam sebentar menyesap secangkir kopi yang tengah digenggamnya lalu duduk di kursi yang berada di pinggir pintu kamar Naira. Bip! Bip! Suara ponsel Naira berbunyi terus sejak semalam tanpa henti. Bahkan hingga saat ini ia belum juga mengecek siapa yang mengirimkan pesan sebanyak itu. Ia terlihat tidak perduli dengan siapa yang mengirimkan pesan. Ia merasa muak dengan semuanya. “Neng!” teriak Dirga lagi. “Gue dobrak di hitungan ketiga!” ancam Dirga. “Satu, Dua....” Dirga mulai menghitung. “Tig—” Ceklek! Naira segera membuka p
Saat ini Gibran telah berada di rumah temannya, Farrel. Ia merebahkan tubuhnya dengan kasar lalu menatap langit kamar Farrel dengan tatapan yang kosong, ia kepikiran oleh kejadian tadi. “Kenapa lo, Bran?” tanya Farrel dengan tersenyum lebar. “Pusing gue” Gibran menjawab dengan membenarkan posisinya menjadi duduk. “Pusing? Minum oska—” Bugh! Gibran melempar guling ke wajah Farrel yang hendak menirukan iklan di televisi, sehingga Farrel tidak dapat melanjutkan ucapannya dan langsung terdiam. “Tapi yang satu ini pusingnya nggak bisa disembuhin pakai obat, Rel,” jelas Gibran. Gibran langsung mengacak lagi rambutnya. “Soal cewek?” tanya Farrel dan dibalas anggukan oleh Gibran. “Makannya, Bran, jangan kebanyakan cewek lo!” pungkas Farrel. “Gue nggak punya cewek, bego!” seru Gibran. Lelaki itu melirik tajam ke arah Farrel sehingga sahabatnya langsung terdiam. Ia hanya ingin mengalah pada Gibran yang lagi dipenuhi oleh rasa emosi, karena takut jika dirinya akan menjadi pelampiasan am
Sore ini Gibran sedang asik bercanda dengan adik perempuannya di ruang keluarga. Dengan memakai kaos bercorak army, celana jeans hitam, dan kalung perak dengan gantungan berbentuk salib yang menggantung di lehernya. Saat ini ia juga tengah mempersiapkan diri untuk menemui seorang wanita yang akan menjadi kekasihnya. Ya, lelaki itu akan menyatakan cintanya hari ini. Ia celingukan mencari ponselnya. Setelah mendapati ponselnya ia segera mengetik tombol nomor untuk menelpon seseorang. “Sudah disiapkan semua, Pak?” tanyanya pada seseorang itu. “Oh gitu, terima kasih,” ucapnya lagi dengan tersenyum lebar. Setelah itu Gibran berdiri karena ingin berpamitan dengan Kyra. Adiknya pun mengiyakan. Gibran mengacak rambut Kyra dan segera menuju garasi untuk memanasi mobilnya. Krinngg! Krinngg! Ponsel Gibran berdering, terpampang sebuah nama dari sahabatnya, yaitu Farrel. Akan tetapi, Gibran tidak mengangkat teleponnya karena sedang mengendarai mobil, ia tidak ingin kejadian yang tidak seharu