Home / Romansa / 1095 Days! / BAB 1 - Naira

Share

1095 Days!
1095 Days!
Author: SYLVIAAZ

BAB 1 - Naira

“Naira? Lo ngapain di pantai sendirian? Udah malam ini, Ra!”

Teriak seorang gadis ke arahnya dengan sedikit berlari. Ia menghampiri gadis yang saat ini tengah duduk di pinggir pantai. Gadis itu mencoba mendekatinya karena dirinya sudah melamun sejak dua jam yang lalu, dengan penampilannya yang acak-acakan, gayanya yang sedikit tomboi, dan rambutnya yang diikat asal-asalan.

“Lo kenapa, Ra?” tanya gadis itu setelah melihat mata merah Naira.

“Gue—nggak apa-apa kok,” kata Naira dengan santai. Lalu ia berjalan meninggalkan Alisya yang sedang kebingungan melihat sikapnya.

“Naira! Kalau ada masalah jangan di pendam, gue sahabat lo kan, Ra?” ujar Alisya.

“Maaf, ngomong-ngomong kenapa lo ke sini?” tanya Naira dengan menghentikan langkahnya. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Tadi gue ke rumah lo Naira! Cuma lo nggak ada, jadinya gue ke sini nyariin lo,” jelas Alisya.

“Pulang yuk, Ra?” ajak Alisya yang dibala anggukan oleh Naira.

Naira berjalan di samping sahabatnya dengan malas lalu masuk ke dalam mobil milik Alisya. Alisya melajukan mobilnya dan segera pergi dari tempat itu.

***

“Dari mana aja lo, Neng?” tanya seorang lelaki dari arah ruang tamu.

“Main,” jawab Naira singkat. Ia melanjutkan jalannya untuk ke kamar.

Lelaki itu mengernyitkan dahinya kebingungan karena tingkah adik perempuannya yang sedikit berubah. Lalu, ia menarik kasar tangan Naira sampai gadis itu kesakitan.

“Argghh! Lepasin, sakit!” protes Naira. Ia mencoba melepas tangannya yang tengah digenggam oleh kakak lelakinya.

“Udah, lo diam! Gue nanya, lo habis dari mana?” tanyanya sekali lagi dengan tatapan tajam.

“Gue dari pantai, lepasin nggak!” jerit Naira dengan meringis kesakitan.

“Benar dari pantai, Sya?” tanyanya pada teman Naira untuk memastikan.

“I...Iya, Bang, tadi gue ketemu dia lagi di pantai sendirian,” jawab Alisya terbata-bata karena grogi.

“Awas kalau main lagi nggak bilang-bilang sama gue!” ancam Dirga dengan melepas genggamannya.

“Urus aja diri lo sendiri, jangan urusin gue!” teriak Naira.

Gadis itu lalu pergi dengan memegang tanganya yang sakit. Dirga sedikit terkejut dengan perkataan Naira. Sehingga ia memutuskan untuk memastikannya sekali lagi.

Dirga mengerutkan keningnya dengan berteriak, “Neng! Gue nanya!”

“Mmm, Bang? Alisya pamit pulang dulu, ya?” pamit Alisya dengan ketakutan.

“Iya,” balas Dirga singkat lalu pergi.

Alisya yang mendengar jawaban itu langsung berlari ke luar dari rumah Naira. Ia menuju ke mobil miliknya dan segera pulang.

Naira yang sudah masuk ke dalam kamarnya langsung merebahkan tubuhnya dengan kasar. Ia memejamkan matanya dan tanpa tersadar dirinya telah meneteskan air mata.

“Coba kalau Mama dan Papa masih hidup, mungkin Naira nggak sendirian sekarang,” lirih Naira.

Naira sama sekali tidak menyadari bahwa kakaknya, si Dirga sudah berada di depan pintu kamar yang tadinya lupa ia ditutup kembali. Dirga yang melihat adiknya menangis pun langsung mendekat karena merasa empati.

Naira adalah adik kesayangannya Dirga, adik satu-satunya yang ia punya setelah mama dan papanya meninggal.

“Neng?” panggil Dirga pelan sembari mengelus kepala Naira.

“Lo nggak sendirian kok, kan ada gue di sini, gue janji akan jagain lo terus,” jelasnya yang mencoba untuk menenangkan Naira.

Naira yang mendengar ucapan dari Dirga bukannya berhenti menangis malah tangisannya semakin kencang. Dirga yang melihatnya merasa bingung dan langsung memeluk Naira dengan harapan bahwa ia akan tenang setelahnya.

“Kenapa, Bang?” tanya Naira dengan sesenggukan.

“Kenapa, apa?” jawab Dirga dengan mengangkat salah satu alisnya.

“Kenapa Mama sama Papa ninggalin Naira? Ninggalin kita?” ucapnya dengan tangis yang tersedu-sedu.

Dirga langsung terdiam sejenak karena terkejut dengan pertanyaan adiknya yang tiba-tiba seperti itu.

“Suuut! Nggak boleh ngomong kayak gitu, Neng! Ayo tidur!”

Dirga berusaha meyakinkan Naira sampai pada akhirnya gadis itu menurut dan tertidur pulas dipelukan kakaknya.

***

Kriinggg! Kriinggg!

Terdengar dering suara ponsel Naira di atas nakas. Ia melirik ponselnya sekilas, lalu memejamkan matanya lagi. Naira masih tertidur dengan pulas, ia merasa benar-benar terganggu dengan suara ponsel itu, ia menutup telinganya menggunakan guling yang berada di sampingnya.

Kriinggg!

Kriinggg!

Telepon berbunyi untuk yang ketiga kalinya. Namun, Naira tetap membiarkan ponselnya yang berdering.

“Angkat! Siapa tahu penting, Neng.”

Terdengar suara Dirga yang sudah masuk ke dalam kamar Naira. Ia membawakan segelas susu kesukaan Naira.

“Oh, mau gue aja yang angkat?” sindir Dirga dengan sedikit menggoda. Karena Dirga tahu bahwa Naira paling tidak suka ketika ada seseorang yang mengambil ponselnya dengan lancang.

Naira yang mendengar ucapan Dirga langsung membelalakkan matanya dan langsung bergerak cepat untuk mengambil ponselnya. Dirga terdiam menaikkan salah satu alisnya kebingungan setelah melihat reaksi Naira hanya dengan gertakannya.

“Jangan pernah lo sentuh HP gue!” seru Naira dengan mengancam di atas kasur empuknya.

“Bangun, keburu dingin itu susu,” ucap Dirga dengan santai. Setelah Naira mengambil ponselnya tadi. Ia langsung kembali melanjutkan tidurnya.

“Neng!” teriak Dirga dengan mengernyitkan dahinya.

“Ah! Berisik banget sih lo!” jerit Naira kesal karena diganggu tidurnya.

“Itu mulut belum pernah di sekolahin?” tanya Dirga dengan menjewer salah satu telinga Naira.

Cup!

“Diminum ya susunya? Awas aja kalau nggak,” balas Dirga dengan mengecup dahi Naira.

“Ih! Gue jij—,“ ujar Naira tertahan karena mulutnya dibungkam oleh Dirga.

“Ngomong sekali lagi, awas lo!” tegas Dirga dengan mendelikkan matanya. Dirga lalu berdiri setelah mendapati anggukan dari Naira dan segera beranjak pergi dari kamar adiknya.

Naira yang melihatnya langsung bangun dan berlari terbirit-birit setelah Dirga ke luar dari kamar. Ia segera mengunci pintunya dengan rapat dan menghembuskan napasnya lega setelah Dirga pergi.

Kriinggg! Kriinggg!

Ponsel gadis itu berdering lagi. Dengan terpaksa ia mengangkat teleponnya.

“Apa sih, Sya! Lo nggak ngerti gue masih tidur!” seru Naira dengan kesal.

“Maaf, Dirganya ada?”

Terdengar suara lelaki dari balik ponsel. Naira membelalakkan matanya karena terkejut dan langsung memastikan lagi siapa yang menelponnya pagi ini.

“Duh, bego! Gue salah ngomelin orang,” gumamnya pelan dengan sedikit kebingungan. Karena sudah terpampang nomor yang sama sekali tidak dikenalnya.

“Halo? Ini Adiknya, Julian Dirga?” ujarnya lagi dari balik ponsel.

“Mampus! belum gue matiin teleponnya,” lirih Naira.

“Apanya yang mampus?” tanyanya setelah mendengar suara Naira.

“B...Bukan apa-apa kok! Tadi nyariin Bang Dirga, kan?” sahutnya dengan sedikit nervous karena kebingungan.

“Iya, Dirganya ada? Sorry kalau gue salah sambung,” jelasnya dari balik telepon.

“Nggak apa-apa, gue Adiknya Bang Dirga kok, nanti biar gue yang kirim nomornya ke nomor lo. Bye!” jawabnya spontan tanpa ragu.

Naira langsung mematikan teleponnya sebelum mendengar jawaban ‘iya’ dari seorang yang menelponnya tadi.

Lalu, Naira duduk sebentar untuk mengatur napasnya. Kemudian ia melirik susu yang tadinya dibawakan oleh Dirga dan langsung dihabiskannya dengan segera.

Yang benar saja susunya sudah hampir dingin. Setelah menghabiskan susu, Naira ke luar dari kamarnya untuk mencari kakak lelakinya.

“BANG! BANG DIRGA!” teriak Naira yang membuat kakaknya langsung berlari. Ia sangat khawatir akan terjadi sesuatu pada Naira ketika berteriak seperti itu.

“Apa, Neng, apa?” tanya Dirga.

“Ada yang nyariin Abang barusan, malah telepon ke nomer gue lagi,” jelas Naira.

“Ah! Gue pikir ada apa,” jawab Dirga santai.

Lalu, ia pergi begitu saja untuk melanjutkan aktivitasnya, yaitu mencuci motor kesayangannya.

“Woi! Lo nyebarin nomor gue, ya?” tanya Naira dengan berteriak

“Bang!” Lanjutnya lagi dengan kesal.

Dirga sengaja tidak mempedulikan adik perempuannya. Karena ia sangat suka melihat adiknya yang kesal karena ulahnya. Dirga tetap mengelap motor kesayangannya dengan bersiul seolah tidak mendengar apa pun.

“WOI PREMAN! NGGAK DENGAR LO!” teriak Naira dengan spontan.

Naira yang menyadari sudah mengucapkan kalimat yang sama sekali tidak disukai oleh Dirga langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Dirga paling tidak suka ketika dirinya disebut ‘preman’ oleh seseorang, apalagi adiknya sendiri.

“Mampus! Dalam hitungan ketiga gue harus lari masuk ke kamar,” gumamnya pelan dengan berjalan mundur.

Dirga menghentikan aktivitasnya lalu mendekat ke arah Naira yang hendak pergi dari sana. Ia menyilangkan tangannya menghadap ke arah Naira dengan tatapan yang tajam.

“Tig—”

“Mau ke mana, Neng?” potong Dirga.

Naira yang hampir selesai menghitung lagsung terhenti setelah tangannya digenggam oleh Dirga.

“Coba ulangin tadi ngomong apa? Telinga gue nggak kedengaran soalnya,” pinta Dirga mendekatkan telinganya ke Naira.

Naira yang ketakutan mencoba mencari sebuah ide untuk dapat berlari dari situasi ini. Setelah menemukan ide, ia nekat untuk mencoba membohongi kakaknya.

“Bang? Motor lo!”

“Nggak usah ngeles, motor gue aman,” ujar Dirga santai.

“Nggak! Gue serius, coba lo lihat motor lo kenapa itu.”

Naira masih berusaha meyakinkan Dirga. Dirga yang terpancing akan terjadi sesuatu oleh motor kesayangannya langsung menoleh begitu saja tanpa menghiraukan Naira yang ingin kabur dari sana.

Naira Anggiana Olivia, mengambil kesempatan untuk berlari menuju ke kamarnya dan segera mengunci pintunya dengan rapat. Dirga yang kesal karena dibohongi oleh Naira hanya mampu berdecih.

Naira menghelakan napas panjang setelah sampai dalam kamarnya yang aesthetic. Tidak lama setelahnya ponsel gadis itu berdering lagi. Kali ini adalah Alisya Intika Putri. Ya, sahabatnya yang kemarin meneriakinya di pantai.

“NAIRA! LO LUPA SEKARANG HARI APA!”

Terdengar suara Alisya yang sangat lantang sehingga membuat telinga Naira sakit ketika mendengarnya. Naira menutup telinganya dengan kedua tangannya dan melempar teleponnya sembarangan.

Padahal dirinya ingin mengucapkan kata halo. Namun, Alisya malah melemparinya dengan suara yang terdengar seperti toa masjid.

“Naira!” teriak Alisya lagi.

“Naira! Luwak kopi paswordnya, Mbak?” racaunya yang tidak jelas karena didiamkan oleh Naira.

“Kopi nikmat—dari biji salak!” sahut Naira dengan ngasal setelah mengambil ponselnya.

“Haha! Mana ada kopi dari biji salak bego!”

Alisya tertawa setelah mendengar jawaban Naira yang asal-asalan. Setelah menghentikan tawanya, Alisya mengatakan maksud dirinya menelepon Naira.

“Naira? Lo nggak ke sekolah? Buta jam ya, Mbak?” ejek Alisya dari balik ponsel.

“Sialan lo! Jemput gue sekarang!” murka Naira.

“Baru aja gue sampai di rumah lo, lo turun sini,” jelas Alisya.

“Bego! Terus kenapa lo telepon?” umpat Naira.

“Kan baru sampai, Ra, capek kalau naik ke lantai dua cuma buat ngeliatin muka lo yang super jut....”

Tut! Tut!

Naira langsung mematikan teleponnya sepihak setelah mendengar ocehan dari Alisya. Padahal Alisya belum menyelesaikan kalimatnya. Alisya kesal karena ucapannya yang terhenti lalu mengomel di kursi tamu, “Ah! Dimatiin lagi, dasar nggak sopan!”

“Nggak lama lo yang gue matiin,” ujar Naira dari belakang Alisya.

“N...Ngeri banget sih lo!” sahut Alisya dengan menoleh ke sumber suara.

“Ayo berangkat!” ajak Naira.

“Sarapan dulu, Neng!” teriak Dirga dari ruang tengah.

“Udah, kita kabur aja,” jelas Naira dengan berjalan.

“Neng!” teriak Dirga lagi karena dibiarkan oleh mereka berdua.

Alisya mengikuti langkah kaki Naira yang meninggalkan rumah. Lalu, mereka menuju mobil sport berwarna biru dan segera berangkat pergi ke sekolah.

SYLVIAAZ

Bersambung...

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status