Suara bel berbunyi, menandakan jam pelajaran telah selesai. Bunyi yang sangat dinanti-nantikan oleh seluruh siswa. Ada juga yang menganggap suara bel pulang merupakan bunyi yang menandakan bahwa pintu surga kebebasan telah tiba.
Siswa-siswi yang mendengarkannya pun bersorak dengan senang dan segera merapikan peralatan menulisnya ke dalam tas mereka masing-masing.
Berbeda dengan Naira, ia justru memilih tertidur di jam terakhir pelajaran. Khawatir ditegur oleh guru yang mengajar saat itu, ia sudah memilih pindah tempat ke bangku yang paling belakang.
“Ra?” panggil Alisya.
Gadis itu mengguncangkan pelan tubuh Naira. Naira yang tidak suka diganggu tidurnya pun mendorong Alisya agar menjauh darinya. Alhasil, hampir saja Alisya terjatuh dari kursinya.
“Naira?” panggil Alisya dengan cemas.
Alisya bingung harus dengan cara apa lagi agar sahabatnya yang tertidur ini segera bangun. Ia mengetuk dagunya dengan jari telunjuk seraya berpikir dan mencari cara sehingga menemukan sebuah ide.
“Ra! Dipanggil Bu Reva tuh!” jerit Alisya seolah-olah gurunya memanggil.
Naira yang terkejut segera membelalakkan matanya. Lalu, ia memperbaiki duduknya dengan benar yang tadinya tertidur sekarang duduk dengan tegap.
“Iya, Bu? Nomor enam jawabannya—” Naira berdiri lalu membaca bukunya dengan buku yang terbalik.
“Hahaha!” potong Alisya. Gadis itu tawanya terbahak-bahak karena Naira yang gelagapan dengan membuka bukunya.
“Arrgghh! Bego lo!” teriak Naira.
Ia melempar buku tebal ke arah Alisya. Untung saja Alisya berhasil menghindarinya, jika tidak mungkin kepalanya akan terasa sangat sakit setelah terkena buku itu.
“Siapa suruh tidur di kelas, ini bukan rumah, Ra!” jelas Alisya dengan merapikan bukunya.
“Kok sepi sih, Sya?” tanya Naira dengan mengernyitkan dahinya.
“Lo nggak dengar, ya? Bel surga sudah bunyi sejak sepuluh menit yang lalu?” tanya Naira dengan memutar bola matanya.
“Bel surga? Dipanggil ke surga semuanya, Sya?” tanya Naira yang polos tidak mengerti. Mungkin nyawanya belum terkumpul, makannya dia seperti itu.
“Nggak begitu konsepnya, Naira!” umpat Alisya kesal. Gadis itu mengetuk pelan kepala Naira hingga yang diketuk kesakitan.
“Terus pada ke mana semua? Oh, kalian nge-prank gue pasti, kan? Asli nggak lucu sumpah,” jawab Naira yang asal-asalan karena belum benar-benar pulih dari tidurnya.
“Yuk, Ra!” ajak Alisya. Ia menggandeng tangan Naira dan membawanya ke luar dari kelas.
“Udah ikut aja nggak usah protes!”
Naira pun menurut dan membawa tasnya. Ia mengikuti langkah kaki Alisya yang tidak tahu tujuannya akan ke mana. Dengan sedikit berlari Naira terengah-engah karena ulah Alisya yang berjalan dengan cepat.
“Stop! Lo udah gila ya, Sya?” Naira menepis tangan Alisya dan mencoa untuk mengatur napasnya.
“Sembarangan itu mulut!” balas Alisya dengan menyentil bibir Naira.
“Ah! Sakit beg—”
“Suuut! masuk!”
Alisya memaksa agar Naira segera masuk ke dalam toilet wanita. Akhirnya dengan berat hati Naira pun menurut untuk memasukinya.
“Wah! Jangan bilang lo sekarang lesbian?” tanya Naira yang ketakutan.
“Tolo—” Naira yang hendak berteriak pun suaranya tertahan karena mulutnya dibungkam tisu oleh Alisya.
“Nih, sabun,” ujar Alisya dengan memberikannya facial wash.
“Buat apa?”
“Mandi!” seru Alisya kesal lalu keluar.
Naira tersenyum miring dengan mengerutkan dahinya bingung. Kenapa dirinya malah diberi sabun cuci muka oleh Alisya? Naira mencoba berpikir keras dan akhirnya mengerti bahwa dirinya baru saja tertidur makannya Alisya menyuruhnya untuk cuci muka.
Naira menggulung rambutnya ke atas dan segera membilas wajahnya agar terlihat segar kembali. Setelah selesai, Naira ke luar dari kamar mandi dan sudah mendapati Alisya yang duduk di kursi. Mungkin Alisya lelah karena menunggunya terlalu lama di kamar mandi.
“Barusan lo dicariin Gibran disuruh ke parkiran,” jelas Alisya dengan bangkit dari duduknya.
“Ngapain?” tanya Naira.
“Mana gue tahu, kata dia lo anaknya asik, habis ngapain lo sama dia hah?” tanya Alisya penasaran.
“Gue ke parkiran dulu ya? Daah!” ujar Naira dengan berlari meninggalkan Alisya.
“Woi! Sabun gue mana?”
“Nanti lo ke rumah aja!”
“Seenggaknya bilang makasih Alisya cantik atas sabunnya, malah ditinggal sendirian di depan kamar mandi,” cetus Alisya lalu merasa takut dan segera pergi dari sana.
***
Naira berlari terbirit-birit dengan menenteng tasnya, dan rambut yang tadinya sudah ia gulung dengan rapi sekarang terurai dengan indah.
Gibran yang melihat Naira dari jauh membelalakkan matanya karena baru kali ini melihat Naira dengan rambutnya yang terurai di sekolah.
Terlebih masih mengenakan seragam sekolah. Gibran tersenyum lebar dengan melambaikan tangan ke arah Naira yang berlari padanya.
Hosh! Hosh!
Terdengar suara Naira yang terengah-engah lalu mengatur napasnya.
“Nih, minum dulu,” ujar Gibran dengan terkekeh karena melihat tingkah Naira.
Ia memberikannya minum, dengan cepat Naira meraih minuman yang diberikan untuknya. Lalu, ia duduk di bawah dengan menyandarkan badannya ke mobil Gibran. Gibran pun mengikuti dan bersanding dengan Naira.
“Udah?” tanya Gibran dengan senyum manisnya.
“Ini tadi minuman lo, kan?” Naira baru tersadar setelah menghabiskan separuh minuman yang baru dibeli olehnya.
“Nggak apa-apa, Nai, aku bisa beli lagi nanti,” jawabnya dengan santai. Tangan Gibran mendekat ke wajah Niara. Ia menyelipkan rambut gadis itu ke telinga miliknya.
“Rambut gue?” ucap Naira dengan memegang kepalanya.
“Kenapa?”
“Tadi udah gue cepol malah terurai,” jawab Naira dengan merapikan rambutnya.
“Kayak gini aja kamu cantik kok.”
Gibran membenarkan lagi rambut Naira agar terurai kembali. Naira tersipu malu dengan ucapan Gibran dan menundukkan kepalanya.
“Gulungan rambutnya lepas karena sang putri berlari ke pangeran,” canda Gibran.
“Najis!” cetus Naira dengan memukul Gibran.
“Aduh!” jerit Gibran.
“Eh, maaf gue nggak bermak—”
“Tapi bohong,” ujar Gibran dengan terkekeh. Lelaki itu lalu berdiri mengambil ancang-ancang untuk segera berlari dari Naira.
“Sini nggak lo!” teriak Naira dengan mengejarnya.
“Bran! Ada kucing!” teriak Naira menggodanya.
Gibran refleks ketakutan dan berlari ke arah Naira. Ia langsung memeluk dengan erat badan Naira.
“Jauhin Naira, jauhin!” pinta Gibran dengan ketakutan.
Naira yang dipeluknya pun terdiam. Detak jantungnya tak beraturan karena terkejut. Lima menit setelahnya Gibran tersadar karena sudah memeluk Naira dengan sangat erat sehingga dirinya ikut merasakan detak jantung Naira yang berirama dengan cepat.
“Jantungmu jadi nggak beraturan lho, jangan grogi dong, Nai.”
Gibran bukannya melepas pelukannya malah tetap memeluk Naira dengan mengendus aroma wangi dari rambut Naira. Naira masih terdiam dan tidak mengerti harus melakukan apa karena menurutnya itu sangat nyaman ketika berada dalam pelukan Gibran. Dengan ragu-ragu ia memeluk Gibran kembali.
“Nyari makan, yuk?” ajak Gibran dengan melepas pelukannya.
Naira yang masih dalam keadaan nervous-nya pun hanya mengangguk dan mengikuti Gibran untuk masuk ke mobil. Gibran melajukan mobilnya lalu pergi meninggalkan parkiran sekolah.
***
“Selamat datang, Mas Gibran,” sapa seorang pelayan di sebuah restoran.
Gibran membalas sapaannya dengan senyuman hangat. Berbeda dengan Naira yang masih kebingungan setelah mendengar perkataan dari seorang pelayan.
Bagaimana mungkin dirinya dapat mengenal sosok Gibran yang menyebalkan ini. Apakah lelaki yang sedang bersamanya ini seorang pemilik restoran, atau mungkin Gibran yang memang terbiasa makan di sini sehingga pelayan resto mengenal dirinya?
“Kok bisa tahu nama lo?”
Naira bertanya dengan mendongakkan kepalanya. Maklum, karena tingginya hanya sekitar 155 sentimeter, berbeda dengan Gibran yang lebih tinggi darinya.
“Dia penggemarku, Naira.” Gibran menjawab dengan ngasal.
Ia segera menyiapkan kursi dan mempersilahkan Naira untuk duduk.
“Penggemar?” Naira yang masih kebingungan segera mengulang perkataannya.
“Iya, Nai, penggemarku,” jawabnya penuh percaya diri.
“Sok ngartis!” gumam Naira pelan.
“Apa, Nai?”
Gibran bertanya agar Naira mengulang ucapannya karena suaranya yang terdengar samar-samar.
“Tuh! Ada kucing lahiran di sana.”
Gibran yang mendengar kata kucing langsung menutup mulut Naira dengan sigap menggunakan tangannya.
“Suuut! Jangan ngomongin kucing dong,” pinta Gibran.
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa kok.”
Gibran mengalihkan pembicaraan. Naira yang dibuat penasaran langsung memikirkan sebuah ide untuk membalas kejahilan Gibran.
“Bran! Ada kucing!” teriak Naira menunjuk ke bawah.
“Arrgghh!”
Gibran lalu berteriak menjauh dari meja. Naira tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Gibran yang ketakutan. Padahal dirinya tengah berada di sebuah restoran. Semua orang melihat ke arah Gibran karena tingkahnya yang sangat mengganggu aktivitas makan mereka.
“Awas kamu, Nai!” Gibran mengancam setelah paham akan kejahilan Naira.
“Maaf,” ujar Naira dengan terkekeh.
“Mbak? Sini!” Gibran memanggil ke salah satu pelayan dengan melambaikan tangannya ke atas.
“Kamu mau makan apa?” tanya Gibran.
“Sama aja kayak lo.”
Naira menjawab lalu dibalas anggukan oleh Gibran. Setelah itu Gibran memesan makanan dan minuman untuk dirinya dan Naira. Naira memandanginya dari dekat. Sangat tampan, pikirnya.
“Nai? Aku mau ngomong,” ujar Gibran.
“Apa?” tanya Naira.
“Sini deh,” pinta Gibran agar Naira mendekat. Tanpa basa-basi Naira langsung mendekatkan dirinya ke arah Gibran.
“Kamu cantik,” bisik Gibran. Naira yang mendengar suara Gibran di telinganya pun tersipu malu. Ia refleks menjauh darinya.
Gibran yang menyadari Naira bersikap aneh langsung bertanya, “Kenapa, Nai?”
“N...Nggak, nggak apa-apa,” jawab Naira. Ia segera memalingkan wajahnya.
“Nai?” panggil Gibran.
“Pipimu kenapa?” Lanjut Gibran dengan menggodanya. Naira langsung refleks memegang kedua pipinya.
“So cute,” ujar Gibran dengan tersenyum.
Naira terdiam memalingkan wajahnya lagi. Lalu, ia tersenyum dengan menyembunyikan wajahnya. Gibran memang jago dalam hal menggoda Naira.
Beberapa menit setelahnya, seorang pelayan datang dengan nampan berisi makanan yang tadi dipesan oleh Gibran. Bukan melihat ke makanan, Gibran malah melihat ke arah Naira dengan tatapan yang lama.
“Halo?” Naira melambaikan tangan ke depan wajah Gibran yang tengah melamun.
“Eh, apa?” ujarnya setelah tersadar.
“Ngelihatin siapa?” tanya Naira dengan celingukan.
“Bidadari, Nai.”
“Mana?” tanya Naira dengan menyantap makanannya.
“Depan gue.” Naira yang sedang menyantap makanannya pun tersedak setelah mendengar ucapan dari Gibran.
Gibran terkejut lalu berkata, “Sorry, Nai.”
“Nggak apa-apa,” balas Naira. Setelah itu, mereka berdua melanjutkan aktivitasnya masing-masing, yaitu menyantap makanan yang tadinya sudah dipesan.
***
Tiga puluh menit kemudian, mereka ke luar dari restoran. Namun, cuaca sore ini benar-benar tidak terkondisikan. Hujan turun tiba-tiba dengan sangat deras membasahi bumi.
Naira cemas karena takut tidak dapat pulang, karena hujan menahannya dengan Gibran di sebuah restoran. Naira juga kedinginan. Ia meniup kedua tangan dan menggosoknya agar menciptakan sensasi hangat.
“Sini.” Gibran melepas jaket dan memberikannya untuk Naira.
“Mau pulang kapan nih?” tanya Gibran.
“Sekarang?” tanya Naira.
“Tuh!” Gibran mengedikkan kepalanya ke arah hujan yang turun dengan deras.
“Terus gimana?” tanya Naira dengan cemas.
“Tenang, aku punya ide,” balas Gibran.
Setelah Gibran memindahkan jaket yang tadinya di badan Naira menjadi ke atas kepala Naira agar gadis itu tidak kehujanan.
“Hitungan ke tiga kita lari ke mobil, ya?” jelas Gibran.
“Satu, Dua....”
“Tiga!” Gibran memeluk pundak Naira dan berlari ke parkiran bersama-sama.
“Cepetan masuk, Nai! Nanti kamu kehujanan.” Gibran berteriak diderasnya hujan lalu masuk ke dalam mobil.
“Haha! Dingin ya,” ucap Gibran setelah masuk mobilnya.
“Nih!” Naira menyerahkan jaketnya ke Gibran.
“Nggak usah, kamu pakai aja.”
Gibran melajukan mobilnya dengan kecepatan normal karena tidak ingin terjadi sesuatu nantinya. Naira yang kasihan melihatnya basah kuyup mengambil tisu yang berada di tasnya, ia mengelap wajah Gibran yang sedang menyetir.
Gibran terkejut dengan tindakan Naira dan refleks menoleh ke arahnya dengan tersenyum. Naira yang melihatnya pun ikut tersenyum.
Bersambung...
Setelah sampai di depan rumah Naira. Gibran segera ke luar untuk membukakan pintu samping. Naira yang melihat aksinya pun tersenyum dengan sedikit merasa malu. Gadis itu merasa diistimewakan karena tindakan Gibran. “Silakan ke luar, Tuan putri,” ujar Gibran dengan gayanya mempersilakan. “Terima kasih! Pangeran—tapi bohong!” sahut Naira dengan ketus. Gibran yang mendengar merasa sedikit kesal karena awalnya dipanggil pangeran oleh Naira lalu tidak jadi. “Pulang, ah!” sindir Gibran. “Iya, sana pulang.” “Hati-hati?” sindir Gibran pada Naira. “Hati-hati di jalan,” balas Naira yang mengerti. Gibran segera berjalan masuk ke dalam mobilnya. “Naira!” teriak Gibran dari dalam mobil. Naira menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke sumber suara. Ia berkata, “Apa?” “Ketemu lagi besok!” Gibran melambaikan tangannya dengan menunggu agar Naira masuk ke dalam rumah. Kriinngg! Kriingg! Ponsel Gibran berdering saat dirinya baru saja ingin menyalakan mesin mobilnya. Terpampang jelas nama 'B
Malam ini sudah pukul 23.30 WIB. Dirga telah pulang dari kantornya. Ia berjalan menuju kamar dan segera membersihkan tubuhnya agar terasa lebih fresh.Berbeda dengan Naira dan Alisya, mereka belum juga tertidur. Tetapi sedang bertengkar karena Alisya yang tidak terima karena dituduh seperti ikan buntal oleh Naira.“Nyebelin lo!” teriak Alisya dengan melemparkan bantal ke wajah Naira.“Jangan sentuh bantal gue, nanti bau comberan lagi, ah!” canda Alisya.Alisya yang dituduh pun kesal karena dirinya sudah berusaha sewangi mungkin malah disamakan dengan air comberan. Gadis itu duduk di pinggir kasur Naira dengan mengembangkan kedua pipinya.“Tuh kan mirip ikan buntal, haha!” Naira menyindir setelah melihat wajah Alisya yang sedang cemberut dengan bibirnya yang manyun.“Sewot banget sih netijen!” murka Alisya. Naira yang berhasil membuat sahabatnya merasa kesal pun tertawa penuh kemenangan.“Ketawa lo palsu, Naira!” kata Alisya dengan lantang dan tajam.Naira yang mendengar ucapan dari sah
Pagi yang cerah di hari Minggu. Jam sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB dengan seorang gadis yang masih terlelap dalam mimpinya. Ia memang juaranya dalam masalah tidur. Bahkan Dirga telah membangunkannya sejak pukul 06.00 WIB dan sampai sekarang pun belum juga terbangun dari tidurnya. “Bangun! Atau gue dobrak ini pintu!” Dirga berteriak dengan lantang dan mengancam. Sejak tadi ia sudah membangunkan adiknya dengan cara apapun tapi tidak juga berhasil. Ia terdiam sebentar menyesap secangkir kopi yang tengah digenggamnya lalu duduk di kursi yang berada di pinggir pintu kamar Naira. Bip! Bip! Suara ponsel Naira berbunyi terus sejak semalam tanpa henti. Bahkan hingga saat ini ia belum juga mengecek siapa yang mengirimkan pesan sebanyak itu. Ia terlihat tidak perduli dengan siapa yang mengirimkan pesan. Ia merasa muak dengan semuanya. “Neng!” teriak Dirga lagi. “Gue dobrak di hitungan ketiga!” ancam Dirga. “Satu, Dua....” Dirga mulai menghitung. “Tig—” Ceklek! Naira segera membuka p
Saat ini Gibran telah berada di rumah temannya, Farrel. Ia merebahkan tubuhnya dengan kasar lalu menatap langit kamar Farrel dengan tatapan yang kosong, ia kepikiran oleh kejadian tadi. “Kenapa lo, Bran?” tanya Farrel dengan tersenyum lebar. “Pusing gue” Gibran menjawab dengan membenarkan posisinya menjadi duduk. “Pusing? Minum oska—” Bugh! Gibran melempar guling ke wajah Farrel yang hendak menirukan iklan di televisi, sehingga Farrel tidak dapat melanjutkan ucapannya dan langsung terdiam. “Tapi yang satu ini pusingnya nggak bisa disembuhin pakai obat, Rel,” jelas Gibran. Gibran langsung mengacak lagi rambutnya. “Soal cewek?” tanya Farrel dan dibalas anggukan oleh Gibran. “Makannya, Bran, jangan kebanyakan cewek lo!” pungkas Farrel. “Gue nggak punya cewek, bego!” seru Gibran. Lelaki itu melirik tajam ke arah Farrel sehingga sahabatnya langsung terdiam. Ia hanya ingin mengalah pada Gibran yang lagi dipenuhi oleh rasa emosi, karena takut jika dirinya akan menjadi pelampiasan am
Sore ini Gibran sedang asik bercanda dengan adik perempuannya di ruang keluarga. Dengan memakai kaos bercorak army, celana jeans hitam, dan kalung perak dengan gantungan berbentuk salib yang menggantung di lehernya. Saat ini ia juga tengah mempersiapkan diri untuk menemui seorang wanita yang akan menjadi kekasihnya. Ya, lelaki itu akan menyatakan cintanya hari ini. Ia celingukan mencari ponselnya. Setelah mendapati ponselnya ia segera mengetik tombol nomor untuk menelpon seseorang. “Sudah disiapkan semua, Pak?” tanyanya pada seseorang itu. “Oh gitu, terima kasih,” ucapnya lagi dengan tersenyum lebar. Setelah itu Gibran berdiri karena ingin berpamitan dengan Kyra. Adiknya pun mengiyakan. Gibran mengacak rambut Kyra dan segera menuju garasi untuk memanasi mobilnya. Krinngg! Krinngg! Ponsel Gibran berdering, terpampang sebuah nama dari sahabatnya, yaitu Farrel. Akan tetapi, Gibran tidak mengangkat teleponnya karena sedang mengendarai mobil, ia tidak ingin kejadian yang tidak seharu
Malam ini sudah tepat pukul setengah tujuh. Naira juga sudah selesai mempersiapkan dirinya dengan rapi, tapi masih dengan gayanya yang tomboi dan terkesan modis. Ia mengenakan kemeja berwarna abu-abu dengan celana jeans hitam. Kali ini Naira membiarkan rambutnya terurai dan tidak menggulungnya seperti biasa. Krinngg! Krinngg! Ponsel Naira berdering. Ia segera mengecek siapa yang menelponnya. Gadis itu dengan sigap mengangkat ponselnya dengan berkata, “Halo?” “Gue ke rumah lo ya, Ra? Gue bosan ini di rumah terus.” “Ah! Gue pikir siapa tadi yang nelpon gue, ternyata cuma salah sambung,” ucap Naira dengan ngasal. Karena dipikirnya Gibran yang menelponnya tadi. Ternyata hanya Alisya yang sedang gabut ingin pergi ke rumahnya. “Heh! Salah sambung apaan! Jangan ngada-ngada deh, Ra!” protes Alisya yang dituduh salah menelpon. Naira langsung tertawa setelah mendengar Alisya yang kesal. “Jangan! Gue mau ke luar soalnya, Sya,” jelas Naira. “Jangan bilang ke luar sama si cowok gila itu?”
Dirga menunggu kedatangan ajudannya dengan sesekali mengecek pekerjaan yang kebetulan belum juga selesai sejak seharian ini. Padahal sekarang sudah pukul 22.00 WIB. Terlebih lagi dengan adiknya, si Naira belum juga pulang ke rumah. Ke mana kira-kira Naira saat ini? Padahal sekarang sudah malam. Pikiran Dirga mulai berkecamuk dengan hal-hal negatif mendatangi satu demi satu di dalam kepalanya.“Permisi, Pak?” ujar Pak Bimo yang membuat Dirga terkejut.“Bapak tahu di mana Adik saya?” tanya Dirga lalu berdiri.“Mbak Naira sedang di danau, Pak Dirga,” jelas Pak Bimo.Tanpa rasa berterima kasih, Dirga segera bergegas berjalan ke luar ruangan dan mengambil motornya. Ia segera melajukan motornya untuk mencari keberadaan Naira. Kenapa adiknya berdiam di tepi danau? Padahal tadi Naira sedang ke luar dengan Gibran. Dirga mulai pusing memikirkan kejadian yang menurutnya terasa jangkal ini, dengan segera ia menelpon ajudannya untuk
“Naira!”Alisya berlari menghampiri Naira dengan berteriak heboh sehingga suaranya yang melengking terdengar seantreo koridor. Naira yang melihat tindakannya pun menghentikan langkah kakinya lalu melihat perilaku Alisya yang sangat tidak wajar. Padahal sekarang masih pagi dan ia malah berteriak sehingga membuat setiap siswa-siswi refleks menutup telinganya dengan sigap dan rapat. Naira tersenyum simpul melihat Alisya yang ditertawakan.“Sialan! Semerdu itu suara gue, Ra?” tanya Alisya dengan percada dirinya. Namun, ia tidak mendapatkan jawaban malah mendapati Naira yang tertawa terbahak-bahak. “Ah! Lo sama aja kayak mereka,” ujar Alisya dengan kesal. Ia berjalan meninggalkan Naira yang masih tertawa terbahak-bahak.“Iya, Sya! Merdu banget parah, sampai gendang telinga gue goyang,” pungkas Naira.“Tenang, Ra! Anda tidak perlu khawatir tentang itu, kalau nggak ada gendang bisa lo ganti sama ketipung,&rdq