"Memangnya kamu siapa Raja, sampai-sampai kamu berani membawa anak saya?" Ayah Raja kembali bertanya.
"Saya yang mengasuh Raja sejak kecil. Dan, saya juga orang yang dipercayakan oleh nyonya Widya untuk menjaga anak kandungnya!"
Ayah Raja menatap wanita itu nyalang.
Tangan yang tadinya hendak melayangkan sebuah tamparan kepada perempuan itu, kini seakan tertahan dan seperti ada yang menghalanginya.
"Jangan pernah kasar dengan perempuan!"
Sang penghalang menyentak tangan Ayah Raja dengan kasar, lalu memberikan bogeman mentah.
Bugh
Raja yang melihat itu, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher milik Jia. Dia sangat ketakutan. Apalagi pada saat tatapan Ayahnya menatapnya dengan sangat tajam.
"Mau apa kau ke sini?"
Suara Ayah Raja mengudara. Menatap sang penghalang dengan tajam dan tidak suka. Rahang kokoh itu terlihat mengeras, menahan amarah yang bergejolak.
"Menyingkirkan Ayah tidak berguna seperti dirimu." Pria itu menjawab dengan tenang.
"Apa maksudmu?"
Rizal mengepalkan tangannya hingga kukunya memutih.
"Bawa Raja pergi dari sini bersama temanku. Mereka sudah menunggu di depan gerbang."
Pria itu memerintahkan perempuan muda itu membawa Raja pergi dari sini. Jia mengangguk lalu pergi keluar dari rumah itu, menghiraukan teriakan dari tuan majikannya. Mungkin.
Begitu sampai di depan gerbang, Jia di sambut oleh beberapa pria yang menatapnya. Lantas, perempuan itu tersenyum kikuk. Entah mengapa, dia agak risih dengan tatapan itu.
"Oh, jadi ini calon istrinya Heru?"
Suara seorang pria dengan kalung rantai di lehernya, mengalihkan pandangannya pada pria itu.
"Jia?"
Suara itu kembali terdengar, namun dari orang yang berbeda.
"Jia temannya Widya?"
Pria itu melanjutkan ucapannya. Jia mengangguk sambil tersenyum canggung.
"Dan, itu Raja?" tunjuk pria itu kearah Raja yang terlelap di gendongan Jia.
"Iya." Jia menjawab singkat.
"Masuk," perintah seorang pria dari belakang Jia.
Sontak, perempuan itu membalikkan tubuhnya, dan melihat sosok yang ia kenal. Heru.
Jia segera masuk kedalam mobil tepat di samping kursi kemudi.
Heru menatap teman-temannya secara bergilir.
"Sudah siap semuanya?"
"Sudah. Lo tinggal berangkat aja."
Pria berbaju ungu menjawab. Heru mengangguk. Tanpa mengucap apapun lagi, dia memutar mobil dan masuk ke dalam kursi kemudi, lalu mobil itu meninggalkan pekarangan rumah tersebut.
Tidak ada yang membuka suara. Hening, dan damai. Hanya terdengar suara helaan napas teratur yang berasal dari Raja, yang tengah terlelap di dekapan Jia.
"Kita mau kemana?"
Jia memecah keheningan.
Heru diam. Tidak menjawab. Hanya fokus dengan jalanan yang cukup padat.
"Her, kita mau kemana?"
Jia bertanya lagi. Alih-alih mendapatkan jawaban, Heru justru hanya diam saja, tidak menanggapi pertanyaan itu.
Jia mendengus kesal. Apakah terlalu sulit menjawab pertanyaannya itu? Ah, hampir saja dia lupa. Yang ia ajak bicara adalah Heru Adigantra, sosok yang irit bicara dan diam ketika merasa pertanyaan yang mengarah padanya adalah pertanyaan yang sama sekali tidak penting.
"Shhh...."
Suara ringisan berasal dari Raja.
Jia maupun Heru mengalihkan pandangan mereka ke anak laki-laki itu yang seperti menahan sakit.
"Sa....sakit..."
Heru melihat baju Jia basah.
Raja menangis.
Dan, tidak sadarkan diri.
***
Dalam ruangan yang berbau obat, membuat siapa saja tidak betah dalam ruangan tersebut.
Banyak orang yang tidak ingin masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan yang menimbulkan rasa mual dan pusing secara bersamaan.
Tapi, tidak berlaku bagi seorang anak laki-laki yang sejak empat jam yang lalu, setia memejamkan matanya, dan enggan membukanya.
"Her, Raja nggak bakal pergi, kan?"
Jia bertanya dengan nada lirih.
Setelah mendengar penjelasan dari dokter tadi, Jia menjadi takut luar biasa. Beberapa pikiran negatif, muncul di benaknya.
"Raja nggak akan kenapa-kenapa. Dia kuat, dan kamu tahu itu."
Heru membawa Jia dalam pelukannya, mengusap punggung perempuan itu. Memberikan ketenangan.
Dia sama seperti Jia. Hancur saat tahu keponakannya harus menderita sejak dini. Setelah mendengar penjelasan dari dokter, mendadak pikirannya melayang entah kemana.
Terbayang di saat Kakak kandungnya yang meninggal akibat melahirkan Raja, dan juga kambuhnya penyakitnya. Dan, merenggut nyawanya.
"Raja nggak akan pergi sama seperti Widya, kan?"
Jia menangis sejadi-jadinya dalam pelukan itu.
Heru tidak bisa berkata apapun lagi.
"Sakit...."
Suara lemah itu, mengalihkan perhatian mereka. Jia sedikit mendorong tubuh Heru. Menjauh. Lalu, menatap Raja yang sesekali mengatakan kata sakit.
"Raja?"
Di genggam nya tangan mungil dan dingin itu. Lalu, di usapnya dengan sangat lembut.
Perlahan, mata Raja terbuka. Menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya, lalu menatap kedua orang tersebut dengan bergilir.
"Ada yang sakit?"
Raja menggeleng sebagai jawaban.
"Raja mau pulang."
Jia menatap Heru meminta jawaban.
"Nanti ya, pulangnya. Kalau udah sembuh, baru boleh pulang."
Heru duduk di sisi bangsal, menggenggam tangan mungil Raja yang tidak di infus.
"Nggak mau. Raja mau pulang. Raja mau minta maaf sama Ayah. Pasti Ayah marah karena udah bikin Ayah malu tadi di sekolah."
"Memangnya kenapa pula Ayah harus marah?" Jia bertanya.
"Tadi, Ayah bilang kalau Raja itu nggak di inginkan. Raja, udah buat Bunda pergi. Raja...."
Ucapan Raja terpotong karena Heru menatapnya tajam.
"Apa yang di ucapkan sama Ayah kamu itu, nggak ada benarnya. Perginya Bunda kamu, bukan karena kesalahan kamu. Melainkan takdir Bunda kamu yang udah harus pergi."Jia menjelaskan secara perlahan. Dia tahu bagaimana rasanya tidak diinginkan. Di tuduh membuat seseorang pergi, padahal itu bukan kesalahan kita.Cukup dia saja yang merasakan bagaimana sakitnya. Ia tidak ingin jika anak dari sahabatnya merasakan apa yang ia rasakan selama ini."Tapi, memang itu benar, kan, Bi? Bunda pergi karena Raja. Raja itu...""Raja pengen nyusul Bunda....""Kapan Raja bisa ketemu sama Bunda?""Kapan Raja bisa dipeluk sama Bunda?""Kapan Raja bisa tidur bareng sama Bunda?""Kapan itu semua bisa terjadi dengan Raja?"***Sebuah buku yang sejak tadi ia pegang. Memperlihatkan deretan tulisan yang siapa saja melihatnya, pasti enggan membacanya.Dia memperbaiki kacamata yang sedikit me
Heru menanyakan pertanyaan yang sama.Raja diam. Tidak tahu harus menjawab pertanyaan itu."Jujur aja. Papa nggak akan marah."Raja mengangguk pelan, sebagai jawaban."Apa yang kamu simpulkan?"Raja menatap Papa nya tidak paham."Maksudnya apa?""Apa yang kamu pikirkan setelah mendengar obrolan Papa sama Mama kamu tadi?""Aku nggak tahu, Pa. Nggak ngerti apa yang Papa bilang tadi. Kenapa Papa bilang kalau Mama adalah orang yang udah bikin Bunda pergi? Apa, ini saling berkaitan?"Heru dapat melihat dengan jelas, kerutan kebingungan di wajah Raja.Dia menghela napas panjang.Apakah dirinya harus membongkar semua ini? Apakah Raja akan bisa menerimanya?"Pa, kenapa diam? Ada yang Papa sembunyikan dari Raja?"Suara Raja membuyarkan lamunan Heru.
"Aku nggak izinkan kamu bawa Raja pergi, Mas," ujar Jia."Aku nggak butuh izin dari kamu untuk membawa Raja kemanapun aku pergi," balas Heru yang telah memasukkan koper miliknya ke dalam bagasi mobil."Di mana Raja?" tanya Heru pada bodyguard nya."Masih di atas, Tuan," jawab salah satu di antara bodyguard Heru."Sudah siap semuanya?" tanya Heru sesaat setelah dia melihat Raja yang tengah berjalan ke arahnya dan membawa sebuah kardus besar, yang tidak ia ketahui isinya apa. Raja mengangguk pelan."Masukkan semua barang-barang milik Raja ke bagasi mobil."Heru memerintahkan bodyguard nya untuk memasukkan semua barang-barang Raja yang jumlahnya tidak sedikit."Baik, Tuan."Beberapa pria berbaju hitam memasukkan barang-barang milik Raja ke mobil belakang."Raja, kamu beneran mau tinggalin Mama? Kamu udah ngg
"Jalan, woi!"Perempuan itu menepuk pundak Raja. Di balas anggukan pelan, Raja mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang."Nggak pernah lihat cowok seganteng kamu. Baru pindah ya?" tanya perempuan itu berpegangan pada pundak Raja."Hm," sahut Raja tidak terlalu menanggapi ucapan perempuan yang tidak ia kenal."Pantes aja sih. Awas aja, aku kasih tahu ke kamu. Di daerah sini, pantang lihat cowok ganteng dikit. Pasti langsung kayak cacing kepanasan. Mau yang muda atau yang tua, sama aja. Jadi, jangan pernah risih sama warga di sini, karena dengan mereka melalukan itu, artinya mereka suka sama kamu," ujar perempuan itu panjang lebar.Raja mengangguk saja, dia sedikit tidak paham dengan apa yang di ucapkan oleh perempuan di belakangnya itu."Eh, woi! Warung belok kanan lah, bukan lurus. Kentara kali kalau nggak pernah ke warung, ya?"Suara perempuan itu kembali terdengar. Raja memutar stang sepedanya ke arah kanan. Dan
"Thanks udah mau bantuin," ucap Raja."Nggak masalah kali. Lagian, kita kan teman," sahut Mervi."Mau mampir?" tawar Raja. Mereka menggeleng."Lain kali aja. Gua mau ke masjid dulu. Lo nggak ke masjid?" tanya Bian."Gue non-muslim," jawab Raja."Oh, sorry. Gua nggak tahu soal itu." Raut wajah Bian menjadi pias."Nggak masalah.""Kalau gitu kita duluan ya," ujar Marva. Raja mengangguk."Ntar malem jan lupa kumpul di warung tadi. Anggap aja perkenalan diri lo." Suara Ojal."Kalau nggak sibuk, gue ngumpul kok."***Makan malam telah tiba. Balak dan anak itu tampaknya tengah menikmati makan malam."Bagaimana keseharian kamu selama Papa nggak ada di rumah?" tanya Heru membuka percakapan.Raja terdiam cukup lama. "Nothing special, and very boring. But,
"Fisika adalah suatu pelajaran yang terdiri dari enam huruf.""Fisika adalah suatu pelajaran yang memahami arti emosi, pusing, dan sabar dalam waktu yang bersamaan."Jawaban ngawur lainnya masih terdengar, membuat guru itu bungkam."Kenapa diam, pak? Jawaban kami salah?" tanya Afri."Nggak. Jawaban kalian nggak ada yang salah, dan juga nggak ada yang benar," jawab pak Dewan."Terus, kenapa diam?" Kali ini Dafa yang bertanya."Saya diam karena saya bingung dengan jawaban kalian yang kelewat benar."Tawa mulai terdengar, hingga guru itu kembali bersuara."Baiklah. Saya akan menjelaskan apa itu fisika. Fisika sains atau ilmu alam yang mempelajari materi beserta gerak dan perilakunya dalam lingkup ruang dan waktu, bersamaan dengan konsep yang berkaitan seperti energi dan gaya. Sebagai salah satu ilmu sains paling dasar, tujuan utama fisika adalah memahami bagaimana alam semesta berkerja," jelas pak Dewan."Karena selam
"Maksudnya apa? Jangan sembunyiin semuanya dari aku, aku bingung harus kayak mana." Raja menunduk dalam."Kamu memang orang yang sudah membuat Bunda kamu pergi, karena saat itu, Bunda kamu berjuang mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan kamu."Raja tertegun mendengar itu. Jadi, benar. Dirinya adalah orang yang sudah membuat Bunda nya pergi?"Tapi, semua itu tidak akan terjadi jika Mama kamu bertindak segila itu. Saat itu...."Flashback09 Juni 2006Alifah, Widya, Jia dan para lelaki lainnya, berjalan menemani Widya yang katanya tengah ngidam. Menginginkan jalan-jalan di sekitaran taman bersama-sama."Kalau nanti anak aku udah lahir, pasti kita nggak akan bisa kumpul kayak gini lagi. Pastinya aku bakal sibuk urus anak aku." Widya membuka suara."Nggak papa kali, Wid. Lagian, kita kan bisa datang ke rumah lo. Nggak usah sedih gitu, ah," hibur Alifah."Nah, benar yang di katakan Alifah. Nggak usah merasa
"Nggak tahu. Tadi gue ke kamar mandi sebentar. Pas gue balik, di sini cuma ada Rizal doang. Pas gue tanya Widya sama Jia ke mana. Katanya mereka mau ke kamar mandi. Tapi, setengah jam kita berdua nunggu, mereka nggak balik-balik." Heru menjelaskan dengan detail. "Gimana? Widya udah ketemu?" tanya Rizal dengan napas tidak beraturan. "Belum. Gue udah cari ke seluruh tempat di taman, tapi nggak ada." Heru menjawab. "WOI! JANGAN DIAM AJA, ITU DI TOLONGIN MBAK-MBAK NYA. KASIHAN DIA. SEBENTAR LAGI AMBULANS DATANG!" Teriakan dari arah jalan mengalihkan pandangan mereka. "Itu ada apa?" tanya Alifah ketika melihat banyaknya orang yang berlarian menuju jalan raya. Tidak menjawab pertanyaan Alifah, para lelaki itu berlari kencang, menerobos kerumunan massa yang mengumpul. "WIDYA!" teriak Ri
Heru mengangguk. Alasan yang bagus."Masuk ke kamar kamu sana. Besok sekolah, dan Papa nggak mau kamu absen di bulan pertama. Kalau bulan kedua mah, nggak papa," suruh Heru yang dibalas anggukan oleh Raja.Setelahnya, Heru pergi menuju kamarnya sendiri. Namun, mendengar suara Raja lagi, dirinya mengurungkan niatnya."Pa," panggil Raja. Dengan cepat, Heru membalikkan tubuhnya."Kenapa?" Raja menatap Papa nya dengan ragu."Apa yang mau kamu katakan? Jangan ragu, katakan saja. Daripada mengganggu pikiran kamu, dan kamu tidak bisa tidur dengan nyenyak." Suara Heru kembali mengudara."Papa.... tau rumah Ayah, tidak?"Heru menatap anaknya bingung. Kenapa mendadak bertanya tentang Ayahnya?"Memangnya kenapa?""Kamu rindu dengan Ayah kamu yang brengsek itu?"Kalimat itu sangat menusuk di hati Raja."Bukan. Raja cuma mau ambil foto Bunda aja. Kata Tante Alifah, Papa ng
"Maafkan saya, pak. Saya terpaksa melakukan itu karena istri anda yang keracunan makanan. Penyakit pasien yang mendadak kambuh, juga hantaman keras itu membuat istri anda tidak bisa bertahan dengan lama. Tadi, pasien sempat sadar sebentar, dan meminta kami untuk menyelamatkan anaknya, dibanding dirinya. Sedangkan bapak tadi mengatakan harus menyelamatkan istri bapak dibanding anaknya. Dan kami memutuskan untuk menyelamatkan anak anda, karena salah satu pembunuh darah istri anda yang bocor. Sekali lagi, saya dan tim saya minta maaf, pak."Dari penjelasan dokter tadi, satupun tidak ada yang bisa Rizal terima. Di satu sisi, dirinya sangat senang anak yang sejak lama ia tunggu, akhirnya lahir, namun dalam keadaan prematur. Sedangkan di sisi lain, dirinya sangat kecewa lantaran istrinya yang meninggalkan dirinya seorang diri, dengan bayi hasil dari pernikahannya dengan Widya.Kenapa takdir sangat kejam dengannya? Mengapa salah satu diantaranya harus pergi, sedangkan d
"Nggak tahu. Tadi gue ke kamar mandi sebentar. Pas gue balik, di sini cuma ada Rizal doang. Pas gue tanya Widya sama Jia ke mana. Katanya mereka mau ke kamar mandi. Tapi, setengah jam kita berdua nunggu, mereka nggak balik-balik." Heru menjelaskan dengan detail. "Gimana? Widya udah ketemu?" tanya Rizal dengan napas tidak beraturan. "Belum. Gue udah cari ke seluruh tempat di taman, tapi nggak ada." Heru menjawab. "WOI! JANGAN DIAM AJA, ITU DI TOLONGIN MBAK-MBAK NYA. KASIHAN DIA. SEBENTAR LAGI AMBULANS DATANG!" Teriakan dari arah jalan mengalihkan pandangan mereka. "Itu ada apa?" tanya Alifah ketika melihat banyaknya orang yang berlarian menuju jalan raya. Tidak menjawab pertanyaan Alifah, para lelaki itu berlari kencang, menerobos kerumunan massa yang mengumpul. "WIDYA!" teriak Ri
"Maksudnya apa? Jangan sembunyiin semuanya dari aku, aku bingung harus kayak mana." Raja menunduk dalam."Kamu memang orang yang sudah membuat Bunda kamu pergi, karena saat itu, Bunda kamu berjuang mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan kamu."Raja tertegun mendengar itu. Jadi, benar. Dirinya adalah orang yang sudah membuat Bunda nya pergi?"Tapi, semua itu tidak akan terjadi jika Mama kamu bertindak segila itu. Saat itu...."Flashback09 Juni 2006Alifah, Widya, Jia dan para lelaki lainnya, berjalan menemani Widya yang katanya tengah ngidam. Menginginkan jalan-jalan di sekitaran taman bersama-sama."Kalau nanti anak aku udah lahir, pasti kita nggak akan bisa kumpul kayak gini lagi. Pastinya aku bakal sibuk urus anak aku." Widya membuka suara."Nggak papa kali, Wid. Lagian, kita kan bisa datang ke rumah lo. Nggak usah sedih gitu, ah," hibur Alifah."Nah, benar yang di katakan Alifah. Nggak usah merasa
"Fisika adalah suatu pelajaran yang terdiri dari enam huruf.""Fisika adalah suatu pelajaran yang memahami arti emosi, pusing, dan sabar dalam waktu yang bersamaan."Jawaban ngawur lainnya masih terdengar, membuat guru itu bungkam."Kenapa diam, pak? Jawaban kami salah?" tanya Afri."Nggak. Jawaban kalian nggak ada yang salah, dan juga nggak ada yang benar," jawab pak Dewan."Terus, kenapa diam?" Kali ini Dafa yang bertanya."Saya diam karena saya bingung dengan jawaban kalian yang kelewat benar."Tawa mulai terdengar, hingga guru itu kembali bersuara."Baiklah. Saya akan menjelaskan apa itu fisika. Fisika sains atau ilmu alam yang mempelajari materi beserta gerak dan perilakunya dalam lingkup ruang dan waktu, bersamaan dengan konsep yang berkaitan seperti energi dan gaya. Sebagai salah satu ilmu sains paling dasar, tujuan utama fisika adalah memahami bagaimana alam semesta berkerja," jelas pak Dewan."Karena selam
"Thanks udah mau bantuin," ucap Raja."Nggak masalah kali. Lagian, kita kan teman," sahut Mervi."Mau mampir?" tawar Raja. Mereka menggeleng."Lain kali aja. Gua mau ke masjid dulu. Lo nggak ke masjid?" tanya Bian."Gue non-muslim," jawab Raja."Oh, sorry. Gua nggak tahu soal itu." Raut wajah Bian menjadi pias."Nggak masalah.""Kalau gitu kita duluan ya," ujar Marva. Raja mengangguk."Ntar malem jan lupa kumpul di warung tadi. Anggap aja perkenalan diri lo." Suara Ojal."Kalau nggak sibuk, gue ngumpul kok."***Makan malam telah tiba. Balak dan anak itu tampaknya tengah menikmati makan malam."Bagaimana keseharian kamu selama Papa nggak ada di rumah?" tanya Heru membuka percakapan.Raja terdiam cukup lama. "Nothing special, and very boring. But,
"Jalan, woi!"Perempuan itu menepuk pundak Raja. Di balas anggukan pelan, Raja mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang."Nggak pernah lihat cowok seganteng kamu. Baru pindah ya?" tanya perempuan itu berpegangan pada pundak Raja."Hm," sahut Raja tidak terlalu menanggapi ucapan perempuan yang tidak ia kenal."Pantes aja sih. Awas aja, aku kasih tahu ke kamu. Di daerah sini, pantang lihat cowok ganteng dikit. Pasti langsung kayak cacing kepanasan. Mau yang muda atau yang tua, sama aja. Jadi, jangan pernah risih sama warga di sini, karena dengan mereka melalukan itu, artinya mereka suka sama kamu," ujar perempuan itu panjang lebar.Raja mengangguk saja, dia sedikit tidak paham dengan apa yang di ucapkan oleh perempuan di belakangnya itu."Eh, woi! Warung belok kanan lah, bukan lurus. Kentara kali kalau nggak pernah ke warung, ya?"Suara perempuan itu kembali terdengar. Raja memutar stang sepedanya ke arah kanan. Dan
"Aku nggak izinkan kamu bawa Raja pergi, Mas," ujar Jia."Aku nggak butuh izin dari kamu untuk membawa Raja kemanapun aku pergi," balas Heru yang telah memasukkan koper miliknya ke dalam bagasi mobil."Di mana Raja?" tanya Heru pada bodyguard nya."Masih di atas, Tuan," jawab salah satu di antara bodyguard Heru."Sudah siap semuanya?" tanya Heru sesaat setelah dia melihat Raja yang tengah berjalan ke arahnya dan membawa sebuah kardus besar, yang tidak ia ketahui isinya apa. Raja mengangguk pelan."Masukkan semua barang-barang milik Raja ke bagasi mobil."Heru memerintahkan bodyguard nya untuk memasukkan semua barang-barang Raja yang jumlahnya tidak sedikit."Baik, Tuan."Beberapa pria berbaju hitam memasukkan barang-barang milik Raja ke mobil belakang."Raja, kamu beneran mau tinggalin Mama? Kamu udah ngg
Heru menanyakan pertanyaan yang sama.Raja diam. Tidak tahu harus menjawab pertanyaan itu."Jujur aja. Papa nggak akan marah."Raja mengangguk pelan, sebagai jawaban."Apa yang kamu simpulkan?"Raja menatap Papa nya tidak paham."Maksudnya apa?""Apa yang kamu pikirkan setelah mendengar obrolan Papa sama Mama kamu tadi?""Aku nggak tahu, Pa. Nggak ngerti apa yang Papa bilang tadi. Kenapa Papa bilang kalau Mama adalah orang yang udah bikin Bunda pergi? Apa, ini saling berkaitan?"Heru dapat melihat dengan jelas, kerutan kebingungan di wajah Raja.Dia menghela napas panjang.Apakah dirinya harus membongkar semua ini? Apakah Raja akan bisa menerimanya?"Pa, kenapa diam? Ada yang Papa sembunyikan dari Raja?"Suara Raja membuyarkan lamunan Heru.