"Ibu mau kemana?!" teriak gadis mungil dengan wajahnya yang sudah memerah, ia menangis sejadi-jadinya saat sang Ibu menendangnya agar menjauh darinya.
"Menjauh dariku atau aku akan membunuhmu!" wanita itu berteriak sambil menyiratkan kebenciannya kepada gadis kecil yang sedang menangis ketakutan. "Ah, aku sangat membencimu kenapa kau terus hidup padahal aku menginginkan kau mati!"
"Jaga perkataanmu, Hani, dia anakmu!"
"Mas saja yang urus dia, aku? Mau pergi!"
"Ibu tolong jangan pelgi!" pekik gadis mungil itu sambil berlari menuju mobil yang ditumpangi oleh Ibunya, ia meraih gagang pintu mobil namun nahas tubuhnya tertarik begitu saja membuat semua orang berteriak.
Dia merasakan sakit itu kembali, perlahan bulir-bulir air keluar dari mata bulat gadis yang tengah terpejam. Pria yang berada disampingnya terus memandanginya, sedangkan Vera ikut menangis karena Cea terus bergumam 'Ibu, jangan pergi!" Vera menghapus air mata Cea lembut.
"Nak, Bunda harus ke rumah sakit sekarang, kamu jagain dia." ucap Vera sambil mengecup pipi anak sulungnya itu, Gavin yang melihat Cea tengah berbaring sambil bergumam tidak jelas hanya bisa duduk disamping ranjang sambil membawa buku tulis.
"Gavin, waktunya tidur siang sekarang." ucap Gravano kepada Gavin, "Enggak mau, Gavin belum kasih ini!" seru Gavin sambil memberikan buku tulis kepada Gravano.
"Pintar sekali, sudah benar semua!" ucap Gravano kagum, ia mengusap kepala Gavin lembut, "Eh, ini dari Kak Cea buat Gavin."
Sebuah gantungan kunci berbentuk matahari membuat Gavin menangis kencang sambil memeluk Cea, "Kak, jangan tidur terus, ayo belajar!" Gavin menangis terisak membuat Gravano bingung, sebegitu berpengaruhnya Cea terhadap hidupnya? Bahkan baru kemarin mereka bertemu.
"Gavin sayang, Kak Cea lagi istirahat jangan berisik nanti dia bangun." ucap Gravano sambil mengusap punggung adiknya, ia mengangkat tubuh mungil adiknya namun sepasang tangan menghentikannya.
"Gavin mau tidur disini?"
Gavin langsung mengangguk dan memposisikan tidurnya di samping Cea, Cea meringis saat ia bergerak untuk memberikan ruang untuk Gavin tidur. Ia memeluk Gavin sambil mengusapnya pelan, Cea sudah sadar saat Gavin tiba-tiba memeluknya dan menangis kencang. Gravano melihat Cea dan Gavin menjadi gemas sendiri, dua orang yang lucu ada didepannya saat ini.
"Aish, kau kenapa Gravano!" batin Gravano, ia memukul kepalanya untuk mengenyahkan pikiran itu. Bagaimanapun dia sangat membenci Cea, sangat. Tapi dia adalah orang pertama yang menitikkan air mata saat membopong Cea masuk ke dalam rumahnya, membuat sang Bunda yang akan bertugas ke rumah sakit menghentikan aktivitasnya dan menangani Cea terlebih dahulu.
"Cea izin enggak bisa belajar dulu, Cea mau pulang." ucap Cea pelan, ia mendudukan tubuhnya pelan lalu berdiri, Cea melihat pantulan dirinya di cermin ada beberapa luka yang terlihat tetapi yang paling sakit adalah bagian perutnya. Sangat sakit.
Gravano membantu Cea untuk berjalan, namum Cea menepis dengan alasan ia bisa sendiri. "Keras kepala banget, sih!" protes Gravano, ia melihat Cea yang meringis membuatnya ikut meringis juga. Sesakit itukah? Hei, apakah ada yang terlihat baik-baik saja setelah terpental karena ditabrak mobil yang sedang memacu kecepatannya?
Cea berhenti melangkah saat berada di ambang pintu, ia membalikkan badannya lalu menatap Gravano, "Terima kasih, maaf merepotkanmu." ucap Cea lalu berlalu pergi. Gravano? Ia tersenyum sangat tipis, namun sedetik kemudian seperti biasa ia akan memukul kepalanya untuk menyadarkan dirinya dari hal yang membuatnya gila ini.
Letta menangis sesenggukan di dada Sean, ia baru mengetahui jika Cea tertabrak oleh mobil, "Sudah sayang, jangan menangis." ucap Sean menenangkan, bukannya tenang Letta malah semakin meraung-raung seperti Cea sudah tidak berada lagi di dunia.
"Baru pulang?"
Cea mengedarkan pandangannya dan mendapati sang Bibi tengah menatapnya tajam, "Malah bengong kamu, cepat masak aku lapar!" Cea melangkahkan dirinya menuju dapur, biasanya sang Nenek yang akan menyambutnya dengan kecupan namun sekarang tidak lagi.
"Kau kenapa?" tanya Vania saat melihat Cea terus meringis.
"Hanya sakit perut, Bi."
"Kau hamil? YAK! KAU PERSIS DENGAN IBUMU SAMA-SAMA JALANG!" Vania meninggikan nadanya dan itu membuat Cea tidak bergeming, ia ingin menangis tapi tolong sekujur tubuhnya minta untuk beristirahat.
"Ikut aku!" Vania menyeret Cea tidak manusiawi, ia mengunci Cea di sebuah gudang, Cea meringis saat tubuhnya menghantam dingin dan kerasnya lantai. Ia menangis terisak kemudian berteriak ketika dengan sengaja Vania mematikan lampu membuat gudang sempit ini gelap, membuat Cea merasakan hal yang peenah ia rasakan dulu.
Hal yang membuatnya trauma.
Hal yang menyiksanya.
Hal yang membuat ia sakit.
Hal yang ia benci, ia benci gelap.
Jari mungilnya dengan cepat membuka aplikasi chat, bibirnya bergetar hebat, bayangan aneh mulai muncul membuat gadis itu tergesa-gesa. Ia segera menghubungi Letta, "Let, C-Cea dikurung lagi." ucap Cea lirih, napasnya tercekat ketika merasakan kepalanya seperti ditusuk begitu saja. Banyak bayangan aneh yang terlintas didepannya, membuat Cea meraung-raung.
"Aish, Cea dikurung lagi aku mau kesana, aku lupa belum jenguk dia!" seru Letta panik, ia memang sedang bertemu dengan Sean di caffe bersama dengan Gravano yang memang diajak oleh Sean untuk menemaninya.
"Dikurung?" Gravano bertanya.
"Iya, Cea suka di sekap di gudang oleh Tante Vania, Cea takut gelap. Ah, aku mau kesana!" panik Letta sambil memasukkan barang-barangnya ke sling bag, lantas berdiri sambil mencoba menghubungi Cea kembali, namun tangannya dicegah.
"Biar gue saja."
Letta terpaku di tempat, apakah dia tahu alamat rumah Cea dimana? Sean bahkan terkejut, kenapa Gravano bertingkah demikian? Ia meraih pundak Letta dan menenangkannya. "Sayang, Cea enggak akan apa-apa, 'kan? Aku belum jenguk dia." tanya Letta dengan pandangan kosongnya.
"Enggak kok, kamu tenang, ya? Kalau kita banyakan kesana nanti Bibi-nya malah makin marahin Cea." ucap Sean sambil menggenggam tangan pacarnya yang dingin.
Pria itu memacu kendaraannya dengan kencang, ia tidak tahu kenapa ia harus seperti ini, sekian lama ia mengenal Cea dan ia selalu membenci anak itu tetapi sekarang setelah lebih tahu tentang kehidupan gadis itu mengapa ia bertingkah seperti ini? Ah, menyebalkan, tapi sungguh Gravano mulai panik.
"Permisi!" seru Gravano, ia menunggu beberapa lama namun tidak ada sahutan sama sekali setelah ia berpuluh-puluh kali memanggil tuan rumah. Adrenalinya meningkat, tidak peduli jika ada orang yang meneriakinya maling, ia hanya ingin masuk ke dalam rumah itu saja.
"Permisi!" ucap Gravano kembali, ia menggedor pintu rumah sederhana didepannya. Ia merogoh ponselnya yang berdering karena panggilan dari Sean, "Kenapa?" ucap Gravano cepat, "Kenapa enggak bilang dari tadi!" Gravano emosi dan langsung mematikan panggilannya.
"Tidak terkunci," lirih Gravano saat membuka pintu, ia langsung berlari ke dalam rumah sambil memanggil nama Cea berkali-kali.
"Cea, lo dimana?" teriak Gravano, ia berlari dan mengetuk semua pintu berharap ada sahutan dari Cea. Atensinya teralihkan ke arah pintu usang yang sedang dikunci, sepertinya dia disana. Gravano langsung membuka kunci dan menyalakan flash di ponselnya dan benar saja disana ada gadis yang tengah terduduk dengan badan bergetar dan tangan yang menutup telinganya rapat.
"Hei, ayo keluar." ucap Gravano lembut, ia meraih tangan Cea yang berada ditelinganya cepat. Ia menatap Cea yang terpejam seperti enggan untuk membuka matanya, dingin, tubuhnya sangat dingin.
"C-Cea takut ada itu," gumam Cea lirih, ia terus menggumamkan sesuatu yang membuat Gravano bergidik ngeri. Gravano dengan segera memeluk tubuh ringkih gadis itu ketika suaranya semakin serak dan pelan, "Kita keluar sekarang."
Gravano mendudukan Cea dan langsung membantunya untuk minum, "Minum dulu biar tenang," Cea menerima air itu dan meminumnya setengah, ia masih terisak pelan, "Mau cerita?" tanya Gravano.
"Eung, hiks, huwa!" tangisan Cea kembali terdengar bahkan lebih keras, Gravano bingung apakah ia mengatakan hal yang salah, "Lo kenapa?" tanya Gravano bingung. Ia mengusap punggung Cea lembut, mungkin gadis ini belum siap untuk menceritakannya lagi pula untuk apa Gravano bertanya demikian? Aish, sungguh, ini seperti bukan Gravano.
"Nenek pergi ke rumah paman dari pagi, jadi Bibi di rumah, Cea tadi pulang telat dia mau makan tetapi pas Cea mau masak dia bilang-" suara Cea tercekat, "Dia bilang yang enggak-enggak terus bilang jelek tentang Ibu Cea, terus dia tarik Cea ke gudang terus Cea di kunci dan lampu gudangnya mati. Cea menghirup napasnya sebelum bercerita lebih, "Maaf, Cea cerita banyak ke Rava, karena memang kemarin Rava tahu kalau Bibi Cea ada disini." ada benarnya juga Gravano memang tahu kemarin Cea diperlakukan kasar oleh Bibinya itu. "E-eh, maaf, Vano maksudnya." Cea meralat perkataanya ketika ia memanggil Gravano dengan sebutan Rava, sedangkan Gravano hanya mengulum bibirnya, ia memasang kembali wajah datarnya namun gagal. Gravano meraih helaian rambut Cea dan ia rapikan asal, "Lo mau tahu kenapa gue benci sama lo?" Cea menatap Gravano penasaran, "Kenapa?" tanya Cea, Gravano menatap dalam mata bulat Cea, "Karena lo lemah, lo mau disiksa bagaimanapun, lo enggak pernah ngelaw
Hari ini hari minggu, ralat, hari ini adalah hari dimana Gravano akan sendiri di rumah. Vera dan Gavin akan pergi ke Thailand untuk mengunjungi rumah Nenek Gavin selama 2 minggu. "Awas, jangan lupa makan!" peringat Vera kepada Gravano yang memeluknya manja. "Rava bisa sendiri 'kan? Bi Muti pulang kampung soalnya." Gravano melepas pelukannya, "Beres Bunda, percayakan kepada Tuan Gravano." ucap Gravano menyombongkan diri, padahal ia tidak bisa apa-apa, dulu jika ia sendiri di rumah ia akan menyuruh teman-temannya untuk membereskan rumahnya dan untuk makan ia akan membelinya diluar. Baru 15 menit Vera dan Gavin keluar dari rumah Gravano sudah meringis, ia melihat rumah seperti kapal pecah, cucian piring menumpuk, dan sekarang ia lapar. Ia harus bagaimana? "Assalamualaikum!" Dengan cepat Gravano membuka pintu, bagaikan keberuntungan memihak kepadanya sekarang. Ia tidak sendiri, ada Cea yang baru datang. "Waalaikumussalam, masuk." Cea menggunakan h
"Mau kamu." Cea tertawa lepas, "Rava lagi sakit, bobo ya, jangan ngelantur, ih!" ucap Cea sambil Gravano merebahkan diri lalu menyelimuti pria itu, "Mau dikompres?" Gravano mengangguk, "Sebentar, ya!" ucap Cea lalu keluar sambil membawa piring dan mangkuk kosong. "Maaf telah menyakitimu dulu, sekarang aku akan melindungimu dan mencintaimu." Jujur Gravano memang telah jatuh hati kepada Cea setelah lebih tau kehidupan Cea yang sebenarnya, ia membenci sikap Cea yang terlalu lemah ternyata ia salah, kenyataan yang berat yang membuatnya tidak sempat untuk melawan takdir. Takdir Cea lebih pedih jika tahu tentang kehidupan wanita itu, jadi, Cea lemah karena lelah. "Astaghfirullah, mata Cea ada dua!" pekik Cea kaget melihat wajah Sean dan Letta berdekatan, dengan polosnya Cea berlalu begitu saja dan mengobrak-abrik tasnya untuk mengambil plester demam. "Itu anak kenapa, aish!" Letta tidak habis fikir dengan tingkah laku Cea, tadi Cea benar-benar terke
"Huh, ujian nasional sudah di depan mata, kalian mau kuliah dimana?" tanya Sean, ia menyandarkan kepalanya di bahu Letta. "Aku ikut Sean, hehe." jawab Letta."Gue enggak tahu, belum ada kampus yang cocok." jawab Gravano, ia memainkan marimong milik Cea. "Cea juga belum tahu, tetapi Cea mau kerja dulu, atau kerja sambil kuliah." ujarnya.Mereka hari ini sedang duduk di kedai ice cream karena Letta berbicara jika ia ingin ice cream. "Letta mau rasa vanilla," ucap Letta saat Sean tiba-tiba berdiri, "Yang lain?" tanya Sean."Eung, Cea mau strawberry." seru Cea, tetapi sedetik kemudian, "Bukan strawberry tapi mint choco, hehe." kekeh Cea, "Eh, bukan, Cea mau rasa mint choco." ucapnya lagi, ingin rasanya Letta melempar sahabatnya ini ke pantai yang ada di depan, tapi ingat, masa depannya masih panjang.Sean melirik ke arah Gravano yang sedang memperhatikan Cea mengusili Sean, "Vano, lo mau rasa apa?" tanya Sean, "Rasa matcha sama strawberry." Sean bingung
"Kakak gila!" Cea menatap tajam Rafka, satu tamparan berhasil mendarat di pipi mulus Cea, Cea semakin takut ia semakin meraung-raung. "Kau bisa diam tidak!" Rafka mendorong tubuh Cea hingga gadis itu tersungkur, ia membuka jaketnya dan langsung berjalan ke arah Cea seperti harimau yang akan memangsa incarannya."Kau akan menjadi milikku, selamanya."Rafka mulai mendekat dengan pandangan yang membuat Cea takut, "Kakak mau apa!" teriak Cea, ia ingin berlari namun ini sudah sampai dipenghujung gang, jalannya buntu."Aaaaa!" Cea berteriak lepas saat Rafka akan memeluk dirinya, namun satu pukulan mendarat di kepala bagian belakang Rafka membuat Rafka limbung tak sadarkan diri. "Rava!" teriak Cea, ia langsung memeluk tubuh pria itu, ia menangis kencang dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Sungguh, ia akan membunuh Rafka jika orang itu masih hidup.Gravano mengusap punggung Cea hingga gadis itu relaks, ia m
Sejak kepulangan Vera dan Gavin dari Thailand, Cea semakin dekat dengan keluarga Valery. Hal yang membahagiakan untuk Vera karena melihat Gavin dan Gravanno lebih banyak tertawa, Gavin senang karena ia bisa bersama Cea lebih sering bahkan Cea setiap minggu akan datang untuk membantu Bunda memasak.Untuk Gravano tersendiri, ia lebih banyak merasakan kebahagiaan karena bisa lebih dekat dan melihat tingkah Cea yang belum pernah ia lihat. Saat gadis itu menenangkan Gavin yang terjatuh, ia sangat telaten mengurus luka Gavin hingga meredakkan tangisnya. Cea terlihat sangat sabar dan selalu tersenyum bahkan Gavin pernah berontak tidak ingin belajar namun Cea membujuknya dan hingga sekarang Gavin selalu semangat untuk belajar."Bunda mertua, aku datang!"Cea menatap Gravano yang terlihat memasang wajah datarnya lalu beranjak pergi. "Siapa?" tanya Cea, "Pacarnya Kak Rava." jawab Gavin polos, Cea hanya tersenyum nanar, ternyata Gravano sudah mempunyai pawang."Tapi
"Cea, you fine?" tanya Letta sambil memegang kedua pundak sahabatnya itu, Cea hanya mengangguk. Tiba-tiba terlintas pemikiran kenapa Gavin tidak memberitahu jika bukan Cea yang melakukannya, kenapa? Tetapi ia tepis pemikiran itu, mungkin bisa saja tidak ada yang bertanya atau Gavin melupakannya.Gavin kecil menatap wajah Vera sambil merengek, "Mau ketemu Kak Cea, Bunda!" Vera mengusap kepala Gavin, "Bukan Kak Cea yang dorong aku!" ucap Gavin sambil terisak."Bunda enggak percaya sayang, Kak Ariana yang berkata jika Kak Cea yang melakukannya. Lagian Kak Rava enggak mau bertemu dengan Kak Cea, kamu mengerti bukan?"Gavin menjauh, ia sangat kesal sekarang, "Bunda lihat saja di cctv, 'kan cctv ada di ruang belajarnya Gavin!" ucap Gavin begitu saja, ia berlalu menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Menyisakan Vera yang merutuki dirinya sendiri, ia bahkan melupakan tentang cctv itu, dengan segera Vera membuka laptop dan melihat rekamannya. "Jadi?" lirih Vera
Cea menatap kosong ke arah Gravano yang tengah membersihkan lukanya dengan telaten, "Itu Bunda yang ganti," ucap Gravano yang melihat Cea memandangi kaos putih besar yang dikenakannya, baju ia yang sebelumnya telah rusak dan kotor jadi Vera inisiatif untuk membuangnya dan menggantikan dengan yang baru."Bunda mana?" tanya Cea."Bunda pulang, ini sudah malam soalnya." Gravano menutup kotak P3K dan beranjak keluar kamar. Cea di bawa Gravano keapartementnya setelah Vera meminta izin dan menenangkan Nenek Cea agar tetap tenang karena Cea akan baik-baik saja disini.Gravano kembali dengan sebuah nampan yang berisikan soto ayam lengkap dengan satu mangkuk nasi dan satu kotak susu strawberry. "Makan dulu," ucap Gravano."Maaf merepotkan." Cea mengambil nampan dan menyuapkan satu suap nasi dengan kuah soto."Rava minta maaf untuk semuanya, maaf Rava enggak percaya ke Cea, maaf bikin Cea sakit."Cea terkekeh, "Enggak apa-apa, ini mau?" ucap Cea sambi