"Kak, ini sudah benar?" tanya Gavin, anak kelas 3 itu menunjukkan hasil kerjanya. Cea tersenyum, "Pintar sekali, padahal baru diajarin satu kali!" seru Cea kagum, ia semakin gemas ketika anak didepannya tersipu malu. Ingin rasanya Cea mencubit dan memakan pipi gembul anak itu, tapi ia tahan jika kebablasan sama saja dengan menyerahkan nyawanya kepada Gravano.
Cea memandang ke arah jendela dan melihat awan yang mulai menghitam, "Gavin, ini kakak kasih soal sepuluh, besok kakak check jika benar semua kakak kasih kamu hadiah, kamu suka apa?" tanya Cea menatap gemas ke arah anak yang sedang mencoba berpikir itu.
"Gavin suka matahari, Kak!" serunya semangat, Cea mengangguk mengerti. "Kakak pulang sekarang, besok kita bertemu lagi, okay?" ucap Cea sambil membantu Gavin membereskan alat tulisnya, Bunda GavinㅡVera menghampiri mereka.
"Sudah selesai?" tanyanya, Cea mengangguk lantas tersenyum. "Pulangnya diantar Gravano, dia sudah menunggu di depan." ucapnya.
Cea terdiam sejenak, "Aku naik angkutan umum saja, Bu." elaknya, "Jangan pulang sendirian ini sudah malam dan jangan panggil Ibu, panggil Bunda saja, okay?" ucapnya sambil mengelus puncak kepala Cea, seketika Cea ingin menangis tetapi ia malu, jadi ia segera bergegas menyetujui jika Gravano akan mengantarkannya.
"Lama banget!" ketus Gravano, Cea hanya menunduk dan tak menggubris ucapan pria didepannya ini, ia langsung duduk tak lupa ia terus membawa jaket dan tas Gravano niatnya ia akan mencucinya terlebih dahulu.
"Rumah lo dimana?" tanya Gravano, Cea menjelaskan singkat ia tidak banyak bicara saat ini ia hanya butuh tempat sunyi untuk ia mencurahkan semua rasa sakit dan sedihnya. Ia rindu Ibunya, sangat rindu.
Setelah sampai di lokasi tujuan, Cea langsung turun, "Tas sama jaketnya Cea cuci dulu, besok Cea kembalikan, terima kasih." ucap Cea sambil berlalu, ia tetap menunduk membuat Gravano bingung seketika, dengan menepis rasa bingungnya Gravano langsung berniat pulang kerumahnya sebelum melihat langkah Cea yang terhenti di depan wanita yang sepertinya sudah berumur.
"Bibi, mana Ibu?!" tanya Cea, suaranya gemetar. Gravano hanya diam tak bergeming, ia semakin penasaran dengan gadis dan orang-orang disekitarnya itu.
"Kau masih saja bertanya tentang dia, kau tahu dia meninggalkanmu karena kau adalah aib untuknya, bersyukur nenekmu masih menerimamu, sekarang aku tinggal disini dan turuti perintahku!" Tubuh ringkih Cea didorong kencang oleh sang Bibi membuat tubuhnya limbung dan akhirnya terjatuh dengan siku yang menopang tubuhnya.
Cea menangis dalam diam, ia segera berdiri dan menepuk tas beserta jaket milik Gravano yang sedikit kotor, ia mengubah posisi tasnya menjadi ke depan sehingga ia bisa memeluk tas tersebut. Ia menyandarkan diri di tembok lalu membenturkan kepala bagian belakangnya berulang kali sambil terisak pedih. Kenapa harus menimpa dirinya? Sungguh, ia hanya ingin bertemu Ibunya untuk sang Ayah, beliau telah meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.
"Kau ingin otakmu hancur lalu kau tidak bisa menjadi guru untuk Gavin?!" seru Gravano yang tiba-tiba menahan kepala Cea yang akan Cea benturkan, Cea sangat terkejut ia sampai tidak sadar jika Gravano belum beranjak pergi, ia mengusap air matanya cepat lalu tersenyum, "Tenang, Cea punya otak cadangan." ujarnya membuat Gravano mengusap wajahnya kasar tidak habis pikir dengan gadis didepannya ini.
"Cea masuk dulu, hati-hati!" seru Cea riang, kali ini Gravano menjadi lebih bingung kenapa mudah sekali suasana hati gadis itu membaik setelah perkataan yang tidak pantas diujarkan padanya. Tapi lagi dan lagi Gravano menepis pemikirannya itu, untuk apa dia peduli kepada Cea? "Dasar lemah!" geram Gravano, ia langsung pergi menjauh dari kawasan itu dan langsung pulang kerumahnya.
Cea mengerjapkan matanya saat suara dering alarm membangunkan mimpi indahnya, ia merasa sangat pusing pasalnya ia menangis hingga tertidur bahkan ia tidak sempat untuk mengisi perutnya. Mata sembab menghiasi penampilan gadis bermata bulat dan berpipi tembam itu, ia menghembuskan napas kasar, "Hari ini akan lebih bahagia dari kemari, semangat!" seru Cea menyemangati dirinya sendiri.
"Nenek, Cea berangkat, ya!" ucap Cea sambil tersenyum lebar, "Tidak sarapan dulu?" tanya sang Nenek, Cea menggeleng, pasalnya jika ia makan pasti stok beras akan habis sebelum waktunya apalagi sekarang ditambah dengan adanya sang BibiㅡVania.
"Cea, kesini!" teriakan Vania membuat Cea segera menghampirinya, "Kau jemur semua ini, cepat!" ucap sang Bibi, Cea menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 7 ia pasti akan terlambat hari ini.
Gadis itu merengek selama 10 menit namun tetap security tidak bisa memberikannya akses untuk masuk, "Pak, Cea mohon, please." bahkan wajahnya sudah ia buat semenggemaskan mungkin, ia meniup poninya asal, lalu membuat puppy eyes namun tetap saja securityㅡPak Soni itu tidak mau membuka gerbangnya.
"Jahat banget, huwa!" Cea mencebikkan bibirnya sebal, ia menghentakkan kakinya tanda ia sedang kesal, ia lalu duduk di halte bus. "Masa disini seharian, huw-"
Teriakan Cea diredam oleh sebuah roti tawar isi cokelat yang disumpalkan paksa oleh oknum yang mengantarnya semalam, "Berisik banget telat juga!" ucapnya sewot.
"Eung?" tanya Cea bingung, matanya berkedip polos, sedetik kemudian ia tersadar jika ia sudah telat. Apakah Gravano juga telat? Kenapa wajahnya sangat santai, bahkan kelewat santai.
"I-ini jaket sama tas yang kemarin, sudah Cea cuci, sudah wangi juga." ucapnya.
"Bener wangi?" tanya Gravano meremehkan Cea, Cea ingin sekali memukul pria didepannya ini, kenapa ia terlihat semakin menyebalkan. Gravano mengendus jaketnya dan memang wangi, wangi bayi, tapi Gravano menyukainya.
Cea perlahan menjaga jarak dari Gravano yang terduduk disampingnya, lalu ia mengayunkan kakinya yang tidak bisa mencapai tanah saat ia duduk di kursi halte, sebegitu pendeknya kaki Cea. Ia menatap langit yang snagat cerah, seperti teringat sesuatu Cea langsung berlari meninggalkan Gravano yang masih terlena karena wangi bedak bayi begitu ketara dijaketnya.
"Pak, ini berapa?" tanya Cea sambil menunjuk gantungan berbentuk matahari, "Itu lima belas ribu." Cea langsung mengeluarkan uang pas, "Terima kasih, Pak!" ujar Cea, ia kembali menunggu di halte bus untung saja ada pedagang yang menjual gantungan lucu seperti in, pasti Gavin suka. Pasti.
"Wangi enggak?" tanya Cea memastikan, pasalnya ia sedikit ngeri dengan tingkah Gravano yang belum selesai mencium aroma jaketnya itu. Gravano yang melihat tatapan Cea bingung dengan sesegera mungkin memasang wajah datarnya.
"Kenapa, ada apa?!"
Cea menggeleng lantas mengalihkan netranya untuk mencari hal yang lebih menyenangkan daripada menunggu hingga jam pulang tiba, ia bosan, sangat. Matanya membulat ketika melihat baby stroller melaju begitu saja sedangkan mobil melaju kencang berlawanan arah.
"Awas!" teriak Cea, ia menarik baby stroller dengan cepat lalu mendorong ke arah wanita yang sedang berteriak tanpa memperhatikan situasinya sekarang, Cea tersenyum saat ibu bayi itu mengecup anaknya senang hingga pekikan Gravano membuat Cea tersadar.
"Aaaaa!"
Tubuh Cea terpental beberapa meter, Gravano berlari menghampiri Cea dengan jantung yang berdebar kencang bahkan napasnya tercekat saat suara mobil itu menghantam tubuh Cea. "Lo enggak apa-apa?!" tanya Gravano panik, Cea tersenyum lebar, "Ini buat Gavin." ucapnya menahan sakit, ia merogoh saku seragamnya dan memberikan gantungan berbentuk matahari lalu semuanya menjadi gelap.
"Ibu mau kemana?!" teriak gadis mungil dengan wajahnya yang sudah memerah, ia menangis sejadi-jadinya saat sang Ibu menendangnya agar menjauh darinya."Menjauh dariku atau aku akan membunuhmu!" wanita itu berteriak sambil menyiratkan kebenciannya kepada gadis kecil yang sedang menangis ketakutan. "Ah, aku sangat membencimu kenapa kau terus hidup padahal aku menginginkan kau mati!""Jaga perkataanmu, Hani, dia anakmu!""Mas saja yang urus dia, aku? Mau pergi!""Ibu tolong jangan pelgi!" pekik gadis mungil itu sambil berlari menuju mobil yang ditumpangi oleh Ibunya, ia meraih gagang pintu mobil namun nahas tubuhnya tertarik begitu saja membuat semua orang berteriak.Dia merasakan sakit itu kembali, perlahan bulir-bulir air keluar dari mata bulat gadis yang tengah terpejam. Pria yang berada disampingnya terus memandanginya, sedangkan Vera ikut menangis karena Cea terus bergumam 'Ibu, jangan pergi!" Vera menghapus air mata Cea lembut."Nak, Bund
"Nenek pergi ke rumah paman dari pagi, jadi Bibi di rumah, Cea tadi pulang telat dia mau makan tetapi pas Cea mau masak dia bilang-" suara Cea tercekat, "Dia bilang yang enggak-enggak terus bilang jelek tentang Ibu Cea, terus dia tarik Cea ke gudang terus Cea di kunci dan lampu gudangnya mati. Cea menghirup napasnya sebelum bercerita lebih, "Maaf, Cea cerita banyak ke Rava, karena memang kemarin Rava tahu kalau Bibi Cea ada disini." ada benarnya juga Gravano memang tahu kemarin Cea diperlakukan kasar oleh Bibinya itu. "E-eh, maaf, Vano maksudnya." Cea meralat perkataanya ketika ia memanggil Gravano dengan sebutan Rava, sedangkan Gravano hanya mengulum bibirnya, ia memasang kembali wajah datarnya namun gagal. Gravano meraih helaian rambut Cea dan ia rapikan asal, "Lo mau tahu kenapa gue benci sama lo?" Cea menatap Gravano penasaran, "Kenapa?" tanya Cea, Gravano menatap dalam mata bulat Cea, "Karena lo lemah, lo mau disiksa bagaimanapun, lo enggak pernah ngelaw
Hari ini hari minggu, ralat, hari ini adalah hari dimana Gravano akan sendiri di rumah. Vera dan Gavin akan pergi ke Thailand untuk mengunjungi rumah Nenek Gavin selama 2 minggu. "Awas, jangan lupa makan!" peringat Vera kepada Gravano yang memeluknya manja. "Rava bisa sendiri 'kan? Bi Muti pulang kampung soalnya." Gravano melepas pelukannya, "Beres Bunda, percayakan kepada Tuan Gravano." ucap Gravano menyombongkan diri, padahal ia tidak bisa apa-apa, dulu jika ia sendiri di rumah ia akan menyuruh teman-temannya untuk membereskan rumahnya dan untuk makan ia akan membelinya diluar. Baru 15 menit Vera dan Gavin keluar dari rumah Gravano sudah meringis, ia melihat rumah seperti kapal pecah, cucian piring menumpuk, dan sekarang ia lapar. Ia harus bagaimana? "Assalamualaikum!" Dengan cepat Gravano membuka pintu, bagaikan keberuntungan memihak kepadanya sekarang. Ia tidak sendiri, ada Cea yang baru datang. "Waalaikumussalam, masuk." Cea menggunakan h
"Mau kamu." Cea tertawa lepas, "Rava lagi sakit, bobo ya, jangan ngelantur, ih!" ucap Cea sambil Gravano merebahkan diri lalu menyelimuti pria itu, "Mau dikompres?" Gravano mengangguk, "Sebentar, ya!" ucap Cea lalu keluar sambil membawa piring dan mangkuk kosong. "Maaf telah menyakitimu dulu, sekarang aku akan melindungimu dan mencintaimu." Jujur Gravano memang telah jatuh hati kepada Cea setelah lebih tau kehidupan Cea yang sebenarnya, ia membenci sikap Cea yang terlalu lemah ternyata ia salah, kenyataan yang berat yang membuatnya tidak sempat untuk melawan takdir. Takdir Cea lebih pedih jika tahu tentang kehidupan wanita itu, jadi, Cea lemah karena lelah. "Astaghfirullah, mata Cea ada dua!" pekik Cea kaget melihat wajah Sean dan Letta berdekatan, dengan polosnya Cea berlalu begitu saja dan mengobrak-abrik tasnya untuk mengambil plester demam. "Itu anak kenapa, aish!" Letta tidak habis fikir dengan tingkah laku Cea, tadi Cea benar-benar terke
"Huh, ujian nasional sudah di depan mata, kalian mau kuliah dimana?" tanya Sean, ia menyandarkan kepalanya di bahu Letta. "Aku ikut Sean, hehe." jawab Letta."Gue enggak tahu, belum ada kampus yang cocok." jawab Gravano, ia memainkan marimong milik Cea. "Cea juga belum tahu, tetapi Cea mau kerja dulu, atau kerja sambil kuliah." ujarnya.Mereka hari ini sedang duduk di kedai ice cream karena Letta berbicara jika ia ingin ice cream. "Letta mau rasa vanilla," ucap Letta saat Sean tiba-tiba berdiri, "Yang lain?" tanya Sean."Eung, Cea mau strawberry." seru Cea, tetapi sedetik kemudian, "Bukan strawberry tapi mint choco, hehe." kekeh Cea, "Eh, bukan, Cea mau rasa mint choco." ucapnya lagi, ingin rasanya Letta melempar sahabatnya ini ke pantai yang ada di depan, tapi ingat, masa depannya masih panjang.Sean melirik ke arah Gravano yang sedang memperhatikan Cea mengusili Sean, "Vano, lo mau rasa apa?" tanya Sean, "Rasa matcha sama strawberry." Sean bingung
"Kakak gila!" Cea menatap tajam Rafka, satu tamparan berhasil mendarat di pipi mulus Cea, Cea semakin takut ia semakin meraung-raung. "Kau bisa diam tidak!" Rafka mendorong tubuh Cea hingga gadis itu tersungkur, ia membuka jaketnya dan langsung berjalan ke arah Cea seperti harimau yang akan memangsa incarannya."Kau akan menjadi milikku, selamanya."Rafka mulai mendekat dengan pandangan yang membuat Cea takut, "Kakak mau apa!" teriak Cea, ia ingin berlari namun ini sudah sampai dipenghujung gang, jalannya buntu."Aaaaa!" Cea berteriak lepas saat Rafka akan memeluk dirinya, namun satu pukulan mendarat di kepala bagian belakang Rafka membuat Rafka limbung tak sadarkan diri. "Rava!" teriak Cea, ia langsung memeluk tubuh pria itu, ia menangis kencang dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Sungguh, ia akan membunuh Rafka jika orang itu masih hidup.Gravano mengusap punggung Cea hingga gadis itu relaks, ia m
Sejak kepulangan Vera dan Gavin dari Thailand, Cea semakin dekat dengan keluarga Valery. Hal yang membahagiakan untuk Vera karena melihat Gavin dan Gravanno lebih banyak tertawa, Gavin senang karena ia bisa bersama Cea lebih sering bahkan Cea setiap minggu akan datang untuk membantu Bunda memasak.Untuk Gravano tersendiri, ia lebih banyak merasakan kebahagiaan karena bisa lebih dekat dan melihat tingkah Cea yang belum pernah ia lihat. Saat gadis itu menenangkan Gavin yang terjatuh, ia sangat telaten mengurus luka Gavin hingga meredakkan tangisnya. Cea terlihat sangat sabar dan selalu tersenyum bahkan Gavin pernah berontak tidak ingin belajar namun Cea membujuknya dan hingga sekarang Gavin selalu semangat untuk belajar."Bunda mertua, aku datang!"Cea menatap Gravano yang terlihat memasang wajah datarnya lalu beranjak pergi. "Siapa?" tanya Cea, "Pacarnya Kak Rava." jawab Gavin polos, Cea hanya tersenyum nanar, ternyata Gravano sudah mempunyai pawang."Tapi
"Cea, you fine?" tanya Letta sambil memegang kedua pundak sahabatnya itu, Cea hanya mengangguk. Tiba-tiba terlintas pemikiran kenapa Gavin tidak memberitahu jika bukan Cea yang melakukannya, kenapa? Tetapi ia tepis pemikiran itu, mungkin bisa saja tidak ada yang bertanya atau Gavin melupakannya.Gavin kecil menatap wajah Vera sambil merengek, "Mau ketemu Kak Cea, Bunda!" Vera mengusap kepala Gavin, "Bukan Kak Cea yang dorong aku!" ucap Gavin sambil terisak."Bunda enggak percaya sayang, Kak Ariana yang berkata jika Kak Cea yang melakukannya. Lagian Kak Rava enggak mau bertemu dengan Kak Cea, kamu mengerti bukan?"Gavin menjauh, ia sangat kesal sekarang, "Bunda lihat saja di cctv, 'kan cctv ada di ruang belajarnya Gavin!" ucap Gavin begitu saja, ia berlalu menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Menyisakan Vera yang merutuki dirinya sendiri, ia bahkan melupakan tentang cctv itu, dengan segera Vera membuka laptop dan melihat rekamannya. "Jadi?" lirih Vera