Semuanya akan menjauh saat kita rapuh.
***
Suara gebrakan membuat seisi kantin menjadi hening, sedetik kemudian cairan berwarna coklat mengalir di atas pucuk kepala gadis bermata bulat dengan pipi tembam. Latte. Cea hanya bisa menangis dalam diam saat suara tertawaan dan cacian mengisi indra pendengarannya itu.
"Kalian bisa diam enggak!" teriak seorang gadis, ia mengambil susu kotak Cea dan membukanya lebar lalu dengan cepat ia mengguyur orang yang telah mengguyur Cea sebelumnya.
"Yak! Kau berani padaku?" tanyanya dengan nada meninggi, dia adalah Ariana Glaveria primadona di SMAN IT CYANIDE, sekolah mewah dengan fasilitas luar biasa.
Gadis itu menarik Cea untuk menjauhi Ariana dan kantin, "Ayo, bersihkan dulu latte-nya." ucap Letta, Scarletta Pastelizie Beatrice, sahabat Cea satu-satunya yang tersisa setelah kasus orang tua Cea yang membuat semua teman-temannya menjauh dan mengolok-oloknya.
"Terima kasih," ucap Cea lirih, ia menerima seragam olahraga dari Letta lalu mulai mencuci rambut dan mengganti bajunya. Ia menyentuh pelan nama yang terukir di seragam bagian dada kanan, Belxaviacea Milkyta S, nama yang sangat indah namun tidak dengan kehidupannya yang sekarang.
"Cea, sudah?" suara Letta menyadarkan Cea yang tengah melamun, dengan buru-buru ia merapikan rambutnya yang masih basah lalu keluar dengan senyum lebarnya. Senyum yang tidak pernah hilang, walau ia sedang tidak baik-baik saja.
"Untung banget hari ini jadwal olahraga jadi ada baju ganti, kamu duluan, aku mau ganti baju dulu." ucap Letta sambil masuk ke dalam kamar mandi, Cea menatap langit yang teramat cerah, matahari seperti berada tepat di atas kepalanya membuat rambut Cea yang basah berangsur kering.
Cea menatap ke arah lapang dengan pandangan kosong, ia sedang terduduk sendiri di sebuah kursi, ia teringat sebelum tragedi itu ia akan selalu bercanda tawa dengan teman-temannya yang lain saat Letta sedang bermain bulu tangkis. Namun, sekarang ia harus menerima kenyataan pahit jika teman-temannya yang lain hanya memandang tingkat kekayaan seseorang untuk dijadikan teman.
"Cea, sini main!" teriak Letta sambil melambaikan raket, Cea tersenyum dan langsung menghampiri Letta. Mereka mulai bermain dengan saling melemparkan tawa, mereka sangat menikmati permainan di bawah terik matahari membuat bulir-bulir keringat bercucuran dengan bebas.
"Permisi, aku mau ikut main." Letta dan Cea menatap pria itu, Sean Dylan Nathaniel. Letta langsung tersipu saat tangan Sean mengusap pucuk kepalanya gemas.
Cea yang melihat pemandangan didepannya hanya terkekeh, ia memundurkan tubuhnya untuk mengistirahatkan tubuhnya sebentar, tanpa melihat ke belakang Cea terus melangkah mundur hingga dada bidang seorang pria bertubrukan dengan kepalanya. Sedetik kemudian tubuh Cea terdorong karena ulah pria dibelakangnya membuat Cea hampir terjatuh.
"Kalau jalan itu ke depan, bodoh!" ucap pria itu sambil menoyor kepala Cea, "Kau sangat tidak sopan Tuan Gravano!" ucap Letta tajam kepada Gravano Axander Valery, sahabat dari Sean.
"Sudah, Cea enggak kenapa-kenapa." lerai Cea sambil tersenyum simpul, Gravano melihat Cea dengan tatapan tidak sukanya, "Apa banget!" ucap Gravano sambil melenggang pergi sementara Cea juga melangkahkan kaki untuk duduk kembali di kursi lapangan sambil menunggu jam pulang tiba.
Jam pulang sudah tiba, Cea dan Letta mengemas barangnya masing-masing, "Pulang sama siapa?" tanya Letta kepada Cea.
"Sendiri dong!" jawab Cea antusias sambil menggendong tas-nya, namun baru saja ia berjalan seluruh isi dari tas-nya keluar begitu saja. Demi apapun Cea terkejut, begitupun Letta yang langsung mengumpulkan barang-barang Cea yang berserakan.
"Tas-nya bolong, itu bekas sayatan!" seru Letta sambil menunjuk tas Cea, semua teman-teman sekelasnya hanya melihat bahkan ada yang menertawakan dan menendang buku-buku Cea.
Cea hanya menghembuskan napasnya berat, "Eung, Letta pulang duluan itu ada Sean di depan." ucap Cea sambil melihat Arka dengan cepat berjalan kearahnya, "Ini kenapa?" tanya Arka bingung.
"Ada yang ngerusakin tas-nya Cea!" ucap Letta emosi, ia mendumal sambil memungut barang-barang Cea hingga Sean merasa gemas dan mengusap rambut Letta, "Jangan marah, sebentar ya." ucap Sean sambil berlari keluar.
Beberapa waktu kemudian ia datang sambil membawa sebuah tas, terlihat sangat familiar karena memang semua orang mengetahuinya, itu tas milik Gravano. "Pakai ini dulu," ucap Sean sambil membuka tas hitam itu, "Punya Gravano." lanjutnya saat melihat wajah Cea dan pacarnya bingung.
"Eh-eh, jangan, biar aku pakai kantung plastik ini saja!" tahan Cea, ia tidak bisa untuk berbuat seperti itu, yang ada ia akan menjadi bahan ledekan Gravano. Jujur, semua hal yang Gravano lakukan dan Gravano ucapkan, sangat menyakiti hatinya, lebih menyakitkan karena Gravano sangat membencinya sementara Cea tidak tahu alasannya.
"Lo pakai, setelah itu ikut gue, cepat!" tiba-tiba Gravano dengan tatapan tajamnya muncul begitu saja dan langsung membuat Cea panik memasukkan barang-barangnya ke tas pria itu.
Letta memegang bahu sahabatnya itu, "Hati-hati, kalau ada apa-apa bilang." ucap Letta lantas pergi menghampiri Sean, Cea dengan pelan berjalan mendekat ke arah Gravano yang tengah fokus menatap pantulan sempurnanya di kaca spion. Dasar pria.
"Mau kemana?" tanya Cea, "Banyak nanya, ayo naik!" ucap Gravano dingin, "Eung, tap-"
"Naik!" suaranya begitu menusuk ulu hati Cea dengan lelah ia menaiki jok kosong di belakang punggung Gravano, ia sedikit kesusahan dan bingung bagaimana posisi ia duduk sementara roknya terangkat begitu saja. "Kenapa lagi?" tanya Gravano yang heran dengan Cea yang terlihat gusar, ia membuka jaketnya dan langsung memberikannya kepada Cea, "Pakai, jangan jadi jalang karena kau mengekspos kakimu itu!"
Cea segera menata jaket Gravano untuk menutupi pahanya, ia menghembuskan napas kasar. Ia sangat bingung kenapa Gravano mengajaknya. Apakah Gravano akan mendorong Cea dari atas jembatan yang dibawahnya adalah sungai? Atau mungkin membawa Cea ke rooftop gedung pencakar langit lalu mendorongnya? Aish, tolong singkirkan pemikiran jeleknya saat ini. Tapi, jujur Cea takut, namun ia tidak berani untuk bertanya.
"Turun, cepat!" titah Gravano membuat Cea tersentak.
Ternyata Gravano membawa Cea ke rumahnya, mereka langsung di sambut oleh wanita paruh baya yang tersenyum lebar beserta seorang anak laki-laki yang sedang membawa buku pelajarannya. "Bun, ini temanku yang mau jadi guru privat buat Gavin, dia murid berprestasi dan pastinya dia baik, Bun!" seru Gravano semangat.
Cea tersenyum mendengar penjelasan Gravano, sedetik kemudian matanya membulat, "H-hah, g-guru pri-vat?" ucap Cea terbata, ia menunjuk ke arah dirinya sendiri. Tapi, sebelum Bundanya mengira yang tidak-tidak, Gravano langsung menarik lengan Cea dan GavinㅡAdiknya untuk langsung belajar.
"Tugas lo disini hanya menemani Gavin belajar, satu hari 4 jam, itu berlaku setiap hari kecuali hari minggu. Untuk upah itu akan diurus sama Bunda gue, jangan macam-macam disini." ucap Gravano pelan, Cea hanya mengangguk, jujur ia juga butuh pemasukan untuk memenuhi keperluannya, mengingat sang Ibu hilang entah kemana dan ia hidup dengan uang neneknya. Ia akan menerimanya, semoga ini bukan penyiksaan baru yang Gravano lakukan padanya.
"Kak, ini sudah benar?" tanya Gavin, anak kelas 3 itu menunjukkan hasil kerjanya. Cea tersenyum, "Pintar sekali, padahal baru diajarin satu kali!" seru Cea kagum, ia semakin gemas ketika anak didepannya tersipu malu. Ingin rasanya Cea mencubit dan memakan pipi gembul anak itu, tapi ia tahan jika kebablasan sama saja dengan menyerahkan nyawanya kepada Gravano. Cea memandang ke arah jendela dan melihat awan yang mulai menghitam, "Gavin, ini kakak kasih soal sepuluh, besok kakak check jika benar semua kakak kasih kamu hadiah, kamu suka apa?" tanya Cea menatap gemas ke arah anak yang sedang mencoba berpikir itu. "Gavin suka matahari, Kak!" serunya semangat, Cea mengangguk mengerti. "Kakak pulang sekarang, besok kita bertemu lagi, okay?" ucap Cea sambil membantu Gavin membereskan alat tulisnya, Bunda GavinㅡVera menghampiri mereka. "Sudah selesai?" tanyanya, Cea mengangguk lantas tersenyum. "Pulangnya diantar Gravano, dia sudah menunggu di depan." ucapnya.
"Ibu mau kemana?!" teriak gadis mungil dengan wajahnya yang sudah memerah, ia menangis sejadi-jadinya saat sang Ibu menendangnya agar menjauh darinya."Menjauh dariku atau aku akan membunuhmu!" wanita itu berteriak sambil menyiratkan kebenciannya kepada gadis kecil yang sedang menangis ketakutan. "Ah, aku sangat membencimu kenapa kau terus hidup padahal aku menginginkan kau mati!""Jaga perkataanmu, Hani, dia anakmu!""Mas saja yang urus dia, aku? Mau pergi!""Ibu tolong jangan pelgi!" pekik gadis mungil itu sambil berlari menuju mobil yang ditumpangi oleh Ibunya, ia meraih gagang pintu mobil namun nahas tubuhnya tertarik begitu saja membuat semua orang berteriak.Dia merasakan sakit itu kembali, perlahan bulir-bulir air keluar dari mata bulat gadis yang tengah terpejam. Pria yang berada disampingnya terus memandanginya, sedangkan Vera ikut menangis karena Cea terus bergumam 'Ibu, jangan pergi!" Vera menghapus air mata Cea lembut."Nak, Bund
"Nenek pergi ke rumah paman dari pagi, jadi Bibi di rumah, Cea tadi pulang telat dia mau makan tetapi pas Cea mau masak dia bilang-" suara Cea tercekat, "Dia bilang yang enggak-enggak terus bilang jelek tentang Ibu Cea, terus dia tarik Cea ke gudang terus Cea di kunci dan lampu gudangnya mati. Cea menghirup napasnya sebelum bercerita lebih, "Maaf, Cea cerita banyak ke Rava, karena memang kemarin Rava tahu kalau Bibi Cea ada disini." ada benarnya juga Gravano memang tahu kemarin Cea diperlakukan kasar oleh Bibinya itu. "E-eh, maaf, Vano maksudnya." Cea meralat perkataanya ketika ia memanggil Gravano dengan sebutan Rava, sedangkan Gravano hanya mengulum bibirnya, ia memasang kembali wajah datarnya namun gagal. Gravano meraih helaian rambut Cea dan ia rapikan asal, "Lo mau tahu kenapa gue benci sama lo?" Cea menatap Gravano penasaran, "Kenapa?" tanya Cea, Gravano menatap dalam mata bulat Cea, "Karena lo lemah, lo mau disiksa bagaimanapun, lo enggak pernah ngelaw
Hari ini hari minggu, ralat, hari ini adalah hari dimana Gravano akan sendiri di rumah. Vera dan Gavin akan pergi ke Thailand untuk mengunjungi rumah Nenek Gavin selama 2 minggu. "Awas, jangan lupa makan!" peringat Vera kepada Gravano yang memeluknya manja. "Rava bisa sendiri 'kan? Bi Muti pulang kampung soalnya." Gravano melepas pelukannya, "Beres Bunda, percayakan kepada Tuan Gravano." ucap Gravano menyombongkan diri, padahal ia tidak bisa apa-apa, dulu jika ia sendiri di rumah ia akan menyuruh teman-temannya untuk membereskan rumahnya dan untuk makan ia akan membelinya diluar. Baru 15 menit Vera dan Gavin keluar dari rumah Gravano sudah meringis, ia melihat rumah seperti kapal pecah, cucian piring menumpuk, dan sekarang ia lapar. Ia harus bagaimana? "Assalamualaikum!" Dengan cepat Gravano membuka pintu, bagaikan keberuntungan memihak kepadanya sekarang. Ia tidak sendiri, ada Cea yang baru datang. "Waalaikumussalam, masuk." Cea menggunakan h
"Mau kamu." Cea tertawa lepas, "Rava lagi sakit, bobo ya, jangan ngelantur, ih!" ucap Cea sambil Gravano merebahkan diri lalu menyelimuti pria itu, "Mau dikompres?" Gravano mengangguk, "Sebentar, ya!" ucap Cea lalu keluar sambil membawa piring dan mangkuk kosong. "Maaf telah menyakitimu dulu, sekarang aku akan melindungimu dan mencintaimu." Jujur Gravano memang telah jatuh hati kepada Cea setelah lebih tau kehidupan Cea yang sebenarnya, ia membenci sikap Cea yang terlalu lemah ternyata ia salah, kenyataan yang berat yang membuatnya tidak sempat untuk melawan takdir. Takdir Cea lebih pedih jika tahu tentang kehidupan wanita itu, jadi, Cea lemah karena lelah. "Astaghfirullah, mata Cea ada dua!" pekik Cea kaget melihat wajah Sean dan Letta berdekatan, dengan polosnya Cea berlalu begitu saja dan mengobrak-abrik tasnya untuk mengambil plester demam. "Itu anak kenapa, aish!" Letta tidak habis fikir dengan tingkah laku Cea, tadi Cea benar-benar terke
"Huh, ujian nasional sudah di depan mata, kalian mau kuliah dimana?" tanya Sean, ia menyandarkan kepalanya di bahu Letta. "Aku ikut Sean, hehe." jawab Letta."Gue enggak tahu, belum ada kampus yang cocok." jawab Gravano, ia memainkan marimong milik Cea. "Cea juga belum tahu, tetapi Cea mau kerja dulu, atau kerja sambil kuliah." ujarnya.Mereka hari ini sedang duduk di kedai ice cream karena Letta berbicara jika ia ingin ice cream. "Letta mau rasa vanilla," ucap Letta saat Sean tiba-tiba berdiri, "Yang lain?" tanya Sean."Eung, Cea mau strawberry." seru Cea, tetapi sedetik kemudian, "Bukan strawberry tapi mint choco, hehe." kekeh Cea, "Eh, bukan, Cea mau rasa mint choco." ucapnya lagi, ingin rasanya Letta melempar sahabatnya ini ke pantai yang ada di depan, tapi ingat, masa depannya masih panjang.Sean melirik ke arah Gravano yang sedang memperhatikan Cea mengusili Sean, "Vano, lo mau rasa apa?" tanya Sean, "Rasa matcha sama strawberry." Sean bingung
"Kakak gila!" Cea menatap tajam Rafka, satu tamparan berhasil mendarat di pipi mulus Cea, Cea semakin takut ia semakin meraung-raung. "Kau bisa diam tidak!" Rafka mendorong tubuh Cea hingga gadis itu tersungkur, ia membuka jaketnya dan langsung berjalan ke arah Cea seperti harimau yang akan memangsa incarannya."Kau akan menjadi milikku, selamanya."Rafka mulai mendekat dengan pandangan yang membuat Cea takut, "Kakak mau apa!" teriak Cea, ia ingin berlari namun ini sudah sampai dipenghujung gang, jalannya buntu."Aaaaa!" Cea berteriak lepas saat Rafka akan memeluk dirinya, namun satu pukulan mendarat di kepala bagian belakang Rafka membuat Rafka limbung tak sadarkan diri. "Rava!" teriak Cea, ia langsung memeluk tubuh pria itu, ia menangis kencang dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Sungguh, ia akan membunuh Rafka jika orang itu masih hidup.Gravano mengusap punggung Cea hingga gadis itu relaks, ia m
Sejak kepulangan Vera dan Gavin dari Thailand, Cea semakin dekat dengan keluarga Valery. Hal yang membahagiakan untuk Vera karena melihat Gavin dan Gravanno lebih banyak tertawa, Gavin senang karena ia bisa bersama Cea lebih sering bahkan Cea setiap minggu akan datang untuk membantu Bunda memasak.Untuk Gravano tersendiri, ia lebih banyak merasakan kebahagiaan karena bisa lebih dekat dan melihat tingkah Cea yang belum pernah ia lihat. Saat gadis itu menenangkan Gavin yang terjatuh, ia sangat telaten mengurus luka Gavin hingga meredakkan tangisnya. Cea terlihat sangat sabar dan selalu tersenyum bahkan Gavin pernah berontak tidak ingin belajar namun Cea membujuknya dan hingga sekarang Gavin selalu semangat untuk belajar."Bunda mertua, aku datang!"Cea menatap Gravano yang terlihat memasang wajah datarnya lalu beranjak pergi. "Siapa?" tanya Cea, "Pacarnya Kak Rava." jawab Gavin polos, Cea hanya tersenyum nanar, ternyata Gravano sudah mempunyai pawang."Tapi
Cea menghembuskan napasnya jengah, sekarang total sudah 1 minggu sejak kejadian kemarin, namun ia belum bertemu lagi dengan sang Ibu. Ia mengaduk milkshake vanilanya sambil sedikit bercengkrama dengan para sahabatnya, walaupun Cea hanya akan tertawa."Ariana di kelas bagaimana?" tanya Letta."Baik-baik saja, Cea sudah bilang dia minta maaf waktu itu, jadi enggak akan ganggu Cea lagi."Letta mengangguk, "Benar juga,""Eh, aku ada kelas, duluan, ya!" seru Letta tergesa-gesa.Kini hanya tersisa Cea dan Sean, sedangkan Gravano belum kembali dari kelas sebelumnya. Mereka berdua hanya diam fokus dengan pekerjaan masing-masing, beberapa kali Sean akan bertanya namun Sean lebih banyak diam dan mengerjakan tugasnya."Aw!" Cea berteriak saat merasakan bibirnya berdarah karena ujung sedotan yang runcing, "Berdarah?" tanya Cea sambil membuka sedikit mulutnya.Sean mendekat dan melihatnya, "Hanya sedikit," ucapnya.Cea mengangguk lalu berla
Vania menarik Cea ke parkiran klinik, "Kau berteman dengannya?" tanya Vania, Cea hanya mengangguk ia tidak ingin sekalipun menjawab pertanyaan yang dilontarkan oelh Vania."Kau dekat dengan keluarganya?"Cea menatap Vania tajam, "Bukan urusanmu, sekarang katakan apa yang membuatmu datang kesini?"Cea tahu, Vania tidak akan datang ke tempat seperti ini, walaupun Ibunya sendiri sedang di rawat. Entah apa alasannya, hanya Vania yang tahu."Kau bertemu dengan Ibumu?""Iya," jawab Cea singkat."Woah, bagaimana dia bisa kemari, berani sekali.""Memangnya kenapa?" tanya Cea."Ah, bukan apa-apa, hanya saja jika ia kembali kesini berarti ia siap mempertaruhkan semuanya, termasuk nyawanya."Mata Cea terbuka lebar, "Apa yang kau katakan?!"Vania tertawa, sesaat sebelum ia mencekik leher Cea kencang, "Kau ditakdirkan terlalu bahagia, aku tidak menyukainya," ucap Vania tajam, lalu menghempaskan Cea begitu saja.Cea meng
"Kenapa?"Cea menggeleng, ia hanya menyesap teh manis hangat yang diberikan Gravano padanya. Sedangkan Gravano menghela napasnya, baik, ini bukan waktu yang tepat untuk mendengarkan Cea bercerita."Baby?"Cea menatap tajam ke arah Gravano, "Manggil siapa?" tanya Cea sewot."Baby, mau cokelat?" tanya Gravano sambil melambaikan dua cokelat chungky bar.Mata Cea berbinar, tetapi apa tadi, Baby? Cea membuang wajahnya malas, ia terus menyesap teh manis hangat sambil memperhatikan kotak yang sudah dirapikan oleh Gravano."Baby?""...""Cea?""Hm?"Gravano tertawa, memang menggelikan jika ia memanggil dengan manis seperti itu, tetapi ia lebih senang jika melihat Cea kesal padanya daripada melihat Cea menangis seperti tadi. "Baby, mau cokelat?""Ya, aku bukan bayi, sana pulang!"Gravano kembali tertawa saat melihat wajah Cea yang bersemu, namun ia menahannya dan mulai berdecak sebal. Gemas, menurutnya.
Cea melengguh pelan saat merasakan sesuatu menempel dikeningnya, bahkan ada tetesan air yang terjatuh di pipi Cea. Ia berpikir jika itu mimpi dan tanpa pikir panjang, ia kembali melanjutkan tidurnya."Pagi," ucap Cea dengan suara khas bangun tidur, ia meregangkan tubuhnya yang pegal karena harus tidur dengan posisi duduk, hingga kakinya mengenai sebuah benda di bawah ranjang."Nenek, ini apa?" tanya Cea sambil mengangkat kotak warna biru langit itu, ia menatap pin matahari yang langsung membawanya mengingat masa lalu, ia ingat bahwa ia pernah memberikan pin ini kepada Ibunya dulu.Mata Cea memanas ia meletakkan kembali kotak itu ke bawah ranjang, lalu menatap Neneknya yang tengah tersenyum hangat. "Ini dari Ibu?" tanya Cea.Nenek hanya menggeleng, bukan ia tidak tahu, ia ingin Cea mengetahui semuanya sendiri. Ia tahu, bahkan ia sangat tahu saat Hana mencium sayang kening Cea, ia tahu."Um, Cea keluar dulu, Nek."Cea mendudukan dirinya di kur
Hari sudah malam, langit sudah menggelap, seluruh manusia sedang beristirahat begitupun dengan matahari yang sudah terlelap. Seorang wanita dewasa berdiri mematung beberapa jam di depan sebuah caffe yang sekarang sudah tutup, sesuai dengan adanya tanda closed di depan pintunya."Cepat atau lambat, aku harus mengatakan yang sebenarnya. Mas, aku akan jujur kepada Cea, anak kita."Wanita itu menengadah melihat bintang yang sepertinya tidak banyak yang terlihat, air matanya sudah turun daritadi, ia merasakan sesak dan sempit mengisi rongga udaranya. Ia merindukan suaminya, ia merindukan Ibunya, dan tentu saja ia merindukan Cea."Nenek, Cea pulang!" teriak Cea dengan riang, ia berjalan cepat ke arah kamar neneknya."Nenek, Cea bawain maka- Nenek!"Sudah pukul jam 12 malam namun mata gadis manis ini enggan tertutup sama sekali, tangannya masih tertaut dengan tangan sang nenek yang tengah tertidur pulas di atas ranjang."Cea?""Nenek sudah b
Gravano mengusap lembut rambut Cea yang terurai, gadis itu terlihat fokus dengan ponselnya, sesekali Cea akan memekik senang bahkan sesekali akan tertawa dan menangis."Kayak Rava, ya?"Cea hanya mendelik, "In your dream."Kini giliran Gravano yang kesal, awalnya Cea mengajak ia pergi ke kedai es krim karena ingin mencoba es krim rasa baru, namun kenyataannya gadis itu malah asik melihat idolanya yang tengah menari sambil menyanyi."Cea, Rava mau pulang," ucap Rava.Cea meletakkan ponselnya lalu menahan Rava yang sudah beranjak, "Okay, Cea makan, jangan pergi!" seru Cea buru-buru, ia langsung menghabiskan satu cup es krim yang sudah setengah mencair."Pelan-pelan makannya," Cea hanya mengangguk.Letta menatap tak percaya dengan wanita yang kini tengah tersenyum miring padanya, "Jangan ganggu sahabat gue lagi!""Mari kita lihat kedepannya bagaimana, saya permisi." ucap Ariana penuh intimidasi diiringi dengan senyum liciknya.
"Aaaaa!"Itu Cea, bukan Gravano.Tidak, bukan Gravano yang menjahili Cea kembaliPerpustakaan ini sangat luas, semua ruangan terpancar lampu yang terang, hanya saja entah kenapa saat ini semuanya padam, membuat Cea berteriak dan memeluk tubuh Gravano."Ini ada Rava, jangan takut." Gravano membalas pelukan Cea, perlahan pelukan itu melonggar, kini Cea menatap seisi perpustakaan yang sangat gelap, nafasnya tercekat dan jantungnya kembali memompa dengan cepat."Rava, Cea takut."Gravano mengeluarkan sebuah lampu kecil berbentuk matahari, "Cea, lihat ini," titah Gravano."I-Itu apa?""Ini lampu, walaupun tidak terlalu terang, setidaknya ia bisa menemanimu."Gravano memasangkan lampu kecil itu ke pergelangan tangan Cea, bentuknya seperti gelang, namun liontinnya berbentuk matahari dan bisa menyala. Entah kenapa, Cea merasa lebih aman sekarang."Terima kasih, Rava." Cea kembali memeluk Gravano, tidak lama setalah itu la
"Maaf, Ibu belum bisa menceritakan semuanya sekarang, dan Ibu juga harus pergi."Cea menatap nanar tubuh Ibunya yang perlahan menjauh, ia memukul dadanya berulang kali demi menetralkan sakit hatinya, "Kenapa harus Cea, kenapa?" rintih Cea perlahan."Cea, you fine?""Ah, Cea baik-baik saja," ucap Cea sambil tersenyum tipis."Tadi siapa?""Bukan siapa-siapa,""Dia membuatmu menangis?""Tidak, Cea hanya sedikit pusing,""Mau pulang?"Cea termenung sebentar, "Tidak perlu, Cea mau lanjut bekerja, Kak!" seru Cea, Fadil hanya tersenyum, ia tahu sedikit karena ia tidak sengaja telah mendengar pembicaraan mereka. Kenapa harus ada rahasia dibalik rahasia?Setelah pertemuan yang singkat dan menyakitkan kini Cea terlihat banyak murung, Letta yang menyadari hal itu untuk pertama kali. "Cea, ada apa?" tanya Letta."A-Ah, tidak, Cea hanya sedang banyak tugas saja." Cea tersenyum, sambil kembali menyesap es jeruknya.
Sudah 5 bulan berlalu dengan sangat cepat, mereka akhirnya bisa menikmati kembali bangku pendidikan. Cea, Gravano, Letta, dan Sean memasuki Universitas Cyanide bersama-sama, walaupun dengan jurusan yang berbeda tentunya.Cea mengambil jurusan bahasa asing, Gravano dengan jurusan kedokteran, Letta masuk psikolog, sedangkan Sean memasuki jurusan multimedia. Mereka berpisah dan menjadi satu dalam ekstrakulikuler seni dan fotography."Gue yang foto, kalian siap-siap." Gravano mengatur lensa kamera, matanya terfokus kepada gadis yang sedang tertawa di sebelah kiri Letta, ia adalah Cea, tanpa sadar Gravano memfokuskan pada titik itu dan foto sempurna dari Cea yang tengah tertawa lepas bisa diabadikan sempurna oleh Gravano."Rava ikutan saja disini," ujar Sean, ia meraih kamera dari tangan Gravano dan memanggil orang yang lewat untuk membantu mengambil gambar."Hitung, Kak!" seru Sean."Baik, satu, dua, tiga."Satu foto telah dipotret sempurna, "Sa