Hari ini hari minggu, ralat, hari ini adalah hari dimana Gravano akan sendiri di rumah. Vera dan Gavin akan pergi ke Thailand untuk mengunjungi rumah Nenek Gavin selama 2 minggu. "Awas, jangan lupa makan!" peringat Vera kepada Gravano yang memeluknya manja.
"Rava bisa sendiri 'kan? Bi Muti pulang kampung soalnya." Gravano melepas pelukannya, "Beres Bunda, percayakan kepada Tuan Gravano." ucap Gravano menyombongkan diri, padahal ia tidak bisa apa-apa, dulu jika ia sendiri di rumah ia akan menyuruh teman-temannya untuk membereskan rumahnya dan untuk makan ia akan membelinya diluar.
Baru 15 menit Vera dan Gavin keluar dari rumah Gravano sudah meringis, ia melihat rumah seperti kapal pecah, cucian piring menumpuk, dan sekarang ia lapar. Ia harus bagaimana?
"Assalamualaikum!"
Dengan cepat Gravano membuka pintu, bagaikan keberuntungan memihak kepadanya sekarang. Ia tidak sendiri, ada Cea yang baru datang. "Waalaikumussalam, masuk."
Cea menggunakan hoodie oversize berwarna baby pink dan celana pendek berwarna hitam, rambutnya ia cepol dua membuat dirinya terlihat seperti anak taman kanak-kanak yang baru mandi. Wangi bayi begitu mendominasinya, ia tidak memakai make up hanya mengoleskan sedikit lipbalm berwarna merah muda di atas bibir cherrynya.
"Ya ampun, kenapa ini masih berantakan? Bunda sama Gavin sudah berangkat?" tanya Cea sambil memungut beberapa bungkus cemilan dan alat tulis Gavin yang berserakan begitu saja. Bukannya menjawab Gravano malah diam tidak bergeming, ia menatap Cea yang terlihat sangat fresh dan menggemaskan, apalagi ketika gadis itu mendumal tidak jelas membuat pipinya semakin menggembung lucu.
Tahan, ini anak orang jangan kamu apa-apain.
Tahan, dirumah sepi, jangan mencari dosa.
Tahan, tuan Gravano Axander Valery.
"Kok malah melamun, bantuin, ih!" suara nyaring Cea menyadarkan Gravano, ia terkekeh kecil lalu mulai membantu Cea.
"Rava lapar!" rengek Gravano yang baru beres membereskan sampah dan perlatan Gavin, sedangkan Cea masih mengepel lantai. "Sebentar, ya." ucap Cea lembut, ia dengan sesegera mungkin membersihkan setiap sudut rumah ini.
"Mau Rava bantu?" tanya Gravano yang melihat keringat Cea bercucuran, "Ini tinggal pel, Cea mau ke dapur dulu, ya." ucap Cea sambil memberikan kain pel ke Gravano.
Cea membuka kulkas dan langsung mengeluarkan semua bahan yang kemarin ia beli bersama Gravano, pertama ia akan membuat ayam tepung saus pedas sambil berjalan ia juga membuat rappoki. Aroma masakan yang hinggap di hidung Gravano membuatnya semakin lapar.
"Rava, coba cicipi dulu, kalau sudah pas ayamnya masuk, ya!" ucap Cea sambil matanya tidak lepas dari cucian pring yang menumpuk, "Enak enak!" seru Gravano heboh, lalu ia melakukan apa yang Cea perintahkan.
"Rava masukin mie-nya kesana!" ucap Cea, ia masih melanjutkan aktivitasnya, "Angkat ayamnya, terus kalau mie-nya sudah matang angkat juga, ya." perintah Cea sekali lagi.
"Um, wangi banget!" seru Gravano sambil menyesap asap yang keluar dari rapokki, sedangkan Cea sedang kesusahan karena cepolannya terlepas hingga rambut panjangnya mengganggu.
Tangan lembut Gravano meraih semua rambut yang terkulai, ia memegangnya hingga semua piring bersih sempurna. "Rava makan duluan, sana!" titah Cea sambil mencepol kembali rambutnya.
"Ayo, bareng!" Cea hanya mengangguk.
"Jangan banyak-banyak nanti sakit perut."
"Ini enak!"
Cea tersenyum lebar, ia memang suka memasak, apalagi memasak korean-food. "Itu sausnya kemana-mana Rava, sini!" ucap Cea sambil mengambil tissue dan membersihkan saus dari sudut bibir Gravano, sungguh perlakuan manis ini membuat Gravano ingin terbang.
"Manis."
Cea mengedipkan matanya polos, "Sausnya pedas kata siapa manis?" tanya Cea, Gravano menggenggam tangan Cea, "Bukan saus tapi kamu." ucap Gravano begitu saja, membuat Cea kelabakan untuk memindahkan jantungnya ke tempat semula, pasalnya baru saja jantungnya berpindah tempat dengan ginjal.
Kemarin setelah tragedi itu Cea mengajak Gravano untuk menonton Train To Busan, yang berakhir dengan Cea menangis sesenggukan. Hari ini adalah hari senin, dimana upacara akan dilaksanakan, Cea sudah siap berbaris di barisan paling depan.
"Bubar barisan, jalan!"
Cea dan Letta bergandengan tangan, Letta mengajak Cea untuk menemui Sean karena Letta ingin memberikan bekal untuk pacarnya. "Arka, ini nasi goreng sosis, aku yang buat." ucap Letta sambil tersenyum bangga.
"Rava mana?" tanya Cea.
"Rava 'kan sakit, dia muntah-muntah dari semalam." ucap Sean, "Dia enggak bilang ke kamu?" tanya Sean, Cea menggeleng.
"Mau kerumahnya nanti?" tanya Letta, Sean mengangguk.
"Cea ikut!"
Tubuh Gravano terkulai lemas, setelah mengeluarkan seisi lambungnya ia merangkak menuju kasurnya. Magh yang dideritanya sudah kronis, tetapi ini salah dirinya sendiri karena ia memakan ayam tepung saus pedas buatan Cea hingga habis, "Aduh, sakit banget."
Jam pulang berbunyi semua murid berhamburan keluar dan berbondong-bondong untuk pulang ke rumah mereka, Cea, Arka, dan Letta tengah berada di parkiran sekarang mereka bingung dengan situasi saat ini, Cea berkata ia akan berjalan kaki namun Letta melarangnya.
"Kalian berdua duluan, Cea bisa sendiri."
"Enggak!" jawab Letta tegas.
"Kita bertiga saja, bagaimana?" usul Sean yang langsung dihadiahi pukulan dari Letta. "Eh, kamu sini!" teriak Arka yang melihat adik kelas bekas anaknya dulu saat ia menjadi mentor di masa MPLS.
"Ada apa, Kak?"
"Dia ikut ke motor kamu, antar dia kerumah Kak Gravano, kamu tahu 'kan?" anak laki-laki itu mengangguk, bagaimana ia tidak tahu kepada Gravano, jarak dari rumahnya ke rumah Gravano hanya terhalang 3 rumah saja.
Cea mengambil ponselnya untum menghubungi seseorang, "Assalamualaiku, Bunda. Rava sakit katanya muntah-muntah dari kemarin." ucap Cea, setelah berbincang sedikit ia menepuk pundak adik kelasnya itu ia mengisyaratkan untuk berhenti di salah satu swalayan, ia akan membuat masakan penawar sakit untuk Gravano.
"Terima kasih," ucap Cea saat ia sudah sampai di rumah Gravano, "Cea, kata Vano." ucap Letta yang baru keluar dari kamar Gravano.
"Nanti, Cea mau masak dulu."
Sup ikan patin, katanya itu makanan favorit Gravano saat ia sakit. Cea bisa membuatnya? Tentu, ia dengan lihai memasaknya dengan rempah-rempah yang khas, ia memasak nasi juga karena nasinya habis, tidak lupa mencuci piring lagi. Sambil menunggu semuanya masak, ia meraih sapu dan membersihkan setiap ruangan termasuk dapur, hari ini lumayan bersih jadi pekerjaan Cea ringan.
"Permisi, bukain dong!" ucap Cea saat tiba di depan pintu kamar Gravano, ia bisa saja membuka pintu itu jika tangannya tidak membawa nampan berisikan nasi, sup ikan patin, air minum, dan obat magh.
"Sudah sarapan?" Gravano mengangguk, "Tapi keluar lagi." ucapnya lirih.
"Wah, wangi banget, jadi lapar." cicit Sean, "Kalian makan saja, mumpung nasinya masih hangat." kemudian Sean menarik Letta untuk makan bersama, dasar bucin.
Cea memegang dahi Gravano yang panas, "Mau ke dokter?" tanya Cea, Gravano menggeleng. "Makan, ya?" Gravano mengangguk, kemudian Cea menyuapi Gravano hingga perut Gravano terisi kembali.
"Minum obat, aaaa!" ucap Cea sambil memasukan tablet berwarna hijau dan langsung membantu Gravano minum. Cea mengusap keringat di dahi Gravano telaten, "Jangan makan pedas lagi, Cea enggak tahu kalau Rava punya magh kronis." ucap Cea disela-sela ia membersihkan keringat Gravano.
"Maaf." ucap Gravano lirih, "Enggak apa-apa, maaf juga, ya?" ucap Cea, Gravano mengangguk.
"Sekarang mau apa? Mau pudding atau makan lagi?" tawar Cea.
"Mau kamu."
"Mau kamu." Cea tertawa lepas, "Rava lagi sakit, bobo ya, jangan ngelantur, ih!" ucap Cea sambil Gravano merebahkan diri lalu menyelimuti pria itu, "Mau dikompres?" Gravano mengangguk, "Sebentar, ya!" ucap Cea lalu keluar sambil membawa piring dan mangkuk kosong. "Maaf telah menyakitimu dulu, sekarang aku akan melindungimu dan mencintaimu." Jujur Gravano memang telah jatuh hati kepada Cea setelah lebih tau kehidupan Cea yang sebenarnya, ia membenci sikap Cea yang terlalu lemah ternyata ia salah, kenyataan yang berat yang membuatnya tidak sempat untuk melawan takdir. Takdir Cea lebih pedih jika tahu tentang kehidupan wanita itu, jadi, Cea lemah karena lelah. "Astaghfirullah, mata Cea ada dua!" pekik Cea kaget melihat wajah Sean dan Letta berdekatan, dengan polosnya Cea berlalu begitu saja dan mengobrak-abrik tasnya untuk mengambil plester demam. "Itu anak kenapa, aish!" Letta tidak habis fikir dengan tingkah laku Cea, tadi Cea benar-benar terke
"Huh, ujian nasional sudah di depan mata, kalian mau kuliah dimana?" tanya Sean, ia menyandarkan kepalanya di bahu Letta. "Aku ikut Sean, hehe." jawab Letta."Gue enggak tahu, belum ada kampus yang cocok." jawab Gravano, ia memainkan marimong milik Cea. "Cea juga belum tahu, tetapi Cea mau kerja dulu, atau kerja sambil kuliah." ujarnya.Mereka hari ini sedang duduk di kedai ice cream karena Letta berbicara jika ia ingin ice cream. "Letta mau rasa vanilla," ucap Letta saat Sean tiba-tiba berdiri, "Yang lain?" tanya Sean."Eung, Cea mau strawberry." seru Cea, tetapi sedetik kemudian, "Bukan strawberry tapi mint choco, hehe." kekeh Cea, "Eh, bukan, Cea mau rasa mint choco." ucapnya lagi, ingin rasanya Letta melempar sahabatnya ini ke pantai yang ada di depan, tapi ingat, masa depannya masih panjang.Sean melirik ke arah Gravano yang sedang memperhatikan Cea mengusili Sean, "Vano, lo mau rasa apa?" tanya Sean, "Rasa matcha sama strawberry." Sean bingung
"Kakak gila!" Cea menatap tajam Rafka, satu tamparan berhasil mendarat di pipi mulus Cea, Cea semakin takut ia semakin meraung-raung. "Kau bisa diam tidak!" Rafka mendorong tubuh Cea hingga gadis itu tersungkur, ia membuka jaketnya dan langsung berjalan ke arah Cea seperti harimau yang akan memangsa incarannya."Kau akan menjadi milikku, selamanya."Rafka mulai mendekat dengan pandangan yang membuat Cea takut, "Kakak mau apa!" teriak Cea, ia ingin berlari namun ini sudah sampai dipenghujung gang, jalannya buntu."Aaaaa!" Cea berteriak lepas saat Rafka akan memeluk dirinya, namun satu pukulan mendarat di kepala bagian belakang Rafka membuat Rafka limbung tak sadarkan diri. "Rava!" teriak Cea, ia langsung memeluk tubuh pria itu, ia menangis kencang dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Sungguh, ia akan membunuh Rafka jika orang itu masih hidup.Gravano mengusap punggung Cea hingga gadis itu relaks, ia m
Sejak kepulangan Vera dan Gavin dari Thailand, Cea semakin dekat dengan keluarga Valery. Hal yang membahagiakan untuk Vera karena melihat Gavin dan Gravanno lebih banyak tertawa, Gavin senang karena ia bisa bersama Cea lebih sering bahkan Cea setiap minggu akan datang untuk membantu Bunda memasak.Untuk Gravano tersendiri, ia lebih banyak merasakan kebahagiaan karena bisa lebih dekat dan melihat tingkah Cea yang belum pernah ia lihat. Saat gadis itu menenangkan Gavin yang terjatuh, ia sangat telaten mengurus luka Gavin hingga meredakkan tangisnya. Cea terlihat sangat sabar dan selalu tersenyum bahkan Gavin pernah berontak tidak ingin belajar namun Cea membujuknya dan hingga sekarang Gavin selalu semangat untuk belajar."Bunda mertua, aku datang!"Cea menatap Gravano yang terlihat memasang wajah datarnya lalu beranjak pergi. "Siapa?" tanya Cea, "Pacarnya Kak Rava." jawab Gavin polos, Cea hanya tersenyum nanar, ternyata Gravano sudah mempunyai pawang."Tapi
"Cea, you fine?" tanya Letta sambil memegang kedua pundak sahabatnya itu, Cea hanya mengangguk. Tiba-tiba terlintas pemikiran kenapa Gavin tidak memberitahu jika bukan Cea yang melakukannya, kenapa? Tetapi ia tepis pemikiran itu, mungkin bisa saja tidak ada yang bertanya atau Gavin melupakannya.Gavin kecil menatap wajah Vera sambil merengek, "Mau ketemu Kak Cea, Bunda!" Vera mengusap kepala Gavin, "Bukan Kak Cea yang dorong aku!" ucap Gavin sambil terisak."Bunda enggak percaya sayang, Kak Ariana yang berkata jika Kak Cea yang melakukannya. Lagian Kak Rava enggak mau bertemu dengan Kak Cea, kamu mengerti bukan?"Gavin menjauh, ia sangat kesal sekarang, "Bunda lihat saja di cctv, 'kan cctv ada di ruang belajarnya Gavin!" ucap Gavin begitu saja, ia berlalu menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Menyisakan Vera yang merutuki dirinya sendiri, ia bahkan melupakan tentang cctv itu, dengan segera Vera membuka laptop dan melihat rekamannya. "Jadi?" lirih Vera
Cea menatap kosong ke arah Gravano yang tengah membersihkan lukanya dengan telaten, "Itu Bunda yang ganti," ucap Gravano yang melihat Cea memandangi kaos putih besar yang dikenakannya, baju ia yang sebelumnya telah rusak dan kotor jadi Vera inisiatif untuk membuangnya dan menggantikan dengan yang baru."Bunda mana?" tanya Cea."Bunda pulang, ini sudah malam soalnya." Gravano menutup kotak P3K dan beranjak keluar kamar. Cea di bawa Gravano keapartementnya setelah Vera meminta izin dan menenangkan Nenek Cea agar tetap tenang karena Cea akan baik-baik saja disini.Gravano kembali dengan sebuah nampan yang berisikan soto ayam lengkap dengan satu mangkuk nasi dan satu kotak susu strawberry. "Makan dulu," ucap Gravano."Maaf merepotkan." Cea mengambil nampan dan menyuapkan satu suap nasi dengan kuah soto."Rava minta maaf untuk semuanya, maaf Rava enggak percaya ke Cea, maaf bikin Cea sakit."Cea terkekeh, "Enggak apa-apa, ini mau?" ucap Cea sambi
Gravano mengacak rambut Cea yang dibiarkan terurai begitu saja, "Rava diam sebentar, belajar sana besok ujian!" Gravano terkekeh melihat mode galak Cea yang semakin terlihat. Setelah kejadian yang menyakitkan kemarin Gravano berniat ingin memasukkan Ariana ke dalam penjara, namun Cea mencegahnya dengan alasan kasihan, ingat Cea dia menyiksamu tanpa kalimat kasihan."Ah, pusing!" Sean mengacak rambutnya sendiri, Letta mengusap rambut lurus Sean, "Mana yang bikin pusing?" tanya Letta, "Semuanya." jawab Sean enteng, membuat Letta menarik buku paketnya dan menjelaskan beberapa materi dengan singkat, ia sadar dengan kapasitas otak kekasihnya yang sangat minim."Rava, jangan pegang marimong terus, lihat ini!" titah Cea, Gravano hanya mengangguk dan mulai menyelesaikan beberapa soal yang sudah Cea ajarkan sebelumnya. "Aduh, Cea mau cepat-cepat lulus." gerutu Cea kesal, ia tidak bisa fokus karena lebih sibuk mengajarkan Gravano."Habis ujian besoknya ada night party, lo
"Semakin dekat, ya?" goda Letta, ia datang sambil menggandeng lengan Sean. Cea hanya tersipu sambil memasangkan dasi untuk Gravano. Setelah ujian yang menguras tenaga dan pikiran para kumpulan itu tengah duduk lelah di warung bakso, "Bang, baksonya empat." ucap Sean selaku orang yang akan memesan setiap kumpul. Gravano menarik botol sambal dari Cea paksa, pasalnya gadis itu terlalu banyak menuangkannya, "Jangan banyak-banyak, Cea!" kesal Gravano, sedangkan Cea hanya tersenyum ia sedang merasakan jika kepalanya berdenyut saat mengisi lembar ujian akhir. "Kau juga punya magh, sudah lama enggak kambuh, awas saja!" ancam Letta sambil menepuk bahu Cea kesal, pasalnya magh Cea memang jarang kambuh karena Cea tidak terlalu peduli jika perutnya sakit. Bandel memang. Gravano menatap tajam Cea yang sedang menghisap kuah berwarna merah itu, "Pelan-pelan, nanti kese- tuhkan!" panik Gravano, ia langsung memberikan jus mangganya ke Cea dan langsung Cea habiskan hin