"Kakak gila!" Cea menatap tajam Rafka, satu tamparan berhasil mendarat di pipi mulus Cea, Cea semakin takut ia semakin meraung-raung. "Kau bisa diam tidak!" Rafka mendorong tubuh Cea hingga gadis itu tersungkur, ia membuka jaketnya dan langsung berjalan ke arah Cea seperti harimau yang akan memangsa incarannya.
"Kau akan menjadi milikku, selamanya."
Rafka mulai mendekat dengan pandangan yang membuat Cea takut, "Kakak mau apa!" teriak Cea, ia ingin berlari namun ini sudah sampai dipenghujung gang, jalannya buntu.
"Aaaaa!" Cea berteriak lepas saat Rafka akan memeluk dirinya, namun satu pukulan mendarat di kepala bagian belakang Rafka membuat Rafka limbung tak sadarkan diri. "Rava!" teriak Cea, ia langsung memeluk tubuh pria itu, ia menangis kencang dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Sungguh, ia akan membunuh Rafka jika orang itu masih hidup.
Gravano mengusap punggung Cea hingga gadis itu relaks, ia m
Sejak kepulangan Vera dan Gavin dari Thailand, Cea semakin dekat dengan keluarga Valery. Hal yang membahagiakan untuk Vera karena melihat Gavin dan Gravanno lebih banyak tertawa, Gavin senang karena ia bisa bersama Cea lebih sering bahkan Cea setiap minggu akan datang untuk membantu Bunda memasak.Untuk Gravano tersendiri, ia lebih banyak merasakan kebahagiaan karena bisa lebih dekat dan melihat tingkah Cea yang belum pernah ia lihat. Saat gadis itu menenangkan Gavin yang terjatuh, ia sangat telaten mengurus luka Gavin hingga meredakkan tangisnya. Cea terlihat sangat sabar dan selalu tersenyum bahkan Gavin pernah berontak tidak ingin belajar namun Cea membujuknya dan hingga sekarang Gavin selalu semangat untuk belajar."Bunda mertua, aku datang!"Cea menatap Gravano yang terlihat memasang wajah datarnya lalu beranjak pergi. "Siapa?" tanya Cea, "Pacarnya Kak Rava." jawab Gavin polos, Cea hanya tersenyum nanar, ternyata Gravano sudah mempunyai pawang."Tapi
"Cea, you fine?" tanya Letta sambil memegang kedua pundak sahabatnya itu, Cea hanya mengangguk. Tiba-tiba terlintas pemikiran kenapa Gavin tidak memberitahu jika bukan Cea yang melakukannya, kenapa? Tetapi ia tepis pemikiran itu, mungkin bisa saja tidak ada yang bertanya atau Gavin melupakannya.Gavin kecil menatap wajah Vera sambil merengek, "Mau ketemu Kak Cea, Bunda!" Vera mengusap kepala Gavin, "Bukan Kak Cea yang dorong aku!" ucap Gavin sambil terisak."Bunda enggak percaya sayang, Kak Ariana yang berkata jika Kak Cea yang melakukannya. Lagian Kak Rava enggak mau bertemu dengan Kak Cea, kamu mengerti bukan?"Gavin menjauh, ia sangat kesal sekarang, "Bunda lihat saja di cctv, 'kan cctv ada di ruang belajarnya Gavin!" ucap Gavin begitu saja, ia berlalu menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Menyisakan Vera yang merutuki dirinya sendiri, ia bahkan melupakan tentang cctv itu, dengan segera Vera membuka laptop dan melihat rekamannya. "Jadi?" lirih Vera
Cea menatap kosong ke arah Gravano yang tengah membersihkan lukanya dengan telaten, "Itu Bunda yang ganti," ucap Gravano yang melihat Cea memandangi kaos putih besar yang dikenakannya, baju ia yang sebelumnya telah rusak dan kotor jadi Vera inisiatif untuk membuangnya dan menggantikan dengan yang baru."Bunda mana?" tanya Cea."Bunda pulang, ini sudah malam soalnya." Gravano menutup kotak P3K dan beranjak keluar kamar. Cea di bawa Gravano keapartementnya setelah Vera meminta izin dan menenangkan Nenek Cea agar tetap tenang karena Cea akan baik-baik saja disini.Gravano kembali dengan sebuah nampan yang berisikan soto ayam lengkap dengan satu mangkuk nasi dan satu kotak susu strawberry. "Makan dulu," ucap Gravano."Maaf merepotkan." Cea mengambil nampan dan menyuapkan satu suap nasi dengan kuah soto."Rava minta maaf untuk semuanya, maaf Rava enggak percaya ke Cea, maaf bikin Cea sakit."Cea terkekeh, "Enggak apa-apa, ini mau?" ucap Cea sambi
Gravano mengacak rambut Cea yang dibiarkan terurai begitu saja, "Rava diam sebentar, belajar sana besok ujian!" Gravano terkekeh melihat mode galak Cea yang semakin terlihat. Setelah kejadian yang menyakitkan kemarin Gravano berniat ingin memasukkan Ariana ke dalam penjara, namun Cea mencegahnya dengan alasan kasihan, ingat Cea dia menyiksamu tanpa kalimat kasihan."Ah, pusing!" Sean mengacak rambutnya sendiri, Letta mengusap rambut lurus Sean, "Mana yang bikin pusing?" tanya Letta, "Semuanya." jawab Sean enteng, membuat Letta menarik buku paketnya dan menjelaskan beberapa materi dengan singkat, ia sadar dengan kapasitas otak kekasihnya yang sangat minim."Rava, jangan pegang marimong terus, lihat ini!" titah Cea, Gravano hanya mengangguk dan mulai menyelesaikan beberapa soal yang sudah Cea ajarkan sebelumnya. "Aduh, Cea mau cepat-cepat lulus." gerutu Cea kesal, ia tidak bisa fokus karena lebih sibuk mengajarkan Gravano."Habis ujian besoknya ada night party, lo
"Semakin dekat, ya?" goda Letta, ia datang sambil menggandeng lengan Sean. Cea hanya tersipu sambil memasangkan dasi untuk Gravano. Setelah ujian yang menguras tenaga dan pikiran para kumpulan itu tengah duduk lelah di warung bakso, "Bang, baksonya empat." ucap Sean selaku orang yang akan memesan setiap kumpul. Gravano menarik botol sambal dari Cea paksa, pasalnya gadis itu terlalu banyak menuangkannya, "Jangan banyak-banyak, Cea!" kesal Gravano, sedangkan Cea hanya tersenyum ia sedang merasakan jika kepalanya berdenyut saat mengisi lembar ujian akhir. "Kau juga punya magh, sudah lama enggak kambuh, awas saja!" ancam Letta sambil menepuk bahu Cea kesal, pasalnya magh Cea memang jarang kambuh karena Cea tidak terlalu peduli jika perutnya sakit. Bandel memang. Gravano menatap tajam Cea yang sedang menghisap kuah berwarna merah itu, "Pelan-pelan, nanti kese- tuhkan!" panik Gravano, ia langsung memberikan jus mangganya ke Cea dan langsung Cea habiskan hin
"Ada Cea?" tanya Gravano kepada Sean melalui panggilan telepon. "Okay, gue bawa mobil." ucap Gravano lalu memutuskan panggilannya. Sore ini di rumah Letta mereka akan berkumpul untuk bersolek ria, Sean mengajak Gravano karena memang ada Cea disana.Cea mendudukan badannya dan menerima panggilan dari Gravano, "Iya, ada apa?" tanya Cea."Nanti Rava jemput, jangan pergi sendiri.""Iya nanti Cea tunggu di depan rumah, ya?""Siap tuan putri!"Cea tersenyum tapi kemudian mengerucutkan bibirnya, "Rava, kayaknya badan Cea nambah gemuk, deh." adunya."Enggak apa-apa, Cea lucu, kok.""Tapi itu...""Sudah, enggak apa-apa.""Eung, okay. Jangan kasih Cea cokelat lagi." ancam Cea galak, Gravano hanya tertawa, tidak terasa ia lama dekat dengan gadis berpipi tembam ini bahkan rasa sayangnya semakin bertambah setiap hari. Ia mengusap kotak yang berisikan 4 potong cokelat chungky bar, bagaimanapun Cea menolat cokelat itu pasti akhirnya ak
"Lo makin hari makin minta banget gue bunuh!" teriak Ariana, ia mendorong Cea ke dalam laboratorium yang sudah tidak terpakai dan menguncinya dari luar. "Buka, disini gelap!" Cea berteriak sambil menangis histeris."Cea kemana?" tanya Gravano, "Ke toilet, tapi belum balik lagi padahal sudah lama." jawab Letta, ia menggigit bibir bawahnya merasa gelisah, "Letta susul Cea." ucapnya langsung berjalan dengan cepat.Suara riuh memekakkan telinga membuat semuanya terbuai pada acara ini. Sedangkan di lain tempat Letta memungut mahkota Cea dan langsung berlari ke arah Gravano panik, "Ini mahkota Cea, dia enggak ada!" teriak Letta agar Gravano bisa mendengarnya."Gue cari dia."Cea berteriak saat saat suara-suara aneh menyapa telinganya, ia memeluk lututnya dengan tubuh yang bergetar hebat, ini lebih menyeramkan daripada gudang di rumah Nenek. "Cea takut." lirihnya.Gravano berlari kesana kemari mengetuk semua pintu, "Cea, kamu dimana?" teriak Gravano berul
"Aaaaa, enggak mau!" Cea berteriak sambil menutup mulutnya, pasalnya pagi ini Gravano membuat nasi goreng dengan garam yang terlalu banyak."Ini enak banget, sumpah!" seru Gravano, "Kalau enak makan sendiri, Cea enggak mau!" sewot Cea sambil berlari ke arah sofa dan meminum susu kotak yang diberikan oleh Gravano.Gravano duduk di samping Cea yang sedang meminum susu strawberry dengan tangan yang sedang meluncur lincah di layar ponsel, ia menggumam tidak jelas sambil sesekali bernyanyi dengan sedotan yang tidak lepas dari bibir manisnya. Merasakan jika dirinya menjadi nyamuk Gravano langsung menyandarkan kepalanya di bahu Cea, kebiasaannya saat ini adalah bersandar dan mencium wangi bayi dari Cea."Eung, Rava mau kuliah dimana?" tanya Cea tiba-tiba, "Kata Bunda di Universitas Cyanide terus ambil kedokteran atau sastra asing." jawab Gravano, Cea memandang kosong ke arah tv yang tidak dinyalakan, ia ingin kuliah tetapi ia tidak bisa, biayanya terlalu besar.
Cea menghembuskan napasnya jengah, sekarang total sudah 1 minggu sejak kejadian kemarin, namun ia belum bertemu lagi dengan sang Ibu. Ia mengaduk milkshake vanilanya sambil sedikit bercengkrama dengan para sahabatnya, walaupun Cea hanya akan tertawa."Ariana di kelas bagaimana?" tanya Letta."Baik-baik saja, Cea sudah bilang dia minta maaf waktu itu, jadi enggak akan ganggu Cea lagi."Letta mengangguk, "Benar juga,""Eh, aku ada kelas, duluan, ya!" seru Letta tergesa-gesa.Kini hanya tersisa Cea dan Sean, sedangkan Gravano belum kembali dari kelas sebelumnya. Mereka berdua hanya diam fokus dengan pekerjaan masing-masing, beberapa kali Sean akan bertanya namun Sean lebih banyak diam dan mengerjakan tugasnya."Aw!" Cea berteriak saat merasakan bibirnya berdarah karena ujung sedotan yang runcing, "Berdarah?" tanya Cea sambil membuka sedikit mulutnya.Sean mendekat dan melihatnya, "Hanya sedikit," ucapnya.Cea mengangguk lalu berla
Vania menarik Cea ke parkiran klinik, "Kau berteman dengannya?" tanya Vania, Cea hanya mengangguk ia tidak ingin sekalipun menjawab pertanyaan yang dilontarkan oelh Vania."Kau dekat dengan keluarganya?"Cea menatap Vania tajam, "Bukan urusanmu, sekarang katakan apa yang membuatmu datang kesini?"Cea tahu, Vania tidak akan datang ke tempat seperti ini, walaupun Ibunya sendiri sedang di rawat. Entah apa alasannya, hanya Vania yang tahu."Kau bertemu dengan Ibumu?""Iya," jawab Cea singkat."Woah, bagaimana dia bisa kemari, berani sekali.""Memangnya kenapa?" tanya Cea."Ah, bukan apa-apa, hanya saja jika ia kembali kesini berarti ia siap mempertaruhkan semuanya, termasuk nyawanya."Mata Cea terbuka lebar, "Apa yang kau katakan?!"Vania tertawa, sesaat sebelum ia mencekik leher Cea kencang, "Kau ditakdirkan terlalu bahagia, aku tidak menyukainya," ucap Vania tajam, lalu menghempaskan Cea begitu saja.Cea meng
"Kenapa?"Cea menggeleng, ia hanya menyesap teh manis hangat yang diberikan Gravano padanya. Sedangkan Gravano menghela napasnya, baik, ini bukan waktu yang tepat untuk mendengarkan Cea bercerita."Baby?"Cea menatap tajam ke arah Gravano, "Manggil siapa?" tanya Cea sewot."Baby, mau cokelat?" tanya Gravano sambil melambaikan dua cokelat chungky bar.Mata Cea berbinar, tetapi apa tadi, Baby? Cea membuang wajahnya malas, ia terus menyesap teh manis hangat sambil memperhatikan kotak yang sudah dirapikan oleh Gravano."Baby?""...""Cea?""Hm?"Gravano tertawa, memang menggelikan jika ia memanggil dengan manis seperti itu, tetapi ia lebih senang jika melihat Cea kesal padanya daripada melihat Cea menangis seperti tadi. "Baby, mau cokelat?""Ya, aku bukan bayi, sana pulang!"Gravano kembali tertawa saat melihat wajah Cea yang bersemu, namun ia menahannya dan mulai berdecak sebal. Gemas, menurutnya.
Cea melengguh pelan saat merasakan sesuatu menempel dikeningnya, bahkan ada tetesan air yang terjatuh di pipi Cea. Ia berpikir jika itu mimpi dan tanpa pikir panjang, ia kembali melanjutkan tidurnya."Pagi," ucap Cea dengan suara khas bangun tidur, ia meregangkan tubuhnya yang pegal karena harus tidur dengan posisi duduk, hingga kakinya mengenai sebuah benda di bawah ranjang."Nenek, ini apa?" tanya Cea sambil mengangkat kotak warna biru langit itu, ia menatap pin matahari yang langsung membawanya mengingat masa lalu, ia ingat bahwa ia pernah memberikan pin ini kepada Ibunya dulu.Mata Cea memanas ia meletakkan kembali kotak itu ke bawah ranjang, lalu menatap Neneknya yang tengah tersenyum hangat. "Ini dari Ibu?" tanya Cea.Nenek hanya menggeleng, bukan ia tidak tahu, ia ingin Cea mengetahui semuanya sendiri. Ia tahu, bahkan ia sangat tahu saat Hana mencium sayang kening Cea, ia tahu."Um, Cea keluar dulu, Nek."Cea mendudukan dirinya di kur
Hari sudah malam, langit sudah menggelap, seluruh manusia sedang beristirahat begitupun dengan matahari yang sudah terlelap. Seorang wanita dewasa berdiri mematung beberapa jam di depan sebuah caffe yang sekarang sudah tutup, sesuai dengan adanya tanda closed di depan pintunya."Cepat atau lambat, aku harus mengatakan yang sebenarnya. Mas, aku akan jujur kepada Cea, anak kita."Wanita itu menengadah melihat bintang yang sepertinya tidak banyak yang terlihat, air matanya sudah turun daritadi, ia merasakan sesak dan sempit mengisi rongga udaranya. Ia merindukan suaminya, ia merindukan Ibunya, dan tentu saja ia merindukan Cea."Nenek, Cea pulang!" teriak Cea dengan riang, ia berjalan cepat ke arah kamar neneknya."Nenek, Cea bawain maka- Nenek!"Sudah pukul jam 12 malam namun mata gadis manis ini enggan tertutup sama sekali, tangannya masih tertaut dengan tangan sang nenek yang tengah tertidur pulas di atas ranjang."Cea?""Nenek sudah b
Gravano mengusap lembut rambut Cea yang terurai, gadis itu terlihat fokus dengan ponselnya, sesekali Cea akan memekik senang bahkan sesekali akan tertawa dan menangis."Kayak Rava, ya?"Cea hanya mendelik, "In your dream."Kini giliran Gravano yang kesal, awalnya Cea mengajak ia pergi ke kedai es krim karena ingin mencoba es krim rasa baru, namun kenyataannya gadis itu malah asik melihat idolanya yang tengah menari sambil menyanyi."Cea, Rava mau pulang," ucap Rava.Cea meletakkan ponselnya lalu menahan Rava yang sudah beranjak, "Okay, Cea makan, jangan pergi!" seru Cea buru-buru, ia langsung menghabiskan satu cup es krim yang sudah setengah mencair."Pelan-pelan makannya," Cea hanya mengangguk.Letta menatap tak percaya dengan wanita yang kini tengah tersenyum miring padanya, "Jangan ganggu sahabat gue lagi!""Mari kita lihat kedepannya bagaimana, saya permisi." ucap Ariana penuh intimidasi diiringi dengan senyum liciknya.
"Aaaaa!"Itu Cea, bukan Gravano.Tidak, bukan Gravano yang menjahili Cea kembaliPerpustakaan ini sangat luas, semua ruangan terpancar lampu yang terang, hanya saja entah kenapa saat ini semuanya padam, membuat Cea berteriak dan memeluk tubuh Gravano."Ini ada Rava, jangan takut." Gravano membalas pelukan Cea, perlahan pelukan itu melonggar, kini Cea menatap seisi perpustakaan yang sangat gelap, nafasnya tercekat dan jantungnya kembali memompa dengan cepat."Rava, Cea takut."Gravano mengeluarkan sebuah lampu kecil berbentuk matahari, "Cea, lihat ini," titah Gravano."I-Itu apa?""Ini lampu, walaupun tidak terlalu terang, setidaknya ia bisa menemanimu."Gravano memasangkan lampu kecil itu ke pergelangan tangan Cea, bentuknya seperti gelang, namun liontinnya berbentuk matahari dan bisa menyala. Entah kenapa, Cea merasa lebih aman sekarang."Terima kasih, Rava." Cea kembali memeluk Gravano, tidak lama setalah itu la
"Maaf, Ibu belum bisa menceritakan semuanya sekarang, dan Ibu juga harus pergi."Cea menatap nanar tubuh Ibunya yang perlahan menjauh, ia memukul dadanya berulang kali demi menetralkan sakit hatinya, "Kenapa harus Cea, kenapa?" rintih Cea perlahan."Cea, you fine?""Ah, Cea baik-baik saja," ucap Cea sambil tersenyum tipis."Tadi siapa?""Bukan siapa-siapa,""Dia membuatmu menangis?""Tidak, Cea hanya sedikit pusing,""Mau pulang?"Cea termenung sebentar, "Tidak perlu, Cea mau lanjut bekerja, Kak!" seru Cea, Fadil hanya tersenyum, ia tahu sedikit karena ia tidak sengaja telah mendengar pembicaraan mereka. Kenapa harus ada rahasia dibalik rahasia?Setelah pertemuan yang singkat dan menyakitkan kini Cea terlihat banyak murung, Letta yang menyadari hal itu untuk pertama kali. "Cea, ada apa?" tanya Letta."A-Ah, tidak, Cea hanya sedang banyak tugas saja." Cea tersenyum, sambil kembali menyesap es jeruknya.
Sudah 5 bulan berlalu dengan sangat cepat, mereka akhirnya bisa menikmati kembali bangku pendidikan. Cea, Gravano, Letta, dan Sean memasuki Universitas Cyanide bersama-sama, walaupun dengan jurusan yang berbeda tentunya.Cea mengambil jurusan bahasa asing, Gravano dengan jurusan kedokteran, Letta masuk psikolog, sedangkan Sean memasuki jurusan multimedia. Mereka berpisah dan menjadi satu dalam ekstrakulikuler seni dan fotography."Gue yang foto, kalian siap-siap." Gravano mengatur lensa kamera, matanya terfokus kepada gadis yang sedang tertawa di sebelah kiri Letta, ia adalah Cea, tanpa sadar Gravano memfokuskan pada titik itu dan foto sempurna dari Cea yang tengah tertawa lepas bisa diabadikan sempurna oleh Gravano."Rava ikutan saja disini," ujar Sean, ia meraih kamera dari tangan Gravano dan memanggil orang yang lewat untuk membantu mengambil gambar."Hitung, Kak!" seru Sean."Baik, satu, dua, tiga."Satu foto telah dipotret sempurna, "Sa