"Huh, ujian nasional sudah di depan mata, kalian mau kuliah dimana?" tanya Sean, ia menyandarkan kepalanya di bahu Letta. "Aku ikut Sean, hehe." jawab Letta.
"Gue enggak tahu, belum ada kampus yang cocok." jawab Gravano, ia memainkan marimong milik Cea. "Cea juga belum tahu, tetapi Cea mau kerja dulu, atau kerja sambil kuliah." ujarnya.
Mereka hari ini sedang duduk di kedai ice cream karena Letta berbicara jika ia ingin ice cream. "Letta mau rasa vanilla," ucap Letta saat Sean tiba-tiba berdiri, "Yang lain?" tanya Sean.
"Eung, Cea mau strawberry." seru Cea, tetapi sedetik kemudian, "Bukan strawberry tapi mint choco, hehe." kekeh Cea, "Eh, bukan, Cea mau rasa mint choco." ucapnya lagi, ingin rasanya Letta melempar sahabatnya ini ke pantai yang ada di depan, tapi ingat, masa depannya masih panjang.
Sean melirik ke arah Gravano yang sedang memperhatikan Cea mengusili Sean, "Vano, lo mau rasa apa?" tanya Sean, "Rasa matcha sama strawberry." Sean bingung, "Strawberry?" Gravano mengangguk matanya tetap melirik ke Cea.
"Waktu itu Cea sampai nangis karena enggak dikasih cokelat, jahat banget. Katanya anak kecil jangan makan cokelat, padahal Cea sudah besar." rengek Cea, Letta tertawa mendengar curhatan Cea yang tidak bermutu sebenarnya, tetapi cukup berguna untuk mengisi waktu luang.
"Suka cokelat?" Cea melirik kesampingnya lalu mengangguk antusias, "Iya, soalnya manis, enggak kayak takdir Cea." ucap Cea dramatis sambil mengusap ujung matanya yang tidak mengeluarkan air mata.
"Sean, cokelat satu!" teriak Gravano, "Rava suka cokelat?" Gravano tidak menjawab dan terfokus kembali pada marimong Cea. "Kalau suka ambil saja, Cea ada satu lagi." Gravano menggeleng.
Cea langsung mengambil cup ice cream mint choco-nya dan memakannya senang, "Cea, aaaa!" Cea melirik kesampingnya ternyata sendok berisikan ice cream cokelat terarah padanya, otomatis Cea membuka mulutnya senang.
"Sayang, kita yang pacaran tetapi kalah romantis sama mereka." rengek Letta, Sean menggaruk tengkuknya, lalu menyuapi sang kekasih. Tanpa sadar Gravano terus menyuapi Cea dan Cea terus menerimanya, mereka tertawa bahkan tidak sadar jika ada Letta dan Sean yang bertatapan aneh.
"Kalian pacaran?" tanya Sean.
"Mau."
Cea membelalakan matanya, "H-Heh!" ucapnya sambil menepuk lengan Gravano. "Iya emang mau, tapi nanti." ucap Gravano yang terlihat santai sambil terus menyuapi Cea.
"Jaga Cea, kalau bayi ini sakit karenamu, lihat akibatnya." ancam Letta tajam, Sean menelan ludahnya, kekasihnya itu garang, bahkan melebihi macan.
"Apa yang dia bilang tidak boleh terjadi."
"Aku akan membantumu."
"Bawa pergi Cea malam ini."
Pria itu mengangguk menanggapi ucapan wanita yang tengah menampakkan senyum miringnya. Misinya harus berhasil sebelum Gravano lebih jatuh cinta kepada Cea, ia tidak mau itu terjadi, Gravano miliknya, hanya miliknya.
"Iya, Kakak mau ke rumah Kak Cea." ucap Gravano sibuk sambil memakai hoddienya, lalu mengambil kunci motor dan langsung melesat begitu saja saat mendengar adiknya menangis karena ingin pulang dan bertemu Cea.
Cea berjalan membelah malam untuk pergi ke apotek untuk membeli obat pereda nyeri. Ia ingin membeli cokelat tetapi, ia harus menabung, bahkan semua gaji dari hasil menjadi guru privat belum Cea sentuh sekalipun, ia mengumpulkannya untuk suatu alasan.
"Habis darimana?" Cea tersentak saat mendengar suara pria itu, "Eh, Kak Rafka, Cea habis dar-" ucapan Cea terpotong saat Rafka menarik tubuhnya menuju gang gelap, "Lepasin, Kak!" Cea meronta, ia berteriak namun nihil kenapa tidak ada mendengarnya.
"Kakak suka kamu, kakak mau kamu jadi milikku untuk selamanya."
Gravano tersenyum hangat, "Baik, Nek. Terima kasih, Rava mau menunggu Cea di luar saja." ucapnya lalu berlalu keluar, teleponnya berdering dari Cea ia tersenyum lalu mengangkatnya, beberapa detik ia mematung dan langsung memacu motornya.
Cea meraih ponselnya lalu menekan kontak asal, tidak lama orang diseberang sana mengangkatnya, "Tolong, lepasin Cea, lepas!" Cea meraung-raung, ia melemparkan ponselnya begitu saja. Ia berharap ada yang melihat cahaya dari ponselnya.
"Kau semakin cantik ketika ketakutan."
"Kakak gila!" Cea menatap tajam Rafka, satu tamparan berhasil mendarat di pipi mulus Cea, Cea semakin takut ia semakin meraung-raung. "Kau bisa diam tidak!" Rafka mendorong tubuh Cea hingga gadis itu tersungkur, ia membuka jaketnya dan langsung berjalan ke arah Cea seperti harimau yang akan memangsa incarannya.
"Kau akan menjadi milikku, selamanya."
"Kakak gila!" Cea menatap tajam Rafka, satu tamparan berhasil mendarat di pipi mulus Cea, Cea semakin takut ia semakin meraung-raung. "Kau bisa diam tidak!" Rafka mendorong tubuh Cea hingga gadis itu tersungkur, ia membuka jaketnya dan langsung berjalan ke arah Cea seperti harimau yang akan memangsa incarannya."Kau akan menjadi milikku, selamanya."Rafka mulai mendekat dengan pandangan yang membuat Cea takut, "Kakak mau apa!" teriak Cea, ia ingin berlari namun ini sudah sampai dipenghujung gang, jalannya buntu."Aaaaa!" Cea berteriak lepas saat Rafka akan memeluk dirinya, namun satu pukulan mendarat di kepala bagian belakang Rafka membuat Rafka limbung tak sadarkan diri. "Rava!" teriak Cea, ia langsung memeluk tubuh pria itu, ia menangis kencang dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Sungguh, ia akan membunuh Rafka jika orang itu masih hidup.Gravano mengusap punggung Cea hingga gadis itu relaks, ia m
Sejak kepulangan Vera dan Gavin dari Thailand, Cea semakin dekat dengan keluarga Valery. Hal yang membahagiakan untuk Vera karena melihat Gavin dan Gravanno lebih banyak tertawa, Gavin senang karena ia bisa bersama Cea lebih sering bahkan Cea setiap minggu akan datang untuk membantu Bunda memasak.Untuk Gravano tersendiri, ia lebih banyak merasakan kebahagiaan karena bisa lebih dekat dan melihat tingkah Cea yang belum pernah ia lihat. Saat gadis itu menenangkan Gavin yang terjatuh, ia sangat telaten mengurus luka Gavin hingga meredakkan tangisnya. Cea terlihat sangat sabar dan selalu tersenyum bahkan Gavin pernah berontak tidak ingin belajar namun Cea membujuknya dan hingga sekarang Gavin selalu semangat untuk belajar."Bunda mertua, aku datang!"Cea menatap Gravano yang terlihat memasang wajah datarnya lalu beranjak pergi. "Siapa?" tanya Cea, "Pacarnya Kak Rava." jawab Gavin polos, Cea hanya tersenyum nanar, ternyata Gravano sudah mempunyai pawang."Tapi
"Cea, you fine?" tanya Letta sambil memegang kedua pundak sahabatnya itu, Cea hanya mengangguk. Tiba-tiba terlintas pemikiran kenapa Gavin tidak memberitahu jika bukan Cea yang melakukannya, kenapa? Tetapi ia tepis pemikiran itu, mungkin bisa saja tidak ada yang bertanya atau Gavin melupakannya.Gavin kecil menatap wajah Vera sambil merengek, "Mau ketemu Kak Cea, Bunda!" Vera mengusap kepala Gavin, "Bukan Kak Cea yang dorong aku!" ucap Gavin sambil terisak."Bunda enggak percaya sayang, Kak Ariana yang berkata jika Kak Cea yang melakukannya. Lagian Kak Rava enggak mau bertemu dengan Kak Cea, kamu mengerti bukan?"Gavin menjauh, ia sangat kesal sekarang, "Bunda lihat saja di cctv, 'kan cctv ada di ruang belajarnya Gavin!" ucap Gavin begitu saja, ia berlalu menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Menyisakan Vera yang merutuki dirinya sendiri, ia bahkan melupakan tentang cctv itu, dengan segera Vera membuka laptop dan melihat rekamannya. "Jadi?" lirih Vera
Cea menatap kosong ke arah Gravano yang tengah membersihkan lukanya dengan telaten, "Itu Bunda yang ganti," ucap Gravano yang melihat Cea memandangi kaos putih besar yang dikenakannya, baju ia yang sebelumnya telah rusak dan kotor jadi Vera inisiatif untuk membuangnya dan menggantikan dengan yang baru."Bunda mana?" tanya Cea."Bunda pulang, ini sudah malam soalnya." Gravano menutup kotak P3K dan beranjak keluar kamar. Cea di bawa Gravano keapartementnya setelah Vera meminta izin dan menenangkan Nenek Cea agar tetap tenang karena Cea akan baik-baik saja disini.Gravano kembali dengan sebuah nampan yang berisikan soto ayam lengkap dengan satu mangkuk nasi dan satu kotak susu strawberry. "Makan dulu," ucap Gravano."Maaf merepotkan." Cea mengambil nampan dan menyuapkan satu suap nasi dengan kuah soto."Rava minta maaf untuk semuanya, maaf Rava enggak percaya ke Cea, maaf bikin Cea sakit."Cea terkekeh, "Enggak apa-apa, ini mau?" ucap Cea sambi
Gravano mengacak rambut Cea yang dibiarkan terurai begitu saja, "Rava diam sebentar, belajar sana besok ujian!" Gravano terkekeh melihat mode galak Cea yang semakin terlihat. Setelah kejadian yang menyakitkan kemarin Gravano berniat ingin memasukkan Ariana ke dalam penjara, namun Cea mencegahnya dengan alasan kasihan, ingat Cea dia menyiksamu tanpa kalimat kasihan."Ah, pusing!" Sean mengacak rambutnya sendiri, Letta mengusap rambut lurus Sean, "Mana yang bikin pusing?" tanya Letta, "Semuanya." jawab Sean enteng, membuat Letta menarik buku paketnya dan menjelaskan beberapa materi dengan singkat, ia sadar dengan kapasitas otak kekasihnya yang sangat minim."Rava, jangan pegang marimong terus, lihat ini!" titah Cea, Gravano hanya mengangguk dan mulai menyelesaikan beberapa soal yang sudah Cea ajarkan sebelumnya. "Aduh, Cea mau cepat-cepat lulus." gerutu Cea kesal, ia tidak bisa fokus karena lebih sibuk mengajarkan Gravano."Habis ujian besoknya ada night party, lo
"Semakin dekat, ya?" goda Letta, ia datang sambil menggandeng lengan Sean. Cea hanya tersipu sambil memasangkan dasi untuk Gravano. Setelah ujian yang menguras tenaga dan pikiran para kumpulan itu tengah duduk lelah di warung bakso, "Bang, baksonya empat." ucap Sean selaku orang yang akan memesan setiap kumpul. Gravano menarik botol sambal dari Cea paksa, pasalnya gadis itu terlalu banyak menuangkannya, "Jangan banyak-banyak, Cea!" kesal Gravano, sedangkan Cea hanya tersenyum ia sedang merasakan jika kepalanya berdenyut saat mengisi lembar ujian akhir. "Kau juga punya magh, sudah lama enggak kambuh, awas saja!" ancam Letta sambil menepuk bahu Cea kesal, pasalnya magh Cea memang jarang kambuh karena Cea tidak terlalu peduli jika perutnya sakit. Bandel memang. Gravano menatap tajam Cea yang sedang menghisap kuah berwarna merah itu, "Pelan-pelan, nanti kese- tuhkan!" panik Gravano, ia langsung memberikan jus mangganya ke Cea dan langsung Cea habiskan hin
"Ada Cea?" tanya Gravano kepada Sean melalui panggilan telepon. "Okay, gue bawa mobil." ucap Gravano lalu memutuskan panggilannya. Sore ini di rumah Letta mereka akan berkumpul untuk bersolek ria, Sean mengajak Gravano karena memang ada Cea disana.Cea mendudukan badannya dan menerima panggilan dari Gravano, "Iya, ada apa?" tanya Cea."Nanti Rava jemput, jangan pergi sendiri.""Iya nanti Cea tunggu di depan rumah, ya?""Siap tuan putri!"Cea tersenyum tapi kemudian mengerucutkan bibirnya, "Rava, kayaknya badan Cea nambah gemuk, deh." adunya."Enggak apa-apa, Cea lucu, kok.""Tapi itu...""Sudah, enggak apa-apa.""Eung, okay. Jangan kasih Cea cokelat lagi." ancam Cea galak, Gravano hanya tertawa, tidak terasa ia lama dekat dengan gadis berpipi tembam ini bahkan rasa sayangnya semakin bertambah setiap hari. Ia mengusap kotak yang berisikan 4 potong cokelat chungky bar, bagaimanapun Cea menolat cokelat itu pasti akhirnya ak
"Lo makin hari makin minta banget gue bunuh!" teriak Ariana, ia mendorong Cea ke dalam laboratorium yang sudah tidak terpakai dan menguncinya dari luar. "Buka, disini gelap!" Cea berteriak sambil menangis histeris."Cea kemana?" tanya Gravano, "Ke toilet, tapi belum balik lagi padahal sudah lama." jawab Letta, ia menggigit bibir bawahnya merasa gelisah, "Letta susul Cea." ucapnya langsung berjalan dengan cepat.Suara riuh memekakkan telinga membuat semuanya terbuai pada acara ini. Sedangkan di lain tempat Letta memungut mahkota Cea dan langsung berlari ke arah Gravano panik, "Ini mahkota Cea, dia enggak ada!" teriak Letta agar Gravano bisa mendengarnya."Gue cari dia."Cea berteriak saat saat suara-suara aneh menyapa telinganya, ia memeluk lututnya dengan tubuh yang bergetar hebat, ini lebih menyeramkan daripada gudang di rumah Nenek. "Cea takut." lirihnya.Gravano berlari kesana kemari mengetuk semua pintu, "Cea, kamu dimana?" teriak Gravano berul