"Nenek pergi ke rumah paman dari pagi, jadi Bibi di rumah, Cea tadi pulang telat dia mau makan tetapi pas Cea mau masak dia bilang-" suara Cea tercekat, "Dia bilang yang enggak-enggak terus bilang jelek tentang Ibu Cea, terus dia tarik Cea ke gudang terus Cea di kunci dan lampu gudangnya mati.
Cea menghirup napasnya sebelum bercerita lebih, "Maaf, Cea cerita banyak ke Rava, karena memang kemarin Rava tahu kalau Bibi Cea ada disini." ada benarnya juga Gravano memang tahu kemarin Cea diperlakukan kasar oleh Bibinya itu.
"E-eh, maaf, Vano maksudnya." Cea meralat perkataanya ketika ia memanggil Gravano dengan sebutan Rava, sedangkan Gravano hanya mengulum bibirnya, ia memasang kembali wajah datarnya namun gagal. Gravano meraih helaian rambut Cea dan ia rapikan asal, "Lo mau tahu kenapa gue benci sama lo?"
Cea menatap Gravano penasaran, "Kenapa?" tanya Cea, Gravano menatap dalam mata bulat Cea, "Karena lo lemah, lo mau disiksa bagaimanapun, lo enggak pernah ngelawan!"
"Gue selalu bikin lo sakit, tapi lo malah senyum baik-baik saja enggak pernah marah ke gue, gue benci itu."
Cea menunduk dan kembali terisak, "Cea enggak mau bikin orang lain sakit, Cea takut kalau Cea melawan mereka akan lebih menyakiti Cea. Jika itu membuat Rava benci, Cea enggak apa-apa, banyak juga yang enggak suka sama Cea karena Cea miskin Cea enggak apa-apa kok jujur!" seru Cea sambil tersenyum simpul.
Benteng pertahanan Gravano runtuh sudah.
Ia membawa Cea kembali ke dalam dekapannya, "Maaf." ucapnya lirih membuat Cea semakin terisak, "K-Kenapa maaf?" tanya Cea.
"Maaf sering bikin sakit, tapi sekarang kalau ada apa-apa cerita ke Rava, ya?" Gravano terkekeh geli saat menyebut namanya dengan sebutan Rava.
"Huwaa, kenapa Rava jahat ke Cea!"
"Shhtt, iya Rava salah, maaf."
Setelah kejadian itu sikap Gravano memang terlihat berubah, namun kadang ia suka mengjahili Cea dengan berpura-pura dingin. Lucu.
"Rava, lihat, aduh!" Cea menepuk dahinya frustasi, saat ini tugas Cea bertambah karena harus mengajar Gavin sekaligus Gravano.
Gravano menggaruk tengkuknya, pasalnya ia memang tidak pernah belajar tetapi sekarang ia mau belajar karena paksaan dari Cea. "Aish, pusing." rengek Gravano menjauhkan bukunya, ia merengek manja saat Bundanya datang sambil membawa cemilan dan jus mangga.
"Bunda, Rava pusing!" nama Rava menjadi panggilan Gravano sekarang, ia menyukainya. "Jangan merengek, bentar lagi ujian nasional."
Gavin menertawakan wajah kakaknya yang terlihat masam, "Gavin jangan begitu sayang!" tegur Cea, Vera tersenyum melihat perilaku Cea yang begitu menyayangi Gavin.
"Rava mana hasilnya?" tanya Cea, matanya masih fokus ke arah Gavin yang sedang menggambar, sedangkan Gravano mendumal sebal. Bertanya ke dia tetapi matanya melihat ke arah lain.
Cea melirik ke arah Gravano yang sedang mendumal sambil terkekeh, pria yang kemarin-kemarin berperilaku buruk sekarang berubah begitu saja. Ia senang? Tentu, tetapi jangan lupakan bahwa penggemar Gravano tidak akan membiarkan Cea bahagia di sekolah.
Brugh!
Tubuh Cea menabrak meja rusak dibelakangnya, lagi dan lagi ini adalah penyiksaan dari para penggemar Gravano, mereka memang membenci Cea sebelumnya dan sekarang makin membencinya karena Cea terlihat dekat dengan Gravano.
"Jauhin Vano, lo tuli?!" pekik Ariana geram lalu menendang Cea bertubi-tubi, "Shit! Guys lanjutkan." Ariana sudah cukup lalu dilanjutkan oleh Gresyln dan Belva, mereka menyiram Cea dengan air kotor yang Cea tidak tahu entah dari mana asalnya. Setelah itu Greslyn dan Belva langsung pulang, karena memang ini sudah jam pulang.
Cea berdiri pelan, tubuhnya sangat sakit bahkan bau tidak sedap menyeruak begitu saja membuat Cea mual. "Rava!" seru Cea panik, pasalnya pria itu bilang jika ia akan menunggu Cea keluar dari kelasnya untuk langsung pergi mengajar kembali.
"H-Halo, Rava maaf Cea enggak bisa bareng."
"Kenapa?"
"A-Anu enggak apa-apa, nanti Cea nyu-" ucapan Cea terjeda saat melihat Gravano di ambang pintu, Cea tersenyum kikuk, kenapa harus ketahuan segala.
Gravano menatap Cea datar emosinya naik begitu saja, "Ke toilet sekarang, gue ambil baju dulu." Cea menunduk saat sorot dingin Gravano menusuk indra penglihatannya, lagi-lagi Gravano akan memarahi Cea kembali karena Cea enggan melawan.
Cea mengetukkan kuku di jari mungilnya gugup, Gravano membawa mobil hari ini karena ingin membeli sesuatu terlebih dahulu. Netra Gravano melihat Cea gemas, Cea terlihat gugup dengan pipi tembam yang menggembung dan mata yang berkedip lucu. Sungguh Gravano tidak bisa jika terus kesal dengan gadis itu, "Turun, kita sudah sampai." ucap Gravano datar.
"Rava marah lagi?" tanya Cea, Gravano tidak mengindahkan ucapan Cea ia langsung memasuki pusat perbelanjaan. "Malah ditinggal, kalau Cea hilang bagaimana?!" gerutu Cea, ia lebih cerewet dan heboh sendiri ketika Gravano mengenalnya lebih.
"Bawel banget, sih!" Gravano mundur untuk menghampiri Cea, Gravano meraih lengan Cea dan menggenggamnya. Bisa gawat juga jika ia hilang.
Rencana hari ini adalah Gravano akan membeli bahan-bahan untuk memasak besok karena ia meminta Cea untuk mengajarinya memasak. "Rava bawa ini, masa Cea yang bawa, berat tau!" gerutu Cea sambil membawa troli.
Cea dengan lihai memasukkan bahan-bahan untuk membuat ayam tepung pedas, rappoki, dan kue kering. Gravano hanya mendorong troli saja membiarkan Cea yang memilih karena memang Cea yang tahu semuanya, Gravano hanya ikut saja.
"Kayaknya sudah," ucap Cea tangannya menyortir semua bahan yang ada di dalam troli dan mengabsennya, "Ini sudah, sana bayar Cea tunggu diluar." ucap Cea berlalu begitu saja, Gravano menggerutu, jadi begini sikap Cea yang sebenarnya, menyebalkan sekaligus menggemaskan.
"Sebentar, gue mau ke mobil dulu, jangan kemana-mana ingat!" perintah Gravano, Cea menangguk.
"Hei, apa kabar?"
Cea menoleh ke asal suara matanya membesar saat melihat pria yang sudah lama tidak ia jumpai, "Kak Rafka! Aku baik-baik saja, Kak!" ucap Cea antusias, Rafka terkekeh pasalnya sikap Cea dari dulu belum berubah ia tetap jadi wanita menggemaskan dan ceria.
"Sama siapa disini?" tanya Rafka sambil mencubit pipi Cea, "Sama gue." Cea menoleh ke arah Gravano yang terlihat sangat datar.
"Saya Rafka, kamu?"
"Gravano, Cea ayo makan." ucap Gravano singkat dan langsung menarik lengan Cea, "Saya ikut boleh?" langkah Gravano terhenti saat Rafka berkata demikian ia melepaskan tarikan dari lengan Cea dan membiarkan Cea yang mengurusnya.
Cea berjalan ke arah Rafka, "Maaf, untuk sekarang Cea mau berdua sama Rava." ucap Cea pelan dan langsung berlari menuju Gravano, "Ayo!" seru Cea riang, ia mengangkat tangan kanannya sebagai kode agar Gravano menggenggamnya.
Gravano tersenyum simpul sedangkan di lain tempat ada seseorang yang bergumam, "Aku lebih dulu mengenalnya, jadi aku yang harus bersamanya."
Hari ini hari minggu, ralat, hari ini adalah hari dimana Gravano akan sendiri di rumah. Vera dan Gavin akan pergi ke Thailand untuk mengunjungi rumah Nenek Gavin selama 2 minggu. "Awas, jangan lupa makan!" peringat Vera kepada Gravano yang memeluknya manja. "Rava bisa sendiri 'kan? Bi Muti pulang kampung soalnya." Gravano melepas pelukannya, "Beres Bunda, percayakan kepada Tuan Gravano." ucap Gravano menyombongkan diri, padahal ia tidak bisa apa-apa, dulu jika ia sendiri di rumah ia akan menyuruh teman-temannya untuk membereskan rumahnya dan untuk makan ia akan membelinya diluar. Baru 15 menit Vera dan Gavin keluar dari rumah Gravano sudah meringis, ia melihat rumah seperti kapal pecah, cucian piring menumpuk, dan sekarang ia lapar. Ia harus bagaimana? "Assalamualaikum!" Dengan cepat Gravano membuka pintu, bagaikan keberuntungan memihak kepadanya sekarang. Ia tidak sendiri, ada Cea yang baru datang. "Waalaikumussalam, masuk." Cea menggunakan h
"Mau kamu." Cea tertawa lepas, "Rava lagi sakit, bobo ya, jangan ngelantur, ih!" ucap Cea sambil Gravano merebahkan diri lalu menyelimuti pria itu, "Mau dikompres?" Gravano mengangguk, "Sebentar, ya!" ucap Cea lalu keluar sambil membawa piring dan mangkuk kosong. "Maaf telah menyakitimu dulu, sekarang aku akan melindungimu dan mencintaimu." Jujur Gravano memang telah jatuh hati kepada Cea setelah lebih tau kehidupan Cea yang sebenarnya, ia membenci sikap Cea yang terlalu lemah ternyata ia salah, kenyataan yang berat yang membuatnya tidak sempat untuk melawan takdir. Takdir Cea lebih pedih jika tahu tentang kehidupan wanita itu, jadi, Cea lemah karena lelah. "Astaghfirullah, mata Cea ada dua!" pekik Cea kaget melihat wajah Sean dan Letta berdekatan, dengan polosnya Cea berlalu begitu saja dan mengobrak-abrik tasnya untuk mengambil plester demam. "Itu anak kenapa, aish!" Letta tidak habis fikir dengan tingkah laku Cea, tadi Cea benar-benar terke
"Huh, ujian nasional sudah di depan mata, kalian mau kuliah dimana?" tanya Sean, ia menyandarkan kepalanya di bahu Letta. "Aku ikut Sean, hehe." jawab Letta."Gue enggak tahu, belum ada kampus yang cocok." jawab Gravano, ia memainkan marimong milik Cea. "Cea juga belum tahu, tetapi Cea mau kerja dulu, atau kerja sambil kuliah." ujarnya.Mereka hari ini sedang duduk di kedai ice cream karena Letta berbicara jika ia ingin ice cream. "Letta mau rasa vanilla," ucap Letta saat Sean tiba-tiba berdiri, "Yang lain?" tanya Sean."Eung, Cea mau strawberry." seru Cea, tetapi sedetik kemudian, "Bukan strawberry tapi mint choco, hehe." kekeh Cea, "Eh, bukan, Cea mau rasa mint choco." ucapnya lagi, ingin rasanya Letta melempar sahabatnya ini ke pantai yang ada di depan, tapi ingat, masa depannya masih panjang.Sean melirik ke arah Gravano yang sedang memperhatikan Cea mengusili Sean, "Vano, lo mau rasa apa?" tanya Sean, "Rasa matcha sama strawberry." Sean bingung
"Kakak gila!" Cea menatap tajam Rafka, satu tamparan berhasil mendarat di pipi mulus Cea, Cea semakin takut ia semakin meraung-raung. "Kau bisa diam tidak!" Rafka mendorong tubuh Cea hingga gadis itu tersungkur, ia membuka jaketnya dan langsung berjalan ke arah Cea seperti harimau yang akan memangsa incarannya."Kau akan menjadi milikku, selamanya."Rafka mulai mendekat dengan pandangan yang membuat Cea takut, "Kakak mau apa!" teriak Cea, ia ingin berlari namun ini sudah sampai dipenghujung gang, jalannya buntu."Aaaaa!" Cea berteriak lepas saat Rafka akan memeluk dirinya, namun satu pukulan mendarat di kepala bagian belakang Rafka membuat Rafka limbung tak sadarkan diri. "Rava!" teriak Cea, ia langsung memeluk tubuh pria itu, ia menangis kencang dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Sungguh, ia akan membunuh Rafka jika orang itu masih hidup.Gravano mengusap punggung Cea hingga gadis itu relaks, ia m
Sejak kepulangan Vera dan Gavin dari Thailand, Cea semakin dekat dengan keluarga Valery. Hal yang membahagiakan untuk Vera karena melihat Gavin dan Gravanno lebih banyak tertawa, Gavin senang karena ia bisa bersama Cea lebih sering bahkan Cea setiap minggu akan datang untuk membantu Bunda memasak.Untuk Gravano tersendiri, ia lebih banyak merasakan kebahagiaan karena bisa lebih dekat dan melihat tingkah Cea yang belum pernah ia lihat. Saat gadis itu menenangkan Gavin yang terjatuh, ia sangat telaten mengurus luka Gavin hingga meredakkan tangisnya. Cea terlihat sangat sabar dan selalu tersenyum bahkan Gavin pernah berontak tidak ingin belajar namun Cea membujuknya dan hingga sekarang Gavin selalu semangat untuk belajar."Bunda mertua, aku datang!"Cea menatap Gravano yang terlihat memasang wajah datarnya lalu beranjak pergi. "Siapa?" tanya Cea, "Pacarnya Kak Rava." jawab Gavin polos, Cea hanya tersenyum nanar, ternyata Gravano sudah mempunyai pawang."Tapi
"Cea, you fine?" tanya Letta sambil memegang kedua pundak sahabatnya itu, Cea hanya mengangguk. Tiba-tiba terlintas pemikiran kenapa Gavin tidak memberitahu jika bukan Cea yang melakukannya, kenapa? Tetapi ia tepis pemikiran itu, mungkin bisa saja tidak ada yang bertanya atau Gavin melupakannya.Gavin kecil menatap wajah Vera sambil merengek, "Mau ketemu Kak Cea, Bunda!" Vera mengusap kepala Gavin, "Bukan Kak Cea yang dorong aku!" ucap Gavin sambil terisak."Bunda enggak percaya sayang, Kak Ariana yang berkata jika Kak Cea yang melakukannya. Lagian Kak Rava enggak mau bertemu dengan Kak Cea, kamu mengerti bukan?"Gavin menjauh, ia sangat kesal sekarang, "Bunda lihat saja di cctv, 'kan cctv ada di ruang belajarnya Gavin!" ucap Gavin begitu saja, ia berlalu menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Menyisakan Vera yang merutuki dirinya sendiri, ia bahkan melupakan tentang cctv itu, dengan segera Vera membuka laptop dan melihat rekamannya. "Jadi?" lirih Vera
Cea menatap kosong ke arah Gravano yang tengah membersihkan lukanya dengan telaten, "Itu Bunda yang ganti," ucap Gravano yang melihat Cea memandangi kaos putih besar yang dikenakannya, baju ia yang sebelumnya telah rusak dan kotor jadi Vera inisiatif untuk membuangnya dan menggantikan dengan yang baru."Bunda mana?" tanya Cea."Bunda pulang, ini sudah malam soalnya." Gravano menutup kotak P3K dan beranjak keluar kamar. Cea di bawa Gravano keapartementnya setelah Vera meminta izin dan menenangkan Nenek Cea agar tetap tenang karena Cea akan baik-baik saja disini.Gravano kembali dengan sebuah nampan yang berisikan soto ayam lengkap dengan satu mangkuk nasi dan satu kotak susu strawberry. "Makan dulu," ucap Gravano."Maaf merepotkan." Cea mengambil nampan dan menyuapkan satu suap nasi dengan kuah soto."Rava minta maaf untuk semuanya, maaf Rava enggak percaya ke Cea, maaf bikin Cea sakit."Cea terkekeh, "Enggak apa-apa, ini mau?" ucap Cea sambi
Gravano mengacak rambut Cea yang dibiarkan terurai begitu saja, "Rava diam sebentar, belajar sana besok ujian!" Gravano terkekeh melihat mode galak Cea yang semakin terlihat. Setelah kejadian yang menyakitkan kemarin Gravano berniat ingin memasukkan Ariana ke dalam penjara, namun Cea mencegahnya dengan alasan kasihan, ingat Cea dia menyiksamu tanpa kalimat kasihan."Ah, pusing!" Sean mengacak rambutnya sendiri, Letta mengusap rambut lurus Sean, "Mana yang bikin pusing?" tanya Letta, "Semuanya." jawab Sean enteng, membuat Letta menarik buku paketnya dan menjelaskan beberapa materi dengan singkat, ia sadar dengan kapasitas otak kekasihnya yang sangat minim."Rava, jangan pegang marimong terus, lihat ini!" titah Cea, Gravano hanya mengangguk dan mulai menyelesaikan beberapa soal yang sudah Cea ajarkan sebelumnya. "Aduh, Cea mau cepat-cepat lulus." gerutu Cea kesal, ia tidak bisa fokus karena lebih sibuk mengajarkan Gravano."Habis ujian besoknya ada night party, lo
Cea menghembuskan napasnya jengah, sekarang total sudah 1 minggu sejak kejadian kemarin, namun ia belum bertemu lagi dengan sang Ibu. Ia mengaduk milkshake vanilanya sambil sedikit bercengkrama dengan para sahabatnya, walaupun Cea hanya akan tertawa."Ariana di kelas bagaimana?" tanya Letta."Baik-baik saja, Cea sudah bilang dia minta maaf waktu itu, jadi enggak akan ganggu Cea lagi."Letta mengangguk, "Benar juga,""Eh, aku ada kelas, duluan, ya!" seru Letta tergesa-gesa.Kini hanya tersisa Cea dan Sean, sedangkan Gravano belum kembali dari kelas sebelumnya. Mereka berdua hanya diam fokus dengan pekerjaan masing-masing, beberapa kali Sean akan bertanya namun Sean lebih banyak diam dan mengerjakan tugasnya."Aw!" Cea berteriak saat merasakan bibirnya berdarah karena ujung sedotan yang runcing, "Berdarah?" tanya Cea sambil membuka sedikit mulutnya.Sean mendekat dan melihatnya, "Hanya sedikit," ucapnya.Cea mengangguk lalu berla
Vania menarik Cea ke parkiran klinik, "Kau berteman dengannya?" tanya Vania, Cea hanya mengangguk ia tidak ingin sekalipun menjawab pertanyaan yang dilontarkan oelh Vania."Kau dekat dengan keluarganya?"Cea menatap Vania tajam, "Bukan urusanmu, sekarang katakan apa yang membuatmu datang kesini?"Cea tahu, Vania tidak akan datang ke tempat seperti ini, walaupun Ibunya sendiri sedang di rawat. Entah apa alasannya, hanya Vania yang tahu."Kau bertemu dengan Ibumu?""Iya," jawab Cea singkat."Woah, bagaimana dia bisa kemari, berani sekali.""Memangnya kenapa?" tanya Cea."Ah, bukan apa-apa, hanya saja jika ia kembali kesini berarti ia siap mempertaruhkan semuanya, termasuk nyawanya."Mata Cea terbuka lebar, "Apa yang kau katakan?!"Vania tertawa, sesaat sebelum ia mencekik leher Cea kencang, "Kau ditakdirkan terlalu bahagia, aku tidak menyukainya," ucap Vania tajam, lalu menghempaskan Cea begitu saja.Cea meng
"Kenapa?"Cea menggeleng, ia hanya menyesap teh manis hangat yang diberikan Gravano padanya. Sedangkan Gravano menghela napasnya, baik, ini bukan waktu yang tepat untuk mendengarkan Cea bercerita."Baby?"Cea menatap tajam ke arah Gravano, "Manggil siapa?" tanya Cea sewot."Baby, mau cokelat?" tanya Gravano sambil melambaikan dua cokelat chungky bar.Mata Cea berbinar, tetapi apa tadi, Baby? Cea membuang wajahnya malas, ia terus menyesap teh manis hangat sambil memperhatikan kotak yang sudah dirapikan oleh Gravano."Baby?""...""Cea?""Hm?"Gravano tertawa, memang menggelikan jika ia memanggil dengan manis seperti itu, tetapi ia lebih senang jika melihat Cea kesal padanya daripada melihat Cea menangis seperti tadi. "Baby, mau cokelat?""Ya, aku bukan bayi, sana pulang!"Gravano kembali tertawa saat melihat wajah Cea yang bersemu, namun ia menahannya dan mulai berdecak sebal. Gemas, menurutnya.
Cea melengguh pelan saat merasakan sesuatu menempel dikeningnya, bahkan ada tetesan air yang terjatuh di pipi Cea. Ia berpikir jika itu mimpi dan tanpa pikir panjang, ia kembali melanjutkan tidurnya."Pagi," ucap Cea dengan suara khas bangun tidur, ia meregangkan tubuhnya yang pegal karena harus tidur dengan posisi duduk, hingga kakinya mengenai sebuah benda di bawah ranjang."Nenek, ini apa?" tanya Cea sambil mengangkat kotak warna biru langit itu, ia menatap pin matahari yang langsung membawanya mengingat masa lalu, ia ingat bahwa ia pernah memberikan pin ini kepada Ibunya dulu.Mata Cea memanas ia meletakkan kembali kotak itu ke bawah ranjang, lalu menatap Neneknya yang tengah tersenyum hangat. "Ini dari Ibu?" tanya Cea.Nenek hanya menggeleng, bukan ia tidak tahu, ia ingin Cea mengetahui semuanya sendiri. Ia tahu, bahkan ia sangat tahu saat Hana mencium sayang kening Cea, ia tahu."Um, Cea keluar dulu, Nek."Cea mendudukan dirinya di kur
Hari sudah malam, langit sudah menggelap, seluruh manusia sedang beristirahat begitupun dengan matahari yang sudah terlelap. Seorang wanita dewasa berdiri mematung beberapa jam di depan sebuah caffe yang sekarang sudah tutup, sesuai dengan adanya tanda closed di depan pintunya."Cepat atau lambat, aku harus mengatakan yang sebenarnya. Mas, aku akan jujur kepada Cea, anak kita."Wanita itu menengadah melihat bintang yang sepertinya tidak banyak yang terlihat, air matanya sudah turun daritadi, ia merasakan sesak dan sempit mengisi rongga udaranya. Ia merindukan suaminya, ia merindukan Ibunya, dan tentu saja ia merindukan Cea."Nenek, Cea pulang!" teriak Cea dengan riang, ia berjalan cepat ke arah kamar neneknya."Nenek, Cea bawain maka- Nenek!"Sudah pukul jam 12 malam namun mata gadis manis ini enggan tertutup sama sekali, tangannya masih tertaut dengan tangan sang nenek yang tengah tertidur pulas di atas ranjang."Cea?""Nenek sudah b
Gravano mengusap lembut rambut Cea yang terurai, gadis itu terlihat fokus dengan ponselnya, sesekali Cea akan memekik senang bahkan sesekali akan tertawa dan menangis."Kayak Rava, ya?"Cea hanya mendelik, "In your dream."Kini giliran Gravano yang kesal, awalnya Cea mengajak ia pergi ke kedai es krim karena ingin mencoba es krim rasa baru, namun kenyataannya gadis itu malah asik melihat idolanya yang tengah menari sambil menyanyi."Cea, Rava mau pulang," ucap Rava.Cea meletakkan ponselnya lalu menahan Rava yang sudah beranjak, "Okay, Cea makan, jangan pergi!" seru Cea buru-buru, ia langsung menghabiskan satu cup es krim yang sudah setengah mencair."Pelan-pelan makannya," Cea hanya mengangguk.Letta menatap tak percaya dengan wanita yang kini tengah tersenyum miring padanya, "Jangan ganggu sahabat gue lagi!""Mari kita lihat kedepannya bagaimana, saya permisi." ucap Ariana penuh intimidasi diiringi dengan senyum liciknya.
"Aaaaa!"Itu Cea, bukan Gravano.Tidak, bukan Gravano yang menjahili Cea kembaliPerpustakaan ini sangat luas, semua ruangan terpancar lampu yang terang, hanya saja entah kenapa saat ini semuanya padam, membuat Cea berteriak dan memeluk tubuh Gravano."Ini ada Rava, jangan takut." Gravano membalas pelukan Cea, perlahan pelukan itu melonggar, kini Cea menatap seisi perpustakaan yang sangat gelap, nafasnya tercekat dan jantungnya kembali memompa dengan cepat."Rava, Cea takut."Gravano mengeluarkan sebuah lampu kecil berbentuk matahari, "Cea, lihat ini," titah Gravano."I-Itu apa?""Ini lampu, walaupun tidak terlalu terang, setidaknya ia bisa menemanimu."Gravano memasangkan lampu kecil itu ke pergelangan tangan Cea, bentuknya seperti gelang, namun liontinnya berbentuk matahari dan bisa menyala. Entah kenapa, Cea merasa lebih aman sekarang."Terima kasih, Rava." Cea kembali memeluk Gravano, tidak lama setalah itu la
"Maaf, Ibu belum bisa menceritakan semuanya sekarang, dan Ibu juga harus pergi."Cea menatap nanar tubuh Ibunya yang perlahan menjauh, ia memukul dadanya berulang kali demi menetralkan sakit hatinya, "Kenapa harus Cea, kenapa?" rintih Cea perlahan."Cea, you fine?""Ah, Cea baik-baik saja," ucap Cea sambil tersenyum tipis."Tadi siapa?""Bukan siapa-siapa,""Dia membuatmu menangis?""Tidak, Cea hanya sedikit pusing,""Mau pulang?"Cea termenung sebentar, "Tidak perlu, Cea mau lanjut bekerja, Kak!" seru Cea, Fadil hanya tersenyum, ia tahu sedikit karena ia tidak sengaja telah mendengar pembicaraan mereka. Kenapa harus ada rahasia dibalik rahasia?Setelah pertemuan yang singkat dan menyakitkan kini Cea terlihat banyak murung, Letta yang menyadari hal itu untuk pertama kali. "Cea, ada apa?" tanya Letta."A-Ah, tidak, Cea hanya sedang banyak tugas saja." Cea tersenyum, sambil kembali menyesap es jeruknya.
Sudah 5 bulan berlalu dengan sangat cepat, mereka akhirnya bisa menikmati kembali bangku pendidikan. Cea, Gravano, Letta, dan Sean memasuki Universitas Cyanide bersama-sama, walaupun dengan jurusan yang berbeda tentunya.Cea mengambil jurusan bahasa asing, Gravano dengan jurusan kedokteran, Letta masuk psikolog, sedangkan Sean memasuki jurusan multimedia. Mereka berpisah dan menjadi satu dalam ekstrakulikuler seni dan fotography."Gue yang foto, kalian siap-siap." Gravano mengatur lensa kamera, matanya terfokus kepada gadis yang sedang tertawa di sebelah kiri Letta, ia adalah Cea, tanpa sadar Gravano memfokuskan pada titik itu dan foto sempurna dari Cea yang tengah tertawa lepas bisa diabadikan sempurna oleh Gravano."Rava ikutan saja disini," ujar Sean, ia meraih kamera dari tangan Gravano dan memanggil orang yang lewat untuk membantu mengambil gambar."Hitung, Kak!" seru Sean."Baik, satu, dua, tiga."Satu foto telah dipotret sempurna, "Sa