Semua Bab Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris: Bab 201 - Bab 210

214 Bab

Bab 201 Kepercayaan Kepada Melati

Malam itu, udara di gunung terasa padat. Kabut menggantung di sekitar puncak, menyembunyikan siluet batu besar yang bersinar samar. “Sinyalnya berasal dari balik batu ini,” ujar Raka, matanya menatap layar tablet dengan gelisah. Genta berjongkok, telapak tangannya menyentuh tanah. “Aku bisa merasakan vibrasinya. Ini sisa teknologi spiral dari Bayangan Utara. Tapi ada sesuatu yang hidup di dalamnya.” Arka mengangguk. “Kita tak bisa menunda. Kalau ini pemicu dorman terakhir, kita harus nonaktifkan malam ini.” Tiba-tiba, suara berat menggetarkan udara. “Kau datang tanpa warisan, tapi membawa cahaya yang membakar jejak kami.” Sosok berjubah hitam muncul perlahan dari balik batu. Matanya bersinar perak. Di tangannya tergenggam tabung energi berputar. “Penjaga Kedua?” tanya Arka, menahan napas. “Aku adalah penjaga kehormatan terakhir Bayangan U
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-16
Baca selengkapnya

Bab 202 Jejak Kembali dan Titik Merah di Selatan

Pesawat mendarat mulus di Bandara Halim. Arka, Raka, dan Genta melangkah keluar, menyambut udara Jakarta yang hangat dan padat oleh hiruk pikuk kota. Langit senja menggantung di atas jalan raya yang sibuk, seakan tak menyadari bahwa tiga sosok yang baru kembali membawa kabar penting dari timur. “Ibu akan senang melihatmu lagi,” kata Raka sambil tersenyum kecil. Arka mengangguk, matanya menyapu langit Jakarta. “Dan ayah pasti sudah menyiapkan segudang pertanyaan tentang laporan Makassar.” Genta tertawa pendek. “Pertanyaan, atau tantangan baru? Kita lihat saja nanti.” Mereka tiba di rumah keluarga Wijaya saat malam mulai turun. Lampu-lampu taman menyala hangat, memandikan bangunan klasik itu dengan cahaya lembut. Saat Arka membuka pintu, suara langkah cepat menyambut. “Arka!” suara ibunya terdengar, penuh emosi. Perempuan paruh baya itu memeluknya erat, seolah menahan waktu yang sempat terlewat.
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-16
Baca selengkapnya

Bab 203 Titik Merah dari Selatan

Pagi itu, ruang kontrol pusat Wijaya Corporation dipenuhi cahaya biru dari layar-layar monitor. Di tengah ruangan, Raka berdiri sambil menunjuk satu titik berkedip di layar utama. “Titik merah ini muncul dua kali dalam tiga puluh jam terakhir,” katanya. “Lokasinya di sebuah pulau kecil yang tidak tercatat dalam peta resmi.” Arka menyipitkan mata. “Itu bukan pulau biasa. Aku pernah mendengar nama lamanya disebut dalam dokumen tua: Pulau Adikara.” Genta, berdiri di samping mereka dengan tangan bersedekap, bergumam, “Adikara… bukan itu lokasi tempat eksperimen spiral pernah dipindahkan setelah proyek Bayangan Utara dihentikan?” “Benar,” jawab Raka sambil mengetik cepat. “Data lama dari proyek Eclipse menyebutkan adanya stasiun penelitian bawah tanah di sana. Tapi dokumen itu dihentikan tanpa penjelasan.” Arka menatap layar. “Kalau sinyalnya aktif lagi, berarti ada yang menghidupkan sistem itu.” “D
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-16
Baca selengkapnya

Bab 204 Jejak Spiral yang Terputus

Langit di atas Pulau Adikara perlahan kembali cerah, namun gema dari apa yang mereka bangkitkan masih terasa di dalam dada masing-masing. Di dalam pesawat, Arka duduk diam menatap laut lepas. Pikirannya berputar, mencoba memahami makna dari suara misterius yang mengaku sebagai Penjaga Awal. “Aku merasa... kita baru menyentuh permukaan,” kata Genta sambil melihat ke arah Arka. “Kau dengar sendiri, Genta,” balas Arka. “Mereka menyebut diri mereka penjaga sebelum Bayangan diciptakan. Itu berarti ada tatanan yang lebih tua dari semua konflik kita.” Raka mengangguk pelan. “Dan tatanan itu sedang bangkit. Entah karena kita, atau karena sesuatu yang lebih besar dari kita semua.” Pesawat mendarat kembali di markas utama Wijaya Corporation. Mereka langsung menuju ruang strategi, tempat Kiara dan beberapa analis keamanan menunggu. “Kami menerima gelombang energi tinggi dari Pulau Adikara,” ujar Kiara. “Tapi sinyalnya b
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-17
Baca selengkapnya

Bab 205 Pemutus Spiral

Angin dingin menusuk dari retakan spiral saat gelombang kegelapan melesat menuju Arka. Udara di dalam gua bergetar, menekan dada seperti ribuan tangan tak terlihat. Cahaya dari tubuh Arka semakin terang, membentuk pola spiral sempurna yang berputar cepat di sekelilingnya. Gelombang itu menghantam—namun tak menembus. Sebuah dinding cahaya terbentuk, membelokkan energi hitam itu ke dinding gua, membuat batu meledak dan debu menguar. “Cahaya itu…” Raka menatap takjub. “Bukan sekadar energi. Itu... ingatan hidup.” Arka menggertakkan gigi. Tubuhnya bergetar menahan tekanan. “Aku bukan hanya pewaris Wijaya Corporation. Aku juga pewaris penjaga waktu ini!” Pemutus Spiral menggeram. Suaranya seperti serpihan besi yang saling bergesekan. “Tidak ada warisan yang bisa kau jaga bila semua spiral terputus.” Ia melompat ke udara, melayang di tengah gua dengan jubah yang mengembang seperti sayap bayangan. Dari kedua tangann
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-17
Baca selengkapnya

Bab 206 Jejak Tertua

Langit di luar gua sudah gelap. Bintang-bintang memancar tajam di antara awan tipis, seakan dunia tahu sesuatu telah pecah dan menyisakan retakan tak kasatmata. Langkah Arka menggema pelan di antara batu-batu dingin, tubuhnya masih terasa bergetar dari benturan energi sebelumnya. “Bayangan tadi... kau juga melihatnya, kan?” tanya Kiara pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin malam. “Matanya merah, tubuhnya kecil... tapi aura kekuatannya bukan main,” gumam Raka sambil menoleh ke arah bayangan tempat sosok itu tadi berdiri. Arka menghentikan langkah. Ia menutup matanya, membiarkan sisa spiral dalam tubuhnya berdenyut ringan, berusaha menangkap sisa getaran dari makhluk misterius itu. Tapi udara hanya membawa dingin. “Dia tidak berasal dari sini,” ujar Arka akhirnya. “Getaran auranya bukan dari jalur waktu yang kita kenal.” Genta mengernyit. “Apa maksudmu? Dia melintasi waktu?” “Bukan. D
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-17
Baca selengkapnya

Bab 207 Jejak yang Tak Terhapus

Langit di atas gunung mulai berubah kelabu. Kabut tebal turun cepat, menyelimuti lereng dan menutupi jalur turun dari gua spiral. Udara membawa aroma besi dan tanah basah, seperti pertanda akan datangnya sesuatu yang tak wajar. Jejak mereka tertinggal samar di batu-batu lembap. Arka melangkah paling depan, tubuhnya masih memancarkan sisa kilau dari pertempuran sebelumnya. Tapi sorot matanya tak tenang. “Apa kau merasa... kita sedang diikuti?” Kiara memecah keheningan dengan suara pelan. Arka menoleh ringan, lalu mengangguk. “Bukan sekadar diikuti. Kita sedang diuji.” Genta memeriksa alat pelacak dari Adikara. Layar kecilnya menampilkan gelombang aneh yang berdenyut tak menentu. “Ada sesuatu dalam radius lima puluh meter. Tapi tak bisa diidentifikasi.” Raka mendekat, menarik jubahnya rapat. “Ini bukan makhluk biasa. Energinya seperti sisa dari masa lalu yang dipaksa hidup kembali.” Tiba-tiba, da
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-17
Baca selengkapnya

Bab 208 Tanah yang Dibuang Langit

Cahaya remang bulan menyelinap di antara awan gelap. Kapal cepat berlapis baja meluncur memecah ombak menuju koordinat yang diberikan Genta. Angin laut menggigit kulit, membawa bau garam yang bercampur dengan aroma logam dan listrik. Arka berdiri di haluan kapal. Matanya tak pernah lepas dari cakrawala yang kosong. Laut malam terasa lebih luas dari biasanya, seperti menyembunyikan sesuatu di bawah permukaan. “Kita sudah melewati zona niaga,” kata Genta dari balik kokpit. “Dalam lima menit, kita akan masuk wilayah tanpa sinyal. Tanah Hilang sudah dekat.” Kiara menatap layar hologram di pergelangan tangannya yang mulai berpendar lemah. “Semua alat komunikasi mati. Bahkan penunjuk arah pun kacau.” “Karena kita sedang masuk ke wilayah yang ditolak bumi,” gumam Raka sambil menyiapkan sarung tangan tempurnya. “Di tempat seperti ini, hukum fisika bisa berhenti bekerja.” Genta menekan tuas pengatur kecepatan. Kapal m
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-18
Baca selengkapnya

Bab 209 Tiga Cakar yang Membelah Langit

Tanah bergetar hebat saat tangan raksasa itu muncul dari dalam altar. Cakar-cakarnya menggenggam bibir altar, menghancurkan batu kuno yang tak tergoyahkan selama ribuan tahun. Asap hitam menyembur dari dalam celah, membawa hawa panas yang membuat kulit terasa melepuh. “Semua mundur!” teriak Arka, menarik Kiara yang hampir terjatuh oleh guncangan. Makhluk-makhluk yang semula mengepung mereka kini berhenti bergerak. Mata mereka menatap langit yang mulai terbelah oleh spiral hitam raksasa. Mereka berlutut satu per satu, seolah menyembah kekuatan yang bangkit dari bawah tanah. “Ini bukan hanya entitas,” desis Raka, menggenggam pedang peraknya lebih erat. “Ini dewa dari zaman yang ditinggalkan.” Cahaya hitam mulai menyerap warna di sekitar mereka. Pohon-pohon memucat, bebatuan kehilangan kilau, bahkan darah di luka Genta tampak menghitam perlahan. “Dia menghisap hidup dari dunia ini,” kata Genta lirih. “Kalau tida
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-18
Baca selengkapnya

Bab 210 Bayangan yang Menggenggam Jiwa

Bayangan itu berdiri tegak di hadapan Arka, memantulkan sosok yang sama—dari bentuk tubuh hingga sorot mata. Tapi ada yang berbeda. Aura hitam pekat menyelimuti setiap gerakannya, dan senyumnya terlalu tenang... terlalu mengenal. “Apa kau… aku?” suara Arka terdengar berat, tenggorokannya tercekat oleh udara pekat tempat itu. Bayangan itu mengangguk pelan. “Aku adalah kamu yang dahulu. Aku adalah jiwa Aruval yang dibuang, disegel... dan kini terbangun.” “Tidak mungkin.” Arka mundur selangkah. “Kalau kau aku, kenapa kau melawan?” Bayangan menyeringai. “Karena kau memilih menjadi manusia. Lemah, penuh keraguan, dan mengandalkan kasih sayang. Kau menghapus kekuatan kita.” Kiara berdiri di samping Arka, tatapannya waspada. “Itu bukan kelemahan.” “Benar,” tambah Genta, menyiapkan senjata. “Itu justru yang membuatnya bertahan selama ini.” Bayangan tak menoleh, namun aura di sekitarnya b
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-18
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
171819202122
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status