Accueil / Historical / Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris / Bab 210 Bayangan yang Menggenggam Jiwa

Share

Bab 210 Bayangan yang Menggenggam Jiwa

Auteur: Caesar Azka
last update Dernière mise à jour: 2025-04-18 07:16:45

Bayangan itu berdiri tegak di hadapan Arka, memantulkan sosok yang sama—dari bentuk tubuh hingga sorot mata. Tapi ada yang berbeda. Aura hitam pekat menyelimuti setiap gerakannya, dan senyumnya terlalu tenang... terlalu mengenal.

“Apa kau… aku?” suara Arka terdengar berat, tenggorokannya tercekat oleh udara pekat tempat itu.

Bayangan itu mengangguk pelan. “Aku adalah kamu yang dahulu. Aku adalah jiwa Aruval yang dibuang, disegel... dan kini terbangun.”

“Tidak mungkin.” Arka mundur selangkah. “Kalau kau aku, kenapa kau melawan?”

Bayangan menyeringai. “Karena kau memilih menjadi manusia. Lemah, penuh keraguan, dan mengandalkan kasih sayang. Kau menghapus kekuatan kita.”

Kiara berdiri di samping Arka, tatapannya waspada. “Itu bukan kelemahan.”

“Benar,” tambah Genta, menyiapkan senjata. “Itu justru yang membuatnya bertahan selama ini.”

Bayangan tak menoleh, namun aura di sekitarnya b
Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Chapitre verrouillé

Related chapter

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 211 Pilihan yang Mengoyak

    Langit yang retak menggantung di atas kepala mereka seperti kaca yang siap pecah kapan saja. Sosok berjubah putih melayang turun perlahan, setiap langkahnya tak menimbulkan suara, tapi tanah di bawahnya bergetar pelan, seolah bumi sendiri menahan napas. Kiara menggenggam lengan Arka. “Siapa itu…?” Arka tak menjawab. Matanya terpaku pada lambang spiral menyala di dada sosok itu—simbol yang sama seperti yang ia lihat di cermin leluhur, namun kali ini berdenyut… seakan hidup. “Aku Penjaga Spiral Terakhir,” suara sosok itu menggema dalam pikiran mereka, tanpa pergerakan bibir. “Aku ditugaskan untuk menjaga keseimbangan antara yang bangkit dan yang ditinggalkan.” Raka melangkah ke depan, meski tubuhnya masih gemetar. “Kami sudah menghentikan Bayangan Murni. Tujuan kalian sudah selesai.” Penjaga itu menoleh, dan cahaya di balik tudungnya berkedip tajam. “Kau salah. Bayangan Murni hanyalah awal. Yang sejati belum te

    Dernière mise à jour : 2025-04-19
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 212 Jiwa yang Terbelah

    Suara desir seperti ribuan lembar logam bergesekan memenuhi udara. Gelap. Hampa. Lalu muncul warna—bukan cahaya biasa, melainkan pola-pola bercahaya yang menari di sekeliling Arka seperti simbol hidup dari bahasa kuno. Ia terjatuh di sebuah dataran tak bernama. Langitnya berlapis, seperti cermin retak yang bergerak perlahan. Udara di sana bergetar oleh denyut dimensi. Arka berlutut, napasnya memburu. “Di mana aku…?” Tak ada jawaban. Tapi suara seperti gema dari dirinya sendiri menjawab, “Di antara. Bukan di dunia, bukan di bayangan.” Langkah-langkah berat bergema dari arah kanan. Arka menoleh. Sosok itu muncul dari balik kabut tipis—tinggi, dengan wajahnya tertutup helm spiral, jubahnya berkibar seperti helaian kabut hidup. Tangannya menggenggam tombak yang menyala biru dan merah bergantian. “Aku pantulan dari keputusanmu,” ujar sosok itu. “Namaku... Arkan.” Arka menyipitkan mata. “Pantulan?” “

    Dernière mise à jour : 2025-04-19
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 213 Mata yang Terbuka

    Arka terbangun tanpa tubuh. Kesadarannya melayang di antara reruntuhan suara, warna, dan waktu yang tak beraturan. Ia melihat ribuan dirinya dalam berbagai bentuk—anak kecil yang menolak takdir, remaja yang kehilangan arah, pria yang menanggung dunia. Semuanya berkumpul… tapi tak satu pun nyata. “Di mana… aku?” gumamnya. Sebuah mata raksasa terbuka di bawahnya, tak memiliki kelopak, namun penuh nyawa. Di sekeliling mata itu, jalur-jalur cahaya mengalir seperti nadi, menghubungkan realitas demi realitas. Mata itu menatap langsung ke dalam jiwanya. “Jalur Ketiga bukan tempat,” suara bergema dari segala arah, “ia adalah kesadaran tentang semua kemungkinan yang tak pernah terjadi.” Arka mencoba bergerak, tapi tak ada anggota tubuh. Ia mencoba berteriak, tapi tak punya suara. Yang tersisa hanya pikirannya… dan tekad. Lalu, dari kejauhan, sebuah sosok mendekat. Bayangannya berpendar merah dan biru, bergerak seperti

    Dernière mise à jour : 2025-04-19
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 214 Yang Menyusul dari Retakan

    Udara terasa lebih berat dari biasanya. Langit di atas markas Wijaya Corporation retak dalam garis-garis emas yang belum sembuh. Awan tak bergerak. Waktu seolah berhenti. Di bawahnya, Arka melayang turun perlahan—tubuhnya tak menyentuh tanah, matanya terpejam, dan cahaya keemasan mengelilingi dirinya dalam bentuk pusaran yang membentuk simbol-simbol asing. Kiara menahan napas. “Itu dia… tapi bukan seperti yang dulu.” Raka menggenggam gagang senjatanya. “Aura itu… campuran dimensi?” Genta menggeleng pelan. “Lebih dari itu. Dia telah melihat sesuatu yang tak boleh dilihat makhluk fana.” Saat Arka menyentuh tanah, gemuruh terdengar dari arah timur. Menara hitam yang muncul dari dalam bumi mulai bergerak. Strukturnya seperti tulang dan logam, matanya menyala satu per satu, memancarkan cahaya kehampaan. Makhluk itu bukan menara. Ia adalah Sakarat, penjaga dunia yang tertinggal, pengawas garis waktu yang dilupakan.

    Dernière mise à jour : 2025-04-19
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 215 Warisan di Ujung Darah

    Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb

    Dernière mise à jour : 2025-04-20
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 216 – Kehendak yang Bangkit

    Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik

    Dernière mise à jour : 2025-04-20
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 217 Bayangan di Langit

    Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah

    Dernière mise à jour : 2025-04-20
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 218 Kehendak di Balik Layar

    Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…

    Dernière mise à jour : 2025-04-21

Latest chapter

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 223 Kembali ke Akar

    Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 222 Jejak yang Tertinggal

    Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 221 Inti dari Segalanya

    Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 220 Lapisan Ketiga

    Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 219 Pusaran Kehendak

    Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 218 Kehendak di Balik Layar

    Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 217 Bayangan di Langit

    Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 216 – Kehendak yang Bangkit

    Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 215 Warisan di Ujung Darah

    Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status