All Chapters of Hamil Anak Calon Wakil Presiden: Chapter 41 - Chapter 50

133 Chapters

Bab 41

“Jadi, apa sekarang?!” Sulistyo menghentakkan kakinya ke lantai marmer, suaranya menggelegar. “Apa yang harus aku lakukan dengan Aisyah?!”Ratri, yang duduk di sofa dengan ekspresi geram, langsung merespons dengan nada penuh kebencian. “Anak itu terus saja membuat masalah! Bukankah sudah berkali-kali ibu bilang? Bunuh saja dia! Buat semuanya terlihat seperti kecelakaan!”Jatmiko mengangkat tangannya, mencoba menenangkan istrinya yang emosinya memuncak. “Ratri, tenanglah. Masalah ini tidak bisa kita selesaikan dengan cara gegabah.”Namun, Sulistyo langsung menoleh, tatapannya tajam seperti pisau. “Apa? Ayah pikir aku harus terus bersabar menghadapi perempuan itu?”Jatmiko menghela napas panjang. “Dengarkan aku dulu,” katanya dengan suara rendah tapi penuh wibawa. “Kalau menurut ayah, saat ini kau harus bersikap baik kepada Aisyah.”“APA?!” Sulistyo dan Ratri berteriak hampir bersamaan. Keduanya memandang Jatmiko seolah dia baru saja menyam
last updateLast Updated : 2024-12-14
Read more

Bab 42

Sulistyo duduk di kursi ruang wakil presiden dengan lelah. Punggungnya bersandar, matanya terpejam sejenak, sementara pikirannya bergelut dengan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Dia menengadah, menghela napas panjang, mencoba memahami perasaan yang menyelimuti hatinya sejak meninggalkan perpustakaan. Kenapa senyuman itu membuatnya terusik? Kenapa Aisyah... kenapa Mahendra? Pikirannya penuh, dipenuhi kebingungan dan kemarahan yang tidak jelas sumbernya. Sulistyo menggertakkan giginya, kepalan tangannya mengencang. “Wanita...” ia berbicara pada dirinya sendiri. “Kenapa kalian begitu keras kepala untuk mengejar pendidikan? Apa gunanya? Itu bukan kodrat kalian!” Pernyataan itu bergema di ruangannya. Tapi saat Sulistyo mencoba meyakinkan dirinya, sebuah kenangan lama tiba-tiba muncul, menampar keras pikirannya. 19 tahun yang lalu. Sulistyo, seorang anak gubernur yang duduk di bangku SMA, berjalan malas-malasan menuju perpustakaan sekolah. Di tangannya ada sebuah buku tugas liter
last updateLast Updated : 2024-12-14
Read more

Bab 43

Sulistyo pulang ke rumah dengan langkah berat. Pikirannya kalut, dadanya sesak oleh rasa marah dan kecewa yang bercampur aduk. Sesampainya di ruang tamu, ia langsung menemui kedua orang tuanya. Matanya yang merah dan berkaca-kaca membuat Ratri, ibunya, panik. "Ayah... Ibu..." Sulistyo memanggil dengan suara bergetar. Ratri segera mendekat, memeluk putranya erat. "Ada apa, Nak? Kenapa menangis? Siapa yang menyakitimu?" tanyanya cemas, matanya memindai wajah putranya, mencari tanda-tanda luka. Dari arah ruang kerja, Jatmiko, ayahnya, muncul dengan ekspresi datar. "Ada apa? Laki-laki tidak boleh menangis, ingat? Kau sudah besar!" ucapnya dengan nada tegas, mencoba mengintimidasi. Sulistyo menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. "Ayah... Ibu... Ainun..." katanya akhirnya, dengan suara parau. Ratri memiringkan kepala, bingung. "Ainun? Teman sek
last updateLast Updated : 2024-12-15
Read more

Bab 44

"Nak, kau teman sekelasnya Ainun, ya?" Suara berat seorang pria paruh baya menyentak lamunan Sulistyo. Pria itu adalah ayah Ainun. Dengan langkah berat dan mata sembab, ia menepuk pundak Sulistyo, mencoba menciptakan percakapan di tengah keheningan yang menyesakkan.Sulistyo hanya mengangguk lemah. Tenggorokannya tercekat, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.Pria itu mengulurkan beberapa buku tulis ke arahnya. "Ini buku-buku PR-mu. Semuanya sudah Ainun kerjakan dengan sangat baik." Suaranya bergetar. "Sepertinya... mendiang putri saya memang sangat suka belajar. Bahkan di saat-saat sulitnya, ia tetap mengerjakan PR. Saya tahu... Saya telah gagal sebagai seorang ayah. Saya seharusnya lebih mendengarkan keinginannya, lebih memahami perasaannya. Tapi sekarang sudah terlambat... Ainun yang malang."Sulistyo menatap buku-buku di tangannya, lalu menatap pria itu dengan sorot mata tajam, penuh kemarahan yang tertahan. "Anda ayah Ainun? Lalu kenapa, sebagai
last updateLast Updated : 2024-12-15
Read more

Bab 45

Sulistyo menutupi wajahnya dengan sebelah tangan, mencoba meredam emosinya yang bergejolak. Air matanya mengalir perlahan, seperti aliran luka yang tak kunjung kering. Detik-detik berlalu, dan senyuman miring mulai muncul di bibirnya. Sarkasme menggantikan kepedihan, menodai air matanya dengan tawa getir.“Lucu! Lucu sekali!” Sulistyo tertawa terbahak-bahak, namun tawanya terasa seperti jeritan seorang yang kalah dalam perang melawan dirinya sendiri. “Apa yang aku lakukan tadi? Menangis? Hah! Hahahaha!”Ia berdiri dengan tiba-tiba, menghapus air matanya dengan kasar, seolah berusaha menyingkirkan kelemahannya. Matanya terarah ke tumpukan berkas di mejanya, dokumen penting yang akan segera diserahkan kepada Presiden. Dengan dingin, ia menyusun berkas-berkas itu satu per satu, mencoba memusatkan pikirannya pada pekerjaan.Namun, pikiran Sulistyo kembali melayang pada kematian Ainun—dan pada seluruh kenyataan yang pernah ia pelajari sepanjang hidupnya. Bibirn
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more

Bab 46

Mahendra berdiri tegak di hadapan Aisyah, menahan langkahnya. Tatapannya penuh amarah dan kekecewaan, seperti tembok yang tidak bisa ditembus.“Berhenti di sini!” serunya tegas. “Kau tidak boleh masuk!”Aisyah mengangkat alisnya, tatapannya dingin namun polos seolah tak bersalah. “Ada apa, Kak?” tanyanya ringan, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa bersalah.Mahendra menatap tajam, matanya menyipit, seakan berusaha menembus ketenangan di wajah Aisyah. “Wanita paruh baya yang menangis di gerbang itu, dia ibumu, bukan?”Aisyah mengangguk kecil. “Benar. Lalu kenapa?”Mahendra mengepalkan tangan, wajahnya memerah oleh emosi yang ditahan. “Aisyah! Kau benar-benar keterlaluan!” bentaknya, membuat suasana semakin tegang. “Apa kau tidak malu dibilang anak durhaka? Itu ibumu sendiri! Wanita yang telah melahirkan dan membesarkanmu! Bisa-bisanya kau membuatnya menangis seperti itu? Itu balasanmu sebagai anak?”Aisyah menatap Mahendra dengan m
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more

Bab 47

Mahendra mencoba memecah keheningan di dalam mobil, sambil tetap fokus menyetir. Ia melirik Aisyah sekilas melalui kaca spion. "Aisyah, hari ini pakai hijab ya? Kau terlihat lebih anggun dengan hijab seperti itu."Aisyah tetap menatap keluar jendela, menjawab singkat dengan nada datar, "Mumpung Sulistyo tidak lihat."Jawaban itu membuat Mahendra mengernyit. "Kenapa? Ada apa dengan Sulistyo?"Aisyah menghela napas panjang sebelum menjawab, "Keluarga alergi agama itu selalu melarangku pakai hijab. Sama seperti saat aku jadi anggota paskibra waktu upacara kemerdekaan. Semua wanita diwajibkan melepas hijab. Itu perintah langsung."Nurhayati yang duduk di samping Aisyah menundukkan kepala, menahan rasa bersalah yang begitu besar. Dengan suara lirih, ia mencoba berbicara, "Nak... Maafkan ibu... Harusnya ibu dulu—"Namun, Aisyah memotongnya dengan tajam. "Sudah terlambat untuk menyesal! Semua itu sudah terjadi. Tak ada gunanya mengungkitnya lagi
last updateLast Updated : 2024-12-17
Read more

Bab 48

Aisyah berdiri di halaman belakang penjara pusat yang sepi. Angin malam bertiup pelan, menggoyangkan daun-daun kering di sekitarnya. Namun, hatinya tak tersentuh oleh dingin atau keindahan malam. Ingatannya berputar, membawa kembali bayangan-bayangan kelam dari masa lalunya—semua luka dan ketidakadilan yang tak pernah benar-benar hilang. "Ayah, aku sudah lelah menjual kue-kue buatan ibu ini! Aku mau istirahat." Teriakan kecil Aisyah terdengar lagi di dalam benaknya, seperti gema dari waktu yang tak ingin ia kenang. "Aku juga tidak mau!" Suara adik-adiknya, Andi dan Andre, menyahut dengan lantang. Kedua anak laki-laki itu, anak kandung Mustofa, selalu diberi pilihan, sementara ia hanya menerima perintah. Mustofa menatap Aisyah dengan pandangan penuh otoritas, suaranya menggema seperti cambuk di udara. "Aisyah, adik-adikmu merasa malu harus berjualan di sekolah. Pendapatanmu juga hanya sedikit. Ayah tidak mau tahu! Habis pula
last updateLast Updated : 2024-12-17
Read more

Bab 49

"Jadi, Aisyah… Bolehkah aku meminta sesuatu padamu?" tanya Mahendra akhirnya, suaranya pelan namun penuh harap.Aisyah menoleh, menatapnya dengan sedikit kebingungan. "Apa itu?"Mahendra menarik napas panjang, pandangannya terarah lurus ke mata Aisyah. "Sayangilah ibumu selagi masih hidup. Kau jauh lebih beruntung daripada aku, juga daripada banyak anak lain yang sudah tidak memiliki sosok seorang ibu." Suaranya bergetar, membawa serta kesedihan yang mendalam.Aisyah terdiam, kata-kata itu terasa seperti hantaman keras di dadanya. Ia menunduk, membiarkan pikirannya tenggelam dalam bayangan masa lalu—perlakuannya terhadap ibunya, kata-kata tajam yang sering ia ucapkan, dan kemarahan yang ia tumpahkan tanpa peduli. Untuk pertama kalinya, ia merasa dirinya adalah anak paling durhaka di dunia."Sebenarnya…" Aisyah berbisik, suaranya dipenuhi penyesalan. "Aku menyayangi ibuku… sangat menyayangi. Aku hanya benci pada ayah tiriku. Aku ingin ibu sadar, in
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more

Bab 50

Di ruangan serba putih yang dingin dan sunyi itu, Nurhayati terduduk di ranjang pasien. Luka-luka di wajahnya akibat perlakuan kejam suaminya telah diobati, meninggalkan perban yang membalut pipi dan dahinya. Meski kondisinya sedikit membaik, bayangan peristiwa itu masih tergambar jelas di matanya.Aisyah duduk di samping ibunya, menatap wajah lelah wanita itu dengan perasaan bersalah yang menghantui. "Ibu… bagaimana kondisinya? Apa masih sakit?" tanyanya pelan, nada khawatir menyelimuti suaranya.Nurhayati tersenyum kecil, berusaha menenangkan putrinya meskipun tubuhnya masih terasa nyeri. "Ibu sudah baik-baik saja, nak. Jangan khawatir, ya."Sebelum Aisyah sempat membalas, suara langkah kaki menggema dari arah pintu. Mahendra masuk dengan langkah tegas, membawa kabar baik. "Aisyah, ibu… biaya berobatnya sudah saya urus semua. Karena luka ibu tidak terlalu parah, dokter bilang ibu bisa pulang sekarang.""Ayo, Bu! Pelan-pelan," ujar Aisyah cepat.
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more
PREV
1
...
34567
...
14
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status