Share

Bab 48

Author: Sylus wife
last update Last Updated: 2024-12-17 17:43:24

Aisyah berdiri di halaman belakang penjara pusat yang sepi. Angin malam bertiup pelan, menggoyangkan daun-daun kering di sekitarnya. Namun, hatinya tak tersentuh oleh dingin atau keindahan malam. Ingatannya berputar, membawa kembali bayangan-bayangan kelam dari masa lalunya—semua luka dan ketidakadilan yang tak pernah benar-benar hilang.

"Ayah, aku sudah lelah menjual kue-kue buatan ibu ini! Aku mau istirahat."

Teriakan kecil Aisyah terdengar lagi di dalam benaknya, seperti gema dari waktu yang tak ingin ia kenang.

"Aku juga tidak mau!" Suara adik-adiknya, Andi dan Andre, menyahut dengan lantang. Kedua anak laki-laki itu, anak kandung Mustofa, selalu diberi pilihan, sementara ia hanya menerima perintah.

Mustofa menatap Aisyah dengan pandangan penuh otoritas, suaranya menggema seperti cambuk di udara. "Aisyah, adik-adikmu merasa malu harus berjualan di sekolah. Pendapatanmu juga hanya sedikit. Ayah tidak mau tahu! Habis pula
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 49

    "Jadi, Aisyah… Bolehkah aku meminta sesuatu padamu?" tanya Mahendra akhirnya, suaranya pelan namun penuh harap.Aisyah menoleh, menatapnya dengan sedikit kebingungan. "Apa itu?"Mahendra menarik napas panjang, pandangannya terarah lurus ke mata Aisyah. "Sayangilah ibumu selagi masih hidup. Kau jauh lebih beruntung daripada aku, juga daripada banyak anak lain yang sudah tidak memiliki sosok seorang ibu." Suaranya bergetar, membawa serta kesedihan yang mendalam.Aisyah terdiam, kata-kata itu terasa seperti hantaman keras di dadanya. Ia menunduk, membiarkan pikirannya tenggelam dalam bayangan masa lalu—perlakuannya terhadap ibunya, kata-kata tajam yang sering ia ucapkan, dan kemarahan yang ia tumpahkan tanpa peduli. Untuk pertama kalinya, ia merasa dirinya adalah anak paling durhaka di dunia."Sebenarnya…" Aisyah berbisik, suaranya dipenuhi penyesalan. "Aku menyayangi ibuku… sangat menyayangi. Aku hanya benci pada ayah tiriku. Aku ingin ibu sadar, in

    Last Updated : 2024-12-18
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 50

    Di ruangan serba putih yang dingin dan sunyi itu, Nurhayati terduduk di ranjang pasien. Luka-luka di wajahnya akibat perlakuan kejam suaminya telah diobati, meninggalkan perban yang membalut pipi dan dahinya. Meski kondisinya sedikit membaik, bayangan peristiwa itu masih tergambar jelas di matanya.Aisyah duduk di samping ibunya, menatap wajah lelah wanita itu dengan perasaan bersalah yang menghantui. "Ibu… bagaimana kondisinya? Apa masih sakit?" tanyanya pelan, nada khawatir menyelimuti suaranya.Nurhayati tersenyum kecil, berusaha menenangkan putrinya meskipun tubuhnya masih terasa nyeri. "Ibu sudah baik-baik saja, nak. Jangan khawatir, ya."Sebelum Aisyah sempat membalas, suara langkah kaki menggema dari arah pintu. Mahendra masuk dengan langkah tegas, membawa kabar baik. "Aisyah, ibu… biaya berobatnya sudah saya urus semua. Karena luka ibu tidak terlalu parah, dokter bilang ibu bisa pulang sekarang.""Ayo, Bu! Pelan-pelan," ujar Aisyah cepat.

    Last Updated : 2024-12-18
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 51

    Sulistyo kembali duduk di ranjang di dalam kamar Aisyah. Jantungnya masih berdetak cepat, pipi dan telinganya memerah, tak bisa melupakan kecupan singkat yang mendarat di pipinya. Ia menunduk, mencengkeram selimut dengan senyum sinis yang tersungging di bibirnya. "Wanita... kalian itu lemah. Tapi anehnya, kalian selalu berhasil membuat pria menjadi lebih lemah."Tatapannya tajam, penuh dengan sesuatu yang sulit diterjemahkan, setengah hasrat, setengah amarah. Sulistyo mengusap dagunya, menyeringai saat benaknya mulai menyusun strategi. "Tidak apa-apa, Aisyah. Aku akan membalas ini dengan caraku."Namun lamunannya terhenti saat ponselnya berdering, memecah keheningan di kamar. Nama Nursyid terpampang di layar. Dengan raut wajah kesal, Sulistyo mengangkat panggilan itu dan menempelkan ponselnya ke telinga."Langsung ke intinya saja," titahnya tegas, nada suaranya penuh dominasi.Di seberang sana, suara Nursyid terdengar lantang, tanpa basa-basi. "So

    Last Updated : 2024-12-19
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 52

    Sulistyo berbaring di kamar yang selalu menjadi pelariannya ketika membiarkan Aisyah tidur sendiri. Tubuhnya tergeletak di ranjang, tetapi pikirannya tidak mau tenang. Wajahnya tetap dihiasi seringai kecil yang tak kunjung hilang. Meski matanya terpejam, bayangan Aisyah terus bermain di benaknya, menghantui setiap detik. "Ayolah!" Dengan gerakan mendadak, Sulistyo bangkit duduk, menenggelamkan wajahnya ke telapak tangan. Napasnya terdengar berat, seperti sedang mencoba mengusir sesuatu dari pikirannya. "Ada apa denganku? Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya? Apa yang istimewa dari wanita itu?" Ia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Dengan gerakan cepat, ia membuka media sosial, mencoba mengalihkan pikirannya. Jemarinya bergerak lincah, membaca berita-berita yang memuat namanya. Di layar, terpampang foto dirinya sedang berbincang dengan petani, mengenakan pakaian sederhana di tengah sawah berlumpur. Judul be

    Last Updated : 2024-12-19
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 53

    Di sebuah mal megah di Jayakarta, keramaian pecah di tengah aula utama. Orang-orang berdesakan, mengangkat kamera, dan berteriak memanggil nama Nursyid dan Li Shen. Mereka sibuk berebut tanda tangan, hadiah dilemparkan, dan permintaan foto tak henti-henti dilontarkan kepada dua pria itu. Sementara itu, Aisyah duduk di kursi di antara mereka, merasa seperti bagian dari dekorasi yang terlupakan.Tatapan para penggemar Li Shen dan Nursyid justru terasa seperti duri bagi Aisyah. Mereka memandangnya dengan sinis, penuh cemburu. "Ini serius? Aku tidak punya penggemar sama sekali?" pikirnya, menahan rasa bosan yang makin membebani.Di tengah kebisingan, Rayhan mendekat dengan tenang, berbisik di sisi Aisyah. "Nona, apa nona baik-baik saja?"Aisyah memandang Rayhan dengan ekspresi datar, tak lagi peduli dengan kesopanannya. "Tidak... Aku tidak baik-baik saja. Tolong, aku sangat bosan." Suaranya nyaris terdengar merajuk. "Aku kira aku akan punya banyak penggemar di

    Last Updated : 2024-12-20
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 54

    Sulistyo duduk diam di ruang keluarga yang terasa hampa. Matanya terpaku pada layar TV besar di depannya, menampilkan siaran langsung yang memperlihatkan Aisyah berdiri anggun di tengah panggung. Di sisi kanan dan kirinya, ada Li Shen, bintang tamu terkenal dari luar negeri, serta Nursyid, pemilik sekaligus brand ambassador LightGlow Cosmetics. Mereka tampak bersinar, berbicara dengan penuh percaya diri, sementara Aisyah terlihat memukau dengan senyuman manisnya.Di tangan Sulistyo, ponselnya menyala, menampilkan video iklan tur keliling dunia Aisyah. Dalam video itu, Aisyah melakukan berbagai pose romantis bersama beberapa artis luar negeri, termasuk Li Shen. Gambar-gambar itu mengaduk-aduk perasaan di dada Sulistyo—campuran amarah, cemburu, dan rasa sakit yang tak bisa ia jelaskan."Aisyah," gumamnya pelan dengan nada penuh kepedihan. "Kau mudah sekali akrab dengan pria-pria di luar sana. Tapi kenapa begitu sulit didekati olehku? Padahal aku adalah suamimu."

    Last Updated : 2024-12-20
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 55

    Aisyah membuka pintu kamarnya dengan langkah pelan. Pandangannya langsung tertuju pada meja yang dihiasi sebuket bunga mawar merah besar, berpadu dengan lembaran uang seratus ribu yang melingkar rapi di dalam buket. Warna merah uang itu menyala di bawah lampu kamar, mencolok dan tak bisa diabaikan.Mata Aisyah membulat, bingung sekaligus terkejut. Ia berdiri terpaku di ambang pintu. "Apa-apaan ini?" bisiknya lirih.Tiba-tiba, suara pintu kamar mandi terbuka. Sulistyo melangkah keluar dengan setelan jas hitam yang rapi. Rambutnya masih sedikit basah, mengisyaratkan bahwa dia baru saja selesai mandi. Dia menatap Aisyah dengan senyum kecil yang hampir tak terbaca."Aisyah, sudah pulang?" tanyanya dengan nada santai, meskipun sorot matanya menyimpan sesuatu yang sulit ditebak.Aisyah hanya mengangguk pelan. "Sudah, lalu?" jawabnya datar, suaranya dingin.Sulistyo mendekatinya dengan langkah perlahan. Tangannya terangkat, menyentuh dagu Aisyah

    Last Updated : 2024-12-21
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 56

    Matahari pagi mulai menyusup melalui celah tirai, menghangatkan kamar Sulistyo yang remang-remang. Sinar itu jatuh tepat di wajahnya, memaksanya terbangun. Dengan enggan, ia mengangkat tubuhnya, satu tangan mengusap matanya yang masih berat karena kantuk. Suara nyaring dari ponsel di meja samping tempat tidur mengusik keheningan. Sulistyo meraih ponselnya, melihat nama ibunya, Ratri, terpampang di layar. Dengan helaan napas, dia menggeser layar untuk menerima panggilan itu, lalu menempelkan ponsel ke telinganya. "Ibu, ada apa menelepon pagi-pagi begini?" tanyanya dengan suara serak, mencerminkan betapa malasnya ia diganggu di waktu seperti ini. "Nak, kau masih ingat Citra, putri gubernur Suryaloka itu?" suara ibunya terdengar ceria di seberang, seakan pagi ini bukan waktu yang salah untuk membawa kabar besar. Sulistyo mengerutkan kening, tubuhnya yang tadinya bersandar kini condong ke depan. "Kenapa? Apa dia berubah pikiran dan ingin meni

    Last Updated : 2024-12-21

Latest chapter

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 150

    Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu.Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?"Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?"Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 149

    Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 148

    Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 147

    Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 146

    Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 145

    Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 144

    Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 143

    Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 142

    Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status