Share

Bab 41

Penulis: Sylus wife
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-14 10:20:45

“Jadi, apa sekarang?!” Sulistyo menghentakkan kakinya ke lantai marmer, suaranya menggelegar. “Apa yang harus aku lakukan dengan Aisyah?!”

Ratri, yang duduk di sofa dengan ekspresi geram, langsung merespons dengan nada penuh kebencian. “Anak itu terus saja membuat masalah! Bukankah sudah berkali-kali ibu bilang? Bunuh saja dia! Buat semuanya terlihat seperti kecelakaan!”

Jatmiko mengangkat tangannya, mencoba menenangkan istrinya yang emosinya memuncak. “Ratri, tenanglah. Masalah ini tidak bisa kita selesaikan dengan cara gegabah.”

Namun, Sulistyo langsung menoleh, tatapannya tajam seperti pisau. “Apa? Ayah pikir aku harus terus bersabar menghadapi perempuan itu?”

Jatmiko menghela napas panjang. “Dengarkan aku dulu,” katanya dengan suara rendah tapi penuh wibawa. “Kalau menurut ayah, saat ini kau harus bersikap baik kepada Aisyah.”

“APA?!” Sulistyo dan Ratri berteriak hampir bersamaan. Keduanya memandang Jatmiko seolah dia baru saja menyam
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 42

    Sulistyo duduk di kursi ruang wakil presiden dengan lelah. Punggungnya bersandar, matanya terpejam sejenak, sementara pikirannya bergelut dengan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Dia menengadah, menghela napas panjang, mencoba memahami perasaan yang menyelimuti hatinya sejak meninggalkan perpustakaan. Kenapa senyuman itu membuatnya terusik? Kenapa Aisyah... kenapa Mahendra? Pikirannya penuh, dipenuhi kebingungan dan kemarahan yang tidak jelas sumbernya. Sulistyo menggertakkan giginya, kepalan tangannya mengencang. “Wanita...” ia berbicara pada dirinya sendiri. “Kenapa kalian begitu keras kepala untuk mengejar pendidikan? Apa gunanya? Itu bukan kodrat kalian!” Pernyataan itu bergema di ruangannya. Tapi saat Sulistyo mencoba meyakinkan dirinya, sebuah kenangan lama tiba-tiba muncul, menampar keras pikirannya. 19 tahun yang lalu. Sulistyo, seorang anak gubernur yang duduk di bangku SMA, berjalan malas-malasan menuju perpustakaan sekolah. Di tangannya ada sebuah buku tugas liter

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 43

    Sulistyo pulang ke rumah dengan langkah berat. Pikirannya kalut, dadanya sesak oleh rasa marah dan kecewa yang bercampur aduk. Sesampainya di ruang tamu, ia langsung menemui kedua orang tuanya. Matanya yang merah dan berkaca-kaca membuat Ratri, ibunya, panik. "Ayah... Ibu..." Sulistyo memanggil dengan suara bergetar. Ratri segera mendekat, memeluk putranya erat. "Ada apa, Nak? Kenapa menangis? Siapa yang menyakitimu?" tanyanya cemas, matanya memindai wajah putranya, mencari tanda-tanda luka. Dari arah ruang kerja, Jatmiko, ayahnya, muncul dengan ekspresi datar. "Ada apa? Laki-laki tidak boleh menangis, ingat? Kau sudah besar!" ucapnya dengan nada tegas, mencoba mengintimidasi. Sulistyo menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. "Ayah... Ibu... Ainun..." katanya akhirnya, dengan suara parau. Ratri memiringkan kepala, bingung. "Ainun? Teman sek

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 44

    "Nak, kau teman sekelasnya Ainun, ya?" Suara berat seorang pria paruh baya menyentak lamunan Sulistyo. Pria itu adalah ayah Ainun. Dengan langkah berat dan mata sembab, ia menepuk pundak Sulistyo, mencoba menciptakan percakapan di tengah keheningan yang menyesakkan.Sulistyo hanya mengangguk lemah. Tenggorokannya tercekat, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.Pria itu mengulurkan beberapa buku tulis ke arahnya. "Ini buku-buku PR-mu. Semuanya sudah Ainun kerjakan dengan sangat baik." Suaranya bergetar. "Sepertinya... mendiang putri saya memang sangat suka belajar. Bahkan di saat-saat sulitnya, ia tetap mengerjakan PR. Saya tahu... Saya telah gagal sebagai seorang ayah. Saya seharusnya lebih mendengarkan keinginannya, lebih memahami perasaannya. Tapi sekarang sudah terlambat... Ainun yang malang."Sulistyo menatap buku-buku di tangannya, lalu menatap pria itu dengan sorot mata tajam, penuh kemarahan yang tertahan. "Anda ayah Ainun? Lalu kenapa, sebagai

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 45

    Sulistyo menutupi wajahnya dengan sebelah tangan, mencoba meredam emosinya yang bergejolak. Air matanya mengalir perlahan, seperti aliran luka yang tak kunjung kering. Detik-detik berlalu, dan senyuman miring mulai muncul di bibirnya. Sarkasme menggantikan kepedihan, menodai air matanya dengan tawa getir.“Lucu! Lucu sekali!” Sulistyo tertawa terbahak-bahak, namun tawanya terasa seperti jeritan seorang yang kalah dalam perang melawan dirinya sendiri. “Apa yang aku lakukan tadi? Menangis? Hah! Hahahaha!”Ia berdiri dengan tiba-tiba, menghapus air matanya dengan kasar, seolah berusaha menyingkirkan kelemahannya. Matanya terarah ke tumpukan berkas di mejanya, dokumen penting yang akan segera diserahkan kepada Presiden. Dengan dingin, ia menyusun berkas-berkas itu satu per satu, mencoba memusatkan pikirannya pada pekerjaan.Namun, pikiran Sulistyo kembali melayang pada kematian Ainun—dan pada seluruh kenyataan yang pernah ia pelajari sepanjang hidupnya. Bibirn

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 46

    Mahendra berdiri tegak di hadapan Aisyah, menahan langkahnya. Tatapannya penuh amarah dan kekecewaan, seperti tembok yang tidak bisa ditembus.“Berhenti di sini!” serunya tegas. “Kau tidak boleh masuk!”Aisyah mengangkat alisnya, tatapannya dingin namun polos seolah tak bersalah. “Ada apa, Kak?” tanyanya ringan, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa bersalah.Mahendra menatap tajam, matanya menyipit, seakan berusaha menembus ketenangan di wajah Aisyah. “Wanita paruh baya yang menangis di gerbang itu, dia ibumu, bukan?”Aisyah mengangguk kecil. “Benar. Lalu kenapa?”Mahendra mengepalkan tangan, wajahnya memerah oleh emosi yang ditahan. “Aisyah! Kau benar-benar keterlaluan!” bentaknya, membuat suasana semakin tegang. “Apa kau tidak malu dibilang anak durhaka? Itu ibumu sendiri! Wanita yang telah melahirkan dan membesarkanmu! Bisa-bisanya kau membuatnya menangis seperti itu? Itu balasanmu sebagai anak?”Aisyah menatap Mahendra dengan m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 47

    Mahendra mencoba memecah keheningan di dalam mobil, sambil tetap fokus menyetir. Ia melirik Aisyah sekilas melalui kaca spion. "Aisyah, hari ini pakai hijab ya? Kau terlihat lebih anggun dengan hijab seperti itu."Aisyah tetap menatap keluar jendela, menjawab singkat dengan nada datar, "Mumpung Sulistyo tidak lihat."Jawaban itu membuat Mahendra mengernyit. "Kenapa? Ada apa dengan Sulistyo?"Aisyah menghela napas panjang sebelum menjawab, "Keluarga alergi agama itu selalu melarangku pakai hijab. Sama seperti saat aku jadi anggota paskibra waktu upacara kemerdekaan. Semua wanita diwajibkan melepas hijab. Itu perintah langsung."Nurhayati yang duduk di samping Aisyah menundukkan kepala, menahan rasa bersalah yang begitu besar. Dengan suara lirih, ia mencoba berbicara, "Nak... Maafkan ibu... Harusnya ibu dulu—"Namun, Aisyah memotongnya dengan tajam. "Sudah terlambat untuk menyesal! Semua itu sudah terjadi. Tak ada gunanya mengungkitnya lagi

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 48

    Aisyah berdiri di halaman belakang penjara pusat yang sepi. Angin malam bertiup pelan, menggoyangkan daun-daun kering di sekitarnya. Namun, hatinya tak tersentuh oleh dingin atau keindahan malam. Ingatannya berputar, membawa kembali bayangan-bayangan kelam dari masa lalunya—semua luka dan ketidakadilan yang tak pernah benar-benar hilang. "Ayah, aku sudah lelah menjual kue-kue buatan ibu ini! Aku mau istirahat." Teriakan kecil Aisyah terdengar lagi di dalam benaknya, seperti gema dari waktu yang tak ingin ia kenang. "Aku juga tidak mau!" Suara adik-adiknya, Andi dan Andre, menyahut dengan lantang. Kedua anak laki-laki itu, anak kandung Mustofa, selalu diberi pilihan, sementara ia hanya menerima perintah. Mustofa menatap Aisyah dengan pandangan penuh otoritas, suaranya menggema seperti cambuk di udara. "Aisyah, adik-adikmu merasa malu harus berjualan di sekolah. Pendapatanmu juga hanya sedikit. Ayah tidak mau tahu! Habis pula

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 49

    "Jadi, Aisyah… Bolehkah aku meminta sesuatu padamu?" tanya Mahendra akhirnya, suaranya pelan namun penuh harap.Aisyah menoleh, menatapnya dengan sedikit kebingungan. "Apa itu?"Mahendra menarik napas panjang, pandangannya terarah lurus ke mata Aisyah. "Sayangilah ibumu selagi masih hidup. Kau jauh lebih beruntung daripada aku, juga daripada banyak anak lain yang sudah tidak memiliki sosok seorang ibu." Suaranya bergetar, membawa serta kesedihan yang mendalam.Aisyah terdiam, kata-kata itu terasa seperti hantaman keras di dadanya. Ia menunduk, membiarkan pikirannya tenggelam dalam bayangan masa lalu—perlakuannya terhadap ibunya, kata-kata tajam yang sering ia ucapkan, dan kemarahan yang ia tumpahkan tanpa peduli. Untuk pertama kalinya, ia merasa dirinya adalah anak paling durhaka di dunia."Sebenarnya…" Aisyah berbisik, suaranya dipenuhi penyesalan. "Aku menyayangi ibuku… sangat menyayangi. Aku hanya benci pada ayah tiriku. Aku ingin ibu sadar, in

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18

Bab terbaru

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 134

    Pintu kamar terbuka perlahan, engselnya berderit seperti jeritan pelan yang menyeruak ke dalam keheningan. Sulistyo melangkah masuk dengan langkah tenang namun penuh kekuasaan, bayangannya yang panjang melintasi dinding seperti sosok kegelapan yang merayap mendekati mangsanya. Aisyah, yang sebelumnya tengah memegang ponselnya dengan tangan gemetar, dengan cepat menyembunyikan perangkat itu di bawah bantal dan membaringkan diri di ranjang. Matanya terpejam rapat, napasnya ditahan, seolah tidur adalah satu-satunya pelindung dari bencana yang berdiri di ambang pintu.Sulistyo mendekat, duduk di tepi ranjang, dan tangannya yang dingin terulur, mengusap rambut Aisyah dengan gerakan yang, di permukaan, tampak penuh kasih. Namun sentuhan itu bagaikan rantai besi yang melilit leher, menahan kebebasannya."Apa kau sudah memeriksanya?" Suaranya rendah, penuh tekanan yang terpendam. Setiap kata menembus jantung seperti pisau kecil yang perlahan menusuk. "Apa kau sudah hamil?"

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 133

    Komentar-komentar di komunitas media sosial terus bergulir tanpa henti seperti arus sungai yang liar, semakin deras dan panas seiring dengan berlalunya siang. Aisyah terbaring diam di tempat tidur, cahaya ponsel memantul di wajahnya yang pucat. Jemarinya menggulir layar, matanya terpaku pada setiap kata yang muncul—setiap kalimat adalah ledakan kecil yang menghantam jiwanya, mengoyak rasa tenang yang berusaha ia pertahankan.“Tapi kau lihat sendiri apa yang terjadi pada orang-orang yang menentang Sulistyo, kan? Orang-orang sekelas Nursyid saja terancam bangkrut karena berani melawannya. Apalagi orang kecil seperti kita-kita ini?”Aisyah menelan ludah, telinganya seakan mendengar gema ketakutan yang diucapkan oleh pengguna anonim di layar.“Itu benar! Apa yang bisa kita lakukan? Lihat saja para pendemo kemarin! Dua orang mati, dan jika Sulistyo tidak berbelas kasihan, mungkin lebih banyak lagi yang akan tumbang!”“Berbelas kasihan?” pikir Aisyah de

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 132

    Kolom komentar di media sosial yang selama ini menjadi arena bagi suara-suara terpendam kini dipenuhi gelombang kesedihan dan kemarahan. Ratusan pesan memenuhi layar, membentuk aliran panjang yang tak henti-hentinya bergerak, mencerminkan hati dan pikiran rakyat yang mendidih."Itu sangat mengerikan!""Benar juga, Aisyah ke mana ya? Dia sudah tidak terlihat lagi di TV atau media sosial mana pun."Setiap pesan seolah-olah menjadi sumbu yang membakar api kepedihan dan kepedulian. Mereka berbicara satu sama lain, menggema dengan rasa ingin tahu yang berbalut kecemasan."Pertanyaan bodoh! Pastinya dia sudah ditahan Sulistyo karena hampir membuatnya dihukum mati.""Aisyah yang malang… Dia hanya ingin membuka mata rakyat, menunjukkan keburukan Sulistyo. Tapi apa daya? Lawannya adalah monster yang menguasai segalanya."Nama Aisyah disebut-sebut dengan penuh kasih dan simpati, seakan-akan dia adalah simbol perjuangan yang terlupakan namu

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 131

    Aisyah terbangun dari tidur siangnya dengan hati yang gelisah. Udara dalam kamar terasa berat, seolah sesak oleh rahasia dan ketakutan yang tak terlihat. Tangannya terjulur meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Dengan jantung yang berdetak cepat, ia membuka layar dan langsung menelusuri beranda media sosial yang dipenuhi berita dan komentar panas tentang Sulistyo.Berita utama yang terpampang di layar membuat matanya melebar. “Tragedi Berdarah: Dua Mahasiswa Gugur di Tangan Presiden Sulistyo.” Setiap kata terasa seperti pukulan keras yang menghantam dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi yang berkecamuk, meski jauh di lubuk hati, ia sudah tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi.Komentar-komentar dari netizen mengalir deras seperti arus sungai yang tak terbendung, penuh dengan kemarahan dan ketakutan:“Sulistyo benar-benar mengerikan! Dia membunuh dua orang mahasiswa!”“Apa dia sungguh manusia? Dia lebih seperti monste

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 130

    Meja makan di aula megah itu dipenuhi makanan mewah, setiap piring tersaji dengan detail sempurna. Para pelayan bergerak seperti bayangan, menyajikan hidangan dengan penuh kehormatan. Di sekitar mereka, pejabat tinggi dan orang-orang berpengaruh bercakap-cakap, membicarakan nasib rakyat yang bagi mereka hanyalah angka-angka di atas kertas.Aisyah duduk dengan tenang di sisi Sulistyo, matanya memandang lurus ke depan, tapi pikirannya melayang jauh dari hiruk-pikuk. Orang-orang berlalu-lalang, wajah-wajah yang penuh tipu daya dan senyum palsu yang memuja kekuasaan. Sesekali ia menangkap mata yang menatapnya dengan iri, wajah-wajah wanita yang ingin berada di posisinya. Mereka tidak tahu. Mereka hanya melihat kemewahan dan kemuliaan, bukan rantai tak terlihat yang membelenggu jiwa.Sulistyo menoleh, menatap Aisyah dengan senyum yang tampak hangat, meski ada sesuatu yang dingin dan menguasai di balik matanya. Tangannya terulur, menyibakkan rambut Aisyah dengan lembut,

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 129

    Sulistyo berdiri di tengah tempat yang dipenuhi teriakan dan jeritan mahasiswa. Tangannya terangkat perlahan, dan dari telapak tangannya, asap hitam mulai merayap keluar, bergerak dengan kehendak yang menyerupai makhluk hidup. Asap itu menyelubungi pintu-pintu dan jendela, menutup semua jalur keluar. Suasana yang sudah mencekam berubah menjadi horor murni."Cepat keluar!" teriaknya, suaranya bergema seperti guruh di langit malam. Mata gelapnya bersinar penuh kebencian. "Jangan membuatku berubah pikiran!"Dengan satu gerakan tegas, asap hitam itu surut, membuka jalan bagi para mahasiswa yang sudah pucat pasi. Mereka berlarian, berhamburan keluar seperti kawanan domba yang diterkam serigala. Tangisan dan teriakan ketakutan mereka menggema, menyayat udara malam yang dingin. Beberapa jatuh tersungkur, sementara yang lain mendorong tanpa ampun demi menyelamatkan nyawa sendiri.Di luar, kamera-kamera televisi tetap menyala, menangkap setiap momen dengan sempurna

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 128

    Setelah prosesi pelantikan Sulistyo sebagai presiden dan Prasetya sebagai wakil presiden usai, gemuruh tepuk tangan memenuhi istana. Suara riuh itu memantul di dinding-dinding megah, membentuk simfoni kepalsuan yang memekakkan telinga. Para pejabat, tamu undangan, dan tokoh-tokoh penting berdiri dengan senyum penuh sanjungan, meski sebagian besar dari mereka menelan ketakutan yang tak mampu disembunyikan di balik topeng mereka.Di luar gerbang istana, barisan mahasiswa yang dulunya berdiri tegak dengan semangat perjuangan kini tertunduk lesu. Mata mereka kosong, menyimpan trauma dari kekejaman yang baru saja mereka saksikan. Dua dari mereka telah tergeletak tak bernyawa—korban terbaru dari tangan besi Sulistyo, presiden yang kini memegang kendali penuh atas kehidupan mereka. Suara perlawanan yang dulu membakar, kini sirna. Yang tersisa hanya rasa takut yang menggerogoti jiwa.Sulistyo menatap mereka. Senyum puas terpampang di wajahnya, sebuah senyuman yang lebih me

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 127

    Di tengah kemegahan istana yang dipenuhi sorotan kamera dan kilauan lampu, Sulistyo berdiri dengan tegak di atas podium. Senyum liciknya terukir sempurna, menampilkan gigi-gigi yang seolah siap menerkam siapa saja. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut dengan nada kemenangan yang menusuk hati."Hadirin sekalian… Kali ini kita kedatangan tamu yang sangat penting. Sekumpulan anak-anak mahasiswa. Calon-calon pemimpin negara ini di masa depan," katanya, suaranya tegas namun sarat dengan penghinaan terselubung. "Oleh karena itu, mari kita dengarkan pidato dari presiden kalian yang baru dengan saksama!"Dia mengangkat tangannya seolah memerintah dunia untuk tunduk di bawah kakinya. Sorak-sorai dari beberapa orang bayaran bergema, menciptakan ilusi bahwa Sulistyo benar-benar dihormati.Di barisan belakang, Ratri menyaksikan dengan tubuh gemetar. Matanya membelalak, ekspresinya penuh campuran antara ngeri dan tidak percaya. "Sulistyo…" bisiknya, suaranya bergeta

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 126

    Aisyah memejamkan mata, menahan perasaan jijik yang meluap-luap di dalam hatinya saat bibir Sulistyo menyentuh bibirnya. Rasa dingin dan mati rasa menyusupi tubuhnya, tapi ia bertahan. Demi hidup. Demi kesempatan untuk bertahan sedikit lebih lama."Lakukan dengan benar!" Suara Sulistyo penuh perintah. Tangannya yang besar dan kuat mencengkeram tengkuknya, menarik kepalanya lebih dekat. Ciuman itu tidak lagi hanya sentuhan; ia menjadi paksaan yang brutal, sebuah penaklukan yang mematikan rasa.Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad bagi Aisyah, Sulistyo akhirnya melepaskan cengkeramannya dan berdiri. Ia menyeringai dengan puas, seolah telah menandai kemenangannya sekali lagi. "Malam ini, kau tidur sendiri di kamarmu. Ada yang harus kupersiapkan untuk pelantikan minggu depan."Aisyah tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dengan kepala tertunduk, membiarkan Sulistyo meninggalkan kamar dengan langkah penuh keangkuhan. Begitu pintu tertutup, ia segera

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status