Home / Rumah Tangga / Hamil Anak Calon Wakil Presiden / Chapter 101 - Chapter 110

All Chapters of Hamil Anak Calon Wakil Presiden: Chapter 101 - Chapter 110

150 Chapters

Bab 101

Sulistyo kembali menutup pintu kamar dengan suara yang berat, suara kunci yang berputar menjadi tanda bahwa dunia Aisyah telah tertutup rapat dari dunia luar. Ia merasa telah melindunginya—mengurungnya di tempat yang ia anggap aman dari semua yang bisa menyakitinya. Namun bagi Aisyah, kamar dingin itu tak lebih dari sangkar yang merampas kebebasan dan harapan kecil untuk menghirup udara bebas. Di dalam ruang sempit dan gelap itu, dia hanyalah burung tanpa sayap, bersembunyi di balik jeruji yang terbuat dari kepemilikan dan obsesi.Sulistyo melangkah meninggalkan kamar, pintu terkunci di belakangnya seolah mengunci juga nuraninya yang sudah lama menghilang. Langkahnya yang santai bergema di sepanjang lorong yang berhiaskan kekuasaan dan kehampaan, membawa dirinya menuju ruang presiden yang kini menjadi singgasananya.Dia duduk di kursi besar, tubuhnya bersandar dengan penuh percaya diri, tangannya menggenggam sandaran kursi seolah dunia ada dalam genggamannya. Tidak
last updateLast Updated : 2025-01-09
Read more

Bab 102

Nursyid terduduk dengan tatapan kosong di ruang kerjanya yang megah namun terasa semakin mencekik. Kertas-kertas laporan berserakan di sekitarnya, seolah menjadi bukti nyata betapa cepat segalanya merosot ke jurang kehancuran. Ia meremas rambutnya dengan tangan yang gemetar, mendesah panjang seakan setiap helaan napas mencuri sisa kekuatannya.“Ini benar-benar tidak normal!” gumamnya dengan suara serak. “Apa yang harus kulakukan sekarang?”Kemarahan yang lama tertahan akhirnya meledak. Dengan satu pukulan keras, ia menghantam meja di depannya. Dentuman kayu bergema, melukai keheningan ruangan. Ia mengatupkan rahangnya, giginya berderak saat ia menahan umpatan yang ingin keluar.“Sulistyo, kau iblis sialan!” desisnya. “Tak ada pilihan lagi selain menjilatmu! Hanya itu... hanya itu satu-satunya jalan!”Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Jemarinya menggantung di atas layar, ragu dan penuh kebencian pada dirinya sendiri. “Harga diri
last updateLast Updated : 2025-01-09
Read more

Bab 103

Setelah beberapa saat hening, Nursyid akhirnya membuka suara dengan nada yang hampir berbisik, penuh kehati-hatian. "Omong-omong, apa aku boleh tahu... tentang keadaan Aisyah?" Sulistyo mengangkat sebelah alis, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Kenapa kau menanyakan istriku?" suaranya mengeras seperti ancaman tersembunyi. "Apa yang sebenarnya kau inginkan darinya?" Nursyid mencoba tertawa kecil, tetapi suaranya goyah. "Bukan seperti itu... Maksudku... Aisyah sudah aku anggap seperti adikku sendiri. Kita sering bertemu di acara-acara resmi... bermain peran... berbincang seperti—" Sulistyo menyela tajam sebelum Nursyid bisa menyelesaikan kalimatnya. "Adik, atau sekutu?" Keringat dingin mulai mengalir di pelipis Nursyid. Tenggorokannya tercekat. "T-tentu saja... hanya sebagai saudara. Tidak lebih..." Sulistyo membiarkan keheningan menggantung di antara mereka, menikmati rasa takut
last updateLast Updated : 2025-01-09
Read more

Bab 104

Anisa menatap ponselnya yang retak di beberapa sudut, bekas terkena lemparan penuh amarah. Sulistyo pernah melemparkannya saat asap hitam yang dia kendalikan membentuk bilah tajam yang menghantam ponsel di tangannya saat Anisa sedang merekam perlakuan kejam Sulistyo pada adiknya, Aisyah. Layar yang kini berjejak seperti sarang laba-laba masih bisa menyala, meski sedikit berkedip-kedip."Untung saja masih bisa berfungsi," gumam Anisa, mencoba menghibur dirinya sendiri meski perasaan gelisah menyelimutinya."Kak, pinjam! Pinjam ponselnya, Kak!" Suara Aqila memecah keheningan. Gadis kecil itu melompat-lompat, tangannya yang mungil berusaha meraih ponsel dari genggaman Anisa."Tidak!" Anisa dengan cepat mengangkat ponselnya tinggi-tinggi, menjauhkannya dari jangkauan adiknya. "Ini bukan untuk mainan! Kakak perlu menghubungi seseorang. Kakak harus cari kerja tambahan."Aqila mengerucutkan bibirnya, tetapi Anisa sudah melangkah pergi ke kamar. Pintu kam
last updateLast Updated : 2025-01-10
Read more

Bab 105

“Baiklah, Anisa. Nanti akan aku hubungi lagi. Untuk sekarang memang ada pengurangan jumlah karyawan dan brand ambassador,” ujar Nursyid di ujung telepon, suaranya lebih rendah dari biasanya, seperti menahan emosi. “Kau tahu sendiri bagaimana si biadab Sulistyo itu sudah membuat segalanya melambung tinggi.” Anisa menggenggam ponselnya erat, rasa resah merayapi hatinya. Suara Nursyid masih terngiang-ngiang di telinganya, penuh perhatian namun terselip ketegasan yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ketika dia menyebut soal pengurangan karyawan dan kenaikan harga barang akibat kebijakan Sulistyo, tubuhnya terasa lebih berat. Seolah beban yang menumpuk di pundaknya semakin menindih, sulit bernapas. Anisa hanya bisa tertawa kecil, bukan karena lucu, melainkan sebagai pelarian dari rasa frustasi yang membekap. “Aku sampai berhutang lima ribu di warung. Uang yang kuberi ke adikku kurang. Aku bahkan tidak ingat kalau aturan meresahkan itu mu
last updateLast Updated : 2025-01-10
Read more

Bab 106

Sulistyo membuka pintu kamar tanpa mengetuk, langkah kakinya mantap seakan kamar itu adalah singgasana yang harus tunduk kepadanya. Cahaya remang dari lampu meja memantulkan bayangannya yang tinggi dan menekan ke setiap sudut ruangan. Matanya yang tajam segera menangkap Aisyah yang duduk di tepi ranjang, jemarinya sibuk mengetuk layar ponsel dengan gerakan cemas namun tenang di permukaan.Dia tidak mengatakan apa-apa saat berjalan mendekat, hanya meraih ponsel dari tangan Aisyah dengan satu gerakan cepat. Ponsel itu berpindah ke tangannya seolah memang haknya, bukan milik istrinya. Mata mereka bertemu. Mata Sulistyo menyala, penuh kendali. “Jangan pernah melihat hal lain jika aku ada di sini,” katanya dengan suara rendah yang lebih dingin daripada malam paling gelap.Aisyah, yang sudah terbiasa dengan tatapan tajam seperti belati itu, tidak memberontak. Dia menatap balik, lalu mengangguk perlahan.Sulistyo tersenyum tipis. Kepatuhan seperti itu selalu memb
last updateLast Updated : 2025-01-10
Read more

Bab 107

Hari itu, di depan Istana Negara dan gedung DPR, ribuan orang membanjiri jalanan seperti gelombang lautan yang marah. Mereka berteriak dengan penuh semangat, suara mereka menggema hingga membelah udara. Plakat-plakat dengan tulisan besar diangkat tinggi-tinggi, penuh dengan seruan perlawanan. "Turunkan Sulistyo!" "Sulistyo tidak pantas jadi presiden!" "Hancurkan KKN!" "Keluarga Nugroho: Kolusi, Korupsi, Nepotisme!" Amarah rakyat membakar suasana. Wajah-wajah mereka dipenuhi dengan kemarahan, perjuangan yang berakar dari ketidakadilan yang telah membusuk terlalu lama. Sementara suara genderang dan teriakan massa semakin menguat, Sulistyo berdiri di atas balkon istana. Ia menatap kerumunan itu dengan pandangan penuh kehinaan, seolah mereka hanyalah kawanan semut yang merangkak tanpa arti. Dia memegang cangkir kopi porselen, menyeruput isinya dengan santai. Asap yang mengepul dari minuman itu seperti bayangan dingin dari hatinya yang penuh kekejian. Bibirnya melengkung tipis,
last updateLast Updated : 2025-01-11
Read more

Bab 108

Aisyah memalingkan wajah, matanya tertuju pada balkon terbuka yang diterangi cahaya bulan. Suara gaduh dari luar masih terdengar, gema teriakan protes dan tuntutan keadilan memantul di sepanjang dinding istana. Wajah-wajah berteriak, tubuh-tubuh yang lelah namun tak menyerah, terus berjuang meski malam telah larut. "Omong-omong…" suaranya pelan, hampir seperti bisikan. "Orang-orang itu masih terus demo meskipun sudah malam." Sulistyo yang bersandar dengan santai di sisi tempat tidur, mengangkat alis dan mengikuti arah pandangan Aisyah. Matanya yang gelap berkilat dingin. "Kenapa? Apa kau merasa sangat terganggu hingga tidak bisa tidur?" katanya dengan nada sinis. "Haruskah aku memerintah polisi yang berjaga di depan untuk menembakkan gas air mata?" Nada ancaman dalam suaranya bagaikan pisau yang menggores hati Aisyah. Ia menoleh cepat, matanya membelalak panik. "Tidak! Tidak perlu! Tolong… biarkan saja mereka seperti itu. Jika mereka sudah lelah, mereka juga akan kembali pulang k
last updateLast Updated : 2025-01-11
Read more

Bab 109

Keesokan paginya, deru mesin jet pribadi memecah langit pagi yang biru. Di dalam kabin yang mewah, Aisyah duduk diam di samping jendela, matanya menatap ke luar dengan pandangan kosong. Sayap pesawat mengiris awan-awan putih, dan jauh di bawah sana, dunia yang ia kenal tampak begitu kecil dan tidak berarti. Namun di dalam hatinya, sebuah badai berkecamuk—badai rasa bersalah, amarah yang dipendam, dan ketidakberdayaan yang membelenggu. Sulistyo duduk di sampingnya, dengan senyum penuh kemenangan di wajahnya yang tampan namun penuh tipu daya. "Aisyah," suaranya terdengar penuh rasa bangga, "hari ini aku ingin memamerkan sesuatu yang sangat berharga. Salah satu pulau terpencil yang sudah kubeli dengan uangku sendiri. Harta karun pribadiku." Aisyah menunduk, menyembunyikan kilatan benci yang tak sanggup ia tunjukkan di hadapannya. "Bukan uangmu," gumamnya dalam hati, setiap kata terasa seperti pisau yang menorehkan luka di jiwanya. "Itu uang rakyat. Keringat dan darah mereka." "Kau a
last updateLast Updated : 2025-01-11
Read more

Bab 110

Aisyah melangkah perlahan di sepanjang pantai, angin laut yang lembut menyapu wajahnya seolah mencoba menghapus perasaan berdosa yang terus menghantuinya. Setiap jejak kakinya yang tertinggal di pasir terasa berat, seakan setiap butir pasir adalah beban dosa yang bertumpuk di hatinya. Ombak bergulung lembut, namun di benaknya, ia bisa mendengar suara rakyat yang merintih di bawah bayang-bayang penindasan. Di saat mereka merasakan derita akibat kenaikan pajak yang mencekik leher, dirinya di sini—terkurung dalam kemewahan dan kebohongan, menikmati kemewahan yang dibangun dari air mata dan darah mereka.Namun, senyuman tetap menghiasi bibirnya. Ia telah belajar, memoles senyuman itu seperti senjata yang menutupi kehancuran dalam jiwanya. Setiap lekukan bibir dan sorot mata telah dilatih begitu sempurna, sehingga tampak tulus bahkan di hadapan mata tajam seorang monster seperti Sulistyo, yang berdiri tak jauh di dekat jet pribadinya, menatapnya penuh kebanggaan.Sulistyo menyipitkan mata
last updateLast Updated : 2025-01-14
Read more
PREV
1
...
910111213
...
15
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status