Aisyah memalingkan wajah, matanya tertuju pada balkon terbuka yang diterangi cahaya bulan. Suara gaduh dari luar masih terdengar, gema teriakan protes dan tuntutan keadilan memantul di sepanjang dinding istana. Wajah-wajah berteriak, tubuh-tubuh yang lelah namun tak menyerah, terus berjuang meski malam telah larut. "Omong-omong…" suaranya pelan, hampir seperti bisikan. "Orang-orang itu masih terus demo meskipun sudah malam." Sulistyo yang bersandar dengan santai di sisi tempat tidur, mengangkat alis dan mengikuti arah pandangan Aisyah. Matanya yang gelap berkilat dingin. "Kenapa? Apa kau merasa sangat terganggu hingga tidak bisa tidur?" katanya dengan nada sinis. "Haruskah aku memerintah polisi yang berjaga di depan untuk menembakkan gas air mata?" Nada ancaman dalam suaranya bagaikan pisau yang menggores hati Aisyah. Ia menoleh cepat, matanya membelalak panik. "Tidak! Tidak perlu! Tolong… biarkan saja mereka seperti itu. Jika mereka sudah lelah, mereka juga akan kembali pulang k
Keesokan paginya, deru mesin jet pribadi memecah langit pagi yang biru. Di dalam kabin yang mewah, Aisyah duduk diam di samping jendela, matanya menatap ke luar dengan pandangan kosong. Sayap pesawat mengiris awan-awan putih, dan jauh di bawah sana, dunia yang ia kenal tampak begitu kecil dan tidak berarti. Namun di dalam hatinya, sebuah badai berkecamuk—badai rasa bersalah, amarah yang dipendam, dan ketidakberdayaan yang membelenggu. Sulistyo duduk di sampingnya, dengan senyum penuh kemenangan di wajahnya yang tampan namun penuh tipu daya. "Aisyah," suaranya terdengar penuh rasa bangga, "hari ini aku ingin memamerkan sesuatu yang sangat berharga. Salah satu pulau terpencil yang sudah kubeli dengan uangku sendiri. Harta karun pribadiku." Aisyah menunduk, menyembunyikan kilatan benci yang tak sanggup ia tunjukkan di hadapannya. "Bukan uangmu," gumamnya dalam hati, setiap kata terasa seperti pisau yang menorehkan luka di jiwanya. "Itu uang rakyat. Keringat dan darah mereka." "Kau a
Aisyah melangkah perlahan di sepanjang pantai, angin laut yang lembut menyapu wajahnya seolah mencoba menghapus perasaan berdosa yang terus menghantuinya. Setiap jejak kakinya yang tertinggal di pasir terasa berat, seakan setiap butir pasir adalah beban dosa yang bertumpuk di hatinya. Ombak bergulung lembut, namun di benaknya, ia bisa mendengar suara rakyat yang merintih di bawah bayang-bayang penindasan. Di saat mereka merasakan derita akibat kenaikan pajak yang mencekik leher, dirinya di sini—terkurung dalam kemewahan dan kebohongan, menikmati kemewahan yang dibangun dari air mata dan darah mereka.Namun, senyuman tetap menghiasi bibirnya. Ia telah belajar, memoles senyuman itu seperti senjata yang menutupi kehancuran dalam jiwanya. Setiap lekukan bibir dan sorot mata telah dilatih begitu sempurna, sehingga tampak tulus bahkan di hadapan mata tajam seorang monster seperti Sulistyo, yang berdiri tak jauh di dekat jet pribadinya, menatapnya penuh kebanggaan.Sulistyo menyipitkan mata
Sulistyo berdiri di dekat jet pribadinya yang terparkir anggun di tepi pantai, matanya yang hitam seperti bayangan malam menatap tajam ke arah garis air yang membentang luas di hadapannya. Angin laut membawa aroma asin yang menusuk hidung, sementara suara ombak memukul pasir dengan ritme yang tidak beraturan. Tetapi bukan keindahan pantai yang menarik perhatiannya—melainkan absennya sosok Aisyah, istrinya, yang seharusnya berada di sekitarnya.Kekhawatiran mulai merayapi pikirannya seperti kabut yang tak bisa diusir. "Dimana anak itu?" gumamnya dengan suara pelan, tetapi cukup keras untuk menandakan keresahan yang bergelora dalam dadanya. Tangan kirinya mengepal, sementara tangan kanannya mulai bergerak gelisah menyusuri tepiannya yang berkerikil.Saat matanya tidak menemukan jejak Aisyah, sebuah firasat buruk memukul jantungnya. Langkahnya bertambah cepat, hampir berlari saat ia mendekati bibir pantai, kaki-kakinya menghancurkan jejak-jejak ombak yang baru saja surut. "Aisyah! Aisyah
Sulistyo melangkah masuk ke dalam vila, membawa tubuh Aisyah yang lunglai dalam gendongannya. Napasnya terdengar berat, bukan karena kelelahan, melainkan karena ketegangan yang masih berdenyut dalam dadanya. Vila itu tidak semewah istana yang biasa mereka tempati, tetapi cukup megah untuk disebut sebagai tempat peristirahatan orang kaya. Langit-langit tinggi dan jendela besar memancarkan cahaya yang lembut, sementara angin laut menerpa tirai dengan lembut, membawa aroma asin yang menenangkan.Namun, bagi Aisyah, kenyamanan tempat itu tidak dapat menghapus getaran dingin yang masih membekukan tubuhnya.Sulistyo membuka pintu kamar mereka dengan satu hentakan bahu, lalu membawanya langsung ke kamar mandi. Suara deru air dari pancuran memenuhi ruangan, membasahi lantai keramik dengan aliran yang tenang namun dingin seperti nasib yang tak terhindarkan. Dengan penuh kehati-hatian, ia meletakkan Aisyah di tepi bak mandi besar yang telah disiapkan. Tubuhnya yang basah kuyup bergetar, kemeja
Makan siang itu berlangsung dalam keheningan yang ganjil. Aisyah duduk di meja besar dengan piring-piring berisi makanan laut yang menguarkan aroma lezat. Jemarinya yang lentik memegang sendok dengan hati-hati, mencicipi potongan cumi-cumi yang kenyal dan manis. Udang yang disajikan dengan saus pedas membuat lidahnya sedikit terbakar, tetapi ia tetap makan dengan tenang, menahan perasaan yang mengaduk di dalam hatinya.Di seberangnya, Sulistyo duduk dengan diam, tidak menyentuh makanan sedikit pun. Matanya terus tertuju pada Aisyah. Tatapannya bukan sekadar kekaguman, tetapi pengamatan tajam yang membawa rasa dingin menusuk tulang belakang. Ada sesuatu dalam cara ia memandang yang membuat Aisyah merasa terperangkap dalam sangkar tak kasat mata.Sulistyo akhirnya bergerak. Ia mencondongkan tubuh, tangannya terulur untuk menyibak rambut panjang Aisyah yang terjuntai ke depan, menghalangi wajahnya saat makan. Sentuhannya begitu lembut hingga membuat bulu kuduk Aisyah meremang."Sangat ca
Suara deburan ombak memeluk pantai, membentuk irama yang menenangkan di bawah langit yang perlahan memerah. Pasir putih yang hangat di bawah kaki mereka mulai terasa dingin seiring sore bergulir menuju malam. Sulistyo duduk bersila di samping Aisyah, tangannya melingkar di bahu sang istri, menariknya lebih dekat dalam pelukan yang tampak mesra namun penuh kuasa."Bersiaplah," bisiknya pelan, suaranya seperti bayang-bayang yang berdesir di antara mereka. "Sebentar lagi akan ada sunset."Aisyah mendongak, matanya yang lelah menyala sejenak dengan rasa ingin tahu. Ia mengikuti arah pandang Sulistyo ke cakrawala, tempat bola api jingga mulai merendah, mendekati peraduannya di balik lautan.Sulistyo menepuk bahunya lembut, senyumnya seperti matahari yang menyinari sisi gelap dari sebuah koin—hangat di permukaan, namun dingin di baliknya. "Terus pantau. Jangan sampai melewatkan keindahannya."Mata Aisyah tetap terpaku ke laut, sementara matahari terus m
Sulistyo akhirnya melepaskan bibir Aisyah, menarik dirinya perlahan dengan senyuman yang penuh kepuasan. Mata gelapnya menatap wanita di depannya dengan tatapan kepemilikan mutlak. Di tangan Sulistyo, Aisyah adalah boneka porselen yang indah dan rapuh, sebuah harta berharga yang hanya bisa disentuh olehnya. "Sudah puas melihat sunset?" suaranya terdengar lembut, namun ada kekuasaan yang tak dapat disangkal di setiap kata. "Sekarang kita mandi dulu. Nanti malam, kita akan melihat bintang-bintang bertaburan di langit malam pantai." Aisyah hanya mengangguk. Gerakannya lambat dan terkendali, menekan setiap percikan rasa takut yang bisa membocorkan isi hatinya. Ia tak berani menolak. Ia tahu, menentang Sulistyo sama saja dengan mengundang bahaya yang jauh lebih besar. Sulistyo mengangkat tubuhnya dengan mudah, membawanya kembali ke dalam villa yang mewah dan terisolasi dari dunia luar. Ia menurunkannya perlahan di kamar yang luas, dindingnya dihiasi cermin besar dan tirai satin yang m
Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu. Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?" Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?" Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian, dengan suara yang mene
Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i
Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk
Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen
Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun
Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga
Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men
Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka
Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me