Share

Bab 112

Penulis: Sylus wife
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-14 15:10:06

Sulistyo melangkah masuk ke dalam vila, membawa tubuh Aisyah yang lunglai dalam gendongannya. Napasnya terdengar berat, bukan karena kelelahan, melainkan karena ketegangan yang masih berdenyut dalam dadanya.

Vila itu tidak semewah istana yang biasa mereka tempati, tetapi cukup megah untuk disebut sebagai tempat peristirahatan orang kaya. Langit-langit tinggi dan jendela besar memancarkan cahaya yang lembut, sementara angin laut menerpa tirai dengan lembut, membawa aroma asin yang menenangkan.

Namun, bagi Aisyah, kenyamanan tempat itu tidak dapat menghapus getaran dingin yang masih membekukan tubuhnya.

Sulistyo membuka pintu kamar mereka dengan satu hentakan bahu, lalu membawanya langsung ke kamar mandi. Suara deru air dari pancuran memenuhi ruangan, membasahi lantai keramik dengan aliran yang tenang namun dingin seperti nasib yang tak terhindarkan. Dengan penuh kehati-hatian, ia meletakkan Aisyah di tepi bak mandi besar yang telah disiapkan. Tubuhnya yang basah kuyup bergetar, kemeja
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 113

    Makan siang itu berlangsung dalam keheningan yang ganjil. Aisyah duduk di meja besar dengan piring-piring berisi makanan laut yang menguarkan aroma lezat. Jemarinya yang lentik memegang sendok dengan hati-hati, mencicipi potongan cumi-cumi yang kenyal dan manis. Udang yang disajikan dengan saus pedas membuat lidahnya sedikit terbakar, tetapi ia tetap makan dengan tenang, menahan perasaan yang mengaduk di dalam hatinya.Di seberangnya, Sulistyo duduk dengan diam, tidak menyentuh makanan sedikit pun. Matanya terus tertuju pada Aisyah. Tatapannya bukan sekadar kekaguman, tetapi pengamatan tajam yang membawa rasa dingin menusuk tulang belakang. Ada sesuatu dalam cara ia memandang yang membuat Aisyah merasa terperangkap dalam sangkar tak kasat mata.Sulistyo akhirnya bergerak. Ia mencondongkan tubuh, tangannya terulur untuk menyibak rambut panjang Aisyah yang terjuntai ke depan, menghalangi wajahnya saat makan. Sentuhannya begitu lembut hingga membuat bulu kuduk Aisyah meremang."Sangat ca

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 114

    Suara deburan ombak memeluk pantai, membentuk irama yang menenangkan di bawah langit yang perlahan memerah. Pasir putih yang hangat di bawah kaki mereka mulai terasa dingin seiring sore bergulir menuju malam. Sulistyo duduk bersila di samping Aisyah, tangannya melingkar di bahu sang istri, menariknya lebih dekat dalam pelukan yang tampak mesra namun penuh kuasa."Bersiaplah," bisiknya pelan, suaranya seperti bayang-bayang yang berdesir di antara mereka. "Sebentar lagi akan ada sunset."Aisyah mendongak, matanya yang lelah menyala sejenak dengan rasa ingin tahu. Ia mengikuti arah pandang Sulistyo ke cakrawala, tempat bola api jingga mulai merendah, mendekati peraduannya di balik lautan.Sulistyo menepuk bahunya lembut, senyumnya seperti matahari yang menyinari sisi gelap dari sebuah koin—hangat di permukaan, namun dingin di baliknya. "Terus pantau. Jangan sampai melewatkan keindahannya."Mata Aisyah tetap terpaku ke laut, sementara matahari terus m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 115

    Sulistyo akhirnya melepaskan bibir Aisyah, menarik dirinya perlahan dengan senyuman yang penuh kepuasan. Mata gelapnya menatap wanita di depannya dengan tatapan kepemilikan mutlak. Di tangan Sulistyo, Aisyah adalah boneka porselen yang indah dan rapuh, sebuah harta berharga yang hanya bisa disentuh olehnya. "Sudah puas melihat sunset?" suaranya terdengar lembut, namun ada kekuasaan yang tak dapat disangkal di setiap kata. "Sekarang kita mandi dulu. Nanti malam, kita akan melihat bintang-bintang bertaburan di langit malam pantai." Aisyah hanya mengangguk. Gerakannya lambat dan terkendali, menekan setiap percikan rasa takut yang bisa membocorkan isi hatinya. Ia tak berani menolak. Ia tahu, menentang Sulistyo sama saja dengan mengundang bahaya yang jauh lebih besar. Sulistyo mengangkat tubuhnya dengan mudah, membawanya kembali ke dalam villa yang mewah dan terisolasi dari dunia luar. Ia menurunkannya perlahan di kamar yang luas, dindingnya dihiasi cermin besar dan tirai satin yang m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 116

    Malam di tepi pantai terasa sejuk, angin berembus lembut, membawa aroma laut yang asin. Langit malam berhiaskan bintang-bintang yang bersinar cemerlang, seolah ingin menyaksikan drama yang berlangsung di bawahnya. Ombak bergulung dengan tenang, menciptakan musik alam yang menenangkan, tetapi bagi Aisyah, kedamaian itu hanyalah tipuan. Di dalam hatinya, gelombang kecemasan bergolak lebih keras dari apa pun yang ada di sekelilingnya.Sulistyo menangkup pipi Aisyah dengan sebelah tangan, jemarinya terasa dingin namun tegas, memaksa wajahnya menatap langsung ke arahnya. Tatapannya seolah menembus relung terdalam jiwa Aisyah, sebuah tatapan yang penuh dengan kuasa dan kepemilikan."Aisyah… besok kita harus kembali ke istana negara. Masih banyak yang harus aku urus, terutama pelantikan untuk menjadi presiden dan adikku menjadi wakil presiden. Kau tak masalah jika hanya berlibur di sini selama satu hari, kan?"Senyum Aisyah melengkung tipis, sebuah topeng yang sempurn

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 117

    Aisyah menunduk, matanya menatap piring di hadapannya dengan rasa enggan yang membakar. Perlahan, ia membuka mulut, membiarkan Sulistyo memasukkan potongan kue black forest ke dalam mulutnya. Sentuhan lembut jemarinya di bibirnya membuat tubuhnya menegang. Ia mengunyah kue itu dengan perlahan, rasa manis dan pahit cokelat bercampur di lidahnya seperti ironi yang meresap ke dalam hatinya—indah di luar, namun penuh kepahitan yang tak kasat mata."Ayo, makan lagi," suara Sulistyo terdengar manis, tetapi bagai belati yang dibungkus sutra. Ia menyiapkan potongan kue berikutnya, menunggu dengan penuh kesabaran yang membuat Aisyah merasa seperti boneka hidup.Dengan enggan, Aisyah membuka mulut sekali lagi. Ia mengunyah dengan pelan, setiap gigitan terasa seperti menelan serpihan beban yang tak terlihat. Pandangannya tetap kosong, tak berani menatap pria yang duduk di hadapannya—pria yang menyebut dirinya suami, tapi lebih mirip penjara yang berwujud manusia.Sul

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 118

    Sulistyo berdiri dengan tubuh tegap, matanya yang tajam menusuk langsung ke arah Aisyah. Setiap detik yang berlalu terasa bagaikan menit panjang yang menghimpit ruang di antara mereka. Tidak ada suara, hanya keheningan yang penuh dengan ketegangan membara. "Baiklah, aku mengerti," katanya akhirnya, suaranya rendah namun penuh beban. "Sepertinya memang kesalahanku sangat sulit dimaafkan. Kau tidak perlu membalasnya sekarang." Sulistyo berbalik perlahan, punggungnya yang kokoh tampak seperti bayangan gelap yang menjauh ke arah pintu. Namun setiap langkahnya menggema seperti pukulan palu godam di hati Aisyah. "Beri tahu aku kalau sudah selesai menghabiskan kuenya," katanya sebelum menghilang di balik pintu yang tertutup dengan bunyi lembut tetapi mematikan. Aisyah tetap duduk di kursinya, tubuhnya terasa seolah membatu. Matanya terarah pada kue black forest yang masih tergeletak di meja, dihiasi lapisan cokelat pekat dan hiasa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 119

    Malam semakin larut, tetapi bagi Aisyah, waktu terasa berjalan begitu lambat. Hening yang mencekam menyelimuti kamar mewah itu, hanya terputus oleh napas mereka yang terdengar jelas dalam kegelapan. Saat Sulistyo tiba-tiba menarik tubuhnya, Aisyah tersentak. Tubuhnya memutar dengan paksa, wajahnya kini menghadap pria yang menjadi sumber dari semua ketakutannya.Pelukan Sulistyo begitu erat, seolah mencengkram jiwa Aisyah, membelenggunya dalam ketidakberdayaan. Hidung Sulistyo mengendus lehernya, menghirup aroma manis yang bercampur dengan dinginnya keringat ketakutan."Terus panggil aku seperti itu saat kita bersama," bisiknya, suara yang rendah namun penuh perintah. Matanya menatap lurus ke dalam mata Aisyah—tatapan yang mengunci, memaksa tunduk, mencabut setiap keberanian yang mungkin tersisa di dalam dirinya.Aisyah hanya bisa mengangguk kecil, kaku, seperti boneka yang benangnya dikendalikan oleh tangan kasar.Sulistyo tersenyum puas, tanganny

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 120

    Gas air mata membumbung, menyelubungi langit istana negara dalam kabut kelabu yang membuat mata Aisyah perih dan tenggorokannya tercekat. Setiap napas terasa seperti menelan bara, udara yang terhirup seolah penuh dengan kepedihan ribuan orang yang suaranya tak pernah didengar.Aisyah terbatuk keras, tubuhnya berguncang oleh sesak yang melilit dadanya. Ia meremas lengan Sulistyo, mencoba mencari keseimbangan di tengah rasa tercekik yang semakin menggila."Sudah cukup!" Sulistyo berbisik tajam, asap hitam mulai merembes dari tubuhnya seperti kabut malam yang merayap pelan, lalu meledak menjadi selubung pekat yang menyelimuti area sekitar mereka. Asap itu menyerap gas air mata, menelan racun yang menggantung di udara, memaksa rasa sakit mundur seolah-olah dunia tunduk di bawah kuasanya.Dengan gerakan yang cepat dan penuh tekad, Sulistyo meraih tubuh Aisyah. Ia menggendongnya erat, melindunginya seolah membawa harta paling berharga di dunia. "Pegang aku erat-

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17

Bab terbaru

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 150

    Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu.Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?"Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?"Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 149

    Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 148

    Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 147

    Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 146

    Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 145

    Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 144

    Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 143

    Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 142

    Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status