Gas air mata membumbung, menyelubungi langit istana negara dalam kabut kelabu yang membuat mata Aisyah perih dan tenggorokannya tercekat. Setiap napas terasa seperti menelan bara, udara yang terhirup seolah penuh dengan kepedihan ribuan orang yang suaranya tak pernah didengar.
Aisyah terbatuk keras, tubuhnya berguncang oleh sesak yang melilit dadanya. Ia meremas lengan Sulistyo, mencoba mencari keseimbangan di tengah rasa tercekik yang semakin menggila."Sudah cukup!" Sulistyo berbisik tajam, asap hitam mulai merembes dari tubuhnya seperti kabut malam yang merayap pelan, lalu meledak menjadi selubung pekat yang menyelimuti area sekitar mereka. Asap itu menyerap gas air mata, menelan racun yang menggantung di udara, memaksa rasa sakit mundur seolah-olah dunia tunduk di bawah kuasanya.Dengan gerakan yang cepat dan penuh tekad, Sulistyo meraih tubuh Aisyah. Ia menggendongnya erat, melindunginya seolah membawa harta paling berharga di dunia. "Pegang aku erat-Di ruang keluarga keluarga Nugroho, suasana penuh tawa dan percakapan ringan, namun di balik setiap kata yang terlontar, ada hawa dingin yang merayap seperti bayangan tak kasatmata. Mereka duduk melingkar di bawah lampu gantung mewah, cahaya keemasan memantulkan kemilau di meja kaca di depan mereka. Di atas meja, cangkir-cangkir porselen tersusun rapi, seperti senyuman palsu yang menghiasi wajah para penjahat berdasi. "Minggu depan... Memangnya bisa secepat itu?" Sulistyo bertanya, suaranya pelan namun sarat ejekan. Ia menyandarkan tubuh ke sofa, seolah-olah dunia berada di bawah kendalinya. Jatmiko, sang kepala keluarga, menyeringai puas, seolah sedang memamerkan mahakaryanya. "Tentu saja, Sulistyo! Lihat siapa yang bisa membujuk DPR dengan mudah. Mereka tidak lebih dari wayang yang tali kendalinya ada di tanganku." Prasetya bertepuk tangan kecil dengan ekspresi kekaguman yang dilebih-lebihkan. "Ayah memang yang terbaik!" katanya, suaran
Di ruangan yang dipenuhi ketegangan, Ratri duduk dengan gelisah. Tangan rampingnya meremas rambut sendiri, seolah mencoba mengusir kekacauan yang berputar di kepalanya. Napasnya memburu, dan suara hatinya terasa berteriak, menggema dalam keheningan yang menggigit."Ada apa dengan anak itu sebenarnya?" suaranya pecah, penuh frustrasi yang tak lagi bisa ia sembunyikan. Matanya yang penuh kecemasan menatap Jatmiko, mencoba mencari jawaban dari lelaki tua yang pernah dianggap bijaksana.Jatmiko menghela napas dalam-dalam, garis-garis tua di wajahnya semakin terlihat jelas di bawah sinar lampu yang redup. Sebelum ia sempat berbicara, Prasetya, yang duduk di sudut dengan pandangan tajam penuh pertimbangan, menyela dengan nada serius namun tak kehilangan sinisme khasnya. "Sepertinya setelah mendapatkan kekuatan itu, kakak menjadi semakin sensitif. Apalagi kalau sudah menyangkut soal istrinya."Ratri memutar bola matanya, tetapi di balik ketidaksukaannya terhadap
Sulistyo melangkah dengan langkah panjang dan tegas menuju kamar Aisyah. Suara sepatunya yang menggemakan lantai marmer terdengar seperti ketukan palu nasib yang menghantui dinding-dinding istana yang dingin. Setiap derap langkahnya seolah membawa tekanan udara yang lebih berat, membuat pelayan dan pengawal yang dilewatinya menunduk penuh rasa takut, tak satu pun berani menatap wajahnya.Ketika sampai di depan pintu kamar, dia mendorongnya tanpa mengetuk. Pintu berderit terbuka, memperlihatkan Aisyah yang sedang duduk sendirian di atas ranjang. Kepalanya sedikit tertunduk, tangannya yang lemah terlipat di pangkuan. Matanya kosong, seperti menatap sesuatu yang jauh di luar ruangan itu, jauh dari realitas yang tengah menghimpitnya."Sudahlah," suara Sulistyo memotong keheningan. "Sekarang waktunya makan siang. Aku harus menguapi istriku sendiri."Tanpa menunggu jawaban, dia berbalik dan keluar, membiarkan pintu kembali menutup dengan keras di belakangnya.
Sulistyo mengeraskan rahang, tatapan dinginnya tajam seperti belati yang siap menancap. Suaranya rendah, hampir berbisik, namun penuh ancaman. "Kenapa?" tanyanya dengan nada yang menekan. "Apa jawabanku tadi membuatmu kecewa?"Aisyah mendongak, matanya bertemu dengan tatapan Sulistyo yang membara. Dalam hatinya, ribuan kata penuh amarah memohon untuk dilepaskan. Ia ingin berteriak, memuntahkan seluruh rasa sakit yang membakar dadanya. Ia ingin mengingatkan Sulistyo betapa Mahendra, tunangannya yang telah tiada, jauh lebih bijaksana dan penuh kasih daripada tiran yang kini berdiri di hadapannya. Namun ia tahu, suara kebenaran tidak akan membebaskannya—melainkan menghancurkan apa yang tersisa dari kehidupannya yang rapuh.Dengan tangan yang gemetar, Aisyah menundukkan kepala. Ia merasakan panas air mata yang menekan di pelupuk matanya, berusaha sekuat tenaga untuk tidak membiarkannya jatuh.Sulistyo mendekat, setiap langkahnya seakan membawa udara dingin yan
Sulistyo melangkah di halaman belakang dengan tatapan kosong yang penuh kilatan amarah yang terselubung. Malam begitu sunyi, hanya ditemani desiran angin yang menggoyang dedaunan. Suara langkah sepatunya terdengar bergema, seolah-olah setiap denting adalah gema dari pikirannya yang bergejolak. Ia berhenti di bawah pohon besar, mencengkeram batangnya sejenak, jari-jarinya bergetar oleh kemarahan yang tak sepenuhnya dapat ia kuasai."Ada apa dengan anak itu?" gumamnya, matanya memandang ke langit malam yang tak memberinya jawaban. "Kenapa dia semarah itu hanya karena tidak diizinkan kuliah?"Ia terdiam, matanya menyipit. Sebuah senyum tipis muncul di bibirnya, penuh kesombongan yang dingin. "Sudahlah," bisiknya, nadanya berubah pelan dan penuh keyakinan. "Nanti juga dia akan kembali menurut padaku. Karena dia... tidak akan pernah bisa melawanku. Tidak akan pernah bisa."---Di kamar yang terasa semakin sempit, Aisyah duduk dengan lutut yang dit
Aisyah memejamkan mata, menahan perasaan jijik yang meluap-luap di dalam hatinya saat bibir Sulistyo menyentuh bibirnya. Rasa dingin dan mati rasa menyusupi tubuhnya, tapi ia bertahan. Demi hidup. Demi kesempatan untuk bertahan sedikit lebih lama."Lakukan dengan benar!" Suara Sulistyo penuh perintah. Tangannya yang besar dan kuat mencengkeram tengkuknya, menarik kepalanya lebih dekat. Ciuman itu tidak lagi hanya sentuhan; ia menjadi paksaan yang brutal, sebuah penaklukan yang mematikan rasa.Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad bagi Aisyah, Sulistyo akhirnya melepaskan cengkeramannya dan berdiri. Ia menyeringai dengan puas, seolah telah menandai kemenangannya sekali lagi. "Malam ini, kau tidur sendiri di kamarmu. Ada yang harus kupersiapkan untuk pelantikan minggu depan."Aisyah tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dengan kepala tertunduk, membiarkan Sulistyo meninggalkan kamar dengan langkah penuh keangkuhan. Begitu pintu tertutup, ia segera
Di tengah kemegahan istana yang dipenuhi sorotan kamera dan kilauan lampu, Sulistyo berdiri dengan tegak di atas podium. Senyum liciknya terukir sempurna, menampilkan gigi-gigi yang seolah siap menerkam siapa saja. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut dengan nada kemenangan yang menusuk hati."Hadirin sekalian… Kali ini kita kedatangan tamu yang sangat penting. Sekumpulan anak-anak mahasiswa. Calon-calon pemimpin negara ini di masa depan," katanya, suaranya tegas namun sarat dengan penghinaan terselubung. "Oleh karena itu, mari kita dengarkan pidato dari presiden kalian yang baru dengan saksama!"Dia mengangkat tangannya seolah memerintah dunia untuk tunduk di bawah kakinya. Sorak-sorai dari beberapa orang bayaran bergema, menciptakan ilusi bahwa Sulistyo benar-benar dihormati.Di barisan belakang, Ratri menyaksikan dengan tubuh gemetar. Matanya membelalak, ekspresinya penuh campuran antara ngeri dan tidak percaya. "Sulistyo…" bisiknya, suaranya bergeta
Setelah prosesi pelantikan Sulistyo sebagai presiden dan Prasetya sebagai wakil presiden usai, gemuruh tepuk tangan memenuhi istana. Suara riuh itu memantul di dinding-dinding megah, membentuk simfoni kepalsuan yang memekakkan telinga. Para pejabat, tamu undangan, dan tokoh-tokoh penting berdiri dengan senyum penuh sanjungan, meski sebagian besar dari mereka menelan ketakutan yang tak mampu disembunyikan di balik topeng mereka.Di luar gerbang istana, barisan mahasiswa yang dulunya berdiri tegak dengan semangat perjuangan kini tertunduk lesu. Mata mereka kosong, menyimpan trauma dari kekejaman yang baru saja mereka saksikan. Dua dari mereka telah tergeletak tak bernyawa—korban terbaru dari tangan besi Sulistyo, presiden yang kini memegang kendali penuh atas kehidupan mereka. Suara perlawanan yang dulu membakar, kini sirna. Yang tersisa hanya rasa takut yang menggerogoti jiwa.Sulistyo menatap mereka. Senyum puas terpampang di wajahnya, sebuah senyuman yang lebih me
Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu.Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?"Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?"Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian
Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i
Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk
Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen
Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun
Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga
Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men
Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka
Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me