Di ruang keluarga keluarga Nugroho, suasana penuh tawa dan percakapan ringan, namun di balik setiap kata yang terlontar, ada hawa dingin yang merayap seperti bayangan tak kasatmata. Mereka duduk melingkar di bawah lampu gantung mewah, cahaya keemasan memantulkan kemilau di meja kaca di depan mereka. Di atas meja, cangkir-cangkir porselen tersusun rapi, seperti senyuman palsu yang menghiasi wajah para penjahat berdasi.
"Minggu depan... Memangnya bisa secepat itu?" Sulistyo bertanya, suaranya pelan namun sarat ejekan. Ia menyandarkan tubuh ke sofa, seolah-olah dunia berada di bawah kendalinya. Jatmiko, sang kepala keluarga, menyeringai puas, seolah sedang memamerkan mahakaryanya. "Tentu saja, Sulistyo! Lihat siapa yang bisa membujuk DPR dengan mudah. Mereka tidak lebih dari wayang yang tali kendalinya ada di tanganku." Prasetya bertepuk tangan kecil dengan ekspresi kekaguman yang dilebih-lebihkan. "Ayah memang yang terbaik!" katanya, suaranDi ruangan yang dipenuhi ketegangan, Ratri duduk dengan gelisah. Tangan rampingnya meremas rambut sendiri, seolah mencoba mengusir kekacauan yang berputar di kepalanya. Napasnya memburu, dan suara hatinya terasa berteriak, menggema dalam keheningan yang menggigit."Ada apa dengan anak itu sebenarnya?" suaranya pecah, penuh frustrasi yang tak lagi bisa ia sembunyikan. Matanya yang penuh kecemasan menatap Jatmiko, mencoba mencari jawaban dari lelaki tua yang pernah dianggap bijaksana.Jatmiko menghela napas dalam-dalam, garis-garis tua di wajahnya semakin terlihat jelas di bawah sinar lampu yang redup. Sebelum ia sempat berbicara, Prasetya, yang duduk di sudut dengan pandangan tajam penuh pertimbangan, menyela dengan nada serius namun tak kehilangan sinisme khasnya. "Sepertinya setelah mendapatkan kekuatan itu, kakak menjadi semakin sensitif. Apalagi kalau sudah menyangkut soal istrinya."Ratri memutar bola matanya, tetapi di balik ketidaksukaannya terhadap
Sulistyo melangkah dengan langkah panjang dan tegas menuju kamar Aisyah. Suara sepatunya yang menggemakan lantai marmer terdengar seperti ketukan palu nasib yang menghantui dinding-dinding istana yang dingin. Setiap derap langkahnya seolah membawa tekanan udara yang lebih berat, membuat pelayan dan pengawal yang dilewatinya menunduk penuh rasa takut, tak satu pun berani menatap wajahnya.Ketika sampai di depan pintu kamar, dia mendorongnya tanpa mengetuk. Pintu berderit terbuka, memperlihatkan Aisyah yang sedang duduk sendirian di atas ranjang. Kepalanya sedikit tertunduk, tangannya yang lemah terlipat di pangkuan. Matanya kosong, seperti menatap sesuatu yang jauh di luar ruangan itu, jauh dari realitas yang tengah menghimpitnya."Sudahlah," suara Sulistyo memotong keheningan. "Sekarang waktunya makan siang. Aku harus menguapi istriku sendiri."Tanpa menunggu jawaban, dia berbalik dan keluar, membiarkan pintu kembali menutup dengan keras di belakangnya.
Sulistyo mengeraskan rahang, tatapan dinginnya tajam seperti belati yang siap menancap. Suaranya rendah, hampir berbisik, namun penuh ancaman. "Kenapa?" tanyanya dengan nada yang menekan. "Apa jawabanku tadi membuatmu kecewa?"Aisyah mendongak, matanya bertemu dengan tatapan Sulistyo yang membara. Dalam hatinya, ribuan kata penuh amarah memohon untuk dilepaskan. Ia ingin berteriak, memuntahkan seluruh rasa sakit yang membakar dadanya. Ia ingin mengingatkan Sulistyo betapa Mahendra, tunangannya yang telah tiada, jauh lebih bijaksana dan penuh kasih daripada tiran yang kini berdiri di hadapannya. Namun ia tahu, suara kebenaran tidak akan membebaskannya—melainkan menghancurkan apa yang tersisa dari kehidupannya yang rapuh.Dengan tangan yang gemetar, Aisyah menundukkan kepala. Ia merasakan panas air mata yang menekan di pelupuk matanya, berusaha sekuat tenaga untuk tidak membiarkannya jatuh.Sulistyo mendekat, setiap langkahnya seakan membawa udara dingin yan
Sulistyo melangkah di halaman belakang dengan tatapan kosong yang penuh kilatan amarah yang terselubung. Malam begitu sunyi, hanya ditemani desiran angin yang menggoyang dedaunan. Suara langkah sepatunya terdengar bergema, seolah-olah setiap denting adalah gema dari pikirannya yang bergejolak. Ia berhenti di bawah pohon besar, mencengkeram batangnya sejenak, jari-jarinya bergetar oleh kemarahan yang tak sepenuhnya dapat ia kuasai."Ada apa dengan anak itu?" gumamnya, matanya memandang ke langit malam yang tak memberinya jawaban. "Kenapa dia semarah itu hanya karena tidak diizinkan kuliah?"Ia terdiam, matanya menyipit. Sebuah senyum tipis muncul di bibirnya, penuh kesombongan yang dingin. "Sudahlah," bisiknya, nadanya berubah pelan dan penuh keyakinan. "Nanti juga dia akan kembali menurut padaku. Karena dia... tidak akan pernah bisa melawanku. Tidak akan pernah bisa."---Di kamar yang terasa semakin sempit, Aisyah duduk dengan lutut yang dit
Aisyah memejamkan mata, menahan perasaan jijik yang meluap-luap di dalam hatinya saat bibir Sulistyo menyentuh bibirnya. Rasa dingin dan mati rasa menyusupi tubuhnya, tapi ia bertahan. Demi hidup. Demi kesempatan untuk bertahan sedikit lebih lama."Lakukan dengan benar!" Suara Sulistyo penuh perintah. Tangannya yang besar dan kuat mencengkeram tengkuknya, menarik kepalanya lebih dekat. Ciuman itu tidak lagi hanya sentuhan; ia menjadi paksaan yang brutal, sebuah penaklukan yang mematikan rasa.Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad bagi Aisyah, Sulistyo akhirnya melepaskan cengkeramannya dan berdiri. Ia menyeringai dengan puas, seolah telah menandai kemenangannya sekali lagi. "Malam ini, kau tidur sendiri di kamarmu. Ada yang harus kupersiapkan untuk pelantikan minggu depan."Aisyah tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dengan kepala tertunduk, membiarkan Sulistyo meninggalkan kamar dengan langkah penuh keangkuhan. Begitu pintu tertutup, ia segera
Di tengah kemegahan istana yang dipenuhi sorotan kamera dan kilauan lampu, Sulistyo berdiri dengan tegak di atas podium. Senyum liciknya terukir sempurna, menampilkan gigi-gigi yang seolah siap menerkam siapa saja. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut dengan nada kemenangan yang menusuk hati."Hadirin sekalian… Kali ini kita kedatangan tamu yang sangat penting. Sekumpulan anak-anak mahasiswa. Calon-calon pemimpin negara ini di masa depan," katanya, suaranya tegas namun sarat dengan penghinaan terselubung. "Oleh karena itu, mari kita dengarkan pidato dari presiden kalian yang baru dengan saksama!"Dia mengangkat tangannya seolah memerintah dunia untuk tunduk di bawah kakinya. Sorak-sorai dari beberapa orang bayaran bergema, menciptakan ilusi bahwa Sulistyo benar-benar dihormati.Di barisan belakang, Ratri menyaksikan dengan tubuh gemetar. Matanya membelalak, ekspresinya penuh campuran antara ngeri dan tidak percaya. "Sulistyo…" bisiknya, suaranya bergeta
Setelah prosesi pelantikan Sulistyo sebagai presiden dan Prasetya sebagai wakil presiden usai, gemuruh tepuk tangan memenuhi istana. Suara riuh itu memantul di dinding-dinding megah, membentuk simfoni kepalsuan yang memekakkan telinga. Para pejabat, tamu undangan, dan tokoh-tokoh penting berdiri dengan senyum penuh sanjungan, meski sebagian besar dari mereka menelan ketakutan yang tak mampu disembunyikan di balik topeng mereka.Di luar gerbang istana, barisan mahasiswa yang dulunya berdiri tegak dengan semangat perjuangan kini tertunduk lesu. Mata mereka kosong, menyimpan trauma dari kekejaman yang baru saja mereka saksikan. Dua dari mereka telah tergeletak tak bernyawa—korban terbaru dari tangan besi Sulistyo, presiden yang kini memegang kendali penuh atas kehidupan mereka. Suara perlawanan yang dulu membakar, kini sirna. Yang tersisa hanya rasa takut yang menggerogoti jiwa.Sulistyo menatap mereka. Senyum puas terpampang di wajahnya, sebuah senyuman yang lebih me
Sulistyo berdiri di tengah tempat yang dipenuhi teriakan dan jeritan mahasiswa. Tangannya terangkat perlahan, dan dari telapak tangannya, asap hitam mulai merayap keluar, bergerak dengan kehendak yang menyerupai makhluk hidup. Asap itu menyelubungi pintu-pintu dan jendela, menutup semua jalur keluar. Suasana yang sudah mencekam berubah menjadi horor murni."Cepat keluar!" teriaknya, suaranya bergema seperti guruh di langit malam. Mata gelapnya bersinar penuh kebencian. "Jangan membuatku berubah pikiran!"Dengan satu gerakan tegas, asap hitam itu surut, membuka jalan bagi para mahasiswa yang sudah pucat pasi. Mereka berlarian, berhamburan keluar seperti kawanan domba yang diterkam serigala. Tangisan dan teriakan ketakutan mereka menggema, menyayat udara malam yang dingin. Beberapa jatuh tersungkur, sementara yang lain mendorong tanpa ampun demi menyelamatkan nyawa sendiri.Di luar, kamera-kamera televisi tetap menyala, menangkap setiap momen dengan sempurna
Malam mulai merayap ketika Aisyah dan Sulistyo kembali ke istana negara setelah kunjungan panjang ke rumah sakit. Langit kelam membayangi bangunan megah itu, dan suara gemuruh jauh dari aksi demonstrasi yang terus berlangsung, terasa seperti ancaman yang tak pernah benar-benar pergi.Mereka melangkah masuk ke kamar utama. Sulistyo melempar jasnya ke kursi dan duduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke depan, pikirannya seolah terperangkap dalam sesuatu yang tak terlihat. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan."Duduklah." Suaranya terdengar datar, namun perintah itu penuh kuasa, membuat Aisyah tanpa sadar menuruti dengan patuh. Ia duduk di samping suaminya, tangannya mengepal erat di atas pangkuannya, sementara perasaan tertekan membungkus tubuhnya seperti rantai yang tak terlihat.Sulistyo memutar tubuhnya sedikit, jemarinya yang besar dan dingin menyentuh kepala Aisyah, mengusapnya dengan sentuhan yang tampak lembut namun penuh pe
Pintu kamar terbuka perlahan, engselnya berderit seperti jeritan pelan yang menyeruak ke dalam keheningan. Sulistyo melangkah masuk dengan langkah tenang namun penuh kekuasaan, bayangannya yang panjang melintasi dinding seperti sosok kegelapan yang merayap mendekati mangsanya. Aisyah, yang sebelumnya tengah memegang ponselnya dengan tangan gemetar, dengan cepat menyembunyikan perangkat itu di bawah bantal dan membaringkan diri di ranjang. Matanya terpejam rapat, napasnya ditahan, seolah tidur adalah satu-satunya pelindung dari bencana yang berdiri di ambang pintu.Sulistyo mendekat, duduk di tepi ranjang, dan tangannya yang dingin terulur, mengusap rambut Aisyah dengan gerakan yang, di permukaan, tampak penuh kasih. Namun sentuhan itu bagaikan rantai besi yang melilit leher, menahan kebebasannya."Apa kau sudah memeriksanya?" Suaranya rendah, penuh tekanan yang terpendam. Setiap kata menembus jantung seperti pisau kecil yang perlahan menusuk. "Apa kau sudah hamil?"
Komentar-komentar di komunitas media sosial terus bergulir tanpa henti seperti arus sungai yang liar, semakin deras dan panas seiring dengan berlalunya siang. Aisyah terbaring diam di tempat tidur, cahaya ponsel memantul di wajahnya yang pucat. Jemarinya menggulir layar, matanya terpaku pada setiap kata yang muncul—setiap kalimat adalah ledakan kecil yang menghantam jiwanya, mengoyak rasa tenang yang berusaha ia pertahankan.“Tapi kau lihat sendiri apa yang terjadi pada orang-orang yang menentang Sulistyo, kan? Orang-orang sekelas Nursyid saja terancam bangkrut karena berani melawannya. Apalagi orang kecil seperti kita-kita ini?”Aisyah menelan ludah, telinganya seakan mendengar gema ketakutan yang diucapkan oleh pengguna anonim di layar.“Itu benar! Apa yang bisa kita lakukan? Lihat saja para pendemo kemarin! Dua orang mati, dan jika Sulistyo tidak berbelas kasihan, mungkin lebih banyak lagi yang akan tumbang!”“Berbelas kasihan?” pikir Aisyah de
Kolom komentar di media sosial yang selama ini menjadi arena bagi suara-suara terpendam kini dipenuhi gelombang kesedihan dan kemarahan. Ratusan pesan memenuhi layar, membentuk aliran panjang yang tak henti-hentinya bergerak, mencerminkan hati dan pikiran rakyat yang mendidih."Itu sangat mengerikan!""Benar juga, Aisyah ke mana ya? Dia sudah tidak terlihat lagi di TV atau media sosial mana pun."Setiap pesan seolah-olah menjadi sumbu yang membakar api kepedihan dan kepedulian. Mereka berbicara satu sama lain, menggema dengan rasa ingin tahu yang berbalut kecemasan."Pertanyaan bodoh! Pastinya dia sudah ditahan Sulistyo karena hampir membuatnya dihukum mati.""Aisyah yang malang… Dia hanya ingin membuka mata rakyat, menunjukkan keburukan Sulistyo. Tapi apa daya? Lawannya adalah monster yang menguasai segalanya."Nama Aisyah disebut-sebut dengan penuh kasih dan simpati, seakan-akan dia adalah simbol perjuangan yang terlupakan namu
Aisyah terbangun dari tidur siangnya dengan hati yang gelisah. Udara dalam kamar terasa berat, seolah sesak oleh rahasia dan ketakutan yang tak terlihat. Tangannya terjulur meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Dengan jantung yang berdetak cepat, ia membuka layar dan langsung menelusuri beranda media sosial yang dipenuhi berita dan komentar panas tentang Sulistyo.Berita utama yang terpampang di layar membuat matanya melebar. “Tragedi Berdarah: Dua Mahasiswa Gugur di Tangan Presiden Sulistyo.” Setiap kata terasa seperti pukulan keras yang menghantam dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi yang berkecamuk, meski jauh di lubuk hati, ia sudah tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi.Komentar-komentar dari netizen mengalir deras seperti arus sungai yang tak terbendung, penuh dengan kemarahan dan ketakutan:“Sulistyo benar-benar mengerikan! Dia membunuh dua orang mahasiswa!”“Apa dia sungguh manusia? Dia lebih seperti monste
Meja makan di aula megah itu dipenuhi makanan mewah, setiap piring tersaji dengan detail sempurna. Para pelayan bergerak seperti bayangan, menyajikan hidangan dengan penuh kehormatan. Di sekitar mereka, pejabat tinggi dan orang-orang berpengaruh bercakap-cakap, membicarakan nasib rakyat yang bagi mereka hanyalah angka-angka di atas kertas.Aisyah duduk dengan tenang di sisi Sulistyo, matanya memandang lurus ke depan, tapi pikirannya melayang jauh dari hiruk-pikuk. Orang-orang berlalu-lalang, wajah-wajah yang penuh tipu daya dan senyum palsu yang memuja kekuasaan. Sesekali ia menangkap mata yang menatapnya dengan iri, wajah-wajah wanita yang ingin berada di posisinya. Mereka tidak tahu. Mereka hanya melihat kemewahan dan kemuliaan, bukan rantai tak terlihat yang membelenggu jiwa.Sulistyo menoleh, menatap Aisyah dengan senyum yang tampak hangat, meski ada sesuatu yang dingin dan menguasai di balik matanya. Tangannya terulur, menyibakkan rambut Aisyah dengan lembut,
Sulistyo berdiri di tengah tempat yang dipenuhi teriakan dan jeritan mahasiswa. Tangannya terangkat perlahan, dan dari telapak tangannya, asap hitam mulai merayap keluar, bergerak dengan kehendak yang menyerupai makhluk hidup. Asap itu menyelubungi pintu-pintu dan jendela, menutup semua jalur keluar. Suasana yang sudah mencekam berubah menjadi horor murni."Cepat keluar!" teriaknya, suaranya bergema seperti guruh di langit malam. Mata gelapnya bersinar penuh kebencian. "Jangan membuatku berubah pikiran!"Dengan satu gerakan tegas, asap hitam itu surut, membuka jalan bagi para mahasiswa yang sudah pucat pasi. Mereka berlarian, berhamburan keluar seperti kawanan domba yang diterkam serigala. Tangisan dan teriakan ketakutan mereka menggema, menyayat udara malam yang dingin. Beberapa jatuh tersungkur, sementara yang lain mendorong tanpa ampun demi menyelamatkan nyawa sendiri.Di luar, kamera-kamera televisi tetap menyala, menangkap setiap momen dengan sempurna
Setelah prosesi pelantikan Sulistyo sebagai presiden dan Prasetya sebagai wakil presiden usai, gemuruh tepuk tangan memenuhi istana. Suara riuh itu memantul di dinding-dinding megah, membentuk simfoni kepalsuan yang memekakkan telinga. Para pejabat, tamu undangan, dan tokoh-tokoh penting berdiri dengan senyum penuh sanjungan, meski sebagian besar dari mereka menelan ketakutan yang tak mampu disembunyikan di balik topeng mereka.Di luar gerbang istana, barisan mahasiswa yang dulunya berdiri tegak dengan semangat perjuangan kini tertunduk lesu. Mata mereka kosong, menyimpan trauma dari kekejaman yang baru saja mereka saksikan. Dua dari mereka telah tergeletak tak bernyawa—korban terbaru dari tangan besi Sulistyo, presiden yang kini memegang kendali penuh atas kehidupan mereka. Suara perlawanan yang dulu membakar, kini sirna. Yang tersisa hanya rasa takut yang menggerogoti jiwa.Sulistyo menatap mereka. Senyum puas terpampang di wajahnya, sebuah senyuman yang lebih me
Di tengah kemegahan istana yang dipenuhi sorotan kamera dan kilauan lampu, Sulistyo berdiri dengan tegak di atas podium. Senyum liciknya terukir sempurna, menampilkan gigi-gigi yang seolah siap menerkam siapa saja. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut dengan nada kemenangan yang menusuk hati."Hadirin sekalian… Kali ini kita kedatangan tamu yang sangat penting. Sekumpulan anak-anak mahasiswa. Calon-calon pemimpin negara ini di masa depan," katanya, suaranya tegas namun sarat dengan penghinaan terselubung. "Oleh karena itu, mari kita dengarkan pidato dari presiden kalian yang baru dengan saksama!"Dia mengangkat tangannya seolah memerintah dunia untuk tunduk di bawah kakinya. Sorak-sorai dari beberapa orang bayaran bergema, menciptakan ilusi bahwa Sulistyo benar-benar dihormati.Di barisan belakang, Ratri menyaksikan dengan tubuh gemetar. Matanya membelalak, ekspresinya penuh campuran antara ngeri dan tidak percaya. "Sulistyo…" bisiknya, suaranya bergeta