Share

Bab 108

Penulis: Sylus wife
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-11 19:04:53

Aisyah memalingkan wajah, matanya tertuju pada balkon terbuka yang diterangi cahaya bulan. Suara gaduh dari luar masih terdengar, gema teriakan protes dan tuntutan keadilan memantul di sepanjang dinding istana. Wajah-wajah berteriak, tubuh-tubuh yang lelah namun tak menyerah, terus berjuang meski malam telah larut.

"Omong-omong…" suaranya pelan, hampir seperti bisikan. "Orang-orang itu masih terus demo meskipun sudah malam."

Sulistyo yang bersandar dengan santai di sisi tempat tidur, mengangkat alis dan mengikuti arah pandangan Aisyah. Matanya yang gelap berkilat dingin. "Kenapa? Apa kau merasa sangat terganggu hingga tidak bisa tidur?" katanya dengan nada sinis. "Haruskah aku memerintah polisi yang berjaga di depan untuk menembakkan gas air mata?"

Nada ancaman dalam suaranya bagaikan pisau yang menggores hati Aisyah. Ia menoleh cepat, matanya membelalak panik. "Tidak! Tidak perlu! Tolong… biarkan saja mereka seperti itu. Jika mereka sudah lelah, mereka ju
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 1

    "Tolong! Siapa pun! Tolong aku!”Teriakan memilukan menggema di sebuah aula besar yang gelap dan sepi dalam istana negara. Suara tangisan seorang gadis muda berusia 19 tahun merobek keheningan malam, memohon belas kasihan yang tak kunjung datang. Tubuhnya tergeletak tak berdaya, mencoba melawan kekuatan seorang pria yang memaksanya. Di atasnya, wajah dingin Sulistyo Nugroho—calon wakil presiden yang segera dilantik—tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Dia tersenyum sinis di tengah jeritan itu, seolah menikmati kekuasaannya yang tak tergoyahkan. Di sisi lain, gadis itu menggigil, air matanya bercampur rasa sakit dan kehinaan yang tak dapat ia ungkapkan. Tidak ada saksi, hanya dinding-dinding dingin yang membisu di aula megah itu.---Sejak dua minggu setelah kejadian itu, Aisyah terbaring diam di kamar kecilnya. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya karena luka fisik, tetapi juga rasa jijik dan hina yang menusuk batinnya. Ia menatap langit-langit kamar dengan mata sembab, air matanya t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 2

    Tiga hari kemudian, Aisyah duduk di depan meja rias, wajahnya dingin seperti porselen. Beberapa MUA sibuk merapikan riasannya, namun suasana di ruangan itu terasa berat, penuh ketegangan yang tak terlihat. Hanya suara lembut kuas bedak yang berbisik di udara, menemani keheningan yang menggantung. "Wah, calon istri wakil presiden kita memang luar biasa cantik! Tidak heran kalau calon wakil presiden yang katanya dingin itu bisa jatuh hati. Rupanya pengibar bendera tidak hanya ahli mengibarkan bendera, tapi juga perasaan pria seperti seorang calon wakil presiden!" ujar salah satu MUA yang tampaknya berusaha mencairkan suasana. Aisyah meliriknya sekilas dari balik cermin, senyum tipis terukir di bibirnya. Namun, itu bukan senyum ramah, melainkan senyuman yang dingin dan penuh ketidaksenangan. Ekspresinya cukup untuk membuat orang di sekitarnya merasa kecil. "Fokus saja merias," tegur seorang MUA lain, menyenggol rekannya pelan. MUA yang cerewet itu mendengus kecil, tetapi segera me

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 3

    Malam pertama setelah pesta pernikahan itu terasa seperti neraka bagi Aisyah. Ia duduk di depan cermin besar, berusaha melepas konde yang terasa seperti belenggu di kepalanya. Gerakannya lambat, hampir tanpa tenaga. Wajahnya memucat, menahan rasa lelah dan kehinaan yang menghimpit.Sulistyo berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat di dada, matanya mengawasi Aisyah seperti seekor elang. Tatapannya tajam, dipenuhi kebencian yang tak berusaha ia sembunyikan.Aisyah tahu, pria itu tidak berniat menyembunyikan rasa muaknya terhadap dirinya. Namun, ia hanya bisa diam, tangannya gemetar saat mencoba membuka sanggul yang sudah membuat kepalanya nyeri. "Apalagi yang dia mau dariku?" batinnya, tapi ia tak punya keberanian untuk berkata sepatah kata pun.Sulistyo akhirnya angkat bicara, suaranya tajam menusuk. "Ini semua salahmu. Jangan bertingkah seperti korban."Aisyah terhenti sejenak, tapi tak berani berbalik. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat. "Korban? Aku memang korban... Semua oran

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 4

    Pagi itu, langkah berat terdengar mendekati kamar Aisyah. Pintu terbuka dengan kasar, dan Ratri, ibu Sulistyo, masuk dengan tatapan tajam. Tanpa mengatakan apapun, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Aisyah dengan gerakan penuh emosi.“Jam segini masih tidur? Bangun!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu.Aisyah membuka mata perlahan, tubuhnya terasa remuk. Wajahnya yang memar tampak lesu, dan nafasnya masih tersengal akibat malam yang panjang. “Aku sudah bangun sejak jam tiga tadi,” gumamnya lirih.“Lalu kenapa kembali tidur? Cepat bangun! Kau pikir hidupmu di sini untuk bermalas-malasan?” Ratri menarik tangan Aisyah dengan kasar, membuat tubuhnya limbung.Aisyah berusaha duduk, menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan dingin yang ia berikan. “Apa lagi?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.“Kau itu sudah jadi istri! Cepat ke dapur dan siapkan sarapan untuk suamimu!” perintah Ratri, nadanya penuh otoritas.Aisyah m

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 5

    Aisyah duduk di atas ranjang rumah sakit, mengenakan pakaian pasien yang longgar. Wajahnya datar, matanya malas menatap orang-orang di sekelilingnya. Ratri berdiri di depan dokter, raut wajahnya tampak khawatir—atau lebih tepatnya, pura-pura khawatir.“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ratri dengan nada yang dibuat cemas.Dokter wanita itu tersenyum tipis, mencoba menciptakan suasana tenang. “Ananda Aisyah tidak mengalami keguguran,” jawabnya tenang.Aisyah mendesah pelan, pandangannya beralih pada dokter. “Kalau begitu, kenapa bagian bawah tubuh saya mengeluarkan begitu banyak darah?” tanyanya, nadanya terdengar santai, seolah rasa sakit yang dirasakannya tak berarti apa-apa.Dokter memperhatikan Aisyah sejenak sebelum menjawab dengan profesional, “Pendarahan itu bukan karena keguguran. Melainkan karena luka robek di dinding vagina akibat hubungan seksual yang terlalu kasar.”Ruangan itu langsung hening. Semua mata kini beralih pada Sulistyo, yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 6

    Setelah tiga bulan berlalu, sikap keluarga Sulistyo mulai berubah. Perut Aisyah yang semakin membesar menjadi perhatian utama, terutama bagi Ratri. Kehamilan itu kini menjadi alasan mereka menunjukkan perhatian yang terasa ganjil—lebih seperti kewajiban daripada kasih sayang tulus."Nak, kemarilah. Waktunya makan," panggil Ratri dengan nada lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja makan.Aisyah melangkah perlahan menuju dapur. Perutnya terasa semakin berat, tubuhnya sedikit condong ke depan karena bayi di dalam kandungannya yang mulai membesar."Wah, cucu nenek sudah besar saja," ujar Ratri sambil tersenyum, tangannya mengusap perut Aisyah dengan lembut. "Baru tiga bulan, tapi perkembangannya luar biasa."Ratri menatap menantunya dengan pandangan yang sulit diterka. "Kau juga terlihat lebih cantik sekarang, setelah Sulistyo... yah, berhenti memperlakukanmu dengan buruk." Tangannya berpindah mengusap pipi Aisyah yang kini terlihat lebih segar. "Kulitmu halus sekali, membuat ibu ja

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 7

    Keesokan harinya, istana negara dipadati para menteri, petinggi negara, dan tamu undangan penting. Hari itu adalah momen bersejarah: pelantikan presiden dan calon wakil presiden untuk periode terbaru. Di salah satu kamar megah istana, Aisyah berdiri di depan cermin besar, menatap bayangannya dengan ekspresi muram. Tubuhnya yang ramping dibalut kebaya ketat berwarna emas, dipadukan dengan kain canting bermotif khas adat Javanagara. Rambutnya yang biasa dibiarkan terurai kini ditata rapi menjadi konde, dihias ornamen kecil yang memantulkan kilauan cahaya. Ia menghela napas panjang, kedua tangannya meraba lembut perutnya yang sedikit membuncit. Rasa tidak nyaman semakin menguat. "Kenapa harus begini?" gumamnya pelan, hampir berbisik. "Aku bahkan tidak bisa bernapas lega. Rasanya sesak sekali... Bagaimana kalau ini membahayakan bayiku?" Aisyah memutar bola matanya, lalu menunduk, melihat kain yang membungkus tubuhnya terlalu erat. "Tidak bisakah aku mengenakan sesuatu yang lebih longga

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 8

    Ruangan itu terasa dingin dan sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang terus berbunyi monoton. Aisyah perlahan membuka matanya, cahaya putih menyilaukan dari lampu di langit-langit menyambut pandangannya. Ia menyadari dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya begitu lemah. Namun, suara-suara tajam mulai menusuk telinganya, menghancurkan keheningan. "Dia sudah keguguran," suara dingin itu mengoyak kesadarannya. "Dia sudah tidak berguna lagi!" sambung yang lain, penuh kebencian. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Aisyah mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasa sakit di seluruh tubuhnya membuatnya hanya bisa terbaring. Ia memandang sekeliling dengan lemah, menemukan orang-orang yang seharusnya menjadi keluarganya menatapnya dengan penuh penghinaan. "Lihatlah dia! Sia-sia saja kita bersikap baik padanya, namun dia malah keguguran!" Ratri, ibu Sulistyo, berkata dengan nada sinis, kini tanpa basa-basi menyembunyikan kebenciannya. "

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30

Bab terbaru

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 108

    Aisyah memalingkan wajah, matanya tertuju pada balkon terbuka yang diterangi cahaya bulan. Suara gaduh dari luar masih terdengar, gema teriakan protes dan tuntutan keadilan memantul di sepanjang dinding istana. Wajah-wajah berteriak, tubuh-tubuh yang lelah namun tak menyerah, terus berjuang meski malam telah larut."Omong-omong…" suaranya pelan, hampir seperti bisikan. "Orang-orang itu masih terus demo meskipun sudah malam."Sulistyo yang bersandar dengan santai di sisi tempat tidur, mengangkat alis dan mengikuti arah pandangan Aisyah. Matanya yang gelap berkilat dingin. "Kenapa? Apa kau merasa sangat terganggu hingga tidak bisa tidur?" katanya dengan nada sinis. "Haruskah aku memerintah polisi yang berjaga di depan untuk menembakkan gas air mata?"Nada ancaman dalam suaranya bagaikan pisau yang menggores hati Aisyah. Ia menoleh cepat, matanya membelalak panik. "Tidak! Tidak perlu! Tolong… biarkan saja mereka seperti itu. Jika mereka sudah lelah, mereka ju

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 109

    Keesokan paginya, deru mesin jet pribadi memecah langit pagi yang biru. Di dalam kabin yang mewah, Aisyah duduk diam di samping jendela, matanya menatap ke luar dengan pandangan kosong. Sayap pesawat mengiris awan-awan putih, dan jauh di bawah sana, dunia yang ia kenal tampak begitu kecil dan tidak berarti. Namun di dalam hatinya, sebuah badai berkecamuk—badai rasa bersalah, amarah yang dipendam, dan ketidakberdayaan yang membelenggu.Sulistyo duduk di sampingnya, dengan senyum penuh kemenangan di wajahnya yang tampan namun penuh tipu daya. "Aisyah," suaranya terdengar penuh rasa bangga, "hari ini aku ingin memamerkan sesuatu yang sangat berharga. Salah satu pulau terpencil yang sudah kubeli dengan uangku sendiri. Harta karun pribadiku."Aisyah menunduk, menyembunyikan kilatan benci yang tak sanggup ia tunjukkan di hadapannya. "Bukan uangmu," gumamnya dalam hati, setiap kata terasa seperti pisau yang menorehkan luka di jiwanya. "Itu uang rakyat. Keringat dan darah

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 108

    Aisyah memalingkan wajah, matanya tertuju pada balkon terbuka yang diterangi cahaya bulan. Suara gaduh dari luar masih terdengar, gema teriakan protes dan tuntutan keadilan memantul di sepanjang dinding istana. Wajah-wajah berteriak, tubuh-tubuh yang lelah namun tak menyerah, terus berjuang meski malam telah larut."Omong-omong…" suaranya pelan, hampir seperti bisikan. "Orang-orang itu masih terus demo meskipun sudah malam."Sulistyo yang bersandar dengan santai di sisi tempat tidur, mengangkat alis dan mengikuti arah pandangan Aisyah. Matanya yang gelap berkilat dingin. "Kenapa? Apa kau merasa sangat terganggu hingga tidak bisa tidur?" tanyanya dengan nada sinis. "Haruskah aku memerintah polisi yang berjaga di depan untuk menembakkan gas air mata?"Nada ancaman dalam suaranya bagaikan pisau yang menggores hati Aisyah. Ia menoleh cepat, matanya membelalak panik. "Tidak! Tidak perlu! Tolong… biarkan saja mereka seperti itu. Jika mereka sudah lelah, mereka juga akan kembali pulang ke ru

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 106

    Sulistyo membuka pintu kamar tanpa mengetuk, langkah kakinya mantap seakan kamar itu adalah singgasana yang harus tunduk kepadanya. Cahaya remang dari lampu meja memantulkan bayangannya yang tinggi dan menekan ke setiap sudut ruangan. Matanya yang tajam segera menangkap Aisyah yang duduk di tepi ranjang, jemarinya sibuk mengetuk layar ponsel dengan gerakan cemas namun tenang di permukaan.Dia tidak mengatakan apa-apa saat berjalan mendekat, hanya meraih ponsel dari tangan Aisyah dengan satu gerakan cepat. Ponsel itu berpindah ke tangannya seolah memang haknya, bukan milik istrinya. Mata mereka bertemu. Mata Sulistyo menyala, penuh kendali. “Jangan pernah melihat hal lain jika aku ada di sini,” katanya dengan suara rendah yang lebih dingin daripada malam paling gelap.Aisyah, yang sudah terbiasa dengan tatapan tajam seperti belati itu, tidak memberontak. Dia menatap balik, lalu mengangguk perlahan.Sulistyo tersenyum tipis. Kepatuhan seperti itu selalu memb

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 105

    “Baiklah, Anisa. Nanti akan aku hubungi lagi. Untuk sekarang memang ada pengurangan jumlah karyawan dan brand ambassador,” ujar Nursyid di ujung telepon, suaranya lebih rendah dari biasanya, seperti menahan emosi. “Kau tahu sendiri bagaimana si biadab Sulistyo itu sudah membuat segalanya melambung tinggi.” Anisa menggenggam ponselnya erat, rasa resah merayapi hatinya. Suara Nursyid masih terngiang-ngiang di telinganya, penuh perhatian namun terselip ketegasan yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ketika dia menyebut soal pengurangan karyawan dan kenaikan harga barang akibat kebijakan Sulistyo, tubuhnya terasa lebih berat. Seolah beban yang menumpuk di pundaknya semakin menindih, sulit bernapas. Anisa hanya bisa tertawa kecil, bukan karena lucu, melainkan sebagai pelarian dari rasa frustasi yang membekap. “Aku sampai berhutang lima ribu di warung. Uang yang kuberi ke adikku kurang. Aku bahkan tidak ingat kalau aturan meresahkan itu mu

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 104

    Anisa menatap ponselnya yang retak di beberapa sudut, bekas terkena lemparan penuh amarah. Sulistyo pernah melemparkannya saat asap hitam yang dia kendalikan membentuk bilah tajam yang menghantam ponsel di tangannya saat Anisa sedang merekam perlakuan kejam Sulistyo pada adiknya, Aisyah. Layar yang kini berjejak seperti sarang laba-laba masih bisa menyala, meski sedikit berkedip-kedip."Untung saja masih bisa berfungsi," gumam Anisa, mencoba menghibur dirinya sendiri meski perasaan gelisah menyelimutinya."Kak, pinjam! Pinjam ponselnya, Kak!" Suara Aqila memecah keheningan. Gadis kecil itu melompat-lompat, tangannya yang mungil berusaha meraih ponsel dari genggaman Anisa."Tidak!" Anisa dengan cepat mengangkat ponselnya tinggi-tinggi, menjauhkannya dari jangkauan adiknya. "Ini bukan untuk mainan! Kakak perlu menghubungi seseorang. Kakak harus cari kerja tambahan."Aqila mengerucutkan bibirnya, tetapi Anisa sudah melangkah pergi ke kamar. Pintu kam

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 103

    Setelah beberapa saat hening, Nursyid akhirnya membuka suara dengan nada yang hampir berbisik, penuh kehati-hatian. "Omong-omong, apa aku boleh tahu... tentang keadaan Aisyah?" Sulistyo mengangkat sebelah alis, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Kenapa kau menanyakan istriku?" suaranya mengeras seperti ancaman tersembunyi. "Apa yang sebenarnya kau inginkan darinya?" Nursyid mencoba tertawa kecil, tetapi suaranya goyah. "Bukan seperti itu... Maksudku... Aisyah sudah aku anggap seperti adikku sendiri. Kita sering bertemu di acara-acara resmi... bermain peran... berbincang seperti—" Sulistyo menyela tajam sebelum Nursyid bisa menyelesaikan kalimatnya. "Adik, atau sekutu?" Keringat dingin mulai mengalir di pelipis Nursyid. Tenggorokannya tercekat. "T-tentu saja... hanya sebagai saudara. Tidak lebih..." Sulistyo membiarkan keheningan menggantung di antara mereka, menikmati rasa takut

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 102

    Nursyid terduduk dengan tatapan kosong di ruang kerjanya yang megah namun terasa semakin mencekik. Kertas-kertas laporan berserakan di sekitarnya, seolah menjadi bukti nyata betapa cepat segalanya merosot ke jurang kehancuran. Ia meremas rambutnya dengan tangan yang gemetar, mendesah panjang seakan setiap helaan napas mencuri sisa kekuatannya.“Ini benar-benar tidak normal!” gumamnya dengan suara serak. “Apa yang harus kulakukan sekarang?”Kemarahan yang lama tertahan akhirnya meledak. Dengan satu pukulan keras, ia menghantam meja di depannya. Dentuman kayu bergema, melukai keheningan ruangan. Ia mengatupkan rahangnya, giginya berderak saat ia menahan umpatan yang ingin keluar.“Sulistyo, kau iblis sialan!” desisnya. “Tak ada pilihan lagi selain menjilatmu! Hanya itu... hanya itu satu-satunya jalan!”Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Jemarinya menggantung di atas layar, ragu dan penuh kebencian pada dirinya sendiri. “Harga diri

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 101

    Sulistyo kembali menutup pintu kamar dengan suara yang berat, suara kunci yang berputar menjadi tanda bahwa dunia Aisyah telah tertutup rapat dari dunia luar. Ia merasa telah melindunginya—mengurungnya di tempat yang ia anggap aman dari semua yang bisa menyakitinya. Namun bagi Aisyah, kamar dingin itu tak lebih dari sangkar yang merampas kebebasan dan harapan kecil untuk menghirup udara bebas. Di dalam ruang sempit dan gelap itu, dia hanyalah burung tanpa sayap, bersembunyi di balik jeruji yang terbuat dari kepemilikan dan obsesi.Sulistyo melangkah meninggalkan kamar, pintu terkunci di belakangnya seolah mengunci juga nuraninya yang sudah lama menghilang. Langkahnya yang santai bergema di sepanjang lorong yang berhiaskan kekuasaan dan kehampaan, membawa dirinya menuju ruang presiden yang kini menjadi singgasananya.Dia duduk di kursi besar, tubuhnya bersandar dengan penuh percaya diri, tangannya menggenggam sandaran kursi seolah dunia ada dalam genggamannya. Tidak

DMCA.com Protection Status