All Chapters of Rahasia Hati: Terperangkap Menjadi Istri Kedua CEO Dingin : Chapter 121 - Chapter 130

378 Chapters

121. H-1 Wedding Day

Zain tampak tercenung untuk beberapa lama. Pemuda itu bergeming dengan bibirnya yang terbuka tanpa suara hingga ia mengulangi apa yang baru saja disampaikan oleh Alaric. “Tes ... DNA?” “Iya, lihat apakah itu cocok denganku atau tidak,” jawab Alaric teriring kedua bahunya yang merosot. “Tapi jika boleh tahu, untuk apa Anda ingin melakukan tes kecocokan DNA antara Anda dan Nona Lilia, Tuan?” tanya pemuda itu, seperti tidak ingin memendam rasa penasarannya seorang diri. “Apa ada yang saya lewatkan di sini?” Alaric mengangguk, “Aku pikir dia adalah anakku yang hilang, Zain,” jawab Alaric. “Maksudnya Nona Leonora?” “Iya, Leonora yang hilang pada hari kecelakaan Agatha Countess, istriku terdahulu.” “Anda yakin?” Zain masih menunduk, mensejajarkan pandangannya pada sang tuan yang meremas erat setir bundar di hadapannya. “Ada beberapa kemiripan yang baru aku sadari,” ungkapnya. “Kamu harusnya juga ingat bagaimana perawat di rumah sakit mengatakan kami berdua mirip. Tanda lahir yang aku
last updateLast Updated : 2025-01-11
Read more

122. Jangan Menjadi Bintang Sendiri ....

‘Oh Tuhan—‘ Lilia dengan cepat kembali menutup pintu saat asap yang mengepul dari luar itu memaksa untuk masuk. Bara apinya yang telah menghabisi setiap benda di luar pasti akan tiba di kamar ini sebentar lagi. Lilia berlari ke arah ranjang, mengangkat Keano yang tengah terlelap ke gendongannya. Ia dekap anak lelakinya itu dengan erat. “Ada apa, Mama?” tanya Keano dengan suara yang serak, bocah kecil itu pasti terkejut karena Lilia tiba-tiba menggendongnya. Lilia tak menjawabnya. Kepanikan melandanya dalam sesaat. Ia melangkah mundur hingga punggungnya nyaris membentur dinding. Suara pintu berderak akibat dilahap api. Suara retakannya semakin lama semakin nyaring. Ruangan yang tadinya sejuk telah berubah menjadi panas. Lilia menoleh ke arah jendela, ia berpikir masih bisa melarikan lewat jendela tersebut. Tapi saat ia membawa Keano ke sana, ia menjumpai bahwa dari arah luar apinya justru lebih besar. Kobarannya menjebak Lilia dan Keano, memerangkap mereka. Lilia berteriak me
last updateLast Updated : 2025-01-11
Read more

123. Ketenangan Sebelum Badai

William membuka matanya saat mendengar suara klakson yang datang dari belakang mobilnya. Sebuah mobil pemadam kebakaran melintas mendahuluinya. Bahkan bukan hanya satu melainkan tiga sekaligus, berpacu sangat laju membuat Giff yang duduk di balik kemudi memilih untuk mengalah dan membiarkan mereka berlalu lebih dulu. Sirinenya memecah keheningan jalan yang mengantar William menuju ke vila yang akan ia tuju. Ia baru saja memejamkan matanya selama sepuluh menit di kursi belakang sejak mereka keluar dari Velox Corp. William mengeluh kepalanya sedikit pusing dan sekretarisnya itu memintanya agar tidur saja selama perjalanan. Tapi baru beberapa saat hal itu ia lakukan, klakson mobil pemadam kebakaran mengejutkannya. “Apa ada kebakaran?” tanya William seraya memandang jendela yang menunjukkan keadaan di luar yang mula ia gelap—tanda ia sedikit lambat menepati janjinya pada Lilia dan Keano untuk kembali ke vila setelah lewat tengah hari. “Sepertinya begitu, Tuan William,” jawab Giff da
last updateLast Updated : 2025-01-12
Read more

124. Hancur Berkeping-keping

Para pemadam kebakaran dan tiga unit mobil yang ada di sana bahu-membahu memadamkan api. Jerit tangis orang-orang memenuhi telinga William, mengiringi tanya lantang yang keluar dari bibirnya, mencari Lilia dan Keano. “Kenapa mereka tidak ada di sini?” tanya William sekali lagi, kedua tangan besarnya merenggut kerah kemeja yang dikenakan oleh Giff, agar pemuda itu memberinya jawaban sebagai imbal balik karena telah mencegahnya untuk tak mendekat. “Mereka pasti ada di suatu tempat,” jawab Giff. “Tolong tenanglah! Tidak ada gunanya berlari ke sana! Anda hanya akan melukai diri Anda sendiri, William Quist!” Rahang tegas Giff mengetat, tegang seperti milik William. Tuannya itu mengatur napasnya yang sesak memburu, naik turun tanpa aturan hingga kedua tangannya yang mencengkeram kerah lehernya mengendur dan pergi dari hadapannya. William berjalan melewati Giff, membiarkan lengan mereka berbenturan saat ia melangkah dan memindai satu demi satu mereka yang ada di sana. Para pelayan milik
last updateLast Updated : 2025-01-12
Read more

125. Waktu Telah Berhenti

Langit malam seakan runtuh. Mata William terpejam dengan sebulir air mata setelah petugas pemadam kebakaran mengatakan hal itu. Bibirnya mengatup rapat, terpasung bisu tak mampu bicara. “Lalu apa yang akan dilakukan setelah ini, Pak?” tanya Giff karena William seperti terus akan bergeming selamanya. “Petugas forensik akan datang untuk melihat ke lokasi kejadian, Pak,” jawabnya. “Mereka akan mengidentifikasi untuk menemukan penyebab kebakaran terjadi. Mendengar dari keterangan beberapa saksi yang mengatakan bahwa Bu Lilia dan Keano berada di dalam kamar, seharusnya tulang mereka akan ditemukan di sana nanti. Petugas yang ada di lapangan akan memberitahu Anda.” “Baik, terima kasih.” Giff menundukkan kepalanya sedang pria berbalut seragam itu kemudian undur diri. Menyisakan Giff yang masih merangkul kuat-kuat bahu William yang dirasanya perlahan menegang. Keheningan yang tadi disuguhkannya hancur saat suara paraunya terdengar. “Tulang?” tanyanya hampir tak terdengar. “Dia
last updateLast Updated : 2025-01-12
Read more

126. Meraba Takdir Semesta

“Artinya ... mereka masih memiliki peluang untuk hidup?” tanya William memperjelas. “Benar,” jawab pria dengan kemeja hitam tersebut. “Tapi kami tidak janji ya, Pak ... kami masih menelusuri setiap sisi di dalam bangunan juga, ada kemungkinan mereka ditemukan di tempat lain.” William tidak suka dengan kemungkinan yang ke dua. ‘Mereka ditemukan di tempat lain’ itu adalah sesuatu yang tidak baik. Bangunan ini telah luluh-lantak. Jika ditemukan pun ... William tak akan memeluk mereka secara utuh. Ia menghela dalam napasnya, memilih untuk tidak menjawab dan pergi dari sana. Oxford yang ia kenakan menginjak puing-puing bangunan, tumpukan debu dan material yang tak berbentuk. Vila besar miliknya itu hanya tinggal nama. William terus berjalan hingga ia berhenti di sebelah timur vila. Tempat yang saat ia pergi kemarin tengah dihias dengan berbagai macam bunga segar itu tampak lusuh dan menyedihkan. Rerumputan hijaunya menghitam, sebagian pohon di sekitarnya hampir tumbang setelah dilaha
last updateLast Updated : 2025-01-13
Read more

127. Aku Rindu, Tapi Kau Tak Peduli

Sejak pencarian terhadap Lilia dan Keano dihentikan, William akhirnya kembali ke kota. Ia tak lagi tinggal di vila milik temannya yang lebih dari seminggu ia tempati. Rumahnya terasa hampa, tidak ada tawa Keano atau suara manis Lilia yang biasa memanggil anak lelakinya itu dengan sangat keibuan. ‘Sayang … jangan lari-larian, coba berjalan lebih pelan.’ ‘Baik, Mama.’ Suara mereka seakan mencemari indera pendengar William, membuatnya merasakan rindu yang hebat. Ia tengah duduk di dalam kamar Keano pada petang hari ini. Entah berapa lama ia di sana, menunduk dengan keadaan dada yang sesak dan dirundung luka. Benaknya terus saja mengatakan bahwa Keano serta Lilia sedang pergi ke suatu tempat dan nanti akan pulang. Tapi … saat melihat ranjang kosong yang terasa dingin ini, William tersadar dari pengandaian panjang, bahwa semua itu hanyalah harapan semu. Ia mengangkat wajahnya pada pintu yang terbuka dan menunjukkan kedatangan Agni—Kepala Pelayan—yang menatapnya dengan khawatir. Wan
last updateLast Updated : 2025-01-13
Read more

128. Kembalilah Meski Tak Utuh

Sebuah pagi yang mendung saat William menginjakkan kakinya di sepanjang rumput hijau bak permadani yang membentang di tempat ini. Kepalanya tertunduk hingga langkahnya terhenti di depan sebuah nisan bertuliskan namanya yang cantik—Ivana Roseanne. Tadinya, William ingin pergi sendiri, tetapi Giff tak mengizinkannya sehingga pemuda itu mengantarnya dan menunggunya di depan. William mengarahkan tangannya ke depan, ia letakkan buket bunga yang dibawanya ke samping nisan mendiang istrinya itu sebelum suaranya yang parau terdengar. “Maaf, Ivana ….” ucapnya. “Maaf untuk sudah sangat lama tidak mengunjungimu.” Kedua tangannya terkepal erat, jemarinya yang saling merapat itu terasa kebas saat ia dengan berat hati harus mengakui kegagalannya. “Aku gagal,” katanya. “Aku gagal memenuhi janjiku padamu untuk menjaga Keano dan Lilia. Semuanya sudah usai, kamu sudah bertemu dengan mereka di sana, bukan?” William tertawa lirih, menertawakan dirinya yang akhirnya berdiri seorang diri setel
last updateLast Updated : 2025-01-13
Read more

129. Dia Yang Dihancurkan Dalam Semalam

“Kenapa kosong?” tanya Giff lebih dulu saat mereka selangkah masuk ke dalam ruang rawat VVIP itu. Tadinya, William mengira salah kamar, tapi benar … ini adalah ruangan di mana ia berulang kali berbincang dengan Alya jika ia ikut Lilia menjenguk ibunya. “Apa Ibu dipindah ke kamar lain?” tanya William balik seraya melangkah pergi dari sana. “Rasanya tidak, Tuan.” “Coba kamu tanyakan ke administrasi, Giff,” titah William yang bersambut anggukan dari sekretarisnya itu. “Baik,” jawabnya. Mereka berjalan meninggalkan ruang rawat Alya dan tiba di meja informasi terdekat. William berdiri menunggu di belakang Giff saat pemuda itu bertanya pada beberapa perawat yang ada di sana. Melihat dari samping ekspresi terkejut Giff, sepertinya saat ia melangkah mendekat padanya nanti yang dibawanya itu bukanlah kabar yang baik. “Apa yang mereka katakan?” tanya William saat Giff sudah tiba di hadapannya. “Mereka bilang Bu Alya pergi karena pengobatannya sudah selesai, Tuan William,” jawab Giff. “
last updateLast Updated : 2025-01-14
Read more

130. Kedatangan Yang Tak Diharapkan

William bergeming memandang telapak tangannya yang ada di perut Gretha. Seperti yang pernah ia bicarakan dengan Giff, bahwa perut wanita ini berukuran lebih besar daripada usia janin yang seharusnya. William memandang melalui sudut matanya saat mendengar suara Nyonya Bertha yang duduk di seberang meja menyahut, “Mungkin saja ini yang terbaik yang diberikan untuk kamu, Liam,” tuturnya dengan tersenyum manis. “Terima saja … kamu akan kembali bisa memiliki keluarga bahagia setelah ini.” “Jangan kelewatan, Bertha!” tegur Tuan Alaric pada sang istri. “Kita semua tahu ini adalah waktu duka cita, sebaiknya berhenti mengatakan hal seperti itu!” Nyonya Bertha mendengus mendengar teguran itu sementara ayahnya William yang berada di sana tampak melihat pemandangan itu dengan wajah yang tegang. William membiarkan semua kebisingan itu terjadi sebelum ia menarik tangannya dari perut Gretha dengan kasar, membuat tangan sang Ibu yang menggenggamnya terlempar dengan cara yang sama. Nyonya Donna t
last updateLast Updated : 2025-01-14
Read more
PREV
1
...
1112131415
...
38
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status