☺️🥹🥹 Kisahnya William Lilia Keano baru saja dimulai .... jangan lupa tinggalkan jejak dan Gems buat Thor, makasiiihh akak semua udah membaca 🤗🤗😘
William membuka matanya saat mendengar suara klakson yang datang dari belakang mobilnya. Sebuah mobil pemadam kebakaran melintas mendahuluinya. Bahkan bukan hanya satu melainkan tiga sekaligus, berpacu sangat laju membuat Giff yang duduk di balik kemudi memilih untuk mengalah dan membiarkan mereka berlalu lebih dulu. Sirinenya memecah keheningan jalan yang mengantar William menuju ke vila yang akan ia tuju. Ia baru saja memejamkan matanya selama sepuluh menit di kursi belakang sejak mereka keluar dari Velox Corp. William mengeluh kepalanya sedikit pusing dan sekretarisnya itu memintanya agar tidur saja selama perjalanan. Tapi baru beberapa saat hal itu ia lakukan, klakson mobil pemadam kebakaran mengejutkannya. “Apa ada kebakaran?” tanya William seraya memandang jendela yang menunjukkan keadaan di luar yang mula ia gelap—tanda ia sedikit lambat menepati janjinya pada Lilia dan Keano untuk kembali ke vila setelah lewat tengah hari. “Sepertinya begitu, Tuan William,” jawab Giff da
Para pemadam kebakaran dan tiga unit mobil yang ada di sana bahu-membahu memadamkan api. Jerit tangis orang-orang memenuhi telinga William, mengiringi tanya lantang yang keluar dari bibirnya, mencari Lilia dan Keano. “Kenapa mereka tidak ada di sini?” tanya William sekali lagi, kedua tangan besarnya merenggut kerah kemeja yang dikenakan oleh Giff, agar pemuda itu memberinya jawaban sebagai imbal balik karena telah mencegahnya untuk tak mendekat. “Mereka pasti ada di suatu tempat,” jawab Giff. “Tolong tenanglah! Tidak ada gunanya berlari ke sana! Anda hanya akan melukai diri Anda sendiri, William Quist!” Rahang tegas Giff mengetat, tegang seperti milik William. Tuannya itu mengatur napasnya yang sesak memburu, naik turun tanpa aturan hingga kedua tangannya yang mencengkeram kerah lehernya mengendur dan pergi dari hadapannya. William berjalan melewati Giff, membiarkan lengan mereka berbenturan saat ia melangkah dan memindai satu demi satu mereka yang ada di sana. Para pelayan milik
Langit malam seakan runtuh. Mata William terpejam dengan sebulir air mata setelah petugas pemadam kebakaran mengatakan hal itu. Bibirnya mengatup rapat, terpasung bisu tak mampu bicara. “Lalu apa yang akan dilakukan setelah ini, Pak?” tanya Giff karena William seperti terus akan bergeming selamanya. “Petugas forensik akan datang untuk melihat ke lokasi kejadian, Pak,” jawabnya. “Mereka akan mengidentifikasi untuk menemukan penyebab kebakaran terjadi. Mendengar dari keterangan beberapa saksi yang mengatakan bahwa Bu Lilia dan Keano berada di dalam kamar, seharusnya tulang mereka akan ditemukan di sana nanti. Petugas yang ada di lapangan akan memberitahu Anda.” “Baik, terima kasih.” Giff menundukkan kepalanya sedang pria berbalut seragam itu kemudian undur diri. Menyisakan Giff yang masih merangkul kuat-kuat bahu William yang dirasanya perlahan menegang. Keheningan yang tadi disuguhkannya hancur saat suara paraunya terdengar. “Tulang?” tanyanya hampir tak terdengar. “Dia
“Artinya ... mereka masih memiliki peluang untuk hidup?” tanya William memperjelas. “Benar,” jawab pria dengan kemeja hitam tersebut. “Tapi kami tidak janji ya, Pak ... kami masih menelusuri setiap sisi di dalam bangunan juga, ada kemungkinan mereka ditemukan di tempat lain.” William tidak suka dengan kemungkinan yang ke dua. ‘Mereka ditemukan di tempat lain’ itu adalah sesuatu yang tidak baik. Bangunan ini telah luluh-lantak. Jika ditemukan pun ... William tak akan memeluk mereka secara utuh. Ia menghela dalam napasnya, memilih untuk tidak menjawab dan pergi dari sana. Oxford yang ia kenakan menginjak puing-puing bangunan, tumpukan debu dan material yang tak berbentuk. Vila besar miliknya itu hanya tinggal nama. William terus berjalan hingga ia berhenti di sebelah timur vila. Tempat yang saat ia pergi kemarin tengah dihias dengan berbagai macam bunga segar itu tampak lusuh dan menyedihkan. Rerumputan hijaunya menghitam, sebagian pohon di sekitarnya hampir tumbang setelah dilaha
Sejak pencarian terhadap Lilia dan Keano dihentikan, William akhirnya kembali ke kota. Ia tak lagi tinggal di vila milik temannya yang lebih dari seminggu ia tempati. Rumahnya terasa hampa, tidak ada tawa Keano atau suara manis Lilia yang biasa memanggil anak lelakinya itu dengan sangat keibuan. ‘Sayang … jangan lari-larian, coba berjalan lebih pelan.’ ‘Baik, Mama.’ Suara mereka seakan mencemari indera pendengar William, membuatnya merasakan rindu yang hebat. Ia tengah duduk di dalam kamar Keano pada petang hari ini. Entah berapa lama ia di sana, menunduk dengan keadaan dada yang sesak dan dirundung luka. Benaknya terus saja mengatakan bahwa Keano serta Lilia sedang pergi ke suatu tempat dan nanti akan pulang. Tapi … saat melihat ranjang kosong yang terasa dingin ini, William tersadar dari pengandaian panjang, bahwa semua itu hanyalah harapan semu. Ia mengangkat wajahnya pada pintu yang terbuka dan menunjukkan kedatangan Agni—Kepala Pelayan—yang menatapnya dengan khawatir. Wan
Sebuah pagi yang mendung saat William menginjakkan kakinya di sepanjang rumput hijau bak permadani yang membentang di tempat ini. Kepalanya tertunduk hingga langkahnya terhenti di depan sebuah nisan bertuliskan namanya yang cantik—Ivana Roseanne. Tadinya, William ingin pergi sendiri, tetapi Giff tak mengizinkannya sehingga pemuda itu mengantarnya dan menunggunya di depan. William mengarahkan tangannya ke depan, ia letakkan buket bunga yang dibawanya ke samping nisan mendiang istrinya itu sebelum suaranya yang parau terdengar. “Maaf, Ivana ….” ucapnya. “Maaf untuk sudah sangat lama tidak mengunjungimu.” Kedua tangannya terkepal erat, jemarinya yang saling merapat itu terasa kebas saat ia dengan berat hati harus mengakui kegagalannya. “Aku gagal,” katanya. “Aku gagal memenuhi janjiku padamu untuk menjaga Keano dan Lilia. Semuanya sudah usai, kamu sudah bertemu dengan mereka di sana, bukan?” William tertawa lirih, menertawakan dirinya yang akhirnya berdiri seorang diri setel
“Kenapa kosong?” tanya Giff lebih dulu saat mereka selangkah masuk ke dalam ruang rawat VVIP itu. Tadinya, William mengira salah kamar, tapi benar … ini adalah ruangan di mana ia berulang kali berbincang dengan Alya jika ia ikut Lilia menjenguk ibunya. “Apa Ibu dipindah ke kamar lain?” tanya William balik seraya melangkah pergi dari sana. “Rasanya tidak, Tuan.” “Coba kamu tanyakan ke administrasi, Giff,” titah William yang bersambut anggukan dari sekretarisnya itu. “Baik,” jawabnya. Mereka berjalan meninggalkan ruang rawat Alya dan tiba di meja informasi terdekat. William berdiri menunggu di belakang Giff saat pemuda itu bertanya pada beberapa perawat yang ada di sana. Melihat dari samping ekspresi terkejut Giff, sepertinya saat ia melangkah mendekat padanya nanti yang dibawanya itu bukanlah kabar yang baik. “Apa yang mereka katakan?” tanya William saat Giff sudah tiba di hadapannya. “Mereka bilang Bu Alya pergi karena pengobatannya sudah selesai, Tuan William,” jawab Giff. “
William bergeming memandang telapak tangannya yang ada di perut Gretha. Seperti yang pernah ia bicarakan dengan Giff, bahwa perut wanita ini berukuran lebih besar daripada usia janin yang seharusnya. William memandang melalui sudut matanya saat mendengar suara Nyonya Bertha yang duduk di seberang meja menyahut, “Mungkin saja ini yang terbaik yang diberikan untuk kamu, Liam,” tuturnya dengan tersenyum manis. “Terima saja … kamu akan kembali bisa memiliki keluarga bahagia setelah ini.” “Jangan kelewatan, Bertha!” tegur Tuan Alaric pada sang istri. “Kita semua tahu ini adalah waktu duka cita, sebaiknya berhenti mengatakan hal seperti itu!” Nyonya Bertha mendengus mendengar teguran itu sementara ayahnya William yang berada di sana tampak melihat pemandangan itu dengan wajah yang tegang. William membiarkan semua kebisingan itu terjadi sebelum ia menarik tangannya dari perut Gretha dengan kasar, membuat tangan sang Ibu yang menggenggamnya terlempar dengan cara yang sama. Nyonya Donna t
Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuara. "Teri
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba
Rasanya ... waktu berjalan dengan sangat cepat. Dihitung oleh Lilia, si kembar akan launching dalam dua Minggu dari hari ini. Ia baru saja pulang yoga dengan diantar oleh Agni dan Ron, kali ini William tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan audit. Keluar dari kamar mandi, tubuhnya terasa sangat segar. Di ruang ganti, ia dikejutkan oleh William yang ternyata sudah pulang. Bukan hanya itu saja, pria itu juga terlihat seperti sudah selesai mandi karena rambut hitam miliknya tampak setengah basah. Kaos berkerah yang dikenakannya pun bukan pakaian yang tadi ia pakai bekerja, jadi bisa disimpulkan prianya itu sudah datang sejak tadi dan mandi di kamar lain. Senyumnya merekah saat ia bangun dan menghampiri Lilia. "Kamu sudah pulang?" tanya Lilia yang disambut anggukan darinya. Pria itu menunduk, memberi kecupan di kening Lilia sebelum mengusap perutnya. "Sudah dari tadi, Sayang," jawabnya. "Wah ... apa aku yang kelamaan berendam? Kamu mandi di tempat
"Aish ... tidak tahu tempat," desis William sembari bersedekap. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk tak pura-pura melihat sebab seruan Keano sudah menggema memenuhi setiap sudut parkiran, jadi William memutuskan untuk menghadapinya. Sedang Lilia yang mendengar itu menoleh pada William, dalam hati diam-diam bergumam, 'Kesal karena orang lain tidak tahu tempat padahal sendirinya pun begitu.' William mungkin lebih parah bagi Lilia, di manapun ada kesempatan ia pasti menggoda Lilia. Di ruang makan, di dalam kamar Keano, di ruang baca, di tempat yang sedikit memacu adrenalin—di dalam mobil saat mereka mengantar Keano. Kadang, William meminta Giff yang mengantar Keano masuk setelah parkir, sedangkan mereka berdua akan melakukan sesuatu yang lain di dalam mobil. Dan seperti paham dengan apa yang akan mereka lakukan, maka Giff akan menurut sembari mengancam, 'Awas ya kalau sampai viral ada mobil goyang di parkiran Taman kanak-kanak, aku tidak mau mengatasinya!' Ah ... bahkan mereka me
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar. Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi. Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam. Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok. Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata. Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?" Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya." "Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?" "Hanya itu saja yang aku pikirkan