Bab selanjutnya berjudul: 127. Aku Rindu, Tapi Kau Tak Peduli || 128. Kembalilah Meski Tak Utuh Thor akan update lebih cepat kalau banyak yang suka dan komentar ☺️ vote dulu buat William Lilia Keano 🎉🎈
Sejak pencarian terhadap Lilia dan Keano dihentikan, William akhirnya kembali ke kota. Ia tak lagi tinggal di vila milik temannya yang lebih dari seminggu ia tempati. Rumahnya terasa hampa, tidak ada tawa Keano atau suara manis Lilia yang biasa memanggil anak lelakinya itu dengan sangat keibuan. ‘Sayang … jangan lari-larian, coba berjalan lebih pelan.’ ‘Baik, Mama.’ Suara mereka seakan mencemari indera pendengar William, membuatnya merasakan rindu yang hebat. Ia tengah duduk di dalam kamar Keano pada petang hari ini. Entah berapa lama ia di sana, menunduk dengan keadaan dada yang sesak dan dirundung luka. Benaknya terus saja mengatakan bahwa Keano serta Lilia sedang pergi ke suatu tempat dan nanti akan pulang. Tapi … saat melihat ranjang kosong yang terasa dingin ini, William tersadar dari pengandaian panjang, bahwa semua itu hanyalah harapan semu. Ia mengangkat wajahnya pada pintu yang terbuka dan menunjukkan kedatangan Agni—Kepala Pelayan—yang menatapnya dengan khawatir. Wan
Sebuah pagi yang mendung saat William menginjakkan kakinya di sepanjang rumput hijau bak permadani yang membentang di tempat ini. Kepalanya tertunduk hingga langkahnya terhenti di depan sebuah nisan bertuliskan namanya yang cantik—Ivana Roseanne. Tadinya, William ingin pergi sendiri, tetapi Giff tak mengizinkannya sehingga pemuda itu mengantarnya dan menunggunya di depan. William mengarahkan tangannya ke depan, ia letakkan buket bunga yang dibawanya ke samping nisan mendiang istrinya itu sebelum suaranya yang parau terdengar. “Maaf, Ivana ….” ucapnya. “Maaf untuk sudah sangat lama tidak mengunjungimu.” Kedua tangannya terkepal erat, jemarinya yang saling merapat itu terasa kebas saat ia dengan berat hati harus mengakui kegagalannya. “Aku gagal,” katanya. “Aku gagal memenuhi janjiku padamu untuk menjaga Keano dan Lilia. Semuanya sudah usai, kamu sudah bertemu dengan mereka di sana, bukan?” William tertawa lirih, menertawakan dirinya yang akhirnya berdiri seorang diri setel
“Kenapa kosong?” tanya Giff lebih dulu saat mereka selangkah masuk ke dalam ruang rawat VVIP itu. Tadinya, William mengira salah kamar, tapi benar … ini adalah ruangan di mana ia berulang kali berbincang dengan Alya jika ia ikut Lilia menjenguk ibunya. “Apa Ibu dipindah ke kamar lain?” tanya William balik seraya melangkah pergi dari sana. “Rasanya tidak, Tuan.” “Coba kamu tanyakan ke administrasi, Giff,” titah William yang bersambut anggukan dari sekretarisnya itu. “Baik,” jawabnya. Mereka berjalan meninggalkan ruang rawat Alya dan tiba di meja informasi terdekat. William berdiri menunggu di belakang Giff saat pemuda itu bertanya pada beberapa perawat yang ada di sana. Melihat dari samping ekspresi terkejut Giff, sepertinya saat ia melangkah mendekat padanya nanti yang dibawanya itu bukanlah kabar yang baik. “Apa yang mereka katakan?” tanya William saat Giff sudah tiba di hadapannya. “Mereka bilang Bu Alya pergi karena pengobatannya sudah selesai, Tuan William,” jawab Giff. “
William bergeming memandang telapak tangannya yang ada di perut Gretha. Seperti yang pernah ia bicarakan dengan Giff, bahwa perut wanita ini berukuran lebih besar daripada usia janin yang seharusnya. William memandang melalui sudut matanya saat mendengar suara Nyonya Bertha yang duduk di seberang meja menyahut, “Mungkin saja ini yang terbaik yang diberikan untuk kamu, Liam,” tuturnya dengan tersenyum manis. “Terima saja … kamu akan kembali bisa memiliki keluarga bahagia setelah ini.” “Jangan kelewatan, Bertha!” tegur Tuan Alaric pada sang istri. “Kita semua tahu ini adalah waktu duka cita, sebaiknya berhenti mengatakan hal seperti itu!” Nyonya Bertha mendengus mendengar teguran itu sementara ayahnya William yang berada di sana tampak melihat pemandangan itu dengan wajah yang tegang. William membiarkan semua kebisingan itu terjadi sebelum ia menarik tangannya dari perut Gretha dengan kasar, membuat tangan sang Ibu yang menggenggamnya terlempar dengan cara yang sama. Nyonya Donna t
“Ahh—” rintih Gretha dengan napas yang tersengal. Mereka yang melihat itu ditempatkan pada posisi dilema sebab tahu betul seburuk apa temperamen William sekarang ini. “L-lepaskan aku, Kak Liam!” pinta Gretha memohon. “A-aku—” Wajah Gretha memerah, dan sebelum William kehilangan kendalinya, Giff segera mendekat dan menarik pergi tangan tuannya itu. “Hentikan, Tuan William!” pinta Giff seraya menariknya agar menjauh sehingga ia memiliki jarak dengan Gretha yang masih tersudut di dinding. “Sayang,” seru Nyonya Bertha saat berlari pada Gretha yang hampir merosot ke lantai. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya selagi Gretha mengusap lehernya. “Kenapa kamu bersikap seperti ini, Liam?!” Beliau menoleh pada William yang kedua matanya masih tajam mengintimidasi. “Kamu tidak melihat Gretha sedang hamil dan—” “Aku tidak peduli,” potong William sebelum Nyonya Bertha selesa bicara. “Siapapun yang berbicara buruk tentang Lilia, akan aku hancurkan mereka dengan tanganku sendiri. Sepertinya kali
Gretha membeku, ia terlihat mengeluarkan air mata saat mengusap perutnya. Mendengar pengusiran keluar dari bibir William membuat Nyonya Donna mengajukan protes. “Maksudnya kamu mengusir kami, Liam?” tanya beliau dengan marah. “Aku tidak pernah mengundang kalian untuk datang! Kalian bertamu dan membuat keributan. PERGI!” hardik William lantang. Giff yang tahu amarah William telah sampai di ubun-ubun pun segera meminta semua orang yang ada di dalam sana untuk keluar. “Tanpa mengurangi rasa hormat saya, tolong semuanya pergi dari sini, Tuan, Nyonya ....” Nyonya Bertha merangkul Gretha lebih dulu sebab anak perempuannya itu terisak-isak, disusul oleh Tuan Adam yang lebih dulu berhenti dan menepuk lengan William seraya berujar, “Papa turut berduka cita, Liam.” “Papa pergi saja, aku tidak butuh ucapan duka cita sekarang ini.” Nyonya Donna yang berada di belakang Tuan Adam menatapnya dengan penuh kebencian. “Bahkan sampai dia mati pun kamu masih mati-matian membelanya. Kamu it
Setelah mengusir semua orang agar perg dari hadapannya, William masih berdiri di ruang makan. Meski napasnya sudah lebih beraturan ketimbang saat ia tadi hampir membuat Gretha celaka, tapi detak jantungnya masih berdebar. Kalimat-kalimat yang dikatakan oleh Gretha—tentang adanya kemungkinan bahwa Lilia meninggalkannya demi orang lain atau sekarang ada di tempat madam Savannah—telah membuatnya terprovokasi. “Mereka sudah pulang, Tuan William,” ucap Giff yang tiba di hadapan William. “Anda bisa beristirahat sekarang.” “Bagaimana jika itu benar, Giff?” tanya William alih-alih menanggapi saran dari tangan kanannya itu. “Apa?” taya Giff balik, tak mengerti apa yang ditanyakan oleh tuannya. “Lilia yang akhirnya memilih pergi dengan orang lain karena—“ “Itu tidak benar,” sela Giff dengan cepat. “Itu tidak benar, Tuan William. Kita tahu seperti apa bahagianya Nona Lilia saat Anda melamarnya, bukan? Apa rasa cintanya pada Keano harus anda pertanyakan sehingga Anda meragukannya dengan lari
‘Apa itu Gretha?’ tanya William dalam hati begitu mendengar ‘wanita hamil’ yang dikatakan oleh Madam Savannah. Tapi, jika benar ‘wanita hamil’ itu adalah Gretha, lalu siapa pria yang datang bersamanya? “Kamu tahu siapa nama pria itu?” tanya William dan dijawab dengan gelengan lebih dulu oleh Madam Savannah. “Tidak, Tuan,” jawabnya. Giff selangkah maju dan menunjukkan layar ponselnya pada wanita berlipstik merah itu. “Apa dia wanita hamil itu?” tanyanya “Ya,” jawab Madam Savannah dengan mengangguk lebih dari satu kali. “Dan ini si pria yang datang ke sini?” taya Giff kembali setelah menggeser layar ponselnya. “Benar.” Sekali lagi Madam Savannah menganggukkan kepalanya. William menoleh sekilas pada Giff yang rahangnya tampak mengetat, melihat dari ekspresinya dan dari bagaimana ia dengan cepat menunjukkan foto, sepertinya ada sesuatu yang telah dilewatkan oleh William. “A-apa kalian sudah menemukan jawabannya?” tanya Madam Savannah dengan gugup—terlihat sangat jelas me
Membutuhkan waktu beberapa lama untuk Lilia pulih dan membawanya ke tempat ini.Berminggu-minggu berlalu, Alaric masih belum bisa melihat bahwa anak perempuannya itu mengingat kembali siapa sebenarnya Keano dan William.Ia tak pernah mendesak Lilia untuk mengingatnya. Asalkan ia bahagia dalam rasa aman di sini, baginya itu sudah cukup.Ia juga memperbolehkannya yang berkeinginan menjadi guru di preschool kecil yang tak jauh dari rumah yang saat itu membutuhkan guru tambahan. Setelah keadaan sedikit membaik dan Alaric melihat William yang jauh lebih tenang, ia berpikir bahwa sudah waktunya memberi William ‘hadiah’ untuk kesabarannya selama ini, yakni mempertemukannya kembali dengan Lilia dan Keano.Begitulah semuanya terjadi ….Alaric terjaga dari ingatan panjangnya itu saat ponsel yang ada di atas mejanya berdering. Sebuah kamar hotel yang ditinggalinya tanpa William atau pun Giff tahu bahwa sebenarnya ia ikut dalam kunjungan ini.“Saya keluar dulu, Tuan,” ucap Zain. “Hubungi saya ka
“Itu Nona Lilia dan Tuan Muda Keano, Tuan,” seru Zain sembari menepikan mobilnya. Alaric berlari keluar dan menghampiri mereka. “Lilia, Keano!” panggilnya dengan suara yang gemetar. Hatinya seakan habis menyaksikan mereka berdua yang tergugu dalam tangis, saling menguatkan. Air matanya luntur kala ia mendengar Keano memanggilnya, “Opa?” Alih-alih mempedulikan dirinya, yang ia minta justru agar Alaric menolong Lilia. “Tolong Mama, Opa ….” Zain mengangkat Keano, mengambilnya dari Lilia sementara Alaric membantu Lilia bangun dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Lilia,” panggil Alaric yang duduk di kursi belakang, mengguncang tubuh Lilia yang penuh dengan debu hitam seraya melepas jasnya untuk menutupi tubuhnya. “Nak, apa yang terjadi, kamu baik-baik saja?” tanyanya. “Vilanya kebakaran, Opa,” sahut Keano yang duduk di depan, ditempatkan di sana oleh Zain setelah pemuda itu melepas pakaiannya yang basah dan membalut bocah kecil itu dengan jas miliknya. “Kebakaran?” ulang
“Benar,” jawab Alya dengan yakin. “Setelah panggilan saya Anda matikan saat itu, Nyonya Bertha mencecar saya. Dia tanya apa yang ingin saya katakan pada Anda. Saya bersikeras memilih diam tetapi Nyonya Bertha mendorong saya dari tangga lantai dua kemudian saya tidak ingat apapun sejak hari itu.” “Jadi kamu tidak jatuh di kamar mandi seperti yang selama ini aku ketahui dan dikatakan oleh para pelayan?” Alya mengangguk, “Iya, Tuan. Tolong berhati-hatilah ... di dalam rumah itu semuanya berisi pengkhianat,” jawabnya. “Saya memang mengalami gangguan hati sejak lama, tapi yang membuat saya mengalami pendarahan di otak itu adalah Nyonya Bertha. Tapi saya sangat bersyukur sekarang karena bisa kembali sadar dan dapat mengatakan semua kebenaran ini kepada Anda.” Alaric telah mengerti situasinya sekarang. Bertha yang bertanggung jawab atas semua ini. Dilihat dari wanita itu yang masih belum melangkah lebih lanjut, sepertinya ia belum tahu jika Alya telah sadar. Keputusan William dan Lilia d
“Lalu setelah itu kamu membawanya pulang?” Alaric menatap Alya yang tertunduk tak berani menunjukkan wajahnya. “Benar,” jawabnya kemudian menggapai tisu yang ada di atas meja untuk mengusap wajahnya yang bersimbah air mata. “Saya teringat pada ucapan Nyonya Agatha yang menyebut bahwa saya harus melindungi Nona Leonora kecil apapun yang terjadi. Saat itu saya tidak tahu kenapa beliau berpesan begitu, tapi kemudian saya tahu alasannya, karena Nyonya tahu ada teman yang menusuknya dari belakang dan diam-diam ingin menyingkirkannya agar bisa menjadi Nyonya Roseanne.” Alaric jatuh kedua bahunya, kebenaran yang ia dapatkan tentang Lilia yang ternyata adalah anak kandungnya membuatnya mengetahui kebenaran yang lebih besar yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa itu. Siapa sangka bahwa itu adalah kejahatan terencana yang bersembunyi di bawah tabir kelam yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. “Jadi setelah itu saya terus menyembunyikan Nona Leonora,” lanjut Alya. “Saya bilang pada suami
Alaric tidak akan pernah melupakan hari di mana ia menemukan kenyataan bahwa Lilia adalah anak gadisnya yang menghilang lebih dari dua dekade lamanya.*** Kembali pada delapan puluh dua hari yang lalu. ***Alaric tengah duduk di bangku memanjang yang ada di taman rumah sakit, di depannya—sedikit ke kanan—Zain berdiri menatapnya dengan cemas.Di tangan Alaric ada sebuah amplop berwarna putih, hasil tes DNA yang beberapa hari lalu diajukannya telah memiliki hasilnya.Ia menghela dalam napasnya saat mengambil lembaran dari dalam sana dan membacanya dengan saksama.[Bukti ilmiah yang diperoleh dengan mengacu pada sampel yang diperiksa dan dianalisis dari terduga ayah (Alaric Roseanne) cocok dengan sampel terduga anak (Lilia Zamora). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa probabilitas Alaric Roseanne sebagai ayah biologis dari Lilia Zamora adalah 99,99%.]“Bagaimana, Tuan?” tanya Zain yang turut tegang di hadapannya.Tapi sebelum Alaric menjawab, kelegaan dorongan napas tuannya itu telah m
Dada William buncah tak terkendali, ia selangkah maju untuk mengulang apa yang gadis—yang mengakui dirinya adalah Lilia Zamora—itu katakan. “Belum pernah bertemu?” ulangnya. “Apa maksudmu, Lilia? Dan kenapa kamu tidak mengenaliku? Kamu hanya berpura-pura, ‘kan?” Lilia menggeleng, maniknya yang cantik tampak kebingungan, selaras dengan kalimatnya sebagai bantahan. “Tidak,” jawabnya. “Berpura-pura bagaimana maksud Anda? Kenapa saya harus mengenal orang yang baru saja saya lihat hari ini?” William hendak meraih tangan Lilia agar membuat mereka lebih dekat karena ia melihat punggung Lilia yang basah terkena tempias hujan. Tapi gadis itu menolak sehingga William hanya bergeming. “Tuan William,” panggil Giff dari sebelah kirinya, menjemput William dengan menggunakan payung dengan warna yang sama dengan milik Lilia. Gadis itu memandang mereka bergantian sebelum menunduk di hadapan William dan mengayunkan kakinya pergi dari sana dengan gegas. William hendak mencegahnya tetapi m
Dari dalam sedan berlambang flying lady di mana Giff sedang berada di dalamnya, sepasang matanya terbuka lebar saat menjumpai bahwa apa yang dikatakan oleh William adalah sebuah kebenaran. Gadis yang berlari dari arah barat dan berhenti di hadapan William kala tuannya itu memandang preschool kecil itu dengan harapan yang pupus benar adalah Lilia—atau setidaknya mereka memiliki wajah yang sama persis. Gadis itu hanya berdiri setinggi dada William, pembawaannya yang anggun dan hangat adalah hal yang senantiasa disaksikan oleh Giff setiap kali Nonanya itu berada di depan William. Ia hidup! Lilia benar-benar hidup. ‘Tapi sepertinya … ada sesuatu yang salah di sini.’ Batin Giff tak tenang saat melihat percakapan di seberang sana yang sepertinya tidak berjalan dengan baik. Sementara itu, di depan gerbang rendah yang basah akibat derasnya hujan, William tengah meraba apa yang direncanakan oleh semesta dengan mempertemukannya dengan Lilia saat ia berusaha melepasnya dengan lapang d
Tanpa sadar, sebulir air matanya jatuh melewati bibir saat William menggumamkan namanya di dalam hati. Ia hampir selangkah maju untuk memastikan bahwa gadis di halaman preschool itu adalah Lilia sebelum Zain menahan lengannya sebab baru saja ada kendaraan yang melintas. “Tuan William?” panggil Zain pada William yang hanya bergeming. Matanya hanya tertuju pada satu titik, tempat di mana Lilia berdiri, satu-satunya dunia yang berwarna sementara di sekitarnya hanya berisikan abu-abu. Lilia terlihat sangat bahagia saat mengajak anak-anak kecil itu bernyanyi, membuat mereka berputar mengelilinginya sehingga senyumnya merekah sehangat matahari pagi ini. “Ada apa, Tuan William?” sebut Zain sekali lagi. William tersadar dan memandang pemuda itu seraya mengembalikan tanya, “Pak Zain tidak melihatnya?” “Apa?” “Lilia,” jawabnya. “Dia berdiri di sana bersama dengan—“ William berhenti bicara saat menunjuk pada halaman preschool itu. Tapi saat hal itu ia lakukan, tak ada yang berdiri di sa
William tahu betul bahwa ‘projek’ yang baru saja disebutkan oleh Giff itu adalah yang dulu pernah ia dan Gretha kerjakan—pembangunan sekolah yang tempatnya cukup jauh dari kota. “Bukankah aku sudah pernah berpesan padamu agar mengatakan pada Papa Alaric untuk tidak mengikutsertakan wanita itu?” William sangat tidak suka jika ia harus menyebutkan namanya sekali lagi. Kedua bahu Giff jatuh mendengar itu. “Coba tenang sebentar,” pintanya. “Memang itu adalah projek yang pernah Anda kerjakan bersamanya, tapi kali ini tidak. Kita saja, tanpa ada ikut campur Gretha.” Mendengar itu membuat William berdeham, merasa bersalah sudah meninggikan suaranya pada Giff. “Ah, benarkah?” tanyanya. “Kalau begitu jangan setengah-setengah saat bicara, katakan dengan jelas, Giff!” “Saya memang belum selesai bicara, Tuan William Quist!” “Lalu Papa bilang apa lagi?” “Tuan Alaric meminta agar pembangunannya dipercepat, jadi kita sesekali harus mengeceknya, itu saja,” jawab pemuda itu seraya sel