JADI, KENAPA GRETHA BILANG VILA MILIKMU DIBAKAR ORANG? ...... done 4 bab yah untuk hari ini 🤗🤗 😍 silahkan tinggalkan komentar dan ulasan, vote juga yah akak semuanya 🌝 terima kasih sudah membaca 🤗😍 1nst4gram othor @almiftiafay
“Lazimnya seseorang hanya akan mengatakan itu sebagai ‘kebakaran’ dan bukan ‘dibakar orang’ begitu maksud Anda?” tanya Giff memperjelas. “Iya. Apa dia salah bicara, atau dia tahu sesuatu tentang tragedi di vila itu?” Untuk sesaat Giff membeku di tempatnya berdiri. Kakinya terpancang di lantai teriring tubuhnya yang mendadak kebas saat mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh tuannya itu. “Jika dugaanmu benar bahwa Gretha yang meminta Henry untuk membuat Keano tenggelam, maka bisa juga dia melakukan sesuatu yang lebih buruk, ‘kan? Membakar vila milikku misalkan.” Giff menegang sekali lagi. “Dia sakit hati karena aku menolaknya, lalu mencari celah untuk sampai di vila dan menghancurkan semua rencana hidup bahagiaku dengan Lilia dan Keano,” lanjut William. “Jika itu benar... kemungkinan mereka masih hidup juga semakin kecil, Giff ... seseorang yang diliputi dendam akan menghabisi apapun yang menghalangi jalannya. Bagi Gretha, itu adalah Keano ... dan Lilia-ku.” Bibir Giff ingin
"Kehilangan memang berat dan menyakitkan, William," ucap Nicholas setelah keheningan yang panjang menghampiri mereka. "Aku minta maaf karena tidak bisa membantumu. Tapi jika kamu membutuhkan seseorang untuk bisa kamu ajak bicara, aku akan menjadi yang pertama untuk itu." Nicholas meraih lengannya, sedikit lebih kuat seolah itu adalah kesungguhan bicaranya. "Kita bisa pergi ke banyak tempat agar kamu tidak terus seperti ini, bagaimana?" William menggeleng, "Tidak, Nic. Terima kasih." Ia lalu memalingkan wajahnya dan mengayunkan kakinya untuk pergi dari hadapan Nicholas. Tak ingin berdiri terlalu lama di sana dan menunjukkan betapa hancur lebur dirinya ini. Ia memasuki mobilnya dan memacu sedan itu menjauh dari halaman rumah Nicholas. Matanya terasa perih, dipenuhi oleh kabut yang menghalangi jarak pandangnya. Semakin lama hal itu semakin berada di luar kendalinya sehingga ia harus menepikan mobilnya di emperan pertokoan yang tutup. William menunduk, ia tahu alasan kenapa Agni
“Kenapa tidak semudah itu, Gretha?” tanya Henry setelah mendengar ucapan Gretha. “Bukankah kamu sudah janji akan memberi aku kesempatan untuk bertanggung jawab dan membuat keluarga kita menjadi utuh kalau yang aku lakukan itu berhasil?” Sepasang iris kecoklatan pria itu masih menatap Gretha dengan teduh, ada harapan yang besar dari caranya bertutur meski Gretha terkesan tak peduli dengan itu. “Aku bisa memastikan bahwa aku sudah membakar vila itu terutama di mana Lilia dan anaknya William itu berada, Gretha,” ucapnya kembali. “Mereka tidak akan selamat.” Gretha terdengar mendorong napasnya dengan kasar. Ia yang tadinya terus menatap ke depan memutar kepalanya untuk menatap Henry. “Kenapa kamu seperti ini, Henry?” tanyanya. “Seseorang akan pergi jika tahu wanita yang tidur dengannya hamil. Tapi kenapa kamu tidak?” “Berapa kali harus aku katakan? Aku mencintaimu,” jawab Henry. “Kamu pikir aku suka setiap kali kamu dan Reynold berduaan? Tidak, Gretha. Tidak sama sekali. Aku sungguh m
Gretha tahu soal Pernikahan itu dari pembicaraan antara Tuan Alaric dan juga Zain yang mengatakan soal hadiah pernikahan untuk Lilia dan William. Mereka pasti berpikir pembicaraan itu hanya mereka berdua saja yang mendengar tanpa tahu keberadaan Gretha yang Hari itu datang ke kantor dan berdiam diri di luar ruang kerja Alaric di Seans Holdings. ‘Pernikahan?!’ Gretha ingat hari itu ia sangat terkejut. Hatinya memanas, rasa sesak menyakitinya saat ia mengayunkan kaki dan menyembunyikan diri di balik lemari arsip saat Tuan Alaric dan Zain pergi dari sana. Selepas dua orang itu meninggalkan ruang kerja presiden direktur, Gretha masuk dan mencoba mencari tahu di mana pernikahan tertutup itu dilaksanakan. Ia mencari sesuatu seperti undangan yang barangkali tertumpuk di bawah map-map hard cover yang ada di atas meja Tuan Alaric, tapi tak membuahkan hasil. ‘Sialan!’ Umpatannya saat itu masih bisa ia ingat dengan jelas. ‘Di mana mereka akan menikah? William sengaja menyembunyik
Meski William merasakan keretakan yang besar di dalam hatinya, ia masih tak mau mengakui bahwa semuanya telah berakhir. “Tuan William!” seru sebuah suara yang hadirnya bersaing dengan gaduhnya suara air hujan. Derap larinya terdengar mendekat pada William dengan napas yang tersengal. Saat William perlahan mengangkat wajahnya, ia menemukan wajah cemas Giff yang basah sama sepertinya. “Kita harus pulang,” ucap Giff seraya membantu William bangun. Giff meraih payung hitam yang terbalik di sebelah William berlutut dan menggunakannya untuk memayungi tuannya itu agar hujan tak semakin menyakitinya selagi ia menarik lengannya untuk menuju ke mobil yang parkir di luar gerbang. Tak hanya Giff saja, tapi William melihat tangan kanannya itu datang bersama dengan Zain. “Ayo masuk, kita pergi dari sini,” ajak Giff, meminta William untuk masuk ke dalam mobil sementara dirinya yang mengemudikannya, Zain yang ada di sedan lain di belakang Giff mengiringi perginya mereka meninggalkan puing-pui
Tetapi untungnya ... William tidak mengalami hal yang terlampau buruk. Meski hampir fatal, tetapi ia tak mengalami kegagalan organ. Pada siang yang mendung putihnya terlihat sejak pagi dari jendela, pria itu duduk di arat ranjang rawatnya dengan kepala tertunduk. Ia tak sendirian, di sebelah ranjang itu, ada sebuah kursi berwarna hitam tempat di mana seorang wanita psikiater yang akan mendampinginya dalam konsultasi kejiwaan duduk. Wanita yang sama yang kala itu menangani Keano dan Lilia, temannya yang bernama Andara. “Kamu tampak lebih rapuh ketimbang saat kehilangan istri terdahulumu, Liam,” ujar Andara, setelah menyiapkan voice recorder, buku agenda bersampul hitam di pangkuannya dan memegang pena beraksen emas itu di antara jemarinya. “Terlihat sekali kamu tertekan, ada badai yang merusakmu dari dalam,” lanjutnya. “Ceritakan padaku, aku akan mendengarnya dengan baik. Percayalah ... saat kamu nanti bisa mengatakannya, kamu akan jauh lebih tenang. Aku di sini untuk itu, anggap
Gerimis berubah menjadi hujan di luar, suaranya yang gaduh terpecah di atap atau pada dahan yang basah. Pemandangan sendu yang disaksikan William, mengiringi lepasnya semua rahasia hatinya yang selama ini menyimpan kenyataan yang selalu dipungkirinya—ia jatuh cinta pada Lilia pada malam di mana ia dijodohkan dengan Ivana. “Apa yang membuatmu sangat tertekan seperti sekarang, Liam?” tanya Andara setelah keadaan sedikit tenang. Wanita itu juga baru saja menulis sesuatu yang tak diketahui oleh William pada buku agenda bersampul hitamnya. “Maksudku—apakah karena ada hal yang tidak sempat kamu lakukan, sebuah ... rasa bersalah mungkin?” “Aku bersalah karena memperlakukannya dengan buruk, Andara,” jawab William. “Aku begitu karena aku bersikeras tidak mau mengakui perasaanku padanya. Apalagi saat aku tahu dia diam-diam mendapatkan uang dari Ivana jika dia mau menjadi istri keduaku. Aku menganggap Lilia sebagai gadis yang hanya mementingkan uang tanpa aku tahu uang itu untuk apa.” “Unt
William juga membaca bahwa pemeriksaan dalam metode luring itu telah sampai pada tahap ke dua. Di mana disebutkan bahwa Lilia takut kepadanya saat William tidak bersikap baik atau marah terhadap sesuatu yang kadang tak diketahui oleh Lilia apa penyebabnya. Ketakutannya yang paling besar diawali dari saat William nyaris membuat gadis itu kehilangan kesuciannya, beberapa hari setelah kematian Ivana saat Lilia mengatakan ia akan berhenti menjadi babysitter-nya Keano dan pergi dari rumah itu. ‘Kamu tidak memiliki hak untuk memutuskan apakah kamu bisa pergi dari rumah ini atau bertahan, Lilia Zamora.’ William ingat betul ia mengatakan itu setelah ia merenggut dagunya dengan kasar dan menguncinya hingga tersudut di dinding. Sesal William tertumpuk saat itu juga kala ia membaca satu demi satu lembaran yang ia dapatkan dari dalam amplop putih tersebut. Pada akhir pemeriksaan tahap dua, ada sesuatu yang membuat William terenyuh. Lilia menyebut bahwa ia mencintai William, ia tahu William
"Karena aku pikir kamu melakukan sesuatu dengan Nicholas saat kamu pergi dengannya waktu itu," aku William, apa yang ia katakan sekarang sama dengan kebingungan yang tadi dilihat oleh Lilia sebelumnya saat pria itu menanyakan apakah ia masih perawan.Lilia tersenyum mendengar pengakuan itu, "Makanya saat itu kamu sangat marah padaku?" tanyanya. "Karena kamu berpikir aku dan Nicholas melakukan sesuatu di belakangmu padahal saat itu masih dalam suasana berduka?"William mengangguk sebagai jawaban, "Iya. Ternyata aku benar-benar terlalu jauh menuduhmu.""Apakah setelah ini kamu masih akan mengatakan bahwa aku dan Nich—""Tidak, Lilia ...."William menyentuh rahang kecilnya, menunduk membuat mereka menjadi lebih dekat dan mendaratkan sebuah kecupan di sana."Apa rencanamu setelah ini, William?" tanya Lilia pada William yang mendekapnya dan membuat Lilia meringkuk di dada bidangnya."Melanjutkan laporan soal Gretha yang sudah membakar vila, dan membuktikan bahwa bukan aku yang sudah membua
Api yang membakar mereka telah padam ....Lilia masih terdiam, merasakan bunga yang tumbuh di sela-sela retakannya yang kini hampir tak lagi dijumpai sakitnya.Ia melihat William menarik dirinya, pria itu beranjak turun dari tempat tidur setelah membelai lembut rambut Lilia dan membisikkan ia akan kembali sebentar lagi.Lilia bisa melihat siluet tubuhnya yang sempurna, yang menghilang selama beberapa detik dari pandangannya sebelum ia kembali dalam balutan sleep wear berwarna gelap yang telah menutup tubuhnya."Kamu bisa bangun?" tanyanya pada Lilia yang masih terbaring tak berdaya dan belum lama menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.Ia mengangguk dan menerima tangan William saat pria itu membantunya bangun."Kamu mau pakai gaun tidurmu yang tadi atau piyama yang aku ambilkan?" tawar William seraya menunjukkan pakaian tidur yang berwarna seperti miliknya, dan pada gaun tidur yang sebelumnya telah ia tanggalkan dan ia jatuhkan ke lantai."Yang manapun boleh," jawab Lilia lirih.Ia m
"Ke ... napa kamu tanya seperti itu?" tanya Lilia dengan sekilas menyentuh pipinya, saat William berhenti bergerak dan urung melanjutkan yang ia lakukan."Aku pikir ini bukan yang pertama kali untukmu, Lilia.""Bagaimana bisa bukan yang pertama kali? Kamu yang pertama.""Sebentar—" Pria itu seperti baru menyadari sesuatu. "Lalu saat kamu pergi dengan Nicholas waktu itu, kamu tidak melakukan apapun dengannya?"Lilia menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku tidak pernah melakukan apapun dengannya."Lilia bisa melihat William menelan pahit tuduhan itu sebelum matanya terpejam penuh sesal."Maaf ... aku terlalu jauh menuduhmu," katanya. "Aku pastikan kamu menikmati malam ini, Lilia ...."Lilia menutup matanya saat William menciumnya, ia memindahkan tangannya dari bahu William, melingkarkan di lehernya saat pria itu memenuhi dirinya."Ahh ..." Air matanya lolos, bibir manis William mencoba mengalihkan perhatian dengan mengecup leher dan bahunya."Ergh ...." Tidak, ini masih belum berakhir, be
Ciumannya rasanya sangat manis, lebih manis dari ciuman-ciuman yang pernah mereka lakukan sebelumnya.Mungkin karena mereka telah saling memiliki, tanpa takut akan adanya sebuah perpisahan esok hari.Dari menit pertama sejak William mengangkatnya berpindah dari sofa, menuju ke menit-menit berikutnya sebelum akhirnya Lilia merasakan pria itu menarik diri darinya.Bibirnya terasa bengkak, tapi William masih belum usai sebab ia kembali mendaratkan satu kecupan lain untuknya."Aku matikan dulu lampunya," bisiknya pada Lilia yang akhirnya menguraikan kedua tangan kecilnya dari leher William teriring sebuah anggukan.William tersenyum saat ia beranjak turun dari ranjang, meninggalkan sejenak Lilia kemudian ruangan di dalam sana berganti menjadi hanya diterangi oleh lampu tidur saja.Pria itu kembali dan menunduk di atas Lilia.Suara baritonnya yang hangat menyinggahi indera pendengarnya saat bertanya, "Kamu sungguh baik-baik saja?"Maniknya yang gelap menerpa Lilia yang sekali lagi mengangg
Malam harinya, 'setelah dipaksa' mendengar suara para sekretaris yang tak seburuk yang William tuduhkan, Lilia berjalan masuk ke dalam kamar di mana Keano beristirahat di sana. Bocah kecil itu terlelap dalam satu tempat yang sama dengan Alya yang menyambut kedatangan Lilia dengan senyumnya. Selagi di dalam ruangan tempat di mana para pemuda masih bersuka cita dan menghibur William, Tuan Alaric serta Nicholas, keheningan terjadi di dalam sini. "Ibu belum tidur?" tanyanya saat mendekat pada sang Ibu yang terlihat melepas kacamata yang dikenakannya. "Ibu dibelikan kacamata baru oleh Papamu, jadi Ibu gunakan untuk membaca, sudah lama ibu tidak membaca," jawabnya. "Kamu mau melihat Keano?" "Dia sudah tidur?" Alya sekali lagi mengangguk, "Sudah, Nak. Pasti kelelahan setelah bermain bersama paman-pamannya tadi." "Kalau begitu Ibu istirahat juga, kita bertemu lagi besok pagi." Alya sekilas menunduk dan tersenyum, "Kenapa buru-buru? Ibu bisa mengurus Keano, kamu pergilah ke kamarmu!"
William tak menjawab, ia hanya meraih tangan Lilia yang ada di pipinya dan memberinya remasan lembut, seolah itu adalah 'Iya' yang tak terlahirkan dalam lisan. Mereka saling pandang untuk beberapa lama hingga suara Jovan—sekretarisnya Nicholas—yang hari ini mereka jadikan sebagai pembawa acara dadakan meminta mereka agar duduk berhadapan dengan pemuka agama yang pagi hari ini akan menikahkan mereka. Dalam keheningan pagi dan khusyuk doa yang mereka lantunkan tanpa henti, akhirnya semuanya menjadi sempurna. "....dengan mas kawin uang senilai dua puluh satu ribu dolar Amerika dibayar tunai." "Bagaimana, Saksi?" "Sah." Delapan puluh hari dalam kekosongan Lilia, tentang ia yang tak mengenali orang lain selain dirinya dan ingatannya yang berhenti pada lima tahun lalu, ia telah memiliki hidupnya yang baru sekarang. Dalam penantian William yang penuh dengan luka dan kehilangan yang membelenggunya, dalam setiap angka di kalender yang ia lingkari hingga bulan demi bulan berlalu, ia telah
Waktu pernikahannya akan diberlangsungkan pada pagi hari, sekitar pukul delapan. Tadi pagi-pagi sekali—sekitar pukul tiga dini hari—Lilia, Keano dan Alya dijemput oleh Giff dan Zain untuk menuju ke hotel. Lilia dibawa masuk ke sebuah kamar hotel tersendiri oleh staf yang telah menunggunya di sana. Keano yang masih mengantuk digendong Giff masuk ke dalam kamar William. Lilia sudah melihat gaunnya sebelumnya, benar seperti tak ada bedanya dengan gaunnya yang hari itu ia lihat dilahap bara api. Gaun itu akhirnya ia kenakan setelah make up yang cantik dibubuhkan di wajahnya oleh seorang teman William yang secara khusus dimintanya ke sini. "Gaunnya pas dengan bentuk tubuhmu, Lilia," ucap wanita bernama Sherly itu. "Terima kasih." "Kamu juga memilih crown yang cocok untuk gaunnya." Lilia mengangguk dan tak bisa menahan senyumnya, atau sebenarnya ia sedang berusaha menyembunyikan rasa harunya yang sangat besar ini? Satu demi satu prosesnya terlewati, dari make up hingga gaun yang te
Setelah mengantar Keano dan Alya pulang ke rumah yang mereka tinggali, Alaric menuju ke hotel tempat ia beristirahat. Ia melepas coat yang ia kenakan saat berjalan memasuki lift bersama dengan Zain yang berjalan mengekor di belakangnya. "Kamu sudah memberikan bukti-bukti yang kita bicarakan kemarin pada William, Zain?" tanyanya setelah lift naik meninggalkan lobi. "Sudah, Tuan Alaric," jawab pemuda itu. "Saya sudah memberikannya tadi setelah hampir mengganggu Tuan William dan Nona Lilia di dalam." Alaric tersenyum mendengarnya sebelum ia menghela napas dengan lega. "Setidaknya sekarang kita bisa melihat mereka bahagia, dan mendampingi mereka sampai nanti pada hari pernikahan, dan selama-lamanya." "Benar." "Soal rumah baru dan rumah lama? Sudah kamu selesaikan juga?" imbuhnya. "Sudah, rumah barunya sesuai dengan permintaan Anda, dan rumah lamanya sudah terjual," jawab Zain. "Saya meminta pemilik barunya untuk menempatinya bulan depan. Seperti yang Anda katakan, kita masih harus
William memandang Tuan Alaric cukup lama dengan keadaan bibir terbungkam. Dan itu membuat beliau berdeham seraya bertanya, "Kenapa, Nak?" William menghela dalam napasnya kemudian menggeleng, "Tidak, Pa," jawabnya. "Aku hanya ... senang karena mendapat sosok seorang Papa dari Alaric Roseanne dan bukan dari Adam Quist. Sejak menikah dengan Ivana, aku bisa melihat cinta tulus seorang ayah justru dari ayah mertuaku, dan Papa masih akan terus menjadi ayah mertuaku, selamanya." "Papa sudah pernah bilang, 'kan?" tanggap beliau. "Papa juga sedang melakukan penebusan kesalahan atas apa yang pernah Papa lakukan di masa lalu, kegagalan Papa melindungi Ivana dan ibunya jadi Papa melakukan apapun untuk bisa membuat Leonora bahagia. Dan karena dia adalah istrimu, jadi Papa juga akan melindungi kamu dan Keano." William mengangguk dengan penuh terima kasih, "Terima kasih, Pa," ucapnya. "Seperti yang Papa katakan, aku akan menyelesaikan apa yang sudah Papa mulai. Terima kasih sudah menjaga Lilia dan