done 2 bab yah akak semuanya 🌝 apakah kalian menemukan sesuatu dari kalimat Tuan Alaric?????? komentar dan ulasan, vote juga yah... terima kasih ☺️
Setelah mengusir semua orang agar perg dari hadapannya, William masih berdiri di ruang makan. Meski napasnya sudah lebih beraturan ketimbang saat ia tadi hampir membuat Gretha celaka, tapi detak jantungnya masih berdebar. Kalimat-kalimat yang dikatakan oleh Gretha—tentang adanya kemungkinan bahwa Lilia meninggalkannya demi orang lain atau sekarang ada di tempat madam Savannah—telah membuatnya terprovokasi. “Mereka sudah pulang, Tuan William,” ucap Giff yang tiba di hadapan William. “Anda bisa beristirahat sekarang.” “Bagaimana jika itu benar, Giff?” tanya William alih-alih menanggapi saran dari tangan kanannya itu. “Apa?” taya Giff balik, tak mengerti apa yang ditanyakan oleh tuannya. “Lilia yang akhirnya memilih pergi dengan orang lain karena—“ “Itu tidak benar,” sela Giff dengan cepat. “Itu tidak benar, Tuan William. Kita tahu seperti apa bahagianya Nona Lilia saat Anda melamarnya, bukan? Apa rasa cintanya pada Keano harus anda pertanyakan sehingga Anda meragukannya dengan lari
‘Apa itu Gretha?’ tanya William dalam hati begitu mendengar ‘wanita hamil’ yang dikatakan oleh Madam Savannah. Tapi, jika benar ‘wanita hamil’ itu adalah Gretha, lalu siapa pria yang datang bersamanya? “Kamu tahu siapa nama pria itu?” tanya William dan dijawab dengan gelengan lebih dulu oleh Madam Savannah. “Tidak, Tuan,” jawabnya. Giff selangkah maju dan menunjukkan layar ponselnya pada wanita berlipstik merah itu. “Apa dia wanita hamil itu?” tanyanya “Ya,” jawab Madam Savannah dengan mengangguk lebih dari satu kali. “Dan ini si pria yang datang ke sini?” taya Giff kembali setelah menggeser layar ponselnya. “Benar.” Sekali lagi Madam Savannah menganggukkan kepalanya. William menoleh sekilas pada Giff yang rahangnya tampak mengetat, melihat dari ekspresinya dan dari bagaimana ia dengan cepat menunjukkan foto, sepertinya ada sesuatu yang telah dilewatkan oleh William. “A-apa kalian sudah menemukan jawabannya?” tanya Madam Savannah dengan gugup—terlihat sangat jelas me
“Lazimnya seseorang hanya akan mengatakan itu sebagai ‘kebakaran’ dan bukan ‘dibakar orang’ begitu maksud Anda?” tanya Giff memperjelas. “Iya. Apa dia salah bicara, atau dia tahu sesuatu tentang tragedi di vila itu?” Untuk sesaat Giff membeku di tempatnya berdiri. Kakinya terpancang di lantai teriring tubuhnya yang mendadak kebas saat mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh tuannya itu. “Jika dugaanmu benar bahwa Gretha yang meminta Henry untuk membuat Keano tenggelam, maka bisa juga dia melakukan sesuatu yang lebih buruk, ‘kan? Membakar vila milikku misalkan.” Giff menegang sekali lagi. “Dia sakit hati karena aku menolaknya, lalu mencari celah untuk sampai di vila dan menghancurkan semua rencana hidup bahagiaku dengan Lilia dan Keano,” lanjut William. “Jika itu benar... kemungkinan mereka masih hidup juga semakin kecil, Giff ... seseorang yang diliputi dendam akan menghabisi apapun yang menghalangi jalannya. Bagi Gretha, itu adalah Keano ... dan Lilia-ku.” Bibir Giff ingin
"Kehilangan memang berat dan menyakitkan, William," ucap Nicholas setelah keheningan yang panjang menghampiri mereka. "Aku minta maaf karena tidak bisa membantumu. Tapi jika kamu membutuhkan seseorang untuk bisa kamu ajak bicara, aku akan menjadi yang pertama untuk itu." Nicholas meraih lengannya, sedikit lebih kuat seolah itu adalah kesungguhan bicaranya. "Kita bisa pergi ke banyak tempat agar kamu tidak terus seperti ini, bagaimana?" William menggeleng, "Tidak, Nic. Terima kasih." Ia lalu memalingkan wajahnya dan mengayunkan kakinya untuk pergi dari hadapan Nicholas. Tak ingin berdiri terlalu lama di sana dan menunjukkan betapa hancur lebur dirinya ini. Ia memasuki mobilnya dan memacu sedan itu menjauh dari halaman rumah Nicholas. Matanya terasa perih, dipenuhi oleh kabut yang menghalangi jarak pandangnya. Semakin lama hal itu semakin berada di luar kendalinya sehingga ia harus menepikan mobilnya di emperan pertokoan yang tutup. William menunduk, ia tahu alasan kenapa Agni
“Kenapa tidak semudah itu, Gretha?” tanya Henry setelah mendengar ucapan Gretha. “Bukankah kamu sudah janji akan memberi aku kesempatan untuk bertanggung jawab dan membuat keluarga kita menjadi utuh kalau yang aku lakukan itu berhasil?” Sepasang iris kecoklatan pria itu masih menatap Gretha dengan teduh, ada harapan yang besar dari caranya bertutur meski Gretha terkesan tak peduli dengan itu. “Aku bisa memastikan bahwa aku sudah membakar vila itu terutama di mana Lilia dan anaknya William itu berada, Gretha,” ucapnya kembali. “Mereka tidak akan selamat.” Gretha terdengar mendorong napasnya dengan kasar. Ia yang tadinya terus menatap ke depan memutar kepalanya untuk menatap Henry. “Kenapa kamu seperti ini, Henry?” tanyanya. “Seseorang akan pergi jika tahu wanita yang tidur dengannya hamil. Tapi kenapa kamu tidak?” “Berapa kali harus aku katakan? Aku mencintaimu,” jawab Henry. “Kamu pikir aku suka setiap kali kamu dan Reynold berduaan? Tidak, Gretha. Tidak sama sekali. Aku sungguh m
Gretha tahu soal Pernikahan itu dari pembicaraan antara Tuan Alaric dan juga Zain yang mengatakan soal hadiah pernikahan untuk Lilia dan William. Mereka pasti berpikir pembicaraan itu hanya mereka berdua saja yang mendengar tanpa tahu keberadaan Gretha yang Hari itu datang ke kantor dan berdiam diri di luar ruang kerja Alaric di Seans Holdings. ‘Pernikahan?!’ Gretha ingat hari itu ia sangat terkejut. Hatinya memanas, rasa sesak menyakitinya saat ia mengayunkan kaki dan menyembunyikan diri di balik lemari arsip saat Tuan Alaric dan Zain pergi dari sana. Selepas dua orang itu meninggalkan ruang kerja presiden direktur, Gretha masuk dan mencoba mencari tahu di mana pernikahan tertutup itu dilaksanakan. Ia mencari sesuatu seperti undangan yang barangkali tertumpuk di bawah map-map hard cover yang ada di atas meja Tuan Alaric, tapi tak membuahkan hasil. ‘Sialan!’ Umpatannya saat itu masih bisa ia ingat dengan jelas. ‘Di mana mereka akan menikah? William sengaja menyembunyik
Meski William merasakan keretakan yang besar di dalam hatinya, ia masih tak mau mengakui bahwa semuanya telah berakhir. “Tuan William!” seru sebuah suara yang hadirnya bersaing dengan gaduhnya suara air hujan. Derap larinya terdengar mendekat pada William dengan napas yang tersengal. Saat William perlahan mengangkat wajahnya, ia menemukan wajah cemas Giff yang basah sama sepertinya. “Kita harus pulang,” ucap Giff seraya membantu William bangun. Giff meraih payung hitam yang terbalik di sebelah William berlutut dan menggunakannya untuk memayungi tuannya itu agar hujan tak semakin menyakitinya selagi ia menarik lengannya untuk menuju ke mobil yang parkir di luar gerbang. Tak hanya Giff saja, tapi William melihat tangan kanannya itu datang bersama dengan Zain. “Ayo masuk, kita pergi dari sini,” ajak Giff, meminta William untuk masuk ke dalam mobil sementara dirinya yang mengemudikannya, Zain yang ada di sedan lain di belakang Giff mengiringi perginya mereka meninggalkan puing-pui
Tetapi untungnya ... William tidak mengalami hal yang terlampau buruk. Meski hampir fatal, tetapi ia tak mengalami kegagalan organ. Pada siang yang mendung putihnya terlihat sejak pagi dari jendela, pria itu duduk di arat ranjang rawatnya dengan kepala tertunduk. Ia tak sendirian, di sebelah ranjang itu, ada sebuah kursi berwarna hitam tempat di mana seorang wanita psikiater yang akan mendampinginya dalam konsultasi kejiwaan duduk. Wanita yang sama yang kala itu menangani Keano dan Lilia, temannya yang bernama Andara. “Kamu tampak lebih rapuh ketimbang saat kehilangan istri terdahulumu, Liam,” ujar Andara, setelah menyiapkan voice recorder, buku agenda bersampul hitam di pangkuannya dan memegang pena beraksen emas itu di antara jemarinya. “Terlihat sekali kamu tertekan, ada badai yang merusakmu dari dalam,” lanjutnya. “Ceritakan padaku, aku akan mendengarnya dengan baik. Percayalah ... saat kamu nanti bisa mengatakannya, kamu akan jauh lebih tenang. Aku di sini untuk itu, anggap
Membutuhkan waktu beberapa lama untuk Lilia pulih dan membawanya ke tempat ini. Berminggu-minggu berlalu, Alaric masih belum bisa melihat bahwa anak perempuannya itu mengingat kembali siapa sebenarnya Keano dan William. Ia tak pernah mendesak Lilia untuk mengingatnya. Asalkan ia bahagia dalam rasa aman di sini, baginya itu sudah cukup. Ia juga memperbolehkannya yang berkeinginan menjadi guru di preschool kecil yang tak jauh dari rumah yang saat itu membutuhkan guru tambahan. Setelah keadaan sedikit membaik dan Alaric melihat William yang jauh lebih tenang, ia berpikir bahwa sudah waktunya memberi William ‘hadiah’ untuk kesabarannya selama ini, yakni mempertemukannya kembali dengan Lilia dan Keano. Begitulah semuanya terjadi …. Alaric terjaga dari ingatan panjangnya itu saat ponsel yang ada di atas mejanya berdering. Sebuah kamar hotel yang ditinggalinya tanpa William atau pun Giff tahu bahwa sebenarnya ia ikut dalam kunjungan ini. “Saya keluar dulu, Tuan,” ucap Zain. “Hubungi s
“Itu Nona Lilia dan Tuan Muda Keano, Tuan,” seru Zain sembari menepikan mobilnya. Alaric berlari keluar dan menghampiri mereka. “Lilia, Keano!” panggilnya dengan suara yang gemetar. Hatinya seakan habis menyaksikan mereka berdua yang tergugu dalam tangis, saling menguatkan. Air matanya luntur kala ia mendengar Keano memanggilnya, “Opa?” Alih-alih mempedulikan dirinya, yang ia minta justru agar Alaric menolong Lilia. “Tolong Mama, Opa ….” Zain mengangkat Keano, mengambilnya dari Lilia sementara Alaric membantu Lilia bangun dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Lilia,” panggil Alaric yang duduk di kursi belakang, mengguncang tubuh Lilia yang penuh dengan debu hitam seraya melepas jasnya untuk menutupi tubuhnya. “Nak, apa yang terjadi, kamu baik-baik saja?” tanyanya. “Vilanya kebakaran, Opa,” sahut Keano yang duduk di depan, ditempatkan di sana oleh Zain setelah pemuda itu melepas pakaiannya yang basah dan membalut bocah kecil itu dengan jas miliknya. “Kebakaran?” ulang
“Benar,” jawab Alya dengan yakin. “Setelah panggilan saya Anda matikan saat itu, Nyonya Bertha mencecar saya. Dia tanya apa yang ingin saya katakan pada Anda. Saya bersikeras memilih diam tetapi Nyonya Bertha mendorong saya dari tangga lantai dua kemudian saya tidak ingat apapun sejak hari itu.” “Jadi kamu tidak jatuh di kamar mandi seperti yang selama ini aku ketahui dan dikatakan oleh para pelayan?” Alya mengangguk, “Iya, Tuan. Tolong berhati-hatilah ... di dalam rumah itu semuanya berisi pengkhianat,” jawabnya. “Saya memang mengalami gangguan hati sejak lama, tapi yang membuat saya mengalami pendarahan di otak itu adalah Nyonya Bertha. Tapi saya sangat bersyukur sekarang karena bisa kembali sadar dan dapat mengatakan semua kebenaran ini kepada Anda.” Alaric telah mengerti situasinya sekarang. Bertha yang bertanggung jawab atas semua ini. Dilihat dari wanita itu yang masih belum melangkah lebih lanjut, sepertinya ia belum tahu jika Alya telah sadar. Keputusan William dan Lilia d
“Lalu setelah itu kamu membawanya pulang?” Alaric menatap Alya yang tertunduk tak berani menunjukkan wajahnya. “Benar,” jawabnya kemudian menggapai tisu yang ada di atas meja untuk mengusap wajahnya yang bersimbah air mata. “Saya teringat pada ucapan Nyonya Agatha yang menyebut bahwa saya harus melindungi Nona Leonora kecil apapun yang terjadi. Saat itu saya tidak tahu kenapa beliau berpesan begitu, tapi kemudian saya tahu alasannya, karena Nyonya tahu ada teman yang menusuknya dari belakang dan diam-diam ingin menyingkirkannya agar bisa menjadi Nyonya Roseanne.” Alaric jatuh kedua bahunya, kebenaran yang ia dapatkan tentang Lilia yang ternyata adalah anak kandungnya membuatnya mengetahui kebenaran yang lebih besar yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa itu. Siapa sangka bahwa itu adalah kejahatan terencana yang bersembunyi di bawah tabir kelam yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. “Jadi setelah itu saya terus menyembunyikan Nona Leonora,” lanjut Alya. “Saya bilang pada suami
Alaric tidak akan pernah melupakan hari di mana ia menemukan kenyataan bahwa Lilia adalah anak gadisnya yang menghilang lebih dari dua dekade lamanya.*** Kembali pada delapan puluh dua hari yang lalu. ***Alaric tengah duduk di bangku memanjang yang ada di taman rumah sakit, di depannya—sedikit ke kanan—Zain berdiri menatapnya dengan cemas.Di tangan Alaric ada sebuah amplop berwarna putih, hasil tes DNA yang beberapa hari lalu diajukannya telah memiliki hasilnya.Ia menghela dalam napasnya saat mengambil lembaran dari dalam sana dan membacanya dengan saksama.[Bukti ilmiah yang diperoleh dengan mengacu pada sampel yang diperiksa dan dianalisis dari terduga ayah (Alaric Roseanne) cocok dengan sampel terduga anak (Lilia Zamora). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa probabilitas Alaric Roseanne sebagai ayah biologis dari Lilia Zamora adalah 99,99%.]“Bagaimana, Tuan?” tanya Zain yang turut tegang di hadapannya.Tapi sebelum Alaric menjawab, kelegaan dorongan napas tuannya itu telah m
Dada William buncah tak terkendali, ia selangkah maju untuk mengulang apa yang gadis—yang mengakui dirinya adalah Lilia Zamora—itu katakan. “Belum pernah bertemu?” ulangnya. “Apa maksudmu, Lilia? Dan kenapa kamu tidak mengenaliku? Kamu hanya berpura-pura, ‘kan?” Lilia menggeleng, maniknya yang cantik tampak kebingungan, selaras dengan kalimatnya sebagai bantahan. “Tidak,” jawabnya. “Berpura-pura bagaimana maksud Anda? Kenapa saya harus mengenal orang yang baru saja saya lihat hari ini?” William hendak meraih tangan Lilia agar membuat mereka lebih dekat karena ia melihat punggung Lilia yang basah terkena tempias hujan. Tapi gadis itu menolak sehingga William hanya bergeming. “Tuan William,” panggil Giff dari sebelah kirinya, menjemput William dengan menggunakan payung dengan warna yang sama dengan milik Lilia. Gadis itu memandang mereka bergantian sebelum menunduk di hadapan William dan mengayunkan kakinya pergi dari sana dengan gegas. William hendak mencegahnya tetapi m
Dari dalam sedan berlambang flying lady di mana Giff sedang berada di dalamnya, sepasang matanya terbuka lebar saat menjumpai bahwa apa yang dikatakan oleh William adalah sebuah kebenaran. Gadis yang berlari dari arah barat dan berhenti di hadapan William kala tuannya itu memandang preschool kecil itu dengan harapan yang pupus benar adalah Lilia—atau setidaknya mereka memiliki wajah yang sama persis. Gadis itu hanya berdiri setinggi dada William, pembawaannya yang anggun dan hangat adalah hal yang senantiasa disaksikan oleh Giff setiap kali Nonanya itu berada di depan William. Ia hidup! Lilia benar-benar hidup. ‘Tapi sepertinya … ada sesuatu yang salah di sini.’ Batin Giff tak tenang saat melihat percakapan di seberang sana yang sepertinya tidak berjalan dengan baik. Sementara itu, di depan gerbang rendah yang basah akibat derasnya hujan, William tengah meraba apa yang direncanakan oleh semesta dengan mempertemukannya dengan Lilia saat ia berusaha melepasnya dengan lapang d
Tanpa sadar, sebulir air matanya jatuh melewati bibir saat William menggumamkan namanya di dalam hati. Ia hampir selangkah maju untuk memastikan bahwa gadis di halaman preschool itu adalah Lilia sebelum Zain menahan lengannya sebab baru saja ada kendaraan yang melintas. “Tuan William?” panggil Zain pada William yang hanya bergeming. Matanya hanya tertuju pada satu titik, tempat di mana Lilia berdiri, satu-satunya dunia yang berwarna sementara di sekitarnya hanya berisikan abu-abu. Lilia terlihat sangat bahagia saat mengajak anak-anak kecil itu bernyanyi, membuat mereka berputar mengelilinginya sehingga senyumnya merekah sehangat matahari pagi ini. “Ada apa, Tuan William?” sebut Zain sekali lagi. William tersadar dan memandang pemuda itu seraya mengembalikan tanya, “Pak Zain tidak melihatnya?” “Apa?” “Lilia,” jawabnya. “Dia berdiri di sana bersama dengan—“ William berhenti bicara saat menunjuk pada halaman preschool itu. Tapi saat hal itu ia lakukan, tak ada yang berdiri di sa
William tahu betul bahwa ‘projek’ yang baru saja disebutkan oleh Giff itu adalah yang dulu pernah ia dan Gretha kerjakan—pembangunan sekolah yang tempatnya cukup jauh dari kota. “Bukankah aku sudah pernah berpesan padamu agar mengatakan pada Papa Alaric untuk tidak mengikutsertakan wanita itu?” William sangat tidak suka jika ia harus menyebutkan namanya sekali lagi. Kedua bahu Giff jatuh mendengar itu. “Coba tenang sebentar,” pintanya. “Memang itu adalah projek yang pernah Anda kerjakan bersamanya, tapi kali ini tidak. Kita saja, tanpa ada ikut campur Gretha.” Mendengar itu membuat William berdeham, merasa bersalah sudah meninggikan suaranya pada Giff. “Ah, benarkah?” tanyanya. “Kalau begitu jangan setengah-setengah saat bicara, katakan dengan jelas, Giff!” “Saya memang belum selesai bicara, Tuan William Quist!” “Lalu Papa bilang apa lagi?” “Tuan Alaric meminta agar pembangunannya dipercepat, jadi kita sesekali harus mengeceknya, itu saja,” jawab pemuda itu seraya sel