Home / Romansa / Bersandar pada Ketakutan / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Bersandar pada Ketakutan: Chapter 21 - Chapter 30

50 Chapters

21. Pertemuan Canggung

Amethyst berdiri ragu di depan rumah neneknya. Rumah besar dengan desain kuno yang asri, dihiasi bunga-bunga di taman depan, terlihat sama seperti terakhir kali ia berkunjung. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Jemarinya menggenggam tangan Dominic yang berdiri di sampingnya, memberinya dorongan keberanian. Dominic menunduk, menatapnya sambil tersenyum tenang. “Santai saja. Aku ada di sini.” Amethyst hanya mengangguk kecil sebelum melangkah ke pintu, mengetuk dengan ringan. Pintu terbuka, memperlihatkan neneknya yang tersenyum lebar, meski tatapannya penuh ekspektasi. Amethyst menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke dalam rumah neneknya. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia langsung disambut oleh aroma khas teh melati dan kayu tua. Rumah ini selalu terasa seperti memori yang terjebak di masa lalu, dengan perabotan antik, foto-foto keluarga berbingkai kayu, dan suasana yang entah mengapa selalu membuatnya merasa... kecil. Neneknya berdiri di ruan
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more

22. Ikatan Kakak Beradik

Amethyst duduk di kursi rotan di teras belakang, memandangi kebun kecil neneknya yang dipenuhi bunga mawar dan melati. Cahaya matahari sore menembus celah dedaunan, menciptakan bayangan lembut di wajahnya. Ia tahu Michael akan segera datang, seperti yang ia janjikan. Dan ketika kakaknya muncul dari pintu belakang, Amethyst menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya. Michael berjalan perlahan, tangannya memegang secangkir kopi. Ia duduk di kursi di seberang Amethyst, diam selama beberapa detik sebelum akhirnya membuka suara. Michael mengaduk kopinya dengan perlahan, menatap cairan hitam itu seolah mencari jawaban di dalamnya. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya berkata, “Ibu masih belum ada perubahan.” Amethyst mengangkat pandangannya, wajahnya penuh kekhawatiran. “Apa dia masih... berteriak?” tanyanya ragu. Michael mengangguk, matanya terlihat lelah. “Ya. Dan semakin sering. Bahkan sekarang, kedua tangannya harus diikat.” Suaranya terdengar datar, tapi ada kekesa
last updateLast Updated : 2024-12-09
Read more

23. Kunjungan Tak Terduga

Amethyst berdiri di depan pintu apartemennya, merasa lelah setelah perjalanan panjang dan percakapan dengan Michael. Setelah mengucapkan terima kasih pada Dominic, ia mencoba tersenyum meskipun pikirannya sedang berkecamuk. Dominic memiringkan kepala, matanya menyipit sedikit seolah mencoba membaca apa yang ada di balik wajah tenangnya. “Kau yakin ingin sendiri? Aku bisa tinggal sebentar.” Amethyst menggeleng pelan. “Aku butuh waktu untuk berpikir. Aku baik-baik saja, Dominic. Terima kasih.” Dominic mendekat, jemarinya mengangkat dagu Amethyst. “Baiklah,” katanya sebelum mengecup bibirnya dengan lembut. “Tapi kalau kau butuh sesuatu, kau tahu harus menghubungi siapa.” Amethyst mengangguk, dan Dominic berbalik, melangkah menjauh. Namun, langkahnya tetap berat seolah enggan benar-benar pergi. Amethyst menutup pintu dan menghela napas panjang. Tapi sebelum ia bisa benar-benar masuk ke dalam apartemen, suara ketukan terdengar dari pintu. Amethyst membuka pintu dengan alis terangkat.
last updateLast Updated : 2024-12-09
Read more

24. Rumit

Dominic menatap Ethan tajam, menahan amarah yang sejak tadi mendidih di dadanya. Mereka berdua berada di ruang tamu rumah Marcus, tempat yang sering menjadi titik pertemuan kelompok kecil mereka. Ethan duduk di kursi dengan santai, kakinya disilangkan, tampak sama sekali tidak terganggu oleh tatapan Dominic. “Aku mendengar kau mengunjungi Amethyst tadi,” Dominic membuka percakapan dengan nada dingin. Ethan tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Dominic dengan ekspresi datar yang sulit ditebak, lalu mengangkat bahu. “Hanya mampir. Apa masalahnya?” Dominic mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, berusaha untuk tidak meledak. “Masalahnya adalah kau tidak punya alasan untuk mendekatinya.” Ethan menyeringai, senyum tipis yang lebih seperti ejekan daripada tanda keramahan. “Aku tidak ingat kau memiliki hak untuk melarangku bicara dengan siapa pun.” Ketegangan di ruangan itu meningkat seketika. Marcus, yang duduk di sofa dengan seember popcorn di pangkuannya, memutar matanya dan mel
last updateLast Updated : 2024-12-10
Read more

25. Aiden Hawthorne

Di tengah kesibukan kantor polisi, seorang pria berjalan santai di antara meja-meja penuh dokumen dan komputer. Dengan segelas ice americano di tangan, Aiden Hawthorne, detektif muda yang telah dikenal karena kepiawaiannya mengungkap kasus rumit, menyapa beberapa kolega dengan senyum ramah. Meskipun suasana santai, ada sesuatu dalam sorot matanya yang menunjukkan fokus dan ketelitian. Setibanya di mejanya, Aiden duduk dengan tenang. Meja kerjanya dipenuhi tumpukan berkas kasus yang sedang ia tangani, sebagian besar terkait kejahatan terorganisir dan kasus-kasus kriminal tingkat tinggi. Namun, satu berkas khusus menarik perhatiannya. Berkas yang sudah ia selidiki selama dua tahun terakhir, tetapi masih belum menghasilkan terobosan yang signifikan. "Dominic Blackwood," gumam Aiden sambil membuka berkas itu. Dominic bukanlah nama sembarangan. Laki-laki itu adalah pengusaha muda yang dikenal berpengaruh, dengan jaringan luas yang tersebar di banyak sektor. Tetapi Aiden tahu ada ses
last updateLast Updated : 2024-12-10
Read more

26. Jerat Yang Mengikat

Dominic berdiri di depan pintu apartemen Amethyst, mengatur napasnya sebelum mengetuk. Namun, begitu pintu terbuka dan ia melihat Amethyst berdiri di sana- dengan pakaian rumah sederhana, rambutnya yang disanggul berantakan, dan wajahnya yang polos tanpa riasan- Dominic kehilangan kendali. Dia langsung meraih wajah Amethyst, menciumnya dengan rakus, penuh gairah yang memancar dari tatapan mata obsesi dan kemarahan yang membara. Amethyst sempat terkejut, namun tubuhnya membeku di bawah tekanan Dominic. "Dominic," gumamnya tertahan ketika bibir Dominic terlepas, hanya untuk beralih mengecup pipi dan lehernya sebentar. "Jangan pakai wajah itu untuk orang lain," Dominic bergumam dengan suara rendah dan tajam. "Hanya aku yang boleh melihatmu seperti ini." Amethyst menelan ludah, bingung harus merespons seperti apa. Namun, Dominic tidak memberinya waktu untuk berpikir lebih jauh. Dia langsung menariknya ke dalam apartemen dan menutup pintu dengan bunyi yang cukup keras. Mereka duduk d
last updateLast Updated : 2024-12-11
Read more

27. Pertemuan Yang Direncanakan

Amethyst berjalan perlahan di sepanjang jalan kecil yang menuju kafe favoritnya. Ia membawa tas selempang kecil dan mengenakan dress sederhana yang membuatnya tampak lebih tenang, meskipun pikirannya masih berkecamuk. Dominic sedang sibuk, dan itu memberinya sedikit ruang untuk bernapas. Saat tiba di kafe, ia membuka pintu dan disambut aroma kopi yang menenangkan. Langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria duduk di meja pojok, melambaikan tangan ke arahnya dengan senyum ramah. Amethyst tidak mengenali pria itu. Namun, ada sesuatu dalam cara dia memandangnya yang terasa… hangat, tapi sekaligus penuh pengamatan. Membuatnya sedikit waspada. “Amethyst, kan?” Aiden berdiri, menyodorkan tangan. “Aku Aiden. Kita belum pernah bertemu, tapi aku teman lama Dominic.” Amethyst mengangguk ragu, berjabat tangan dengannya. “Oh, teman Dominic? Dia tidak pernah menyebut namamu.” Aiden tertawa kecil, seolah mencoba meredakan ketegangannya. “Mungkin karena aku lebih sering bekerja di lua
last updateLast Updated : 2024-12-11
Read more

28. Jarak Yang Tak Terlihat

Dominic sedang sibuk membaca laporan keuangan di layar laptopnya ketika pintu kantornya diketuk. Tanpa menoleh, ia menjawab dengan nada santai, "Masuk." Paman Dominic, William Blackwood, masuk dengan langkah ragu. Meski pria itu adalah paman dari Dominic, ada sesuatu dalam diri Dominic yang membuatnya segan. Dominic, dengan postur tegap dan tatapan tajam, memiliki aura dingin dan tegas yang tak dapat diabaikan. “Dominic,” William membuka percakapan. “Aku ingin membicarakan proyek pengembangan di cabang forthland.” Dominic mengangkat pandangannya, menyandarkan tubuh di kursi kulit hitamnya yang mewah. "Duduklah, Paman," katanya sambil memberikan senyum tipis. Tapi senyum itu tidak menawarkan kehangatan, melainkan peringatan. William duduk di kursi berhadapan dengan Dominic, berusaha menenangkan dirinya sebelum melanjutkan, "Aku ingin mengusulkan sesuatu. Kurasa, sudah waktunya anak sulungku, Andrew, mengambil peran di perusahaan inti. Dia punya pengalaman di lapangan, dan aku yak
last updateLast Updated : 2024-12-12
Read more

29. Kegelapan Yang Terpendam

Dominic berdiri di tengah ring, napasnya terengah-engah sementara tinjunya mengepal erat. Ia baru saja menghantamkan pukulan terakhirnya ke Marcus, yang kini terhuyung ke belakang. Marcus memaki, menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya. "Dominic! Ini sparring, bukan pembantaian!" seru Marcus, nadanya kesal. Dominic tidak menanggapi. Matanya masih penuh amarah, rahangnya mengatup kuat, dan keringat mengalir deras dari pelipisnya. Ia mengayunkan pukulannya lagi ke udara, seolah berusaha melampiaskan sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar kemarahan sesaat. Di sudut ruangan, Lucas duduk di sofa bersama Olivia. Tangannya melingkari bahu wanita itu sementara mereka tampak asyik berbisik dan bercumbu, sama sekali tidak peduli dengan kekacauan di ring. Sementara itu, Ethan duduk di kursi ruang tunggu, menatap layar laptopnya dengan tenang. Ia memeriksa e-mail yang baru masuk, wajahnya tanpa ekspresi. Namun, matanya bergerak cepat membaca setiap kata, menyimpan informasi p
last updateLast Updated : 2024-12-12
Read more

30. Permainan Dalam Bayangan

Aiden mengusak wajahnya frustasi. Sudah banyak umpatan yang keluar dari mulutnya melihat tumpukan kasus yang menggunung di meja. Disaat krisis ini, tak ada lagi Aiden yang baik hati dan ramah. Yang terlihat hanya iblis dengan aura mencekam yang mengelilinginya. Mata Aiden menyorot tajam potret Dominic yang tertempel di papan dengan garis-garis merah. "Kau ingin bermain rupanya," gumamnya dengan mata memerah. Bajingan itu mungkin berpikir, semua ini akan menghentikan semua kerja kerasnya. Tapi, lagi-lagi kali ini ia tak akan berhenti. Apalagi dengan Amethyst yang menjadi kunci keberhasilan misi besar ini. Mengingat gadis itu, Aiden dilanda dilema yang cukup besar. Ia sadar akan ketertarikannya, tapi hanya Amethyst bisa memuluskan rencananya. Aiden mengusap wajahnya berharap bayang-bayang Amethyst menghilang dari pikirannya. Namun, semakin ia berusaha maka semakin kuat pula memori singkat pertemuan itu mengakar di kepalanya. Suara Aiden yang berteriak kencang menakuti salah
last updateLast Updated : 2024-12-13
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status