Amethyst berjalan perlahan di sepanjang jalan kecil yang menuju kafe favoritnya. Ia membawa tas selempang kecil dan mengenakan dress sederhana yang membuatnya tampak lebih tenang, meskipun pikirannya masih berkecamuk. Dominic sedang sibuk, dan itu memberinya sedikit ruang untuk bernapas. Saat tiba di kafe, ia membuka pintu dan disambut aroma kopi yang menenangkan. Langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria duduk di meja pojok, melambaikan tangan ke arahnya dengan senyum ramah. Amethyst tidak mengenali pria itu. Namun, ada sesuatu dalam cara dia memandangnya yang terasa… hangat, tapi sekaligus penuh pengamatan. Membuatnya sedikit waspada. “Amethyst, kan?” Aiden berdiri, menyodorkan tangan. “Aku Aiden. Kita belum pernah bertemu, tapi aku teman lama Dominic.” Amethyst mengangguk ragu, berjabat tangan dengannya. “Oh, teman Dominic? Dia tidak pernah menyebut namamu.” Aiden tertawa kecil, seolah mencoba meredakan ketegangannya. “Mungkin karena aku lebih sering bekerja di lua
Dominic sedang sibuk membaca laporan keuangan di layar laptopnya ketika pintu kantornya diketuk. Tanpa menoleh, ia menjawab dengan nada santai, "Masuk." Paman Dominic, William Blackwood, masuk dengan langkah ragu. Meski pria itu adalah paman dari Dominic, ada sesuatu dalam diri Dominic yang membuatnya segan. Dominic, dengan postur tegap dan tatapan tajam, memiliki aura dingin dan tegas yang tak dapat diabaikan. “Dominic,” William membuka percakapan. “Aku ingin membicarakan proyek pengembangan di cabang forthland.” Dominic mengangkat pandangannya, menyandarkan tubuh di kursi kulit hitamnya yang mewah. "Duduklah, Paman," katanya sambil memberikan senyum tipis. Tapi senyum itu tidak menawarkan kehangatan, melainkan peringatan. William duduk di kursi berhadapan dengan Dominic, berusaha menenangkan dirinya sebelum melanjutkan, "Aku ingin mengusulkan sesuatu. Kurasa, sudah waktunya anak sulungku, Andrew, mengambil peran di perusahaan inti. Dia punya pengalaman di lapangan, dan aku yak
Dominic berdiri di tengah ring, napasnya terengah-engah sementara tinjunya mengepal erat. Ia baru saja menghantamkan pukulan terakhirnya ke Marcus, yang kini terhuyung ke belakang. Marcus memaki, menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya. "Dominic! Ini sparring, bukan pembantaian!" seru Marcus, nadanya kesal. Dominic tidak menanggapi. Matanya masih penuh amarah, rahangnya mengatup kuat, dan keringat mengalir deras dari pelipisnya. Ia mengayunkan pukulannya lagi ke udara, seolah berusaha melampiaskan sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar kemarahan sesaat. Di sudut ruangan, Lucas duduk di sofa bersama Olivia. Tangannya melingkari bahu wanita itu sementara mereka tampak asyik berbisik dan bercumbu, sama sekali tidak peduli dengan kekacauan di ring. Sementara itu, Ethan duduk di kursi ruang tunggu, menatap layar laptopnya dengan tenang. Ia memeriksa e-mail yang baru masuk, wajahnya tanpa ekspresi. Namun, matanya bergerak cepat membaca setiap kata, menyimpan informasi p
Aiden mengusak wajahnya frustasi. Sudah banyak umpatan yang keluar dari mulutnya melihat tumpukan kasus yang menggunung di meja. Disaat krisis ini, tak ada lagi Aiden yang baik hati dan ramah. Yang terlihat hanya iblis dengan aura mencekam yang mengelilinginya. Mata Aiden menyorot tajam potret Dominic yang tertempel di papan dengan garis-garis merah. "Kau ingin bermain rupanya," gumamnya dengan mata memerah. Bajingan itu mungkin berpikir, semua ini akan menghentikan semua kerja kerasnya. Tapi, lagi-lagi kali ini ia tak akan berhenti. Apalagi dengan Amethyst yang menjadi kunci keberhasilan misi besar ini. Mengingat gadis itu, Aiden dilanda dilema yang cukup besar. Ia sadar akan ketertarikannya, tapi hanya Amethyst bisa memuluskan rencananya. Aiden mengusap wajahnya berharap bayang-bayang Amethyst menghilang dari pikirannya. Namun, semakin ia berusaha maka semakin kuat pula memori singkat pertemuan itu mengakar di kepalanya. Suara Aiden yang berteriak kencang menakuti salah
Dominic bernafas lega terbangun dengan Amethyst di pelukannya. Hal yang selama ini ia dambakan. Harum surai hitam gadis itu seperti nikotin untuknya. Ia mengecup pucuk kepalanya dengan sayang. Melihat Amethyst yang tak terusik, Dominic beralih mengecup bibir yang sejak tadi mencuri perhatiannya. Bibir manis yang membuatnya bergairah sejak ia merasakannya pertama kali. Hingga Amethyst akhirnya terbangun mendapati Dominic telah menindih tubuhnya dengan bibirnya yang menjadi tawanan. Amethyst menepuk bahu Dominic berulang kali berharap pria itu berhenti. Namun, tindakannya tanpa sadar malah semakin memancing singa itu bangun sepenuhnya. Beberapa menit berlalu, Dominic menghisap lama bibir bawahnya sebelum berhenti dengan nafas terengah. Bagian bawahnya sudah terasa sesak dan ia butuh pelampiasan. Namun, tidak sekarang. Akan ada waktunya dia mendapatkan apa yang ia inginkan. Dipandanginya wajah Amethyst dengan seksama. Nampak cantik seperti pertama kali ia melihatnya. Dan s
Keesokan harinya, sebuah headline berita menggemparkan seluruh negeri. Potret William Blackwood yang dikenal karismatik dan bersahaja terpampang di seluruh surat kabar bahkan hingga ditayangkan di megatron. Setiap sudut kota memuat berita yang sama. > Presdir Onix Horison yang dikenal sebagai pribadi yang luar biasa ternyata seorang pembunuh. > Presdir William Blackwood adalah dalang pembunuhan co-founder Onix Horison, Bernard Hawthorne. Hampir seluruh negeri sibuk dengan ponselnya. Berbondong-bondong mengirim sumpah serapah menyebabkan situs web resmi Onix Horison lumpuh total. Dominic duduk bersandar di kursi kebesarannya dengan seringai puas tercetak di wajahnya. "Kau adalah orang paling gila yang tersenyum ditengah harga saham perusahaan mu yang terus merosot tajam," sindir Lucas. "Kalau dia muram, itu akan lebih membahayakan sayang ... biarkan dia dengan dunianya." Saran Olivia santai. Disaat semua orang sibuk dengan perspektif mereka tentang kasus ini, lima orang
Amethyst kini mulai membiasakan diri terbangun di kamar mewah. Tidak munafik, ia memang menyukai desain kamar ini. Awalnya, ia kira kamar Dominic akan bernuansa gelap dan kelabu. Namun, yang ia dapati justru kamar bernuansa krem pastel dan putih gading. Banyak foto yang mereka abadikan, dipajang di atas nakas dan dinding. Pria otoriter dan protektif itu punya sisi hangat yang telah membuatnya jatuh cinta. Akan tetapi, kini Amethyst menanyakan cinta yang ia rasakan sudah tak lagi sama. Bersamanya memang hal ternyaman dan ia sendiri merasa aman. Namun, ia juga menyadari kalau Dominic membawa tekanan tersendiri untuknya. Amethyst mengusir bayangan kabur itu dan berusaha untuk tetap di sini. "Dominic adalah jawaban yang kucari selama ini." Netranya mengedar dan melihat sebuah kotak besar yang terlihat mencolok di sofa. Begitu Amethyst mendekat, ia melihat sebuah memo kecil yang tertempel disana. - aku tidak sabar melihatmu memakainya, sweetheart. Amethyst menimbang dan memili
Amethyst menikmati waktunya memilih dress yang akan digunakannya untuk wisuda dengan semringah. Sepertinya ia terlalu abai pada dirinya sendiri setelah keluarganya berantakan. Ia teringat saran psikolog yang mendampinginya untuk bahagia lewat hal sederhana. "Kau ingin menghadiri suatu acara?" Tersentak kaget, Amethyst lantas menoleh mendapati Aiden berdiri di belakangnya. Seketika tubuhnya kaku dengan jantung yang berdetak keras. Dominic bilang, pria ini mungkin adalah saingan bisnisnya. Pria yang mengaku sebagai teman kekasihnya itu berdiri dengan senyum hangat. Menyadari Amethyst yang bersikap defensif, Aiden memperlebar senyumnya. "Bisakah kita bicara sebentar?" Berulang kali ia mencoba menemui Amethyst yang baru ia tahu telah pindah ke rumah Dominic. Pria licik itu pasti mengetahui pertemuan mereka saat itu. "Maaf, aku harus pergi," kata Amethyst dengan gugup. Namun, tangannya ditahan mencegahnya kemana-mana. "Kumohon, hanya sebentar." Aiden menunjukkan lencana detekt
Seperti hari-hari sebelumnya, Dominic kembali datang dengan membawa seikat bunga mawar di tangannya. Dia tetap datang, mengabaikan omelan Michael yang sangat terganggu dengan kehadiannya. Michael melipat tangannya di dada dengan ekspresi muak melihat Dominic yang sudah datang pagi ini. "Kau berhasil membuat mood-ku jelek sepanjang hari dengan tampangmu yang sok keren itu," ocehnya kesal. Namun, Dominic hanya tersenyum, makin memperdalam kerutan di dahi Michael. "Kau hanya perlu menutup mata." Ucapan Dominic bak bensin yang mengguyur amarah Michael hingga berkobar. "Sialan! Jika bukan karena adikku, aku juga tidak sudi melihat tampang jelekmu. Apa ini salah satu pembuktianmu? dengan melakukan hal menggelikan ini setiap hari?" Michael menatap sinis pria yang duduk di depannya ini. Daominic menunduk untuk menyembunyikan seringainya. "Jika hal menggelikan ini bisa membuktikan keseriusanku, maka aku akan terus melakukannya." Iamengangkat wajahnya untuk menatap ekspresi sebal Michael.
Dominic bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Jika dulu ia akan melakukan apapun walaupun harus merusak, kini ia akan membuktikan kalau ia pun bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan cara yang benar, tanpa menyakiti siapapun. Dan itu dimulai dari hal-hal kecil. Hari ini, Amethyst pulang berbelanja dikejutkan dengan keberadaan Dominic di depan pagar rumahnya. Pria itu berpenampilan rapi, mengenakan setelan jas navy, duduk di atas kapal mobilnya dengan keren. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Amethyst curiga. Dominic berdiri menghampirinya dengan senyum santai. "Menunggumu, tentu saja." Ia berinisiatif mengambil alih belanjaan Amethyst yang nampak berat. Amethyst menghela napas. "Sejak kapan?" Dominic melirik arlojinya. "Dua jam yang lalu. Pulang dari kantor aku langsung kesini." Matanya membelalak. "Kau gila? Kenapa tidak menghubungiku dulu jika mau mampir?" Dominic terkekeh. "Sebenarnya, aku ingin memberi kejutan untukmu, tapi dengan begini juga kau bisa melihat bet
Dominic melirik ponselnya yang terus bergetar di atas meja, menampilkan nama Michael Callahan yang terus menghubunginya akhir-akhir ini. "Angkat saja," celetuk Amethyst merasa gerah karena bunyinya getarannya sangat mengganggu. "Padahal kau yang melarang ku selama ini untuk berbicara dengan Michael."Amethyst mencebik, memilih fokus dengan tayangan televisi yang lebih menarik. Dominic mengacak singkat rambut Amethyst sebelum bangkit menuju balkon dengan ponsel yang masih bergetar di tangannya. “Ada apa?” tanya Dominic santai. “Aku ingin bertemu,” jawab Michael tanpa basa-basi. “Empat mata," sambungnya. Dominic mendesah pelan. “Apa kau ingin berdebat denganku seperti kemarin-kemarin? Atau kau ingin mengancam ku?"“Temui aku di cafe depan kantor kejaksaan. Aku tidak suka berbicara lewat telepon."Panggilan itu terputus begitu saja sebelum Dominic bisa membalas. Dominic menatap layar ponselnya yang menggelap. Ia merasa ada hal penting yang ingin Michael bicarakan dengannya, tapi a
"Bagaimana keadaan Ibu?" Amethyst meremas tangan Ibunya pelan. Ia merindukannya, lama tak bertemu membuatnya menyadari kalau sang Ibu kini makin berisi. "Kabar Ibu baik." Nyonya Callahan mengelus pipi Amethyst sayang. "Ibu lihat, wajahmu makin bersinar. Apa kau sedang dekat dengan seseorang?" Melihat pipi Amethyst yang merona, membuktikan kalau tebakannya pasti benar. "Kami hanya teman, bu ... untuk saat ini," ungkapnya malu-malu. Nyonya Callahan mengangkat alis, lalu tersenyum penuh arti. “Untuk saat ini, ya?” gumamnya, menatap putrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Amethyst mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang perlahan merayapinya. “Aku ingin melihat usahanya ... dan memantapkan hatiku untuk itu. Ibu pasti sudah mendengarnya dari kak Michael ya?” Sang ibu mengangguk pelan mengiyakan. "Apa ibu keberatan jika aku kembali dekat dengannya?" tanyanya ragu. Alasan ia belum berani bercerita tentang Dominic pada ibunya adalah takut dengan tanggapa
Dominic kembali terus menjalani terapinya dengan rutin. Kehadiran Amethyst memang sangat berefek untuk hidupnya. Sudah beberapa minggu Amethyst terus memantau perkembangannya. Menemaninya olahraga, memasak hidangan lezat dan sehat, mengajaknya mengobrol, dan semakin berani menegurnya jika ia kembali keterlaluan. "KAu terlihat semakin membaik," kata Dr. Eleanor memecah keheningan. Dominic mengangkat kepalanya untuk menatapnya. "Ya, aku punya mentor yang hebat," sahutnya dengan senyum tipis, membayangkan wajah galak Amethyst. Dr. Eleanor tersenyum kecil. “Aku bisa melihatnya. Kurasa kau sudah bisa meregulasi emosimu. Aku harap kau akan selalu seperti ini." "Tapi ingat ... kau harus menanamkan pada pemikiranmu kalau kau berubah bukan semata untuk menyenangkan pasanganmu, tapi kau berubah karena kau ingin menjadi pribadi yang lebih baik," lanjutnya tenang, memandang Dominic penuh apresiasi. Dominic menghela napas pelan. “Aku mencoba menahan diriku. Aku tidak lagi memaksanya melaku
Dominic menatap pintu ruangan di depannya dengan malas. Jika tak ada Amethyst, tentu saja Ia tak akan mau datang untuk melakukan sesi terapi. Dr. Eleanor menatapnya dengan senyum ramah saat Dominic masuk dan duduk di depannya. "Kau akhirnya mau datang kesini lagi ... setelah sekian lama. Permulaan yang bagus." Dominic mendengus. "Aku datang karena Amethyst memintaku." Dr. Eleanor mengangkat alisnya. "Dia masih punya pengaruh besar terhadapmu, ya?" Tangannya bergerak menulis sesuatu di jurnalnya. "Apa kalian kembali bersama?" tanyanya berbasa-basi. Dominic mengalihkan pandangannya. "Tidak bisa disebut seperti itu juga," ucapnya ambigu. Dr Eleanor menghela napas panjang. Memahami apa yang terjadi diantara mereka. Karena ia juga yang membantu Amethyst bangkit dari keterpurukan. "Jadi ... apa yang ingin kau ceritakan hari ini?" Dominic bersandar di kursinya dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Beberapa hari terakhir … terasa
Sore itu, Dominic duduk di ruang tamu dengan sebuah majalah di tangannya. Harinya semakin ringan setelah Amethyst kembali datang ke hidupnya."Dia selalu mengusirku kalau aku mengikutinya memasak," keluhnya sedikit kesal.Matanya dengan resah melirik ke arah dapur. Berharap Amethyst segera selesai.Saat itulah, bel pintu berbunyi. Ini sedikit janggal. Karena semua orang yang ia percaya biasanya langsung masuk setelah ia beri akses kunci biometrik di pintunya."Siapa itu?" tanyanya dalam hati.Ia beranjak membuka pintu dan menemukan seorang pria yang berdiri tegang di pintu rumahnya.Dominic memandang datar tamu yang sangat mengejutkan untuknya. "Mau apa kau kemari, Hawthorn?"Aiden Hawthorn yang biasanya percaya diri, kini nampak gugup saat berhadapan dengan Dominic. Tapi, dia harus merasa harus meluruskan semuanya."KIta perlu bicara, Dominic," ucapnya tanpa basa-basi.Dominic menaikkan sebelah alisnya penasaran. "Masuk," katanya dingin.Mata Aiden berpendar ke seluruh penjuru ruanga
Dominic duduk diam di ruang tamu terapis datang. Sejak tadi tangannya terus menggenggam Amethyst. Rasa takut, gugup, dan cemas membuatnya gusar. Amethyst memberikan senyuman untuk menguatkannya. "Kau tidak sendiri, Dominic." Dominic hanya mengangguk kecil. Kalimat Amethyst tak berhasil meredakan kegugupannya. "Apa ini akan berhasil?" tanyanya skeptis. “Tidak ada yang tahu,” jawab Amethyst jujur. “Tapi kau harus mencobanya, Dominic. Ini bukan hanya tentangmu ... ini juga tentang kita. ” "Kau tidak akan meninggalkanku, kan?" tanya Dominic memastikan. Dia tak bisa melalui proses ini jika tanpa Amethyst di sampingnya. Melihat ekspresi Dominic yang seperti anak kecil sedikit menimbulkan geli di hatinya. “Selalu," katanya dengan senyum lembut. --- "Selamat siang, Tuan Dominic." Dokter Eleanor tersenyum melihat keduanya tampak akur. "Lama tidak bertemu, Amethyst," sapanya ramah. "Siang, dok. Saya di sini menemani Dominic." Amethyst merasa sungkan. "Tidak apa, kulihat Tuan Do
Amethyst berdiri di depan Villa Dominic dengan napas tertahan. Ia berkali-kali meyakinkan dirinya untuk tetap datang ke sini dan mengesampingkan masa lalu. Ketika ia membuka pintu, Dominic telah berdiri menyambutnya dengan senyum diwajahnya. Pria itu masih terlihat rapuh, tapi sorot matanya terlihat bersinar kali ini. “Kau datang lagi,” gumam Dominic dengan senang. Amethyst tersenyum tipis menghampiri Dominic perlahan. “Aku sudah bilang padamu kalau aku akan membantumu. Tidak mungkin aku ingkar.” Dominic tersenyum saat lengannya digandeng. Mereka masuk ke ruang keluarga yang sepi, namu terasa hangat bagi Dominic karena kedatangan Amethyst. “Kau sudah makan?” tanya Amethyst sambil melirik secangkir kopi hitam yang sudah tandas setengahnya. Dominic menggeleng pelan. “Belum terlalu lapar.” Amethyst mendesah. “Dominic ... kau harus menjaga dirimu. jangan biasakan untuk minum kafein sebelum makan," omelnya. "Apa butuh aku untuk mengatur segala urusanmu?" tanya Amethyst sebal. Dom