Amethyst kini mulai membiasakan diri terbangun di kamar mewah. Tidak munafik, ia memang menyukai desain kamar ini. Awalnya, ia kira kamar Dominic akan bernuansa gelap dan kelabu. Namun, yang ia dapati justru kamar bernuansa krem pastel dan putih gading. Banyak foto yang mereka abadikan, dipajang di atas nakas dan dinding. Pria otoriter dan protektif itu punya sisi hangat yang telah membuatnya jatuh cinta. Akan tetapi, kini Amethyst menanyakan cinta yang ia rasakan sudah tak lagi sama. Bersamanya memang hal ternyaman dan ia sendiri merasa aman. Namun, ia juga menyadari kalau Dominic membawa tekanan tersendiri untuknya. Amethyst mengusir bayangan kabur itu dan berusaha untuk tetap di sini. "Dominic adalah jawaban yang kucari selama ini." Netranya mengedar dan melihat sebuah kotak besar yang terlihat mencolok di sofa. Begitu Amethyst mendekat, ia melihat sebuah memo kecil yang tertempel disana. - aku tidak sabar melihatmu memakainya, sweetheart. Amethyst menimbang dan memili
Amethyst menikmati waktunya memilih dress yang akan digunakannya untuk wisuda dengan semringah. Sepertinya ia terlalu abai pada dirinya sendiri setelah keluarganya berantakan. Ia teringat saran psikolog yang mendampinginya untuk bahagia lewat hal sederhana. "Kau ingin menghadiri suatu acara?" Tersentak kaget, Amethyst lantas menoleh mendapati Aiden berdiri di belakangnya. Seketika tubuhnya kaku dengan jantung yang berdetak keras. Dominic bilang, pria ini mungkin adalah saingan bisnisnya. Pria yang mengaku sebagai teman kekasihnya itu berdiri dengan senyum hangat. Menyadari Amethyst yang bersikap defensif, Aiden memperlebar senyumnya. "Bisakah kita bicara sebentar?" Berulang kali ia mencoba menemui Amethyst yang baru ia tahu telah pindah ke rumah Dominic. Pria licik itu pasti mengetahui pertemuan mereka saat itu. "Maaf, aku harus pergi," kata Amethyst dengan gugup. Namun, tangannya ditahan mencegahnya kemana-mana. "Kumohon, hanya sebentar." Aiden menunjukkan lencana detekt
Amethyst terjatuh ke sofa dengan tubuh gemetar setelah Dominic mendorongnya masuk ke rumah. Matanya telah basah oleh air mata. Sorot matanya terlihat ketakutan saat berdekatan dengan Dominic.Tapi Dominic tidak peduli. Pria itu menutup pintu dengan suara keras, lalu berbalik menatap Amethyst dengan ekspresi gelap. "Kau tidak mengerti apapun, Amethyst." Suara Dominic terdengar rendah dan berbahaya. "Aku melakukan semua ini untukmu."Amethyst menggelengkan kepala, mencoba menyangkal kata-katanya. "Aku tidak pernah memintamu melakukan semua itu."Dominic tertawa kecil menatap Amethyst yang tak berdaya dengan sinis. "Aku memberimu dunia, Amethyst. Aku memastikan kau bahagia, aman, dan dicintai. Dan ini balasan darimu?!""Ini bukan cinta," Amethyst berbisik sedih. Ia sudah terjerat sepenuhnya pada Dominic. Berusaha melawannya seperti ini terasa menyayat hatinya. Dominic mendekatinya, wajahnya penuh dengan kemarahan yang berusaha ia tahan. "Tidak ada yang bisa memahamimu sepertiku, Amethy
Sudah berhari-hari Amethyst menyendiri. Ia menolak sentuhan Dominic yang selalu berusaha mendekatinya. Makanan yang disiapkan sama sekali tak tersentuh, membuat Dominic kelabakan. Ia merindukan senyum Amethyst yang mendebarkan hatinya, rindu sikap manjanya yang imut, dan ia rindu menjadi tempat bersandar gadis itu. Dominic mendekati Amethyst dengan nampan ditangannya. "Sayang, aku memasakkan pancake untukmu," ucapnya dengan semangat. Namun, Amethyst tak acuh memandang kosong dibalik jendela. Kantung matanya menghitam dengan jejak air mata di pipinya. Dominic menghela napas lelah. "Sedikit saja ya ... kau belum makan dari kemarin." Dengan telaten pria itu memotong pancake dan menyodorkannya pada Amethyst. Namun, diamnya gadis itu membuatnya kesal juga. Dominic membanting pisau ditangannya dengan keras hingga mengejutkan Amethyst. "Makan sekarang juga!" Nada suaranya tidak tinggi. Namun, rendah dan mengancam membuat Amethyst gemetar meraih piring pancakenya. Amethyst makan
Amethyst duduk di tepi tempat tidur, memandangi dress dan perlengkapan wisudanya yang baru saja diantarkan.Ada sepasang sepatu, tas tangan kecil, dan kotak perhiasan berisi kalung sederhana yang bisa ia tebak berapa mahal harganya.Dominic benar-benar menyiapkannya sedetail mungkin. Harusnya ia bahagia, tapi ia justru merasa hampa. Mata Amethyst beralih pada Dominic yang terlihat mondar-mandir mengatur kebutuhan wisudanya. Disela kesibukannya, pria itu justru dengan senang hati mengurus hal remeh. Wajah pria itu yang serius membuat Amethyst terenyuh. Dominic tetaplah pria yang memang membuatnya jatuh cinta. Tanpa adanya permainan didalamnya, Amethyst pasti juga akan terjatuh pada pesonanya. Hal yang membuat Amethyst kadang bertanya-tanya. Mengapa cintanya pada Dominic begitu mendalam? Ia kembali menangis diam-diam. Knangan manis dan pahit mereka berputar bak roll film di kepalanya. Ketika malam tiba, Dominic pulang dari kantor dengan langkah tergesa. Penampilannya terlihat kusut
Hari yang sangat Amethyst tunggu-tunggu akhirnya tiba. Ia berdiri di depan cermin yang ada di walk-in closet memandang berapa cantiknya dress Champagne pilihan Dominic. Netranya memindai penampilannya yang terlihat sempurna berkat aturan Dominic tentu saja. Pria itu secara teliti memastikan semua persiapannya sempurna. Ia bahkan memesan sebuah tiara khusus untuknya. "Kau selalu cantik, sayang," celetuk Dominic begitu melihat Amethyst yang melamun di depan cermin. Penampilan Dominic yang selalu terlihat paripurna dengan setelan jasnya memang selalu menjadi data tarik yang membuat Amethyst terpana setiap saat. Amethyst berdehem dengan wajah yang merona, "terima kasih ... kau juga terlihat tampan seperti biasanya," pujinya dengan tulus. Dominic menghampirinya untuk meletakkan tiara di kepala Amethyst. "Like a queen," gumamnya tepat di telinga Amethyst. Gadis itu menatap kosong pada tiara yang nampak berkilau bertengger di kepalanya. Cantik seperti yang Dominic katakan. Namun,
Sepanjang perjalanan, Amethyst hanya diam dan menatap kosong jalanan menggenggam tiara dengan pikiran berkecamuk. Dominic memperhatikannya sembari fokus mengemudi. Ia tak suka Amethyst yang diam seperti ini. “Sayang, apa yang kau pikirkan?” Dominic akhirnya memecahkan keheningan dengan bertanya selembut mungkin untuk menarik perhatiannya. Amethyst tidak langsung menjawab. Ia seolah menimbang sesuatu dan berusaha menyembunyikan kegelisahan yang. “Aku hanya memikirkan kak Michael,” jawabnya dengan pelan nyaris tak terdengar setelah terdiam agak lama. Dominic mencengkeram setir kemudi berusaha meredam amarah dan rasa cemburunya. Dia tak suka Amethyst memikirkan pria lain yang bukan dirinya, bahkan Michael. Pria yang selalu berusaha mengambil Amethyst darinya. "Dia adalah pria dewasa yang tak perlu kau pikirkan," geram Dominic tak habis pikir. Amethyst hanya mengangguk dan kembali tenggelam dalam lamunan. Dominic akhirnya menyerah untuk mengajaknya bicara. Ia berusaha menahan diri
Hari ini Amethyst bangun lebih pagi disaat suasana di luar masih gelap. Ia mencoba bergerak melepaskan belitan tangan Dominic."Domi, aku butuh ke kamar mandi," katanya pelan"Baiklah, sebentar saja." Dominic mengalah dan melepaskannya. Amethyst mengunci pintu kamar mandi sambil menghela nafas panjang. Pikirannya yang bercabang membuatnya sulit untuk tidur lelap. Ia duduk di kloset yang tertutup, menatap ubin yang dingin. "Apakah ini sudah tepat?"Amethyst menggumamkan kalimat itu berulang-ulang di kepalanya. Ia merasa, kembali bersama Dominic adalah keputusan salah dan yang terbaik disaat yang bersamaan. Amethyst terlonjak ketika mendengar suara Dominic dari balik pintu. "Sayang, kau baik-baik saja?" tanya Dominic terdengar dengan sedikit tekanan. "I-ini ... aku akan segera keluar." Gegas, Amethyst mencuci wajahnya untuk menutupi jejak kegelisahan. Ia mengatur nafas sebelum membuka pintu secara natural. Dominic berdiri tegak dibalik pintu kamar mandi bertelanjang dada. Meskipun
Seperti hari-hari sebelumnya, Dominic kembali datang dengan membawa seikat bunga mawar di tangannya. Dia tetap datang, mengabaikan omelan Michael yang sangat terganggu dengan kehadiannya. Michael melipat tangannya di dada dengan ekspresi muak melihat Dominic yang sudah datang pagi ini. "Kau berhasil membuat mood-ku jelek sepanjang hari dengan tampangmu yang sok keren itu," ocehnya kesal. Namun, Dominic hanya tersenyum, makin memperdalam kerutan di dahi Michael. "Kau hanya perlu menutup mata." Ucapan Dominic bak bensin yang mengguyur amarah Michael hingga berkobar. "Sialan! Jika bukan karena adikku, aku juga tidak sudi melihat tampang jelekmu. Apa ini salah satu pembuktianmu? dengan melakukan hal menggelikan ini setiap hari?" Michael menatap sinis pria yang duduk di depannya ini. Daominic menunduk untuk menyembunyikan seringainya. "Jika hal menggelikan ini bisa membuktikan keseriusanku, maka aku akan terus melakukannya." Iamengangkat wajahnya untuk menatap ekspresi sebal Michael.
Dominic bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Jika dulu ia akan melakukan apapun walaupun harus merusak, kini ia akan membuktikan kalau ia pun bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan cara yang benar, tanpa menyakiti siapapun. Dan itu dimulai dari hal-hal kecil. Hari ini, Amethyst pulang berbelanja dikejutkan dengan keberadaan Dominic di depan pagar rumahnya. Pria itu berpenampilan rapi, mengenakan setelan jas navy, duduk di atas kapal mobilnya dengan keren. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Amethyst curiga. Dominic berdiri menghampirinya dengan senyum santai. "Menunggumu, tentu saja." Ia berinisiatif mengambil alih belanjaan Amethyst yang nampak berat. Amethyst menghela napas. "Sejak kapan?" Dominic melirik arlojinya. "Dua jam yang lalu. Pulang dari kantor aku langsung kesini." Matanya membelalak. "Kau gila? Kenapa tidak menghubungiku dulu jika mau mampir?" Dominic terkekeh. "Sebenarnya, aku ingin memberi kejutan untukmu, tapi dengan begini juga kau bisa melihat bet
Dominic melirik ponselnya yang terus bergetar di atas meja, menampilkan nama Michael Callahan yang terus menghubunginya akhir-akhir ini. "Angkat saja," celetuk Amethyst merasa gerah karena bunyinya getarannya sangat mengganggu. "Padahal kau yang melarang ku selama ini untuk berbicara dengan Michael."Amethyst mencebik, memilih fokus dengan tayangan televisi yang lebih menarik. Dominic mengacak singkat rambut Amethyst sebelum bangkit menuju balkon dengan ponsel yang masih bergetar di tangannya. “Ada apa?” tanya Dominic santai. “Aku ingin bertemu,” jawab Michael tanpa basa-basi. “Empat mata," sambungnya. Dominic mendesah pelan. “Apa kau ingin berdebat denganku seperti kemarin-kemarin? Atau kau ingin mengancam ku?"“Temui aku di cafe depan kantor kejaksaan. Aku tidak suka berbicara lewat telepon."Panggilan itu terputus begitu saja sebelum Dominic bisa membalas. Dominic menatap layar ponselnya yang menggelap. Ia merasa ada hal penting yang ingin Michael bicarakan dengannya, tapi a
"Bagaimana keadaan Ibu?" Amethyst meremas tangan Ibunya pelan. Ia merindukannya, lama tak bertemu membuatnya menyadari kalau sang Ibu kini makin berisi. "Kabar Ibu baik." Nyonya Callahan mengelus pipi Amethyst sayang. "Ibu lihat, wajahmu makin bersinar. Apa kau sedang dekat dengan seseorang?" Melihat pipi Amethyst yang merona, membuktikan kalau tebakannya pasti benar. "Kami hanya teman, bu ... untuk saat ini," ungkapnya malu-malu. Nyonya Callahan mengangkat alis, lalu tersenyum penuh arti. “Untuk saat ini, ya?” gumamnya, menatap putrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Amethyst mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang perlahan merayapinya. “Aku ingin melihat usahanya ... dan memantapkan hatiku untuk itu. Ibu pasti sudah mendengarnya dari kak Michael ya?” Sang ibu mengangguk pelan mengiyakan. "Apa ibu keberatan jika aku kembali dekat dengannya?" tanyanya ragu. Alasan ia belum berani bercerita tentang Dominic pada ibunya adalah takut dengan tanggapa
Dominic kembali terus menjalani terapinya dengan rutin. Kehadiran Amethyst memang sangat berefek untuk hidupnya. Sudah beberapa minggu Amethyst terus memantau perkembangannya. Menemaninya olahraga, memasak hidangan lezat dan sehat, mengajaknya mengobrol, dan semakin berani menegurnya jika ia kembali keterlaluan. "KAu terlihat semakin membaik," kata Dr. Eleanor memecah keheningan. Dominic mengangkat kepalanya untuk menatapnya. "Ya, aku punya mentor yang hebat," sahutnya dengan senyum tipis, membayangkan wajah galak Amethyst. Dr. Eleanor tersenyum kecil. “Aku bisa melihatnya. Kurasa kau sudah bisa meregulasi emosimu. Aku harap kau akan selalu seperti ini." "Tapi ingat ... kau harus menanamkan pada pemikiranmu kalau kau berubah bukan semata untuk menyenangkan pasanganmu, tapi kau berubah karena kau ingin menjadi pribadi yang lebih baik," lanjutnya tenang, memandang Dominic penuh apresiasi. Dominic menghela napas pelan. “Aku mencoba menahan diriku. Aku tidak lagi memaksanya melaku
Dominic menatap pintu ruangan di depannya dengan malas. Jika tak ada Amethyst, tentu saja Ia tak akan mau datang untuk melakukan sesi terapi. Dr. Eleanor menatapnya dengan senyum ramah saat Dominic masuk dan duduk di depannya. "Kau akhirnya mau datang kesini lagi ... setelah sekian lama. Permulaan yang bagus." Dominic mendengus. "Aku datang karena Amethyst memintaku." Dr. Eleanor mengangkat alisnya. "Dia masih punya pengaruh besar terhadapmu, ya?" Tangannya bergerak menulis sesuatu di jurnalnya. "Apa kalian kembali bersama?" tanyanya berbasa-basi. Dominic mengalihkan pandangannya. "Tidak bisa disebut seperti itu juga," ucapnya ambigu. Dr Eleanor menghela napas panjang. Memahami apa yang terjadi diantara mereka. Karena ia juga yang membantu Amethyst bangkit dari keterpurukan. "Jadi ... apa yang ingin kau ceritakan hari ini?" Dominic bersandar di kursinya dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Beberapa hari terakhir … terasa
Sore itu, Dominic duduk di ruang tamu dengan sebuah majalah di tangannya. Harinya semakin ringan setelah Amethyst kembali datang ke hidupnya."Dia selalu mengusirku kalau aku mengikutinya memasak," keluhnya sedikit kesal.Matanya dengan resah melirik ke arah dapur. Berharap Amethyst segera selesai.Saat itulah, bel pintu berbunyi. Ini sedikit janggal. Karena semua orang yang ia percaya biasanya langsung masuk setelah ia beri akses kunci biometrik di pintunya."Siapa itu?" tanyanya dalam hati.Ia beranjak membuka pintu dan menemukan seorang pria yang berdiri tegang di pintu rumahnya.Dominic memandang datar tamu yang sangat mengejutkan untuknya. "Mau apa kau kemari, Hawthorn?"Aiden Hawthorn yang biasanya percaya diri, kini nampak gugup saat berhadapan dengan Dominic. Tapi, dia harus merasa harus meluruskan semuanya."KIta perlu bicara, Dominic," ucapnya tanpa basa-basi.Dominic menaikkan sebelah alisnya penasaran. "Masuk," katanya dingin.Mata Aiden berpendar ke seluruh penjuru ruanga
Dominic duduk diam di ruang tamu terapis datang. Sejak tadi tangannya terus menggenggam Amethyst. Rasa takut, gugup, dan cemas membuatnya gusar. Amethyst memberikan senyuman untuk menguatkannya. "Kau tidak sendiri, Dominic." Dominic hanya mengangguk kecil. Kalimat Amethyst tak berhasil meredakan kegugupannya. "Apa ini akan berhasil?" tanyanya skeptis. “Tidak ada yang tahu,” jawab Amethyst jujur. “Tapi kau harus mencobanya, Dominic. Ini bukan hanya tentangmu ... ini juga tentang kita. ” "Kau tidak akan meninggalkanku, kan?" tanya Dominic memastikan. Dia tak bisa melalui proses ini jika tanpa Amethyst di sampingnya. Melihat ekspresi Dominic yang seperti anak kecil sedikit menimbulkan geli di hatinya. “Selalu," katanya dengan senyum lembut. --- "Selamat siang, Tuan Dominic." Dokter Eleanor tersenyum melihat keduanya tampak akur. "Lama tidak bertemu, Amethyst," sapanya ramah. "Siang, dok. Saya di sini menemani Dominic." Amethyst merasa sungkan. "Tidak apa, kulihat Tuan Do
Amethyst berdiri di depan Villa Dominic dengan napas tertahan. Ia berkali-kali meyakinkan dirinya untuk tetap datang ke sini dan mengesampingkan masa lalu. Ketika ia membuka pintu, Dominic telah berdiri menyambutnya dengan senyum diwajahnya. Pria itu masih terlihat rapuh, tapi sorot matanya terlihat bersinar kali ini. “Kau datang lagi,” gumam Dominic dengan senang. Amethyst tersenyum tipis menghampiri Dominic perlahan. “Aku sudah bilang padamu kalau aku akan membantumu. Tidak mungkin aku ingkar.” Dominic tersenyum saat lengannya digandeng. Mereka masuk ke ruang keluarga yang sepi, namu terasa hangat bagi Dominic karena kedatangan Amethyst. “Kau sudah makan?” tanya Amethyst sambil melirik secangkir kopi hitam yang sudah tandas setengahnya. Dominic menggeleng pelan. “Belum terlalu lapar.” Amethyst mendesah. “Dominic ... kau harus menjaga dirimu. jangan biasakan untuk minum kafein sebelum makan," omelnya. "Apa butuh aku untuk mengatur segala urusanmu?" tanya Amethyst sebal. Dom