Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / Bab 171 - Bab 180

Semua Bab Pesugihan Genderuwo: Bab 171 - Bab 180

197 Bab

171. Semakin Terpojok

"Orang gila ... orang gila!"Teriakan anak-anak kecil itu mengganggu Bagas yang sedang asik menghisap rokok di depan rumahnya. Suasana desa yang sunyi seketika pecah oleh suara mereka yang riuh. Bagas mengangkat wajahnya sedikit, menatap mereka dengan tatapan kosong, seolah tidak peduli. Namun, di balik matanya yang suram, ada kebencian yang tersirat. Dunia ini tak lagi memberi tempat baginya."Eh, itu loh orang gila baru!" salah seorang anak laki-laki berteriak dengan tertawa nakal."Wes, lempar batu!" sahut temannya yang lain."Ayo-ayo!" Anak-anak itu makin semangat, seakan menemukan hiburan dalam penderitaan orang lain.Buk! Buk!Batu-batu kecil melayang ke tubuh Bagas. Dia tak bergerak, hanya diam dan menatap mereka dengan tatapan penuh kebencian. Rasa sakit dari batu-batu yang menghantam tubuhnya tidak menggerakkannya sedikit pun. Ketika sebuah batu hampir mengenai wajahnya, Bagas akhirnya berdiri dengan perlahan, menekan rokok yang masih menyala itu di kakinya.Namun, sebelum
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-06
Baca selengkapnya

172. Tekanan Emosional

Rumah kecil di pinggir desa itu sunyi, tapi penuh ketegangan. Bagas bukan lagi pria tangguh seperti dulu. Hidup yang berat telah meruntuhkannya. Dia terperangkap dalam bayang-bayang kegagalan.Prang!Ratih sedang memasak di dapur ketika terdengar suara benda pecah dari ruang tamu. Dia berlari ke sana dan melihat Bagas melemparkan vas bunga ke dinding. Pecahan vas berserakan di lantai, dan Bagas berdiri dengan napas memburu, matanya merah oleh amarah.Ratih terkejut melihat suaminya yang mengamuk di ruang tamu. "Mas, apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan nada panik.Bagas berteriak, suaranya dipenuhi kemarahan dan keputusasaan. "Ini semua salah mereka! Salah dunia ini! Kenapa semua orang menghancurkan hidupku?"Ratih mencoba mendekati suaminya dengan hati-hati. "Mas, tenang. Marah seperti ini nggak akan menyelesaikan masalah."Namun, Bagas menatapnya tajam sambil menunjuk dengan jari yang gemetar. "Kamu nggak ngerti, Ratih. Kamu nggak kehilangan harga dirimu seperti aku."Ratih terdi
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-06
Baca selengkapnya

173. Berpikir ingin kembali

Ratih berdiri di depan pintu dapur, tangan masih basah karena mencuci piring. Tatapannya tajam, menusuk ke arah Bagas yang duduk di kursi kayu kecil di ruang tengah. Suaminya itu sedang sibuk memahat kayu, tapi gerakannya kasar, seperti mencerminkan amarah yang dipendam. Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan kecil itu dengan aroma yang menyesakkan."Kita itu harus pakai jalan itu lagi, Tih!" Bagas berkata tanpa menatap Ratih, suaranya tegas tapi sedikit gemetar. Dia tahu kata-kata itu akan memicu ledakan emosi istrinya.Ratih tertegun sejenak, lalu berjalan mendekat dengan cepat. "Maksud, Mas, apa?!" tanyanya, suaranya meninggi, matanya penuh ketidakpercayaan."Aku mau melakukannya lagi," jawab Bagas sambil terus memahat, seolah-olah dia tidak mengatakan sesuatu yang besar.Ratih berdiri mematung di hadapannya, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya. "Melakukan apa, Mas? Jangan bilang... pesugihan itu!" suaranya serak, antara marah dan takut.Bagas berhenti memahat,
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-07
Baca selengkapnya

174. Perpisahan kembali

Bagas berdiri di ambang pintu kamar, napasnya tertahan melihat Ratih sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas kecil. Langkah-langkah istrinya cepat, tangannya gemetar, tapi tetap teratur. Di ranjang, tas lain sudah tertutup rapi, siap dibawa. Suasana kamar itu terasa mencekam, seolah-olah angin pun takut untuk bergerak."Tih, kamu mau ke mana?" Bagas akhirnya bertanya, suaranya serak.Ratih tidak menjawab. Dia hanya berjalan melewatinya, menuju lemari kecil di sudut kamar untuk mengambil dokumen. Suara laci yang dibuka dan ditutup terdengar keras di keheningan."Hei, kamu mau ke mana?!" suara Bagas meninggi, campuran panik dan marah. Matanya tertuju pada tas kecil yang tersusun rapi di atas ranjang, seolah itu menjadi simbol kehancuran yang tak terhindarkan.Ratih berhenti sejenak, berdiri membelakangi suaminya. Dia menundukkan kepala, menggenggam surat-surat di tangannya dengan erat. Kemudian dia menoleh, menatap Bagas dengan mata yang penuh kekecewaan. "Aku nggak tahan lagi, Mas," kat
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-07
Baca selengkapnya

175. Bermimpi Bertemu Kakek Wartono

"Mbah, berhenti!" Teriak Bagas, melihat kakeknya melakukan sesuatu yang mengerikan. Bagas terkejut melihat kakeknya, Wartono, dalam situasi yang sangat mengkhawatirkan. "Mbah, apa yang kamu lakukan?!" Bagas bertanya dengan takjub. Namun, ucapan itu tidak dapat terdengar oleh kakeknya karena ternyata hanya mimpi buruk. Bagas terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menandai mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Dia duduk di atas ranjang, memegangi kepalanya yang terasa berat. Pikiran tentang mimpi itu terus menghantuinya.“Mbah Warto…” gumamnya pelan. Bayangan kakeknya, Wartono, melakukan sesuatu yang mengerikan dalam mimpi itu masih tergambar jelas di benaknya. Sosok tua dengan tatapan tajam dan senyum misterius, seperti sedang melakukan ritual gelap yang tak dimengerti Bagas.“Kenapa aku mimpi Mbah sekarang?” pikir Bagas. Dia mencoba mengingat kapan terakhir kali memikirkan kakeknya, tapi ingatannya terasa buram. Kakek Wartono, mantan dukun sakt
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-08
Baca selengkapnya

176. Kembali Mendapatkan Gunjingan

“Aduh, Bagas! Jangan terus-terusan tanya soal Wartono! Dia sudah diusir dari desa ini,” ujar seorang pria tua sambil menggelengkan kepala, nada suaranya terdengar tidak sabar.Bagas menghela napas panjang, mencoba tetap tenang meski hatinya terasa panas. Dia menyeruput kopi yang sudah mulai dingin, berusaha menahan emosi. “Apa salahnya saya tanya soal Mbah? Saya cuma mau tahu kenapa dia pergi dari desa ini.”Seorang pria lain, lebih muda, tertawa kecil sambil menepuk pundak kawannya. “Haha, dasar gembul! Kamu ini kan sudah nggak punya siapa-siapa lagi. Ratih pun sudah pergi meninggalkanmu! Wajar kalau sekarang kamu sibuk cari-cari soal kakekmu.”Bagas meletakkan cangkir kopinya dengan sedikit keras di meja kayu. “Ini nggak ada hubungannya sama Ratih, ya!” balasnya tegas. Dia mulai kehilangan kesabaran, tapi masih berusaha untuk tidak tersulut.“Haha, ya gimana nggak ditinggal, orang sekarang kamu nggak punya apa-apa lagi,” sahut pria tua lainnya sambil terkekeh, seolah menikmati ej
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-09
Baca selengkapnya

177. Perut Membesar

"Ampun, Mbah Warto!"Seorang wanita bersimpuh, menangis dengan suara parau. Tubuhnya gemetar, memohon di hadapan sosok tua dengan wajah tanpa ekspresi. Bagas berdiri di dekatnya, menatap pemandangan itu dengan rasa campur aduk—iba dan ngeri bercampur jadi satu."Mbah!" seru Bagas, mencoba menghentikan tindakan kakeknya. Namun, teriakannya hanya menggema tanpa hasil. Wartono tetap diam, wajahnya seperti topeng tanpa emosi, sementara wanita itu terus menangis.“Mbah, hentikan!” Bagas mencoba mendekat, tapi tubuhnya terasa kaku, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menahannya. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang hangat menetes di pipinya."Weh, Bagas! Kamu mati?"Suara nyaring itu menggema, memaksa Bagas membuka matanya perlahan. Pandangannya samar, tapi dia bisa mengenali suara itu. Dia berada di pondok ladangnya, terduduk di lantai bambu yang dingin."Ah... ada apa ini?" gumamnya sambil mengusap wajah."Kaya orang mati kamu tadi! Dipanggil nggak bangun-bangun!" sahut salah satu war
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-10
Baca selengkapnya

178. Kediaman Ratih

"Ratih, tunggu!"Bagas berteriak, suaranya menggema di antara pepohonan. Namun, Ratih tak sedikit pun menoleh. Langkahnya semakin cepat, hampir seperti berlari. Dia menggenggam erat keranjang di tangannya, matanya lurus ke depan, mengabaikan panggilan suaminya yang semakin lirih di kejauhan."Maafkan aku, Mas! Aku nggak bisa dekat sama kamu!" bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bagas.Hatinya gelisah, tapi dia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan Bagas tidak mengikutinya. Napasnya memburu, bukan hanya karena langkahnya yang cepat, tetapi juga karena perasaan bersalah yang menyesakkan dadanya."Nggak bisa! Aku nggak bisa!" Begitu yang dia ucapkan pada dirinya sendiri.Setibanya di rumah, Ratih segera menutup pintu dengan tergesa-gesa, mengunci semua jendela dengan tangan gemetar. Dia menyandarkan tubuhnya pada pintu kayu itu, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu tak beraturan. Keringat dingin memb
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-11
Baca selengkapnya

179. Desa Sumberarum

"Aku harus segera pergi!" Ratih mulai mengemas pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tangannya gemetar saat melipat setiap helai baju, tetapi dia berusaha tetap fokus. Setelah selesai, dia mengintip dari balik gorden, memastikan situasi di luar aman sebelum meninggalkan kontrakannya. Ketika dia merasa tidak ada yang mencurigakan, Ratih berjalan cepat menuju persimpangan jalan. Di sana, dia melihat seorang pengayuh becak yang sedang duduk termenung di bawah lampu jalan yang remang-remang. "Bang, antarkan saya ke Desa Sumberarum, ya!" pinta Ratih dengan nada yakin. Mamang becak menatapnya dengan ragu. "Yakin, Neng? Ini udah malam banget loh. Disana gelap banget kalau udah malam begini!" katanya, terlihat khawatir. Ratih tersenyum kecil, mencoba menenangkan kegelisahan si tukang becak. "Udah tenang aja, Bang. Saya udah pernah ke sana. Nggak seseram itu kok." Meskipun masih ragu, Mamang becak akhirnya mengangguk dan mulai mengayuh becaknya perlahan. Roda becak berderit pelan, mengiringi p
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-12
Baca selengkapnya

180. Wartono dan Ki Praja

"Tolong ada orang di sini?" Bagas berteriak dengan kencang, suaranya bergema tanpa jawaban. Bagas terbangun di sebuah tempat yang aneh. Di sekelilingnya hanyalah kabut putih tebal yang bergerak pelan seiring hembusan angin. Kakinya menginjak tanah dingin, tapi dia tidak tahu di mana dia berada. Saat dia berjalan perlahan, sosok-sosok mulai bermunculan dari balik kabut. Wajah mereka terlihat jelas—semuanya mirip dengan kakeknya, Wartono. Bagas terpaku, tubuhnya kaku seperti membeku. "Kalian siapa?" suaranya bergetar, hampir tidak keluar dari tenggorokan. Mereka hanya berdiri mematung, tatapan dingin mereka menusuk ke arah Bagas. Salah satu dari mereka melangkah maju. Wajahnya sangat identik dengan kakeknya, hingga Bagas tak bisa membedakan. "Mbah... Mbah Warto? Kenapa banyak sekali?" Bagas bertanya, suaranya nyaris tidak terdengar. Sosok yang mirip Wartono itu tidak menjawab. Sebaliknya, angin tiba-tiba berhembus di telinga Bagas, membawa bisikan lembut namun menyeramkan
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-13
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
151617181920
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status