Home / Horor / Pesugihan Genderuwo / Chapter 141 - Chapter 150

All Chapters of Pesugihan Genderuwo: Chapter 141 - Chapter 150

185 Chapters

141. Rumah Menjadi Salah Satu Mimpi buruk

Rumah yang dulunya menjadi tempat perlindungan kini berubah menjadi sarang teror. Bagas dan Ratih merasakan hal itu setiap kali mereka melangkah masuk. Udara di dalam rumah terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang menekan dada mereka. Bau anyir samar tercium dari lantai yang seharusnya bersih, sementara retakan kecil mulai muncul di dinding dan lantai. Malam itu, Bagas dan Ratih duduk di ruang keluarga, mencoba menenangkan diri. Namun, suara langkah kaki yang terdengar di lorong membuat mereka saling memandang dengan wajah tegang. "Mas, kamu dengar itu?" tanya Ratih dengan suara berbisik. Bagas mengangguk pelan. "Ya, aku mendengarnya." Dia berdiri dengan hati-hati, memegang tongkat kayu yang dia ambil dari dapur. Perlahan, dia melangkah ke lorong. Namun, tidak ada apa-apa di sana. Hanya bayangan mereka sendiri yang memantul di dinding. Ketika dia kembali ke ruang keluarga, lampu tiba-tiba berked
last updateLast Updated : 2024-12-25
Read more

142. Semakin Terjadi adegan Mencekam

Malam itu, suasana di rumah Bagas dan Ratih begitu mencekam. Hembusan angin tiba-tiba merangsek masuk ke rumah. Gorden melambai-lambai liar, seolah ada kekuatan yang tak terlihat. "Mas, ini mulai nggak masuk akal," bisik Ratih dengan napas tertahan. Sebelum Bagas menjawab, lampu padam mendadak. Terdengar suara-suara aneh di sudut rumah. Ada suara gesekan seperti kuku mencakar dinding dan taw kecil tapi terasa nyaring. "Dengar!" Ratih berbisik lagi. Kali itu lebih pelan, seolah takut menarik perhatian sesuatu. Bagas menahan napas dan memicingkan telinganya. Suara berat terdengar seperti marah. "Kalian pikir bisa menghancurkan aku? Aku bagian yang tidak bisa kalian sangka! Kalian tidak akan bisa melawan aku." Tiba-tiba bayang besar melintas. Itu adalah Genderuwo media pesugihan yang Bagas miliki. Ratih m
last updateLast Updated : 2024-12-25
Read more

143. Memulai

"Mas, apa kamu bermimpi juga?"Napas Ratih tersengal-sengal. mimpi itu terasa begitu nyata. Bagas menatap mata Ratih yang terlihat ketakutan. "Aku nggak yakin kita akan berhasil. Mimpi kita berhubung satu sama lain. Bagaimana bisa aku anggap ini hanya sebuah mimpi," kata Bagas. Keringat dingin mengucur deras dari keningnya. "Mas, kalau malam ini kita gagal, kamu tahu apa yang akan terjadi, kan?" suara Ratih terdengar tegas, namun diwarnai ketakutan yang mendalam.Bagas menatap istrinya dalam-dalam, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang juga menguasainya. "Aku tahu, Ratih. Tapi kita tidak punya pilihan lain."Malam itu adalah malam yang telah dinantikan. Suasana desa terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah-olah alam menyadari bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. Langit malam dipenuhi awan gelap, dan angin dingin berhembus perlahan, membawa rasa tegang ke setiap hati yang terlibat dalam ritual tersebut.K
last updateLast Updated : 2024-12-26
Read more

144. Menghisap Energi

"Kyai, ada apa ini?" Ratih memegang lengan Kyai Ahmad dengan gemetar, matanya mencari penjelasan. Hembusan panas menggantikan angin malam. Genderowo melancarkan serangan mengerikan dalam kegelapan Kyai Ahmad menatap sekeliling dengan penuh waspada. "Ini serangan terakhirnya. Dia tahu kekuatannya hampir musnah, jadi dia akan menggunakan semua energi yang tersisa untuk menggagalkan ritual ini. Jangan takut. Tetaplah berada dalam lingkaran." Grrr...! Genderuwo menggeram dengan marah. Tubuhnya menjulang tinggi dan besar penuh kebencian. "Manusia lemah! Kalian pikir bisa menghancurkanku?" suaranya menggema, membuat jantung Bagas dan Ratih berdegup kencang. Bagas mencoba menenangkan dirinya, meskipun tubuhnya gemetar hebat. "Kyai, apa yang harus kita lakukan sekarang? Dia bertambah besar dan semakin kuat, jauh lebih menyeramkan dari sebelumnya!" Kyai Ahmad memfokuskan pandangannya pada Genderuwo yang berdiri di tepi lingkaran pelindung. Mulut makhluk itu sedikit terbuka, dan dari
last updateLast Updated : 2024-12-27
Read more

145. Bayangan Akhir

Ratih terpaku, rasa takut dan marah bercampur dalam hatinya. "Apa maksudmu, Mas? Apa yang kamu berikan?" tanyanya, matanya mulai berair. Bagas menunduk, tidak mampu menatap istrinya. "Aku memberikan ... bagian dari hidupku." Ratih mundur selangkah, tangannya gemetar. "Bagian dari hidupmu? Mas, apa yang sebenarnya sudah kamu lakukan? Yang nggak aku tau?" Sebelum jawaban itu keluar, Genderuwo tiba-tiba tertawa keras, suaranya menggema seperti ejekan yang menusuk hati mereka semua. "Dia tidak akan bisa lari dari aku ... Tidak ada tempat untuk bersembunyi." Genderuwo mulai menyerang dengan kekuatan penuh. Angin kencang berputar-putar, memadamkan sebagian besar lilin yang mengelilingi lingkaran pelindung. Batu-batu besar beterbangan, menghantam tanah di sekitar mereka. Ratih memekik ketika salah satu batu nyaris mengenai dirinya. "Kyai, lingkarannya mulai retak!" serunya. Kyai Ahmad dengan sigap meraih segenggam garam dari kantongnya dan melemparkannya ke arah Genderuwo. "Atas nama
last updateLast Updated : 2024-12-27
Read more

146. Ketenangan

"Ini benar udah berakhir?" Bagas menghela napas panjang. Menghirup udara segar di pagi hari. Setelah Genderuwo lenyap, rumah itu kembali sunyi. Angin berhembus lembut, membawa kedamaian yang lama hilang. Ratih duduk di sudut ruangan. Tangan masih gemetar. Namun, hatinya mulai merasa sedikit lega. Bagas juga merasakan perubahan itu—ada rasa lega yang tak bisa dijelaskan. “Mas,” kata Ratih, suaranya serak setelah seluruh pertempuran itu. “Apa yang terjadi? Semua terasa ... berbeda. Seolah-olah dunia ini lebih tenang.” Bagas mengangguk pelan. “Ya, aku merasa begitu juga. Seperti ada sesuatu yang telah hilang, tapi entah apa itu. Tapi ... ada sesuatu yang masih mengganjal, juga!” Ratih menoleh padanya. “Apa maksudmu, Mas?” Bagas menarik napas panjang. “Aku merasa ... meskipun Genderuwo udah nggak ada lagi. Kayanya perjalanan kita belum selesai. Ada rasa kekosongan ya
last updateLast Updated : 2024-12-28
Read more

147. Hasrat Makan

Saat berada di dapur, Ratih membuka panci yang masih mengepul di atas kompor. Aroma kuat yang aneh langsung menyengat hidungnya, membuat alisnya berkerut. Tapi ketika melihat isi panci, jantungnya berdegup kencang. "Hah? Apa ini?" gumamnya dengan nada bingung. Daging berwarna merah gelap terendam dalam cairan yang kental, berbau tajam dan asing. Meskipun seharusnya menjijikkan, ada sesuatu yang justru menarik perhatiannya. Tiba-tiba, aroma itu terasa begitu menggoda, membangkitkan rasa lapar yang aneh dalam dirinya. Ratih menoleh ke sekeliling dapur, memastikan tidak ada siapa pun di sana. Hasratnya semakin kuat. "Apa mungkin ini ... enak?" bisiknya, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkannya. Dengan ragu, dia mengambil sendok kayu dan menyendok sedikit daging itu. Tangan gemetar, tapi mulutnya tanpa sadar mulai terbuka. Saat daging itu menyentuh lidahnya, matan
last updateLast Updated : 2024-12-28
Read more

148. Pemulihan

“Mas,” kata Ratih pelan, memecah keheningan. “Apa kamu pernah membayangkan kita akan sampai di titik ini?” Malam itu sunyi, rumah kembali tenang tanpa bayang Genderuwo. Ratih memandang bintang, sementara Bagas menyeruput teh hangat di sampingnya. Hening terasa seperti hadiah setelah semua ketegangan. Bagas tersenyum tipis, matanya menatap jauh ke depan. “Nggak pernah. Kalau mengingat semua yang sudah kita lalui, rasanya seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir.” Dia menarik napas dalam-dalam. “Tapi sekarang, aku merasa seperti diberi kesempatan kedua untuk hidup.” Ratih mengangguk. Pikirannya melayang pada semua yang telah terjadi—perjalanan mereka mencari bahan ritual, pertempuran yang penuh bahaya, hingga pengorbanan besar yang mereka lakukan. Semua itu meninggalkan luka, tapi juga pelajaran yang tak ternilai. “Aku menyadari satu hal,” kata Ratih. “Bahwa hidup kita dulu terlalu mengeluh karena suatu keadaan."
last updateLast Updated : 2024-12-29
Read more

149. Membagikan Sebagian

Kyai Ahmad mengangguk pelan, memahami apa yang dirasakan Bagas. Beliau tahu, meskipun Genderuwo telah lenyap, pengaruhnya masih menyisakan jejak yang mencoba menggoyahkan pikiran dan jiwa mereka. “Bagas,” ujar Kyai Ahmad, nadanya tenang namun penuh ketegasan. “Apa yang kamu rasakan itu ujian. Sesuatu yang jahat selalu berusaha kembali, mencari celah untuk menguasai. Tapi ingat, kuncinya ada di dalam hatimu.” Bagas menatap Kyai dengan penuh rasa syukur, sementara Ratih tetap diam, pandangannya tertuju pada lantai. Kyai Ahmad memandang keduanya, menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Kalian telah melewati ujian yang sangat berat,” ujar Kyai Ahmad, suaranya penuh kebijaksanaan. “Kalian berhasil karena keteguhan hati dan niat baik. Itu adalah kemenangan terbesar yang bisa dicapai oleh manusia. Tapi perjalanan kalian belum selesai.” “Belum selesai, Kyai?” tanya Bagas, sedikit bingung. “Belum,” jawab Kyai Ahma
last updateLast Updated : 2024-12-29
Read more

150. Perlahan Hilang

“Juragan Bagas!”Teriakan panik seorang petani terdengar memecah keheningan pagi. Dia berlari dengan napas tersengal-sengal ke arah Bagas yang sedang duduk di kursi rotan di depan rumah.“Ada apa?” tanya Bagas, bangkit dari kursinya. Wajahnya menunjukkan campuran rasa penasaran dan kekhawatiran.“Ladang di belakang, Juragan! Tanamannya hancur semua!” kata petani itu dengan suara gemetar.Bagas mengerutkan dahi. “Hancur? Maksudmu apa? Jelaskan lebih jelas!”“Semua tanaman layu, Juragan! Jagungnya kering, padinya tumbang, daunnya seperti terbakar. Padahal kemarin semuanya masih subur!”Tanpa membuang waktu, Bagas segera berjalan cepat menuju ladang di belakang rumahnya. Petani itu mengikuti di belakang, masih berusaha mengatur napasnya.Sesampainya di ladang, Bagas berhenti dengan mata terbelalak. Ladang yang kemarin terlihat hijau dan subur kini berubah menjadi pemandangan yang mengerikan. Pohon-pohon jagung yang dulu kokoh kini roboh, daunnya menguning dan kering. Padi yang biasanya
last updateLast Updated : 2024-12-29
Read more
PREV
1
...
1314151617
...
19
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status