Semua Bab Rumah Angker Warisan Bapak: Bab 21 - Bab 27

27 Bab

Bab 21. Keputusan

Hendra memandang serius ke arah Rasya dan Lisa, lalu memberi isyarat agar mereka bersiap untuk pergi. Kau sudah siap?" Hendra menatap Rasya lekat. “Kita harus segera ke pengadilan,” katanya tegas. “Urusan perceraian ini harus diselesaikan cepat, supaya Lisa bisa segera menghabiskan masa iddahnya dan menikah lagi. Dengan begitu, kau bisa lepas tanggung jawab.”Rasya menundukkan kepala, matanya terlihat kosong dan penuh beban. “Aku berharap begitu, Yah. Ini aib yang sangat berat, membuatku merasa dipermalukan.” Suaranya lirih, hampir tak terdengar.Hendra menghela napas, lalu menatap anaknya dengan tatapan penuh pengertian. “Kau masih kepikiran soal harta dan rumah?” tanyanya, menilai apa yang ada dalam pikiran Rasya. Rasya hanya mengangguk pelan.Hendra menggelengkan kepala, menepuk pundak putranya dengan lembut. “Ikhlas itu ilmu tingkat tinggi, Nak. Kalau kau bisa melalui semua ini dengan ikhlas, kau akan mendapatkan ketenangan batin yang luar biasa.”Ras
Baca selengkapnya

Bab 22. Penasaran

Anis terpaku, tubuhnya terasa lunglai saat melihat foto Lisa yang muncul di layar ponsel putri Yayuk. Mata Anis terfokus pada wajah Lisa yang tersenyum, namun senyum itu kini terasa sangat asing dan menakutkan. Hendra yang sejak tadi hanya diam, mulai merasa ada yang janggal. Ia mendekat, memaksa putri Yayuk untuk menunjukkan gambar lainnya."Itu kan Lisa, Buk?" tanya Hendra dengan nada tinggi, suaranya menggema dalam keheningan. "Kenapa anak temanmu memiliki foto wanita sialan itu?!" Hendra menatap penuh amarah, matanya berapi-api, membuat suasana di sekitar mereka seketika tegang.Yayuk dan putrinya saling pandang, kebingungan meliputi wajah mereka. "Maksudnya Lisa wanita sialan, itu apa ya?" tanya Yayuk dengan hati-hati, mencoba menahan kegelisahannya.Rasya yang sudah tidak tahan, akhirnya membuka mulut. "Lisa itu mantan istri saya. Kami bercerai karena dia berselingkuh dengan seorang pria bernama Candra. Apa kalian kenal?" ucap Rasya dengan suara tegas, namun ada getaran amarah y
Baca selengkapnya

Bab 23. Dia Putrimu

"Diam dulu, Nak Rasya," suara Anis terdengar dingin dan penuh wibawa. Rasya mematung, yakin sepenuhnya bahwa ibunya telah dirasuki. Tatapan Anis yang tajam kini tertuju pada Broto. "Aku ingin berbicara dengan Broto," ucapnya perlahan, namun menggetarkan suasana."Akui Kartika sebagai putrimu, Broto," ujar sosok Lasmini melalui Anis. "Bagaimanapun, kita pernah menikah, meski hanya secara sirih." Pernyataan itu membuat semua orang di ruangan terkejut. Hendra membatu, sementara Broto tampak pucat pasi."Lasmini..." gumam Broto, suaranya hampir tak terdengar. Wajahnya dipenuhi rasa takut dan penyesalan."Kartika adalah darah dagingmu! Putri yang kau tinggalkan demi menikahi Purwati yang kaya raya!" suara Lasmini menggema, membuat dada Broto terasa sesak."A-aku... aku..." Broto tergagap, tubuhnya bergetar hebat. "Maafkan aku, Lasmini. Ini semua bukan keinginanku," ujarnya dengan suara parau, air mata mulai mengalir deras."Tapi kau tetap meninggalkanku
Baca selengkapnya

Bab 24. Hidup Baru

Malam itu, Rasya tidak bisa memejamkan mata. Hawa dingin malam terasa menusuk tulang, tetapi bukan itu yang membuatnya gelisah. Setelah beberapa menit berputar di atas kasur, ia akhirnya bangkit dan mengambil laptopnya. Ia berharap menemukan sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya.Jarinya lincah mengetik, memeriksa email yang masuk. "Ah, belum ada panggilan," gumamnya kecewa. Hampir seminggu berlalu sejak ia mengirim lamaran, tapi tak satu pun balasan diterima. Dengan mendesah pelan, ia menutup laptopnya.Tiba-tiba, suara tangisan Cakra memecah keheningan. Rasya segera keluar kamar, berniat mengecek keadaannya. Ia berjalan menuju tangga dengan langkah hati-hati, berusaha agar lantai kayu tua itu tidak berderit. Suara tangisan Cakra semakin keras, terdengar seperti memanggil-manggil, membuat bulu kuduknya meremang.Sesampainya di depan kamar Kartika, Rasya mengetuk pintu pelan sambil memanggil, "Kartika? Kau di dalam?" Namun, tidak ada jawaban. Hening menyelimu
Baca selengkapnya

Bab 25. Histeris

Kartika terhenyak, begitu pula Anis. Keduanya hanya sebatas, terbelalak, memelihara punggung Broto dan Purwati yang semakin menjauh.Tiba-tiba, suasana yang tenang itu terpecahkan oleh teriakan keras. "Arkhhhhh!" Kartika menjerit histeris, tangannya mengacak rambutnya, membuat beberapa helai rambut rontok, karena dia seperti menjambaknya. Suaranya mengiris udara, penuh kebencian dan kesakitan yang tidak terganggu. Anis terkejut, langkahnya terhenti sejenak.“Kau kenapa, Nak?” tanya Anis, suara penuh cemas, tangannya mengulurkan sentuhan lembut ke pundak Kartika, namun tidak mendapat respon."Aku benci h
Baca selengkapnya

Bab 26. Gangguan Mental

Teriakan Hendra membangunkan Rasya dari tidur lelapnya. Pemuda itu mengucek mata dan keluar dari kamar, ia terkejut ketika melihat Kartika berdiri di tepi balkon, mengangkat tubuh kecil Cakra ke udara."Astaga!" Rasya berteriak panik. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah tangga. Hendra, yang lebih dulu mendekat, mencoba merebut bayi itu dari cengkeraman Kartika. Namun, Kartika menjerit, tubuhnya bergetar hebat."Lepas! Jangan sentuh dia!" teriak Kartika histeris. "Aku harus mengorbankan anakku... Supaya mereka berhenti menghantui kita!"Hendra sesaat, bingung dengan ucapannya. "Siapa mereka?" Pertanyaannya disambut dengan teriakan semakin keras dari Kartika."Kartika! Sadarlah! Tidak ada yang akan mengambil Cakra darimu!" katanya. Namun, Kartika semakin meronta."Mereka ada di sini!" jeritnya, menunjuk ke ruang kosong di seberang balkon. "Mereka ingin aku membayar kesalahan ayah angkatku! Mereka akan mengambil semuanya kalau aku tidak menyerahkan Cakra!" Kartika menangis sejadi
Baca selengkapnya

Bab 27. Kedatangan Lisa dan Candra

Kartika meronta hebat, tubuhnya bergetar, air matanya bercucuran. "Lepas! Jangan sentuh aku!" teriaknya histeris. Hendra dan Rasya mencoba menenangkannya, namun semakin keras mereka menahannya, semakin kuat Kartika melawan.Lukman, yang menyaksikan kekacauan itu, melangkah mendekat. "Biarkan aku mencoba sesuatu," katanya tenang. Dia menarik napas dalam, memusatkan perhatian. "Kartika, lihat ke arahku. Tenanglah."Suaranya lembut, nyaris berbisik, mengalun seperti mantra. Lukman memulai proses hipnoterapi, mengarahkan Kartika untuk memejamkan mata. "Bayangkan tempat yang tenang, tempat di mana tidak ada rasa sakit..." Suaranya terus mengalir, menembus dinding kepanikan di kepala Kartika. Perlahan, perlawanan itu mereda, napasnya teratur, tubuhnya lemas. Dia tenggelam dalam alam bawah sadarnya.Dalam kondisi itu, Kartika mulai berbicara. Suaranya penuh luka, getir, mengungkap semua rasa sakit yang terpendam: penolakan, penghinaan, dan kehilangan. Setiap kata yang
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status