Share

Bab 28. Pergi

Penulis: Eliyona
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-28 08:02:22

“Tunjukkan bukti kalau anak dalam kandunganku bukan anakmu!” tantang Lisa dengan suara yang bergetar, penuh emosi.

“Aku punya rekamannya,” balas Rasya tegas. Nada dinginnya membuat Lisa terhenyak, wajahnya memerah menahan malu sekaligus amarah.

“Kau!” Lisa menunjuk tajam ke arah Rasya. “Pria macam apa kamu?!”

“Kamu wanita ular,” balas Rasya dengan senyum tipis yang menusuk. “Jadi, aku harus mengimbangimu dengan permainan yang lebih cerdik. Sekarang, keluar dari rumah ini, atau aku akan menyeretmu bersama pria iblis itu ke lubang kehancuran!”

Lisa terdiam sejenak, matanya penuh kebencian. “Aku akan pergi, tapi hanya jika wanita itu juga pergi!” katanya sambil menunjuk Kartika. “Bukankah dia bukan siapa-siapamu?!”

Anis, yang sejak tadi menahan diri, akhirnya angkat bicara. “Apa hakmu meminta kami mengusir Kartika?” ujarnya tajam. “Kalau aku jadi kamu, aku tak akan punya muka untuk mendatangi orang yang sudah kudzalimi seperti ini!” Tatapan Anis begitu menusuk, membuat Lisa terlihat bing
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 29. Berita Heboh

    “Tidak usah takut, saya akan mengantarmu ke kota dengan selamat. Sekarang tidurlah,” ujar sang sopir dengan nada datar, namun ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Kartika meremang. Tanpa sadar, kelopak matanya terasa berat, kantuk menyerang tiba-tiba. Ia bersandar di kursi angkot yang dingin dan lembap.Ketika Kartika terpejam, bayangan samar di kursi sopir berubah. Wajah pria itu perlahan meluruh, memperlihatkan mata yang menonjol keluar, kulit penuh luka busuk, dan mulut sobek hingga ke telinga. Sosok itu mengemudikan angkot tua dengan kecepatan yang tidak masuk akal, menembus gelapnya malam.Jalanan tampak tak berujung, hanya kabut pekat dan siluet pohon yang melintas. Dalam waktu kurang dari setengah jam, angkot berhenti di sebuah terminal yang sunyi. Saat tiga orang dengan sorot lampu menghampiri, sosok supir angkot itu menatap ketiganya dan berlalu pergi. Slashhhh!Kartika terbangun saat seseorang menepuk pundaknya. Dengan mata masih berat, ia melihat seorang pria berompi petugas

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 30. Bertemu Kartika

    Hendra melajukan mobilnya dengan pandangan lurus ke depan, sementara pikirannya sibuk dengan berbagai kemungkinan. Dalam suasana yang tegang itu, ia memecah keheningan dengan nada setengah bercanda."Kau terlihat begitu khawatir dengan Kartika," ucapnya sambil melirik Rasya di kursi samping. "Apa kau mulai menyukai wanita itu?"Pertanyaan itu bagai petir di siang bolong bagi Rasya. Wajahnya memerah seketika, matanya sibuk mencari jawaban di luar jendela. Ia gugup, tak tahu harus menjawab apa."Sudah kuduga," celetuk Anis dari kursi belakang, membuat suasana semakin canggung. Ia tersenyum kecil sambil melipat tangannya. "Ibu setuju saja, kok. Ibu juga sudah menganggap Cakra seperti cucu sendiri. Kalian berdua sama-sama pernah disakiti. Mungkin ini jalan Tuhan untuk menyatukan dua hati yang terluka."Rasya tetap bungkam, namun detak jantungnya terasa semakin keras. Kalimat ibunya seolah menyentuh luka lamanya yang belum sepenuhnya sembuh. Andai ia bisa berkata jujur, ia sudah menyukai K

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 31. Solusi Hendra

    "Kami tidak peduli! Yang jelas, kami tidak akan menempati rumah itu. Titik!" seru Bambang dengan suara tegas, penuh emosi yang tertahan. Anis merasakan hawa ruangan semakin berat. Ia melirik Hendra, memberi isyarat agar pembicaraan ini segera dihentikan."Begini saja," ucap Anis dengan nada menenangkan, mencoba menurunkan ketegangan. "Kami akan berbicara dulu dengan Kartika untuk mencari jalan tengah. Setelah itu, kami akan menemui Pak Bambang kembali."Anis meraih lengan Hendra, memaksanya untuk meninggalkan ruangan. Dia tidak ingin berlama-lama di sana, terutama karena ia mulai merasakan sesuatu yang janggal. Bayangan samar di sudut mata, suara angin yang seakan berbisik, semuanya membuat bulu kuduknya berdiri. Ada sesuatu di sini, sesuatu yang tidak kasat mata, mengintai mereka.Ketika mereka tiba di ruang keluarga, suasana berbeda terasa di sana. Hendra dan Anis melihat Kartika yang sedang tertawa kecil bersama Rasya. Bayi kecil di pangkuannya, Cakra, mengoc

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 32. Rumah Angker Warisan Bapak Kartika

    Malam itu di RT 4 Kampung Sidodadi terasa lebih senyap dari biasanya. Garis polisi masih membentang di depan rumah warisan bapak tiri Kartika, mempertegas aura angker yang menyelimuti tempat itu. Dua pria, Amin dan Udin, berjalan pelan di jalan setapak sambil membawa senter kecil."Aku kok merinding ya, Min," bisik Udin sambil memegang tengkuknya."Kamu kayak baru kali ini ngeronda saja," balas Amin."Tapi ini beda, Min. Sejak kejadian itu, suasana kampung jadi gak enak, apalagi di depan rumah itu tuh." Tunjuk Udin. Cahaya senter di tangannya bergerak, menyapu ke arah rumah Kartika.Udin tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Min... itu apa?"Amin menatap Udin dengan malas. Sementara Udin fokus pada jendela rumah. Di sana, samar-samar, ia melihat siluet seorang wanita berambut panjang sedang duduk tertunduk.Udin memberanikan diri, melangkah mendekat, tubuhnya tiba-tiba gemetar hebat."Ada apa, Din?" tanya Amin kesal sambil b

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 33. Teman-Teman Rita

    Keesokan paginya, Rita kembali mendatangi rumah Pak RT, kali ini dengan dua orang temannya. Wajah mereka tampak ceria, namun Udin yang kebetulan berada di sana justru merasa gelisah tanpa sebab."Ini teman-teman saya, namanya Ayu dan Ira," kata Rita, memperkenalkan dua wanita itu."Lho, katanya ada empat orang?" sela Udin.Rita tersenyum tipis. "Iya, awalnya ada empat. Tapi teman kami yang satu terpaksa mundur karena ibunya sakit dan dia harus merawatnya."Belum sempat Udin merespons, Pak Iman sudah menepuk pundaknya dengan gemas. "Sudah, Din. Jangan kepo! Nanti kamu malah ditertawakan mereka. Sekarang, mari, Mbak-Mbak, saya antar ke rumah kontrakan."Iman melangkah dengan sigap, memberi isyarat kepada Rita dan kedua temannya untuk mengikutinya. Di belakang, Udin hanya bisa memutar bola matanya dengan malas. Ia berusaha menyembunyikan rasa kesal dengan menggerutu. 'Dasar buaya darat, sepertinya pak Iman sudah kehilangan iman,' batinnya sambil ngelo

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 34. Pingsan

    Rita mendengar teriakan dari arah kamar mandi, tapi alih-alih cemas, ia malah menggerutu kesal. “Apa lagi sih, ribut terus!” gumamnya sambil berdiri. Ayu, yang lebih sigap, segera menarik tangan Rita.“Kita harus lihat! Itu suara Ira!” serunya panik.Mereka berdua bergegas ke arah kamar mandi, dan betapa terkejutnya mereka saat mendapati Ira tergeletak di lantai, tepat di depan pintu kamar mandi. Tubuhnya kaku, dengan wajah pucat pasi.“Ini lagi! Pakai acara pingsan segala!” Rita mendesis sambil memutar matanya.“Rit, bantu aku angkat dia! Ayo cepat!” Ayu memohon dengan nada mendesak, sudah setengah berjongkok untuk mengangkat tubuh Ira. Meski malas, Rita akhirnya membantu mengangkat bagian kaki sahabatnya. Mereka membopong Ira ke kamar dan merebahkannya di atas kasur.Ayu buru-buru mengambil minyak kayu putih, mengoleskannya ke hidung Ira yang masih lemas. Napas Ira tersentak, dan matanya perlahan terbuka. Tubuhnya langsung gemetar, matanya liar m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 35. Mimpi Dan Informasi

    "Ira! Lepaskan!" Ayu berteriak dengan napas tersengal, tangannya mencoba menepis cengkeraman Ira yang dingin dan penuh kekuatan. Lehernya terasa semakin tercekik, tapi dalam benaknya, sebuah kenangan melintas—tentang pengalaman bersama neneknya yang sering membantu orang kesurupan. Ayu segera bertindak. Dengan sisa tenaga, ia mendorong tubuh Ira, membuatnya terhuyung ke belakang dan jatuh ke lantai."Ira, maafkan aku," gumam Ayu pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ia mendekati tubuh Ira yang kini bergetar hebat, lalu dengan cepat menekan ibu jari kaki kiri Ira, sambil melafalkan doa yang diajarkan oleh neneknya."Bismillah..." bisiknya pelan namun mantap. Seketika tubuh Ira tersentak-sentak, seolah ada sesuatu yang tengah meronta dari dalam dirinya."Hentikan! Panas! Panas!" jerit Ira dengan suara serak dan memekakkan telinga. Namun, Ayu terus melafalkan doa itu, meski ketakutan merayapi hatinya."Sial! Aku salah berurusan dengan orang ini! Arghhh!" Suar

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 36. Minta Pindah

    Ayu dan Ira mendengarkan cerita bulek Tatik dengan penuh perhatian, wajah mereka tampak pucat, dipenuhi rasa takut yang makin menebal. Ketika cerita selesai, keduanya saling berpandangan, tidak perlu kata-kata, mata mereka sudah berbicara. Kengerian yang dirasakan bersama membuat keduanya merasa semakin terperangkap dalam sebuah rahasia kelam."Sepertinya kita memang harus pindah, Ir, aku gak mau terlibat lebih jauh dengan demit itu," ucap Ayu, suaranya gemetar, tangan yang menggenggam sendok pun tampak bergetar."Sama, aku juga, Yu," balas Ira dengan suara bergetar, memeluk kedua lengan tubuhnya seolah ingin mengusir rasa dingin yang menyelusup ke dalam. "Apalagi, aku sampai bermimpi tentangnya... Rasanya aku nggak kuat lagi tinggal di sana," lanjutnya, tubuhnya sedikit gemetaran saat mengenang kejadian-kejadian aneh itu. "Aku bahkan trauma mandi di rumah kontrakan itu, lebih baik mandi di rumah sakit," tambahnya lagi, suara tegang terdengar jelas."Bukankah di

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06

Bab terbaru

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 54. Durhaka

    Malam itu, suasana rumah Udin terasa mencekam. Langit mendung gelap, dan suara angin menerpa dinding rumah kayu, menambah suasana tegang. Astutik duduk di sudut ruangan dengan mata yang sembap karena tangis. Kartika mendekat, memberikan segelas teh hangat, namun tangan Astutik gemetar saat meraihnya.“Ibu tidak punya pilihan,” bisiknya dengan suara parau. “Ibu harus bicara dengan Wulan. Dia satu-satunya yang bisa membantu menyelesaikan masalah ini.”Kartika menatapnya dengan ragu. “Bu, Wulan... dia tidak akan mendengar. Apa Ibu yakin ini keputusan yang tepat?”Astutik tidak menjawab. Tangannya terulur meminta ponsel Kartika. Dengan berat hati, Kartika menyerahkannya. Astutik menekan nomor Wulan dengan tangan bergetar. Beberapa detik kemudian, sambungan tersambung.“Wulan, ini Ibu,” suara Astutik terdengar lirih, hampir seperti bisikan.Dari seberang, terdengar suara Wulan yang terdengar dingin. “Ada apa? Apa kau berhasil berbicara dengan Mbak Dyah? Ingat besok penyewa itu akan datang.

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 53. Tangisan Ibu

    "Dyah... Nak, ini ibu...!" Suara Astutik lirih dan penuh kerinduan. Ia mencoba berjalan tertatih, mendekati sosok gaib putrinya. "Bu Astutik, jangan!" teriak Kartika panik, mencoba menghentikan langkah Astutik. Rasya pun memegangi bahu wanita tua itu, mencoba menariknya mundur. "Bu, itu bukan Dyah yang Ibu kenal!"Namun Astutik meronta, menepis tangan Rasya dan Kartika. "Lepaskan aku! Dia anakku! Dia membutuhkanku!" teriaknya sambil terus menangis. Tubuh renta itu tetap bergerak maju, mendekati sosok Dyah.Saat Astutik hanya tinggal beberapa langkah dari pintu, sosok Dyah tiba-tiba mengangkat tangannya. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang, mengeluarkan energi hitam yang melesat ke arah Astutik. Tubuh tua itu terpental ke belakang, jatuh ke pelukan Rasya yang berlari menangkapnya tepat waktu."Astaga, Bu, Ibu baik-baik saja?" Rasya bertanya panik sambil memeriksa kondisi Astutik. Wanita itu hanya menangis, memegangi dadanya yang terasa sesak.Sosok Dyah kini beralih menatap Kartik

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 52. Ibu Dan Anak

    "Baiklah kalau itu keputusanmu, tapi resiko tanggung sendiri," dengus Hendra kesal.Kartika tersenyum, ke arah ayah mertuanya. "Terimakasih ya, Yah, Kartika berjanji hanya sebatas memastikan kalau bu Astutik baik-baik saja.""Terserah kamu, hanya saja Ayah ingin menegaskan sesuatu." Hendra menatap Kartika dengan tajam, nadanya penuh tekanan. "Jangan ikut campur terlalu jauh. Ayah terus terang tidak menyukai sikap putri Bu Astutik, yang bernama Wulan itu."Kartika mengangguk pelan, menyadari ketegangan di balik kata-kata ayah mertuanya. Ia tahu Hendra jarang berbicara setegas ini kecuali ia benar-benar merasa terganggu. Perlahan, Kartika menggandeng lengan Astutik, berusaha menenangkan wanita tua itu yang tampak begitu rapuh. "Baik, Pak. Saya mengerti. Saya akan segera bersiap," ujarnya, berusaha tetap tenang.Astutik menatap Kartika dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Nak Kartika. Ibu tahu ini merepotkan.""Saya akan mempersiapkan pakaian anak saya dulu. Kita naik angkot jam semb

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 51. Keluarga Hendra

    Pintu angkot terbuka sendiri dengan bunyi berdecit. Di luar, bayangan rumah itu terlihat semakin mencekam di bawah sinar rembulan. Dengan langkah gemetar Astutik mulai turun. Tak lama setelah ia menginjakkan kaki di tanah, angkot itu meluncur dengan cepat, menghilang di balik gelapnya malam.Astutik terkesiap mendengar suara dari arah belakang. "Saya sepertinya pernah melihat Anda?" Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang.

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 50. Ibuku Sayang, Ibuku Malang

    Dengan wajah merah padam, Wulan kembali ke rumahnya, di Desa Cimelati. Mobil yang ditumpanginya melaju cepat. Sesampai di depan gapura desa, ia langkahnya semakin cepat, membangkitkan debu di jalan setapak yang ia lewati. Sesampainya di rumah, ia langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Bahkan ia mengabaikan beberapa tamu yang baru selesai melakukan ritual tiga harian. Astutik, yang sedang menyusun buku doa meja, terkejut saat melihat anaknya datang dengan wajah kesal. "Kau sudah pulang, Mak?" tanyanya."Ibu, aku ingin bicara. Ikut aku!" Wulan menggiring sang ibu menuju ke sebuah ruangan lain. "Mbak Dyah telah menjadi sesuatu yang mengerikan!" seru Wulan dengan nada bicara lantang.Astutik mengambil duduk berhadapan dengan putrinya. "Apa maksudmu, Wulan?""Rumah itu, Bu! Rumah warisan Dyah! Aku sudah mencoba membersihkannya, tapi arwahnya ... Maksudku, Mbak Dyah tidak seperti dulu. Dia penuh kemarahan dan kebencian! Mbak Dyah sudah berubah menjadi sosok jahat, Bu!" Wulan mulai menangis.A

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 49. Beralih Kepemilikan

    Kartika mencoba tetap tenang meski dadanya bergemuruh. Dengan wajah datar, ia akhirnya mengiyakan permintaan Wulan. Namun, ketika Wulan dengan nada tinggi meminta agar proses pengalihan nama dipercepat, Kartika merasa seperti dilempar ke jurang ketidakadilan.“Aku akan memanggil notaris,” ujar Wulan sambil beranjak, ia keluar pintu dan kembali dengan dua orang pria memakai kemeja hitam, yang sepertinya baru saja selesai mengikuti pengajian di rumah mereka. “Kita langsung urus sekarang, supaya tidak ada lagi alasan kalian untuk datang," ucap Wulan, "dan satu hal lagi ... aku tidak takut dengan segala cerita ‘angker’ yang kalian karang tentang rumah itu! Bilang saja kalau Kau butuh uang jadi menghubungi ibuku kembali."Kata-kata Wulan yang tajam menusuk hati Kartika. Sementara Hendra hanya menatap dengan dingin dan menahan kesal.“Kami angkat tangan jika terjadi sesuatu di rumah warisan bapak Kartika, nanti,” ucap Hendra dengan nada tegas.“Itu rumah milikku sekarang!” balas Wulan deng

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 48. Perdebatan Panas

    Hendra menatap Kartika melalui kaca spion, ekspresinya serius. "Hubungi Astutik. Suruh dia share lokasi rumahnya," ucapnya, suaranya tegas namun bergetar samar.Kartika langsung menurut. Dia mengambil ponsel dan segera menelepon Astutik. Tak lama, sebuah notifikasi masuk, menunjukkan lokasi rumah Bambang. "Sudah, Yah. Ini alamatnya," ujar Kartika sambil menyerahkan ponselnya kepada Hendra.Hendra hanya mengangguk ia memegang kendali setirnya, sambil sesekali melihat ke arah google map yang ditunjukan oleh Kartika. Namun, tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tengkuknya. Seperti hembusan napas seseorang.Hendra terdiam, matanya menatap lurus ke jalan yang mulai gelap. Hutan kecil di sisi jalan terasa seperti mengawasi mereka. Dia membaca doa dalam hati, berusaha mengabaikan sensasi mengerikan itu.“Apa kau baik-baik saja?” tanya Anis dari kursi depan, memperhatikan suaminya yang tampak lebih tegang dari biasanya.“Tidak apa-apa,” jawab Hendra cepat, namun nada suarany

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 47. Solusi Hendra (Part 2)

    Pagi itu, udara terasa berat dan dingin, meski matahari sudah mulai naik perlahan di langit. Anis menghampiri Hendra yang sedang duduk di beranda, menyesap kopi hangat buatan istrinya. Ekspresi Hendra tampak lelah, alisnya berkerut dalam, seperti ada beban berat yang terus mengganggu pikirannya."Apa kita jadi berangkat ke rumah Bambang hari ini?" tanya Anis perlahan. Ia mengambil duduk di samping suaminya.Hendra menghela napas panjang. "Aku sedang memikirkan itu," jawabnya sambil menatap gelas kopi di tangannya. "Tapi entah kenapa aku merasa... Bambang tidak akan percaya begitu saja. Lagi pula, membawa boneka itu—memiliki resiko. Ada arwah Dyah yang bersiap mengamuk sewaktu-waktu.., kecuali, kalau lasmini bisa kita ajak sekalian."Anis menggigit bibirnya, merasa cemas. "Kau benar, ucapnya, "tapi menurutku, sebaiknya kita tidak menunggu lama. Kalau kita ragu terus, situasi ini hanya akan semakin buruk," katanya sambil melirik ke arah rumah, di mana boneka Cantika tergeletak di meja d

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 46. Pertarungan Dua Dunia: Lasmini vs Dyah

    Hawa dingin semakin menusuk, membuat semua orang di ruangan itu seperti membeku. Sosok Dyah yang penuh dendam melayang di udara, matanya merah menyala. Namun, dari tubuh Anis, sosok lain perlahan muncul. Tubuh Anis terguncang hebat, hingga akhirnya bayangan seperti kabut putih keluar dan berdiri kokoh di hadapan Dyah. Itu adalah Lasmini, sosok gaib yang selama ini bersemayam dalam diri Anis."jadi kau Lasmini?" Hendra terperengah sama seperti Kartika yang takjub dengan kecantikan sang ibu.Lasmini mengangguk tersenyum, lalu ia kembali mengalihkan pandangan kepada Dyah, yang hampir saja berhasil membuat Anis beralih dunia."Dyah, aku sudah memperingatkanmu," suara Lasmini menggema, tegas dan penuh wibawa. "Pergi dari sini, atau kau akan binasa!"Dyah tertawa sinis, suaranya parau dan menggema di seluruh ruangan. "Kau pikir aku takut padamu, Lasmini? Aku tidak akan pergi! Karena aku tidak bisa pergi! Rumah ini seakan mengurungku! Maka dari itu, sekalian saja aku jadikan milikku!" Sosok

DMCA.com Protection Status