Malam itu, Rasya tidak bisa memejamkan mata. Hawa dingin malam terasa menusuk tulang, tetapi bukan itu yang membuatnya gelisah. Setelah beberapa menit berputar di atas kasur, ia akhirnya bangkit dan mengambil laptopnya. Ia berharap menemukan sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya.
Jarinya lincah mengetik, memeriksa email yang masuk. "Ah, belum ada panggilan," gumamnya kecewa. Hampir seminggu berlalu sejak ia mengirim lamaran, tapi tak satu pun balasan diterima. Dengan mendesah pelan, ia menutup laptopnya.
Tiba-tiba, suara tangisan Cakra memecah keheningan. Rasya segera keluar kamar, berniat mengecek keadaannya. Ia berjalan menuju tangga dengan langkah hati-hati, berusaha agar lantai kayu tua itu tidak berderit. Suara tangisan Cakra semakin keras, terdengar seperti memanggil-manggil, membuat bulu kuduknya meremang.
Sesampainya di depan kamar Kartika, Rasya mengetuk pintu pelan sambil memanggil, "Kartika? Kau di dalam?" Namun, tidak ada jawaban. Hening menyelimu
Kartika terhenyak, begitu pula Anis. Keduanya hanya sebatas, terbelalak, memelihara punggung Broto dan Purwati yang semakin menjauh.Tiba-tiba, suasana yang tenang itu terpecahkan oleh teriakan keras. "Arkhhhhh!" Kartika menjerit histeris, tangannya mengacak rambutnya, membuat beberapa helai rambut rontok, karena dia seperti menjambaknya. Suaranya mengiris udara, penuh kebencian dan kesakitan yang tidak terganggu. Anis terkejut, langkahnya terhenti sejenak.“Kau kenapa, Nak?” tanya Anis, suara penuh cemas, tangannya mengulurkan sentuhan lembut ke pundak Kartika, namun tidak mendapat respon."Aku benci h
Teriakan Hendra membangunkan Rasya dari tidur lelapnya. Pemuda itu mengucek mata dan keluar dari kamar, ia terkejut ketika melihat Kartika berdiri di tepi balkon, mengangkat tubuh kecil Cakra ke udara."Astaga!" Rasya berteriak panik. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah tangga. Hendra, yang lebih dulu mendekat, mencoba merebut bayi itu dari cengkeraman Kartika. Namun, Kartika menjerit, tubuhnya bergetar hebat."Lepas! Jangan sentuh dia!" teriak Kartika histeris. "Aku harus mengorbankan anakku... Supaya mereka berhenti menghantui kita!"Hendra sesaat, bingung dengan ucapannya. "Siapa mereka?" Pertanyaannya disambut dengan teriakan semakin keras dari Kartika."Kartika! Sadarlah! Tidak ada yang akan mengambil Cakra darimu!" katanya. Namun, Kartika semakin meronta."Mereka ada di sini!" jeritnya, menunjuk ke ruang kosong di seberang balkon. "Mereka ingin aku membayar kesalahan ayah angkatku! Mereka akan mengambil semuanya kalau aku tidak menyerahkan Cakra!" Kartika menangis sejadi
Kartika meronta hebat, tubuhnya bergetar, air matanya bercucuran. "Lepas! Jangan sentuh aku!" teriaknya histeris. Hendra dan Rasya mencoba menenangkannya, namun semakin keras mereka menahannya, semakin kuat Kartika melawan.Lukman, yang menyaksikan kekacauan itu, melangkah mendekat. "Biarkan aku mencoba sesuatu," katanya tenang. Dia menarik napas dalam, memusatkan perhatian. "Kartika, lihat ke arahku. Tenanglah."Suaranya lembut, nyaris berbisik, mengalun seperti mantra. Lukman memulai proses hipnoterapi, mengarahkan Kartika untuk memejamkan mata. "Bayangkan tempat yang tenang, tempat di mana tidak ada rasa sakit...." Suaranya terus mengalir, menembus dinding kepanikan di kepala Kartika. Perlahan, perlawanan itu mereda, napasnya teratur, tubuhnya lemas. Dia tenggelam dalam alam bawah sadarnya.Dalam kondisi itu, Kartika mulai berbicara. Suaranya penuh luka, getir, mengungkap semua rasa sakit yang terpendam: penolakan, penghinaan, dan kehilangan. Setiap kata yang meluncur membuat ruang
“Tunjukkan bukti kalau anak dalam kandunganku bukan anakmu!” tantang Lisa dengan suara yang bergetar, penuh emosi.“Aku punya rekamannya,” balas Rasya tegas. Nada dinginnya membuat Lisa terhenyak, wajahnya memerah menahan malu sekaligus amarah.“Kau!” Lisa menunjuk tajam ke arah Rasya. “Pria macam apa kamu?!”“Kamu wanita ular,” balas Rasya dengan senyum tipis yang menusuk. “Jadi, aku harus mengimbangimu dengan permainan yang lebih cerdik. Sekarang, keluar dari rumah ini, atau aku akan menyeretmu bersama pria iblis itu ke lubang kehancuran!”Lisa terdiam sejenak, matanya penuh kebencian. “Aku akan pergi, tapi hanya jika wanita itu juga pergi!” katanya sambil menunjuk Kartika. “Bukankah dia bukan siapa-siapamu?!”Anis, yang sejak tadi menahan diri, akhirnya angkat bicara. “Apa hakmu meminta kami mengusir Kartika?” ujarnya tajam. “Kalau aku jadi kamu, aku tak akan punya muka untuk mendatangi orang yang sudah kudzalimi seperti ini!” Tatapan Anis begitu menusuk, membuat Lisa terlihat bing
“Tidak usah takut, saya akan mengantarmu ke kota dengan selamat. Sekarang tidurlah,” ujar sang sopir dengan nada datar, namun ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Kartika meremang. Tanpa sadar, kelopak matanya terasa berat, kantuk menyerang tiba-tiba. Ia bersandar di kursi angkot yang dingin dan lembap.Ketika Kartika terpejam, bayangan samar di kursi sopir berubah. Wajah pria itu perlahan meluruh, memperlihatkan mata yang menonjol keluar, kulit penuh luka busuk, dan mulut sobek hingga ke telinga. Sosok itu mengemudikan angkot tua dengan kecepatan yang tidak masuk akal, menembus gelapnya malam.Jalanan tampak tak berujung, hanya kabut pekat dan siluet pohon yang melintas. Dalam waktu kurang dari setengah jam, angkot berhenti di sebuah terminal yang sunyi. Saat tiga orang dengan sorot lampu menghampiri, sosok supir angkot itu menatap ketiganya dan berlalu pergi. Slashhhh!Kartika terbangun saat seseorang menepuk pundaknya. Dengan mata masih berat, ia melihat seorang pria berompi petugas
Hendra melajukan mobilnya dengan pandangan lurus ke depan, sementara pikirannya sibuk dengan berbagai kemungkinan. Dalam suasana yang tegang itu, ia memecah keheningan dengan nada setengah bercanda."Kau terlihat begitu khawatir dengan Kartika," ucapnya sambil melirik Rasya di kursi samping. "Apa kau mulai menyukai wanita itu?"Pertanyaan itu bagai petir di siang bolong bagi Rasya. Wajahnya memerah seketika, matanya sibuk mencari jawaban di luar jendela. Ia gugup, tak tahu harus menjawab apa."Sudah kuduga," celetuk Anis dari kursi belakang, membuat suasana semakin canggung. Ia tersenyum kecil sambil melipat tangannya. "Ibu setuju saja, kok. Ibu juga sudah menganggap Cakra seperti cucu sendiri. Kalian berdua sama-sama pernah disakiti. Mungkin ini jalan Tuhan untuk menyatukan dua hati yang terluka."Rasya tetap bungkam, namun detak jantungnya terasa semakin keras. Kalimat ibunya seolah menyentuh luka lamanya yang belum sepenuhnya sembuh. Andai ia bisa berkata jujur, ia sudah menyukai K
"Kami tidak peduli! Yang jelas, kami tidak akan menempati rumah itu. Titik!" seru Bambang dengan suara tegas, penuh emosi yang tertahan. Anis merasakan hawa ruangan semakin berat. Ia melirik Hendra, memberi isyarat agar pembicaraan ini segera dihentikan."Begini saja," ucap Anis dengan nada menenangkan, mencoba menurunkan ketegangan. "Kami akan berbicara dulu dengan Kartika untuk mencari jalan tengah. Setelah itu, kami akan menemui Pak Bambang kembali."Anis meraih lengan Hendra, memaksanya untuk meninggalkan ruangan. Dia tidak ingin berlama-lama di sana, terutama karena ia mulai merasakan sesuatu yang janggal. Bayangan samar di sudut mata, suara angin yang seakan berbisik, semuanya membuat bulu kuduknya berdiri. Ada sesuatu di sini, sesuatu yang tidak kasat mata, mengintai mereka.Ketika mereka tiba di ruang keluarga, suasana berbeda terasa di sana. Hendra dan Anis melihat Kartika yang sedang tertawa kecil bersama Rasya. Bayi kecil di pangkuannya, Cakra, mengoc
Malam itu di RT 4 Kampung Sidodadi terasa lebih senyap dari biasanya. Garis polisi masih membentang di depan rumah warisan bapak tiri Kartika, mempertegas aura angker yang menyelimuti tempat itu. Dua pria, Amin dan Udin, berjalan pelan di jalan setapak sambil membawa senter kecil."Aku kok merinding ya, Min," bisik Udin sambil memegang tengkuknya."Kamu kayak baru kali ini ngeronda saja," balas Amin."Tapi ini beda, Min. Sejak kejadian itu, suasana kampung jadi gak enak, apalagi di depan rumah itu tuh." Tunjuk Udin. Cahaya senter di tangannya bergerak, menyapu ke arah rumah Kartika.Udin tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Min... itu apa?"Amin menatap Udin dengan malas. Sementara Udin fokus pada jendela rumah. Di sana, samar-samar, ia melihat siluet seorang wanita berambut panjang sedang duduk tertunduk.Udin memberanikan diri, melangkah mendekat, tubuhnya tiba-tiba gemetar hebat."Ada apa, Din?" tanya Amin kesal sambil b
"Gak usah wedi, Nduk." Sosok itu terus melambaikan tangan ke arahnya, membuat Anis ingin menangis."Saya Mbah Sur, yang punya rumah ini." Pria itu menunjuk ke arah rumah Lukman. "Saya ini bapaknya Lukman. Seharusnya saya bisa pergi dengan tenang, tapi Dewi malah mengambil susuk milikku dan menanamkannya dalam tubuhnya."Anis tercekat, tapi ia mengusahakan langkahnya untuk mendekat."Ojo wedi. Saya sudah tobat di detik akhir sebelum mati," Mbah Sur mencoba meyakinkan Anis. "Saya butuh bantuanmu, supaya bisa mengikuti Lilis. Mbah berharap setelah kamu tahu jalan ceritanya, kamu bisa membantu melepas susuk dari Dewi. Mbah ingin pergi dengan tenang."Anis mengangguk. "Ba-gai-mana sa-ya bisa membantu?" tanyanya dengan terbata."Kau cukup ikuti. Setelah kembali ke alam sadarmu, cari saja keberadaan Dewi. Aku juga sudah menitipkan sesuatu kepadamu, bawa ke orang yang mengerti.""Aku tidak paham.""Lakukan saja, nanti kau juga aka
Anis dan Hendra akhirnya memutuskan untuk berangkat kembali ke rumah Lukman. "Uti, ikut!" Cakra mulai merengek. Melihat Cakra yang sudah mengulurkan tangan, Rasya segera bertindak menggendong bocah tiga tahun itu. "Kamu di rumah saja, main sama ayah.""Gak mau, mau ikut Uti." Cakra mulai merengek. "Sudahlah biarkan saja dia ikut." Anis yang tidak tega bersiap hendak mengambil alih Cakra. Namun Rasya lebih sigap menepisnya. "Biar saja, Bu. Justru kalau Cakra ikut aku malah khawatir."Anis mengangguk mengerti. Ia segera bergegas masuk ke mobil yang akan membawanya ke desa Plaosan, tempat tinggal Lukman. ---Mobil yang dikemudikan Hendra menyusuri jalan berliku menuju desa Sidomulyo. Sawah-sawah hijau membentang di kiri-kanan, diselingi pohon kelapa yang melambai pelan. Udara segar menyapa, membuat hati serasa nyaman."Kok lewat jalan sini, Yah?" pertanyaan Anis memecah keheningan sepanjang perjalanan. "Aku tadi cek jalan lewat GPS, ternyata ada jalan yang dekat menuju desa Lukman." Ta
Kartika memandang wajah Kirana dengan penuh haru. "Kau... Cantika anakku?" Ucapnya sambil menahan isak. Kartika mengelus lembut pipi Kirana, sentuhan itu benar mengingatkannya akan putri Cantika yang sudah tiada. “Aku anak yang dilindungi Ibu, nenek melindungiku dari mati dan Dyah.”Degggg!Jantung Kartika seakan berhenti bersetak sejenak. Bagaimana bocah yang ya perkirakan berusia satu setengah tahun kurang, itu bisa berbicara dengan sangat lancar."Jangan menangis Bu ...." Kirana mengusap air mata yang keluar dari dua netra Kartika. "Aku senang bisa beltemu Ibu lagi." Kirana tersenyum. Saat Rasya memanggil Kartika, seketika Kirana kembali bertingkah seperti bocah biasa. Rasya baru saja menut
Anis kaget saat netranya melihat ada sesajen di bawah ranjang. Namun, karena tak mau terlibat terlalu jauh, ia bergegas menutup pintu dan kembali bergabung dengan Sulis.Tak lama kemudian, Hendra dan para pelayat kembali ke rumah duka. Wajah mereka terlihat lelah, dengan pakaian berdebu oleh tanah makam. Aroma dupa masih tercium di udara, menyatu dengan suasana sendu di dalam rumah. Semua duduk diam, menyisip teh hangat dalam hening yang mencekam.Hendra mendatangi Anis, menggeser duduk dan memangku Sandra."Yah, kok langsung memangku Sandra? Harusnya mandi dulu atau cuci muka lah paling tidak, habis dari pemakaman juga." Anis langsung mengambil alih Sandra kembali. "Nanti kalau Sandra 'sawan' bagaimana?""Aku sudah mandi kok, di rumah pak RT. Tadi orang-orang juga mandi di sana. Eh, tadi banyak tetangga yang ngamuk sama Dewi, lho."Ucapan Hendra mengundang rasa ingin tahu Anis. Keningnya mengkerut penuh rasa penasaran. Mengetahui
Seminggu setelah kematian Lukman, Anis sudah melupakan mengenai keadaan Lilis. Ia mulai beraktifitas seperti biasa, memasak, bermain dengan cucu dan aktifitas lain. Suatu pagi, Anis yang sedang bermain dengan dua cucu kesayangannya di ruang tamu, tersentak ketika ponselnya bergetar. Notifikasi dari grup WhatsApp "Konco Lawas" muncul.Dengan santai, ia membuka pesan itu, namun wajahnya langsung berubah pucat. "Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Bu Lilis telah berpulang. Semoga amal ibadahnya diterima." Anis membaca pesan itu berkali-kali, memastikan tidak salah baca. "Lilis meninggal?" gumamnya pelan, dengan penuh keterkejutan. Pikirannya berputar, teringat tatapan kosong Lilis yang terus mengarah ke langit-langit kemarin. "Ya Allah...." Anis memegang dadanya yang terasa sesak. Jari-jarinya gemetar saat mencoba mengetik balasan, tapi tak satu kata pun berhasil ia kirimkan. Wajah Lilis terus terbayang di benaknya."Kenapa kok pas 7 harian Lukman meninggal ya." Ani
"Pak, apa kita akan ikut mereka takziyah. Sementara, kita kan bawa Cakra dan Sandra," bisik Anis pada sang suami. "Lha mau bagaimana, Bu, mereka juga mengajak cucunya bukan? Kita ikut bentar saja, biar bagaimanapun Lukman sudah berjasa membantu Kartika sampai sembuh," bisik Hendra.Anis tampak ragu mendengar ucapan suaminya, tapi melihat antusiasme teman-teman yang lain yang juga mengajak cucu, ia jadi tak punya alasan menolak. Akhirnya keduanya sepakat ikut rombongan. Mobil yang ditumpangi Hendra dan Anis melaju di jalan beraspal yang membelah hamparan sawah hijau di kiri-kanan. Dari dalam mobil, terlihat petani dengan caping di bawah terik matahari sedang memanen. Langit siang cerah, awan putih berarak lembut, melukis langit yang indah.Pepohonan rindang melambai ditiup angin, memberikan kesan teduh meski matahari bersinar terik. Sesekali, motor atau sepeda melintas, menambah suasana desa yang tenang. Di kejauhan, terlihat bukit-bukit kecil seperti melindungi desa. Anis memandang
"Kenapa Kartika tiba-tiba pingsan?" Anis mulai panik. "Cepat bawa masuk!"Melihat tubuh Kartika yang limbung, Rasya panik. Ia bergegas menggendong tubuh sang istri dan membaringkannya di atas kasur. Anis yang tak kalah khawatir, buru-buru mengambil minyak kayu putih dari meja. "Cepat ambil air, Rasya!" perintah Anis dengan nada cemas.Rasya berlari ke dapur, membawa segelas air dingin, sementara Anis mengusap pelipis Kartika dengan minyak kayu putih. Setelah beberapa saat, Kartika perlahan membuka mata. "Kartika, kamu kenapa?!" tanya Rasya, suaranya penuh kekhawatiran.Wajah Kartika pucat, matanya berkaca-kaca. "Aku juga tidak tahu, Mas," gumamnya dengan suara gemetar. Tangannya bergetar saat mencoba meraih tangan Rasya, tubuhnya masih terlihat lemah. Tak lama Hendra dan Cakra masuk. Melihat Cassandra, ekspresi Hendra bingung. Berbeda dengan Cakra, bocah itu tanpa aba-aba langsung menggandeng tangan Cassandra dan mengajaknya bermain. "Itu anak Lisa," celetuk Anis, seperti mengetahui
"Mas, bangun!" Candra membuka mata dan mendapati dua pria berseragam tengah mengguncang pundaknya. "Di mana saya?" tanyanya."Mas ada di rumah perbaikan diri. Ayo masuk, kita bicara di dalam, saya lihat, Mas ini tampak sedang tidak baik-baik saja." Polisi muda itu bersiap membantu Candra untuk berdiri. Namun belum sempat berdiri, Candra tiba-tiba menangis pilu. "Saya pembunuh!" teriaknya. "Saya sudah membunuh istri saya ...." Candra mulai histeris, tubuhnya bergetar hebat. Dua polisi itu saling pandang heran. Lalu kembali mengalihkan pandangan kepada Candra sambil berkata, "silahkan buat keterangan dulu di dalam."---Pagi harinya, Desa Lisa kembali gempar saat mobil polisi melintasi jalan utama, membawa Candra dengan wajah yang penuh penyesalan. Warga berkerumun di sekitar rumah kayu milik Lisa, berbisik-bisik dengan nada takut dan penasaran. Kartika dan Rasya yang bersiap pulang terhenti di tengah jalan, menatap pemandangan itu dengan ngeri. Di gendongannya, Cassandra merengek pela
"Apa maksudmu? Jadi benar Mas Candra yang membunuhmu?" ucap Kartika dengan nada gemetar tak percaya. "Ta-pi ... ke-napa?" Kartika terdiam, tubuhnya bergetar hebat. Kata-kata Lisa seperti palu yang menghantam pikirannya. “Candra membunuhku,” ucap Lisa tanpa ragu. Mata Kartika membelalak, penuh ketidakpercayaan. “Tidak mungkin!” desisnya, suaranya nyaris lenyap. Namun, sorot dingin Lisa tak terbantahkan. Rasa takut menyelimuti Kartika, nafasnya memburu. Sorot mata penuh dendam itu, membuat bulu kuduk Kartika meremang. Tenggorokannya tercekat dan tubuhnya kaku seakan tak bisa bergerak. "Candra membunuhku Kartika! Aku ingin mendapat keadilan atas kematianku! Bantu aku Kartika ... temukan Candra!" Suara Lisa diiringi dengan Isak tangisnya bergema di keheningan malam. “Keadilan...,” bisiknya pelan, membuat siapa pun yang mendengar merasakan hawa dingin menusuk tulang. "Candra harus bertanggung jawab dan anakku ...." Lisa tak melanjutkan ucapannya, ia terus menangis. "Anakku, dia tidak me