Home / Romansa / Duda dan Janda Bertetangga / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of Duda dan Janda Bertetangga : Chapter 81 - Chapter 90

127 Chapters

80. Cinta Yang Tak Sepantasnya (1)

Kintan berlutut dan menangis tersedu-sedu di depan makam orang tuanya yang berbatu nisan besar dan mewah. Selain Ibram, ia juga ditemani oleh Paman Fardan dan Bibi Jovanka, orangtua Ibram yang baru saja datang dari Amerika untuk menemui Kintan. Bibi Jovanka juga berlutut dan memeluk tubuh Kintan erat dari arah sampingnya. Wanita berusia lima puluhan yang masih terlihat sangat cantik dan elegan itu bahkan tak kuasa melihat kesedihan Kintan di depan matanya, dan ikut menitikkan air mata. "Lula sayang, kuatlah nak! Ayah dan ibumu pasti sudah sangat bahagia sekarang karena putrinya telah datang," ucapnya lirih, sarat dengan emosi. "Terima kasih Lula, untuk tetap hidup dan kembali pada kami," bisiknya sambil mengecup lembut pipi Kintan yang basah oleh air mata. Kintan masih terisak, namun tangisnya sekarang sudah sedikit mereda. Ia menatap Jovanka yang tersenyum padanya. "Bibi Jo, aku tidak bisa mengingat ayah dan ibuku. Tolong ceritakan tentang mereka padaku. Aku ingin sekal
last updateLast Updated : 2024-12-14
Read more

82. Cinta Yang Tak Sepantasnya (3)

Ibram mencium Kintan dengan lembut, selembut kepak sayap kupu-kupu yang hinggap di bibirnya. Kintan tidak tahu bahwa sebenarnya Ibram setengah mati menahan hasratnya agar tidak memagut keras bibir ranum wanita itu dan menuntaskan gejolak yang ia pendam selama ini dengan tubuhnya.Ibram tahu ini salah. Tapi ia tidak sanggup menahannya lagi. Tubuhnya seakan berteriak ingin mencecap bibir Kintan. Ingin menghirup dalam-dalam aroma Kintan. Dan Ibram pun terkejut saat mengetahui bahwa wanita ini ternyata beraroma bunga liar yang tumbuh di sela-sela semak belukar. Kintan terlalu cantik dan membuatnya terbuai.Tiba-tiba Kintan pun tersadar setelah beberapa saat berada dalam bingung, lalu mendorong kuat bahu Ibram. Matanya membelalak, deru napasnya yang memburu seperti juga deru napas Ibram. Dengan tubuh dan bibir gemetar, mereka pun saling menatap dengan berjuta kata tak terucapkan dari sorotnya."Ja-jangan sentuh aku lagi," ucap Kintan dengan suara bergetar. "Kamu gila, Ibram. K-kamu ben
last updateLast Updated : 2024-12-15
Read more

83. Makan Siang Bersama

"Kamu memang layak untuk ditunggu, Lula," sahut Ibram. "Iqbal sungguh tolol jika mengira bisa mengganti dirimu dengan wanita lain," ketusnya."Hei. Jangan suka menggunjingkan orang di belakangnya," celetuk seseorang tiba-tiba.Kintan dan Ibram pun sontak sama-sama menoleh pada sumber suara barusan, dan mendapati Iqbal yang ternyata sudah berdiri beberapa meter dari mereka duduk.Untuk sejenak Kintan pun terpaku. Iqbal dengan sosoknya yang rupawan itu selalu berhasil membuat kacau kinerja jantungnya hingga tidak terkontrol. Hanya lelaki inilah satu-satunya yang membuat Kintan tak tahan ingin mengecup bibir pink pucatnya yang seksi, atau sekedar memeluk erat tubuhnya yang tinggi dan atletis itu. Kintan melirik Ibram di sampingnya dan mengeluh dalam hati. Kalau saja tidak ada Ibram saat ini, pasti Kintan sudah melakukannya.Seakan bisa membaca pikirannya, Iqbal tiba-tiba melangkah mendekati wanita itu dan membungkuk untuk mencium lembut bibirnya. "Hai, Sayang," ucapnya dengan senyum m
last updateLast Updated : 2024-12-15
Read more

84. Menjelaskan

Mereka semua akhirnya sampai di rumah masing-masing pada sore hari, sekitar jam 4. Iqbal dan Gea pamit untuk mandi dan istirahat, sementara Kintan dan anak-anaknya juga segera pulang ke rumahnya. Setelah mandi, Kintan menyiapkan camilan sore garlic bread dan puding mangga. Ia sengaja mengajak anak-anaknya makan camilan bersama sambil ngobrol di meja makan. "Khalil, Khafi... Mama sekarang mau cerita, kalian mau kan mendengarkan?" ucap Kintan sambil menatap anak-anaknya yang masih sibuk mengunyah. "Pada suatu hari, ada seorang gadis kecil berusia tiga tahun yang menangis karena kedua orang tuanya meninggal. Ia menangis dan terus menangis, berharap mereka akan hidup kembali dan bisa memeluknya erat. Namun sayang, orang tuanya tidak dapat kembali hidup." Khalil dan Khafi masih mengunyah, namun pandangan mata mereka sekarang fokus menatap mamanya. "Anak itu ketakutan dan pergi untuk mencari pertolongan, namun ia tersesat," Kintan melanjutkan. "Karena kalut dan bingung, ia pun akhir
last updateLast Updated : 2024-12-15
Read more

85. Seperti Mimpi

Kintan tak tega juga melihat Iqbal yang benar-benar menggendongnya di belakang selama hampir setengah jam ini. Ia sebenarnya meminta gendongan piggy back hanya karena ingin mengusir para ulat keket ganjen berjiwa pelakor yang tadi terus saja mengekori Iqbal. "Iqbal, aku turun aja deh. Udah nggak cape, kok," pintanya. Iqbal yang sekarang berjalan santai sejak menggendong Kintan pun menolehkan wajahnya ke samping. "Beneran nggak cape?" Kintan mengangguk. "Iya." Namun bukannya menurunkan tubuh Kintan, Iqbal justru dengan santai memindahkan tubuh wanita itu dari belakang kini ke depan tubuhnya, sehingga wajah mereka pun sekarang saling menatap. Kintan terkesiap malu. Kakinya yang jenjang sekarang melingkari pinggang Iqbal, dan kedua tangannya memeluk leher untuk tumpuan agar tidak jatuh. Tak pelak, posisi intim tersebut pun jadi tontonan orang-orang yang lewat di depan mereka dan membuat Kintan semakin merona. Ia ingin turun, tapi tangan Iqbal yang memegang kuat pahanya membu
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more

86. Membuat Mereka Berpisah

Ia pun makin terkesiap saat Iqbal malah memindahkan bibir pink pucatnya ke telinga wanita itu, untuk membelai bagian lembutnya dengan lidah hangat dan basah lelaki itu. Serta-merta Kintan pun melirik anak-anak yang masih tekun dengan kegiatan mereka masing-masing dan tidak ada yang melihat orang tuanya yang sedang bermesraan. Ia menggigit bibirnya untuk menahan desahan ketika bibir Iqbal sekarang sudah pindah ke bagian lehernya dan bergerak liar untuk menyesap, menghisap dan menggigit kecil kulit lembutnya yang sensitif, menghantarkan panas di sekujur tubuhnya "Iqbal, stop," bisiknya lagi. "Nanti... hummp!" Kintan tidak bisa melanjutkan ucapannya karena Iqbal kembali memagut bibirnya dengan keras dan mendorong lidahnya masuk ke dalam mulut Kintan. Pada akhirnya Kintan pun terbuai meskipun tidak ingin, karena ciuman lelaki itu sungguh membuyarkan logikanya. Tanpa sadar, Kintan pun mengangkat kedua tangan untuk mengalungkannya di leher Iqbal, membuat lelaki itu menggeram pua
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more

87. Tawanan

Iqbal merebahkan Kintan ke atas ranjangnya yang besar, dan langsung menaiki tubuh kekasihnya itu. Ia meraup bibir Kintan dengan rasa lapar yang akhirnya bisa terlampiaskan, namun tak akan pernah bisa terpuaskan. Kintan merasa tubuhnya meremang penuh antisipasi saat Iqbal kembali memainkan lidahnya di dalam mulut wanita itu, berlomba untuk saling mereguk dan membelit. "Uuh..." Kintan hanya bisa melenguh pelan ketika lidah panas Iqbal pindah ke lehernya dan menghisap kuat kulit seharum bunga, hingga menciptakan jejak merah tanda cinta di sana. Setelah puas menyiksa leher Kintan, Iqbal pun makin turun memberikan kecupan-kecupan kecil di tulang selangka wanitanya yang cantik, sementara tangannya bergerilya menyelinap ke balik kaus oversize kuning berbahan katun lembut dan menangkup dan meremas gundukan lembut dari balik bra Kintan. Seluruh tubuh Kintan sangat cantik dan adiktif membuat Iqbal mabuk dan tenggelam dalam gairah panas yang membakar seluruh tubuhnya. Dengan gemas, ia me
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more

88. Kotak Kenangan

Kintan tersentak. Mereka sudah sangat sering bercinta, namun Kintan masih saja butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan ukuran milik Iqbal yang besar. Kintan menggigit bibir untuk menahan sedikit tusukan rasa nyeri saat Iqbal memasukinya. Namun ketika lelaki itu mulai bergerak, seketika itu pula pikirannya pun mulai kacau. Hanya desah dan rintihan yang terdengar dari bibirnya, berpadu dengan erangan penuh kenikmatan yang terlontar dari mulut Iqbal. Iqbal terus bergerak dan menghujam dirinya dengan liar, hingga akhirnya Kintan terisak dan kembali menjerit entah untuk yang keberapa kalinya. Dengan mata terpejam dan napas yang memburu, Kintan masih merasakan gerakan Iqbal yang makin cepat, dan lelaki itu pun mencapai klimaksnya dengan mendesah keras. Seluruh tubuhnya terasa basah dan hangat saat memeluk Kintan dan mencium bibirnya penuh kelembutan. *** Setelah mandi, Kintan menatap kotak kardus coklat yang tadi sempat dibawa Iqbal dari rumahnya. Kintan hanya mengenakan b
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more

89. Rencana Jahat

Sabtu, jam 08.00 pagi. Ibram mereguk jus jeruknya sampai tandas sebagai penutup sarapan paginya hari ini. Ia meraih serbet putih bersih dari atas meja untuk membersihkan mulutnya, sambil melemparkan tatapan tajam pada Toni yang berdiri gelisah di depannya. "Apa maksudmu, Toni?" tukasnya dingin. Ajudan setianya itu pun mendehem pelan. Ibram Mahesa yang murka adalah hal yang paling ia hindari, namun kali ini Toni pun tak mampu berbuat apa pun lagi. "Maaf, Tuan Ibram. Tapi Direksi AD-Hype menolak tawaran kerja sama dengan kita," ulangnya dengan rasa gentar. Keringat dingin mulai menitik di pori-pori keningnya. Ibram memejamkan mata. "Dan... apa alasannya?" tanyanya lagi dengan nada yang semakin dingin. Meskipun Toni merasa suhu udara bagaikan turun sepuluh derajat akibat nada sedingin es dari atasannya itu, namun keringat masih saja menitik di pelipisnya. "Mereka tidak mau melepaskan Iqbal Bimasakti," sahut Toni, berusaha untuk tetap tenang dan tidak gemetar. Sontak, Ibram mera
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more

90. Rencana Jahat (2)

Iqbal meraih kunci mobil dan keluar dari rumahnya dengan terburu-buru. Ia bahkan tidak mengindahkan sapaan ramah Bi Inah, salah satu asisten rumah tangganya yang berpapasan di tangga ketika ia hendak turun. Pikirannya terlalu fokus mencari solusi cepat untuk masalahnya sekarang. Bi Inah bingung melihat bos yang biasanya sangat ramah itu pun hanya bisa menatap kepergian Iqbal dengan menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Iqbal baru saja mau membuka pintu mobil Tesla-nya, ketika sebuah pemandangan yang benar-benar menguji keimanannya untuk tidak kembali meledak dalam kemurkaan, terpampang jelas di depan matanya. Kintan dan Arga yang sedang bercengkrama di depan rumah, dengan posisi tubuh yang sangat dekat. Iqbal bisa melihat senyum Kintan yang ditujukan pada lelaki itu, dan tangan Arga yang dengan kurang ajarnya merebut selang air dari tangan Kintan dengan menyentuh kulit lembut wanitanya. Iqbal menggeretakkan gigi dan membanting dengan keras pintu mobilnya yang terbuka hingga kemb
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more
PREV
1
...
7891011
...
13
DMCA.com Protection Status