Kintan tersentak. Mereka sudah sangat sering bercinta, namun Kintan masih saja butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan ukuran milik Iqbal yang besar. Kintan menggigit bibir untuk menahan sedikit tusukan rasa nyeri saat Iqbal memasukinya. Namun ketika lelaki itu mulai bergerak, seketika itu pula pikirannya pun mulai kacau. Hanya desah dan rintihan yang terdengar dari bibirnya, berpadu dengan erangan penuh kenikmatan yang terlontar dari mulut Iqbal. Iqbal terus bergerak dan menghujam dirinya dengan liar, hingga akhirnya Kintan terisak dan kembali menjerit entah untuk yang keberapa kalinya. Dengan mata terpejam dan napas yang memburu, Kintan masih merasakan gerakan Iqbal yang makin cepat, dan lelaki itu pun mencapai klimaksnya dengan mendesah keras. Seluruh tubuhnya terasa basah dan hangat saat memeluk Kintan dan mencium bibirnya penuh kelembutan. *** Setelah mandi, Kintan menatap kotak kardus coklat yang tadi sempat dibawa Iqbal dari rumahnya. Kintan hanya mengenakan b
Sabtu, jam 08.00 pagi. Ibram mereguk jus jeruknya sampai tandas sebagai penutup sarapan paginya hari ini. Ia meraih serbet putih bersih dari atas meja untuk membersihkan mulutnya, sambil melemparkan tatapan tajam pada Toni yang berdiri gelisah di depannya. "Apa maksudmu, Toni?" tukasnya dingin. Ajudan setianya itu pun mendehem pelan. Ibram Mahesa yang murka adalah hal yang paling ia hindari, namun kali ini Toni pun tak mampu berbuat apa pun lagi. "Maaf, Tuan Ibram. Tapi Direksi AD-Hype menolak tawaran kerja sama dengan kita," ulangnya dengan rasa gentar. Keringat dingin mulai menitik di pori-pori keningnya. Ibram memejamkan mata. "Dan... apa alasannya?" tanyanya lagi dengan nada yang semakin dingin. Meskipun Toni merasa suhu udara bagaikan turun sepuluh derajat akibat nada sedingin es dari atasannya itu, namun keringat masih saja menitik di pelipisnya. "Mereka tidak mau melepaskan Iqbal Bimasakti," sahut Toni, berusaha untuk tetap tenang dan tidak gemetar. Sontak, Ibram mera
Iqbal meraih kunci mobil dan keluar dari rumahnya dengan terburu-buru. Ia bahkan tidak mengindahkan sapaan ramah Bi Inah, salah satu asisten rumah tangganya yang berpapasan di tangga ketika ia hendak turun. Pikirannya terlalu fokus mencari solusi cepat untuk masalahnya sekarang. Bi Inah bingung melihat bos yang biasanya sangat ramah itu pun hanya bisa menatap kepergian Iqbal dengan menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Iqbal baru saja mau membuka pintu mobil Tesla-nya, ketika sebuah pemandangan yang benar-benar menguji keimanannya untuk tidak kembali meledak dalam kemurkaan, terpampang jelas di depan matanya. Kintan dan Arga yang sedang bercengkrama di depan rumah, dengan posisi tubuh yang sangat dekat. Iqbal bisa melihat senyum Kintan yang ditujukan pada lelaki itu, dan tangan Arga yang dengan kurang ajarnya merebut selang air dari tangan Kintan dengan menyentuh kulit lembut wanitanya. Iqbal menggeretakkan gigi dan membanting dengan keras pintu mobilnya yang terbuka hingga kemb
"Ya, kurasa aku memang jatuh cinta pada Lula."...Iqbal sebenarnya sudah mati rasa sejak Ibram mengatakan bahwa dia telah mencium bibir Kintan. Dan ia merasa makin gila saat lelaki brengsek itu mengatakan bahwa ia telah jatuh cinta pada calon istrinya itu.Tanpa menunggu lama, Iqbal pun langsung menerjang Ibram dengan merenggut kasar kerah baju lelaki itu, lalu menariknya berdiri. "Otakmu sudah tak waras ya?!! Dia itu sepupumu sendiri, brengsek!!" bentaknya dengan mata berkilat-kilat mengerikan. Lalu sebuah tinju melayang dengan cepat ke wajah Ibram dan membuatnya terjatuh dengan keras.Tubuh Ibram yang masih tergeletak itu langsung dimanfaatkan oleh Iqbal, dan ia pun menendang perut CEO itu dengan sekuat tenaga, berkali-kali dan tanpa jeda.Tendangan yang kuat, cepat dan membabi-buta dari Iqbal itu membuat Ibram kelabakan dan merasa sangat kesakitan di bagian ulu hatinya. Ia meringkuk, berusaha untuk melindungi bagian perutnya yang terus dihajar oleh Iqbal.Ibram berusaha melakuka
Kintan sarapan dengan cepat. Sejak dari pagi tadi perasaannya sudah tidak enak, terutama sejak ia bertemu dengan Iqbal tadi. Entah kenapa ia merasakan ada sesuatu yang buruk akan terjadi, dan hal itu membuatnya sangat gelisah. Berkali-kali ia berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja, tapi perasaan cemas itu tak kunjung hilang juga. Kintan mendesah pelan, tapi beberapa saat kemudian dia baru tersadar. Tunggu sebentar. Sekarang kan hari Minggu? Untuk apa Iqbal tadi bilang mau ke kantor?? Suara dering halus terdengar dari ponsel Kintan. Ia berdiri dari kursi makan dengan bergegas untuk meraih ponselnya yang terletak di meja tamu, mengira itu mungkin saja panggilan dari Iqbal. Karena terlalu terburu-buru, tanpa sengaja jari kelingking kakinya menabrak kaki meja. Kintan pun mengaduh, sambil berjalan tertatih-tatih dan melompat-lompat kecil karena menahan nyeri. Setelah akhirnya ia sampai juga di ruang tamu dan merenggut cepat ponselnya, Kintan segera membaca
Setelah Dokter Wawan selesai memeriksa luka-luka Ibram dan Iqbal serta memastikan bahwa tidak ada luka serius yang harus segera di bawa ke rumah sakit, lelaki berkaca mata itu pun akhirnya pamit pulang. Ibram masih belum sadar dari obat bius dosis ringan yang diberikan oleh Dokter Wawan, sehingga Iqbal pun memutuskan untuk menunggunya siuman. Ia ingin membicarakan masalah Kintan dan juga soal fotonya dengan Nia. Semoga saja kali ini Ibram bisa diajak bicara baik-baik. "Ngomong-ngomong, apakah nanti akan ada istri yang datang sambil menangis histeris dan menamparku?" tanya Iqbal pada Toni dan Zizi, yang juga masih menunggu bosnya siuman. Mereka berdua berdiri di samping sofa tempat Ibram berbaring, seakan bersiap jika setiap saat bosnya itu terbangun. "Maksud anda, Nyonya Katya?" sahut Toni. "Beliau masih berada di Milan selama dua minggu untuk perform dalam fashion show di sana," terangnya. "Dan Tuan Ibram juga sudah melarang kami untuk memberitahukan hal ini pada keluargan
"Maafkan saya, Pak Iqbal!" sesal Nia dalam ledakan suara tangisnya yang tak berhenti dari tadi. Gadis itu menelepon Iqbal kebetulan setelah Sanjaka menutup sambungan teleponnya dengan Iqbal. "Saya terpaksa menandatangani surat pernyataan itu dengan pilihan jika tidak tanda tangan, mereka akan memenjarakan Anda," tuturnya dengan suara serak penuh tangis. "S-saya benar-benar minta maaf, Pak. Semua ini salah saya. Seharusnya waktu itu saya tidak mencium Pak Iqbal.... Maafkan saya!" ucapnya berulang-kali meminta maaf pada Iqbal dalam isaknya. Iqbal hanya bisa menghela napas setelah mematikan sambungan teleponnya dengan Nia. 'Wah, gila juga si Ibram! Luar biasa sekali tipu muslihatnya untuk membuat Direksi yang semula mendukung dan kini malah berbalik ikut menyerangnya!' Mereka memainkan kartu lewat Nia, dengan memaksa gadis itu menandatangani surat pernyataan bahwa Iqbal telah memaksanya melakukan perbuatan tidak senonoh, hanya dengan menggunakan bukti secarik foto. 'Hmm... apa aku
Kintan masih diam termangu di sofa dengan ponsel Iqbal dalam genggaman tangannya, saat lelaki itu masuk kembali ke dalam rumah setelah selesai membuang sampah. Iqbal mengerutkan dahinya melihat Kintan yang melamun dengan tatapan kosong terarah padanya. "Sayang? Kamu kenapa?" tanya Iqbal khawatir. Ia hendak duduk di samping Kintan, namun wanita itu cepat-cepat berdiri dan malah berjalan mendekatinya. "Iqbal, apa benar kamu dipecat?" tanya Kintan langsung dengan menatap mata coklat cemerlang itu lekat-lekat. Iqbal terkesiap. Sesaat ia bingung dari mana Kintan bisa tahu, lalu tatapannya pun tertumbuk pada ponselnya yang berada di dalam genggaman Kintan. SIAL!! Siapa yang memberitahu Kintan??! "Jawab, Iqbal!! Apa kamu dipecat??" desak Kintan dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya, namun dengan wajah yang mengernyit seperti ingin menangis. Iqbal pun menghela napas pelan. "Itu benar. Aku memang diberhentikan dari kantor," jawabnya akhirnya. "Kenapa?" "Seseorang yang tidak me
Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela
Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta
Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari
Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas
Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi
Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya. Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel. Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa. "Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara. Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!' SARAAPP!!! Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan. Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.' "Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsun
"Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan menga
“Tetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,