"Hmm... ya, oke. Aku maafkan. Tapi aku hanya menerima bentuk rasa terima kasihmu di atas ranjang. Sekarang masuk ke kamar dan tunggu aku di sana," perintah Iqbal dengan mata coklat cemerlangnya yang bersinar-sinar diliputi gejolak hasrat.Kintan tertegun dan merona malu mendengar ucapan Iqbal yang tanpa basa-basi itu. "Iqbal, ini masih siang!" bisiknya, padahal di situ tidak ada siapa pun selain mereka berdua. "Malu, ah!"Iqbal mendekap dagu Kintan dengan tangannya, lalu memagut bibir wanita itu dengan keras dan menuntut. Saat lidah Iqbal menerobos paksa mulut Kintan, suara lenguhan puas pun terdengar dari bibir lelaki itu.Kintan sedikit gelagapan dengan ciuman Iqbal kali ini yang begitu cepat, keras dan berapi-api karena biasanya Iqbal memulai semua dengan lembut. Ia memalingkan wajahnya sejenak untuk menarik napas, namun lagi-lagi Iqbal menangkup dagunya dan menarik wajah wanita itu untuk dilumat habis."Huummmpp!!" teriak Kintan dengan mulut yang masih terbungkam oleh Iqbal. Ia m
Kintan masih terbaring telungkup di atas ranjang setelah percintaan panasnya yang begitu panjang dan melelahkan dengan Iqbal. Lelaki itu telah membuka ikatan di tangan dan matanya setelah mereka menuntaskan sesi romantis sekaligus erotis tadi.Dengan mata sayu yang setengah terpejam, ia mendengar suara gemericik air dari kamar mandi.Uhm... apa Iqbal sudah mandi? Tumben dia tidak mengajak mandi bareng?Tapi Kintan sedikit lega juga, karena kadang-kadang Iqbal suka meminta jatah lagi saat mereka mandi bareng, tidak peduli meski Kintan merengek karena kelelahan. Paling tidak sekarang ia akan aman, pikir Kintan.Tubuhnya selalu serasa remuk-redam dan sangat lemas setiap kali habis bercinta dengan Iqbal. Lelaki itu seakan tidak pernah puas dan tidak pernah merasa letih sedikitpun, meskipun mereka telah berkali-kali melakukannya.Kintan agak bergidik juga membayangkan jika mereka telah menikah nanti dan sudah tinggal serumah. Apakah Iqbal akan melahap tubuhnya terus-menerus? Uh, lelaki it
Kintan, Rani dan Arga akhirnya sampai juga di Bandara Internasional Lombok pada sore hari. Cuaca yang cerah menyambut kedatangan mereka, membuat Rani sumringah bahagia."Aaah... Lombok! Kamii dataaang!!" serunya riang sambil menghirup dalam-dalam udara kota dan tersenyum lebar. "Menyenangkan sekali! Naik pesawat kelas bisnis, datang ke daerah eksotis, dan menginap di hotel bintang lima. Waah, Pak Ibram Mahesa memang luar biasa memanjakan bakat yang ia bina!" tukasnya terkagum-kagum sambil melirik Kintan yang diam saja dan masih sibuk menghidupkan ponselnya."Kok sinyalnya ilang-ilang, ya??" keluh Kintan sambil mengangkat tinggi-tinggi ponselnya untuk mencari sinyal.Rani memutar bola mata melihat kelakuan wanita itu. "Elah, Kintan! Baru juga nyampe udah nggak sabar aja mau telpon Iqbal? Dasar calon pengantin nggak sabaran!"Kintan mengabaikan ejekan Rani itu dan ketika sinyal yang ia cari terlihat penuh di ponselnya, barulah senyum manis tercetak di bibirnya. "Ran, aku telepon Iqbal
Arga masih asik menatap wajah cantik Kintan sambil melamun, ketika ponselnya berdering mengagetkannya. Ia pun segera menekan tombol terima saat melihat Ibram Mahesa yang meneleponnya."Halo, Pak Ibram," sapa Arga."Kalian sudah tiba di resort?" suara dingin dan berat khas Ibram pun terdengar."Ya, kami sudah sampai.""Sedang apa dia?"DIA yang dimaksud oleh Ibram adalah Kintan."Dia sedang bermain-main di kolam bersama Rani, pak," sahut Arga sambil terus memperhatikan Kintan dan Rani yang sedang asik selfie berdua di depan kolam dengan berbagai macam pose.Ibram pun terdiam untuk sesaat. "Apa dia menyukai resort itu?" tanya Ibram lagi."Ya, dia terlihat gembira.""Fotokan dia diam-diam, dan kirimkan segera padaku!" perintah Ibram tegas, kemudian tanpa berkata apapun lagi, bosnya itu pun memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak.Arga mendengus. CEO-nya ini aneh sekali! Lagaknya lebih mirip lelaki yang jatuh cinta dibandingkan sepupu. Apa jangan-jangan Ibram juga menyukai Kintan??
Sore hari, Kintan sedang bersiap-siap di kamarnya.Malam ini adalah acara pembukaan Asosiasi Pelukis Wanita ASEAN atau The ASEAN Woman's Painters Association untuk yang pertama kalinya, dan lokasi yang dipilih adalah Lombok, Indonesia.Tidak bisa digambarkan betapa berdebarnya dirinya, sebagai salah satu perwakilan pelukis wanita dari Indonesia dan satu-satunya dari agensi One Millon. Uh, berat banget bebannya. Yang pasti sih, harus bisa membawa diri nanti di sana. God, mudah-mudahan aja dia nggak malu-maluin.Ia mematut diri di depan kaca. Kintan mengenakan kebaya brokat modern warna nude dengan selendang polos senada yang dijahit di bahu dan tersampir ke samping lengan, terus ke belakang tubuh dan hinggap dipinggangnya. Ada aksen bunga kecil di tempat selendang itu terjahit pada bahu dan pinggangnya.Celana khaki yang membalut pas kaki jenjangnya membuat tubuhya terlihat semampai, dan heels simpel bertali membuat penampilannya manis sekaligus seksi.Rambutnya ia sanggul sederhana
"Hai, Kintan," Arga menyapanya dengan ramah dari arah belakangnya.'Jangan menoleh, Kintan. Jangan menoleh, jangan menoleh!!! Cepat pergi ke kamarmu dan kunci pintunya rapat-rapat!'Suara hati Kintan yang terus saja bergaung di otaknya itu otomatis membuat Kintan pusing, karena sekarang ia pun bingung harus bagaimana.Tapi ya nggak mungkin juga kan, Kintan langsung kabur begitu saja!Akhirnya dengan perlahan dan dengan senyum kaku di wajahnya, Kintan pun membalikkan badan dan menatap Arga.Sorot dari manik gelap Arga pun terpaku pada wanita yang terlihat sangat memukau di hadapannya itu. Dengan tatapan memuja, ia menatap lekat Kintan yang ayu bagai bidadari. Kintan berdandan sangat cantik hari ini, juga memakai kebaya sewarna kulit yang membalut pas tubuh rampingnya.Arga menahan napas saat tatapannya kembali berlabuh pada bagian dada yang melekuk lembut, penuh dan sangat sensual di matanya, membuat Arga berusaha keras menahan hasratnya untuk menarik tubuh wanita itu masuk ke dalam k
"Apa kabarmu?" tanya wanita itu sambil tersenyum pada Arga setelah melepas pelukan di antara mereka. Noor Sabina memiliki mata hijau yang bercahaya, sewarna dengan tunik dan celana panjang yang ia kenakan. Seuntai syal tenun khas Lombok menjuntai di lehernya, menjulur di kedua sisi tubuhnya. Ia menggelung rambutnya yang coklat terang dengan tusuk sanggul modern yang cantik. Arga tersenyum dengan lesung pipinya. "Kabarku sangat baik, Sabine. Bagaimana kabarmu? Kukira sekarang kamu sedang sibuk di New York dan tidak dapat hadir di sini." Wanita itu pun mendesah pelan. "Fred memaksaku mengambil cuti dari galeri untuk ke Indonesia sekaligus liburan," sahutnya sambil tertawa. Fred Baker adalah suaminya yang asli Amerika. "Oh iya, kenalkan ini Kintan Larasati dari agensiku, dia sekaligus pemilik The Kinlar's Gallery di Singapore." Akhirnya Arga pun mengenalkan Kintan setelah berbasa-basi beberapa saat. Noor Sabina menjabat hangat tangan Kintan yang terulur padanya, lalu menatap Kintan
Arga mengusap darah yang mengucur deras dari hidungnya. Matanya berkunang-kunang dan pipinya terasa kebas akibat pukulan telak dari Ibram di wajahnya yang bertubi-tubi. Ia tahu sekarang kalau CEO ini telah memanfaatkan dirinya. Memanfaatkan kelemahannya karena menyukai seorang wanita bernama Kintan Larasati. Penyesalan mendalam pun tak dapat ia hindari lagi. Betapa bodohnya seorang Arga! Kenapa ia tidak mencurigai motif di balik permintaan Ibram itu? Seharusnya ia curiga saat Ibram memberinya obat tidur untuk Kintan, dan menyuruhnya untuk meniduri sepupunya itu! Bukankah itu sangat aneh? Tapi saat itu Arga tidak memusingkannya sama sekali, karena begitu menginginkan Kintan. Logikanya telah terbutakan oleh hasrat menggebu-gebu untuk memiliki wanita yang sangat ia sukai itu. Arga sekarang sadar kalau bosnya ini sepertinya memang punya gangguan mental. Sepertinya ia juga menginginkan Kintan yang notabene adalah sepupunya! Ibram ingin menyingkirkan satu-satu saingannya dengan mene
"Lebih cepat, Toni!" bentak Ibram gusar. Toni pun semakin mempercepat laju mobilnya, menyelip sana-sini mencari celah di antara lalu-lalang kendaraan yang masih memenuhi jalanan. Alarm dari alat penyadap yang ditempelkan pada anting-anting Katya telah berbunyi. Wanita itu dalam bahaya. Ibram benar-benar kecolongan untuk yang kedua kalinya, saat ia mendapati istri dan keponakannya telah menghilang entah kemana. Polisi sudah bertindak dan dikerahkan untuk mencari Katya dan Adel, dengan mengikuti sinyal yang dipancarkan alat penyadap itu. "BRENGSEK! BAJINGAN! LELAKI BIADAB!" Ibram terus memaki sambil memukul dasbor di depannya. "Kali ini kau benar-benar akan kubunuh!" "Pak, orang-orang kita sudah berada dekat dengan Kean, mungkin mereka akan sampai duluan di tempat itu," lapor Toni setelah ia mendapatkan info dari wireless earphone di telinganya. "Serang dia jika Katya dan Adel berada dalam bahaya," perintah Ibram. Beberapa belas menit kemudian, Ibram dan Toni telah s
Ibram, David dan Toni duduk di depan meja bar, sementara Katya, Brissa dan Zizi berada di meja restoran di seberang mereka. "Halo, temanku ini baru saja menikah, tolong berikan minuman yang terbaik dan termahal di sini," ucap David pada bartender yang menghampiri mereka. "Tidak, Dave," tolak Ibram tegas. "Aku harus menyetir pulang nanti." David berdecak kesal. "Ibram, kamu benar-benar tidak menyenangkan! Bukankah Toni yang akan mengantarmu pulang nanti?" "Tidak. Toni akan mengantarmu, Brie dan Zizi. Aku hanya ingin menjaga Katya," tegasnya. David mendesah dan tertawa pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu benar-benar telah berubah, Ibram. Apa itu karena Katya?" Ibram tersenyum. "Aku sekarang seorang suami, Dave. Akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan istriku," tukasnya. David mengangkat gelas berisi minuman keras untuk bersulang pada Ibram. "Untuk suami paling beruntung di dunia," ucap David, ada rasa bangga atas perubahan positif pada sahabatnya itu, nam
Katya terlihat sangat cantik dalam balutan gaun panjang putih dan sederhana. Gaun itu berlengan panjang dengan deretan kancing berlian di sepanjang siku hingga pergelangan tangan, menutup hingga batas bawah lehernya, dan terulur jauh menutupi kaki. Meskipun terkesan sopan dan menutup, namun karena jatuh mengikuti bentuk tubuh Katya, tetap saja terlihat sangat sangat seksi. Ibram bolak-balik menatap Katya sambil menggeleng-gelengkan kepala, tidak rela jika garis tubuh kekasihnya itu dinikmati oleh beberapa pasang mata pria brengsek dan dijadikan fantasi liar mereka. "Nggak ada gaun yang lebih sopan?" tanya Ibram sambil mengerutkan wajah tidak suka pada stylist yang bertugas mengatur kostum pengantin mereka. Wanita berambut bob berkacamata itu hanya bisa menggaruk-garuk kepala bingung. Katya telah bergonta-ganti baju lima kali, dan ini adalah pakaian tersopan yang mereka punya. "Maafkan saya, Pak Ibram... tapi kami tidak memiliki gaun yang lebih tertutup lagi. Masalahnya adalah
Ibram melepaskan ciumannya dan memeluk tubuh Katya, untuk memberikan kesempatan pada gadis itu agar bisa mengatur napasnya. "Katya, menikahlah denganku," ucap Ibram lembut. "Dulu aku pernah melamarmu dan kamu menolaknya karena merasa belum ada cinta di hatiku, bukan?" Ibram mengingat saat-saat dirinya dan Katya berada di rumah pantai miliknya. "Apa sekarang kamu masih juga belum yakin jika aku mencintaimu?" ada nada murung di suara Ibram. "Diriku yang sekarang dan diriku yang dulu sudah jatuh begitu dalam padamu, Katya." lelaki itu pun melepaskan pelukannya untuk menatap lekat Katya yang terdiam membisu. "Jadilah istriku, pendamping hidupku, dan pelindungmu seumur hidup," ucapnya dengan suara parau, sarat akan emosi yang membuncah di dalam dada. "Aku mencintaimu, Katya Lovina. Wanita tercantik di dunia yang beraroma vanilla." Dan Katya pun merasa dadanya meledak dalam kebahagiaan. Tentu saja ia sangat yakin sekarang kalau Ibram benar-benar mencintainya, bukan karena obs
Ibram terbaring di sebelah Katya, berusaha meredakan rasa sakit hebat yang menyerang kepala dan membuatnya kesulitan untuk bernafas. Ingatan-ingatan yang datang padanya bagai ribuan paku yang menghujam deras ke dalam otaknya, membuatnya gemetar menahan rasa sakit yang hampir tak tertahankan. Namun Ibram berusaha untuk menerima dan tidak menolak seluruh pesan dari pikirannya itu, meskipun acak dan berupa kilasan-kilasan cepat bagaikan kilat yang menyambar-nyambar dirinya. Jessi yang menyelingkuhi Gamal. Gamal yang meninggal akibat kanker nasofaring. Kuliahnya yang sempat kacau karena ia sangat berduka. Adel yang masih kecil namun sudah ditinggalkan ayahnya selamanya dan ibunya yang entah kemana. Mengasuh Adel. Mendirikan One Million. Mengakuisisi beberapa perusahaan. Menemukan Katya Lovina. Dan jatuh cinta padanya. Dengan napas yang masih memburu, ia pun menatap ke arah samping. Katya. Gadis itu berbaring di sisinya, dan membalas tatapannya dengan wajah bingung. "Pak Ibram
'APAA??? Dia mengira ada sesuatu antara aku dan Toni??' Katya menepis kasar tangan Ibram dari bahunya. "Pak Ibram, apa maksudmu bertanya seperti itu?" "Kau selingkuh dengan Toni, kan? Mengakulah! Toni memang jauh lebih muda dariku dan kau pasti merasa lebih cocok dengan lelaki yang tidak terlalu jauh perbedaan usianya denganmu!" ucap Ibram ketus. "Hah! Entah apa yang sudah kalian berdua lakukan di belakangku, menjijikkan sekali." "Apa anda sudah puas menghinaku? Sepertinya memang percuma, apa pun yang kukatakan, anda pasti tidak akan pernah percaya bukan? Aku akan selalu jelek di matamu," tukas Katya pelan. Ia sudah benar-benar lelah sekarang. "Anda sudah menuduhku hanya mengincar uangmu, dan kini menuduhku selingkuh dengan orang kepercayaanmu? Selanjutnya apa lagi? Apa lagi yang anda tuduhkan? Begitu sulitkah bagimu menerima bahwa aku benar-benar mencintaimu dengan tulus tanpa ada maksud apa pun?" tanya Katya dengan suara yang mulai parau karena menahan tangis. "Jika memang
Ibram terdiam, namun tubuhnya tetap saja memunggungi Katya. 'Hahh... gadis ini benar-benar keras kepala! Sepertinya dia hanya ingin menggangguku saja.''Meskipun... yah, tidak bisa disalahkan juga karena diriku yang dulu sangat bodoh karena telah memberikan harapan pada gadis ini.' Seketika ada setitik rasa kasihan terbit di dada Ibram saat mengingat ekspresi wajahnya pada acara pertunangan melalui Youtube tadi. Pantas saja gadis ini salah paham, karena Ibram memang bersikap seakan benar-benar mencintainya! 'Apa itu benar? Apa aku pernah mencintainya? AKU?? IBRAM MAHESA??' Perlahan Ibram pun membalikkan badannya menatap Katya. "Apa kau yakin dengan semua ucapanmu itu?" cetus Ibram. "Tidak akan ikut campur urusanku, tidak mengharapkan apa pun dariku, dan hanya merawatku hingga sembuh lalu pergi dari hadapanku?" Ibram mengulang ucapan Katya tadi. Katya mengangguk mantap. "Ya. Aku sangat yakin dengan semua ucapanku, Ibram." Hmm... menarik. "Baiklah. Kau boleh melakukannya. Tapi
Katya menangis dalam kesendirian di teras rumah sakit yang sepi. Ia ingin sekali menjerit kuat-kuat, memuntahkan segala kesedihan yang terus menimpanya bertubi-tubi. Setelah ayahnya, Sienna, dan sekarang Ibram pun juga telah meninggalkannya. Bukan meninggalkan secara harfiah karena tubuhnya masih berada di dunia fana ini, hanya saja ingatannya pada Katya yang telah pergi. Ibram mengalami amnesia retrograde karena cedera akibat benturan keras di kepalanya, dan ingatannya hanya sampai saat ia kuliah di Amerika bersama David... Ia tidak mengingat apa pun setelah itu. Bahkan saat ia diberitahu bahwa Gamal, kakaknya yang telah meninggal, Ibram pun sangat terkejut dan masih tidak percaya. Lalu ketika Katya mengatakan bahwa mereka telah bertunangan, Ibram hanya terdiam dan menatap gadis itu dengan tatapan kosong. Seketika itu juga Katya mengerti, bahwa lelaki itu telah hilang. Lelaki yang ia cintai dan mencintainya. Ibram yang Katya cintai telah pergi, tergantikan oleh Ibram lai
Katya berada di dalam ambulans yang membawa Ibram menuju rumah sakit. Sejak tadi air matanya tidak dapat berhenti mengalir, melihat tubuh kekasihnya yang diam tak bergerak serta darah segar yang terus mengalir dari kepalanya. Wajah dan tubuh Katya telah penuh bersimbah darah, namun ia sudah tidak peduli lagi. Ia hanya ingin Ibram selamat. Katya sangat takut kehilangan lelaki yang begitu dicintainya. Ia telah kehilangan ayahnya dan juga adiknya Sienna, dan ia tidak akan sanggup untuk bernafas lagi jika ia juga kehilangan Ibram. Tidak! Lebih baik ia ikut ke alam yang sama dengan mereka, karena di dunia ini sudah tidak akan ada cinta lagi untuknya. Katya segera menelepon Zizi, Toni, dan David dari ponsel Ibram. Namun hanya ponsel David yang sulit dihubungi. Lagipula, ini semua karena David! Karena pesan dari David yang membingungkan itu, membuat Katya terperangkap sebagai umpan untuk menjebak Ibram. Apakah ponsel David telah di hack? Ibram harus segera dioperasi, kare