Kintan, Rani dan Arga akhirnya sampai juga di Bandara Internasional Lombok pada sore hari. Cuaca yang cerah menyambut kedatangan mereka, membuat Rani sumringah bahagia."Aaah... Lombok! Kamii dataaang!!" serunya riang sambil menghirup dalam-dalam udara kota dan tersenyum lebar. "Menyenangkan sekali! Naik pesawat kelas bisnis, datang ke daerah eksotis, dan menginap di hotel bintang lima. Waah, Pak Ibram Mahesa memang luar biasa memanjakan bakat yang ia bina!" tukasnya terkagum-kagum sambil melirik Kintan yang diam saja dan masih sibuk menghidupkan ponselnya."Kok sinyalnya ilang-ilang, ya??" keluh Kintan sambil mengangkat tinggi-tinggi ponselnya untuk mencari sinyal.Rani memutar bola mata melihat kelakuan wanita itu. "Elah, Kintan! Baru juga nyampe udah nggak sabar aja mau telpon Iqbal? Dasar calon pengantin nggak sabaran!"Kintan mengabaikan ejekan Rani itu dan ketika sinyal yang ia cari terlihat penuh di ponselnya, barulah senyum manis tercetak di bibirnya. "Ran, aku telepon Iqbal
Arga masih asik menatap wajah cantik Kintan sambil melamun, ketika ponselnya berdering mengagetkannya. Ia pun segera menekan tombol terima saat melihat Ibram Mahesa yang meneleponnya."Halo, Pak Ibram," sapa Arga."Kalian sudah tiba di resort?" suara dingin dan berat khas Ibram pun terdengar."Ya, kami sudah sampai.""Sedang apa dia?"DIA yang dimaksud oleh Ibram adalah Kintan."Dia sedang bermain-main di kolam bersama Rani, pak," sahut Arga sambil terus memperhatikan Kintan dan Rani yang sedang asik selfie berdua di depan kolam dengan berbagai macam pose.Ibram pun terdiam untuk sesaat. "Apa dia menyukai resort itu?" tanya Ibram lagi."Ya, dia terlihat gembira.""Fotokan dia diam-diam, dan kirimkan segera padaku!" perintah Ibram tegas, kemudian tanpa berkata apapun lagi, bosnya itu pun memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak.Arga mendengus. CEO-nya ini aneh sekali! Lagaknya lebih mirip lelaki yang jatuh cinta dibandingkan sepupu. Apa jangan-jangan Ibram juga menyukai Kintan??
Sore hari, Kintan sedang bersiap-siap di kamarnya.Malam ini adalah acara pembukaan Asosiasi Pelukis Wanita ASEAN atau The ASEAN Woman's Painters Association untuk yang pertama kalinya, dan lokasi yang dipilih adalah Lombok, Indonesia.Tidak bisa digambarkan betapa berdebarnya dirinya, sebagai salah satu perwakilan pelukis wanita dari Indonesia dan satu-satunya dari agensi One Millon. Uh, berat banget bebannya. Yang pasti sih, harus bisa membawa diri nanti di sana. God, mudah-mudahan aja dia nggak malu-maluin.Ia mematut diri di depan kaca. Kintan mengenakan kebaya brokat modern warna nude dengan selendang polos senada yang dijahit di bahu dan tersampir ke samping lengan, terus ke belakang tubuh dan hinggap dipinggangnya. Ada aksen bunga kecil di tempat selendang itu terjahit pada bahu dan pinggangnya.Celana khaki yang membalut pas kaki jenjangnya membuat tubuhya terlihat semampai, dan heels simpel bertali membuat penampilannya manis sekaligus seksi.Rambutnya ia sanggul sederhana
"Hai, Kintan," Arga menyapanya dengan ramah dari arah belakangnya.'Jangan menoleh, Kintan. Jangan menoleh, jangan menoleh!!! Cepat pergi ke kamarmu dan kunci pintunya rapat-rapat!'Suara hati Kintan yang terus saja bergaung di otaknya itu otomatis membuat Kintan pusing, karena sekarang ia pun bingung harus bagaimana.Tapi ya nggak mungkin juga kan, Kintan langsung kabur begitu saja!Akhirnya dengan perlahan dan dengan senyum kaku di wajahnya, Kintan pun membalikkan badan dan menatap Arga.Sorot dari manik gelap Arga pun terpaku pada wanita yang terlihat sangat memukau di hadapannya itu. Dengan tatapan memuja, ia menatap lekat Kintan yang ayu bagai bidadari. Kintan berdandan sangat cantik hari ini, juga memakai kebaya sewarna kulit yang membalut pas tubuh rampingnya.Arga menahan napas saat tatapannya kembali berlabuh pada bagian dada yang melekuk lembut, penuh dan sangat sensual di matanya, membuat Arga berusaha keras menahan hasratnya untuk menarik tubuh wanita itu masuk ke dalam k
"Apa kabarmu?" tanya wanita itu sambil tersenyum pada Arga setelah melepas pelukan di antara mereka. Noor Sabina memiliki mata hijau yang bercahaya, sewarna dengan tunik dan celana panjang yang ia kenakan. Seuntai syal tenun khas Lombok menjuntai di lehernya, menjulur di kedua sisi tubuhnya. Ia menggelung rambutnya yang coklat terang dengan tusuk sanggul modern yang cantik. Arga tersenyum dengan lesung pipinya. "Kabarku sangat baik, Sabine. Bagaimana kabarmu? Kukira sekarang kamu sedang sibuk di New York dan tidak dapat hadir di sini." Wanita itu pun mendesah pelan. "Fred memaksaku mengambil cuti dari galeri untuk ke Indonesia sekaligus liburan," sahutnya sambil tertawa. Fred Baker adalah suaminya yang asli Amerika. "Oh iya, kenalkan ini Kintan Larasati dari agensiku, dia sekaligus pemilik The Kinlar's Gallery di Singapore." Akhirnya Arga pun mengenalkan Kintan setelah berbasa-basi beberapa saat. Noor Sabina menjabat hangat tangan Kintan yang terulur padanya, lalu menatap Kintan
Arga mengusap darah yang mengucur deras dari hidungnya. Matanya berkunang-kunang dan pipinya terasa kebas akibat pukulan telak dari Ibram di wajahnya yang bertubi-tubi. Ia tahu sekarang kalau CEO ini telah memanfaatkan dirinya. Memanfaatkan kelemahannya karena menyukai seorang wanita bernama Kintan Larasati. Penyesalan mendalam pun tak dapat ia hindari lagi. Betapa bodohnya seorang Arga! Kenapa ia tidak mencurigai motif di balik permintaan Ibram itu? Seharusnya ia curiga saat Ibram memberinya obat tidur untuk Kintan, dan menyuruhnya untuk meniduri sepupunya itu! Bukankah itu sangat aneh? Tapi saat itu Arga tidak memusingkannya sama sekali, karena begitu menginginkan Kintan. Logikanya telah terbutakan oleh hasrat menggebu-gebu untuk memiliki wanita yang sangat ia sukai itu. Arga sekarang sadar kalau bosnya ini sepertinya memang punya gangguan mental. Sepertinya ia juga menginginkan Kintan yang notabene adalah sepupunya! Ibram ingin menyingkirkan satu-satu saingannya dengan mene
"Kamu tidak ingin memelukku?" tanya Kintan dengan suaranya yang terdengar sangat menghanyutkan. Ibram memicing tajam menatap sepupunya itu dengan pertanyaannya yang terdengar absurd di telinganya. 'Huh, memeluk?? Aku bahkan ingin menyantapmu, Lula!!' Lalu tiba-tiba Kintan pun tersenyum manis, dan senyumnya yang polos dan lembut itu membuat Ibram benar-benar terpana. DAMNED!! Persetan dengan dengan segalanya, aku akan melahap wanita ini sekarang! Seketika itu pula Ibram meraih serta membenamkan kesepuluh jarinya di dalam rambut hitam Kintan yang kusut dan basah terkena air, serta menarik kepala wanita itu mendekat untuk mengecup bibir manis merayu yang membuatnya lupa diri. Saat jarak antara dua bibir yang saling mendamba itu pun semakin mendekat, tiba-tiba terdengar nada denting suara ponsel yang membuat kedua insan itu terkejut. Suara itu berasal dari kemeja biru navy milik Ibram yang tadi telah dilempar sembarangan olehnya dan sekarang teronggok di lantai kamar mandi. Ibram m
"Yang pasti, Pak Iqbal Bimasakti, CEO FastJet itu, akan segera tiba di sini dalam satu jam untuk bertemu dengan calon istrinya," tukas Toni.Ibram mendengus kesal. Kedatangan Iqbal akan membuat semua rencananya gagal. Ibram harus memutar otak mencari cara baru untuk memisahkan Kintan dari Iqbal."Bagaimana dengan anak-anak mereka?" tanya Ibram lagi. "Apa Iqbal meninggalkan mereka begitu saja?""Mereka dititipkan pada orang tua anda, Tuan.""Apaa??!!""Anak Pak Iqbal dan Nyonya Lula dititipkan kepada orang tua Anda," sahut Toni lagi."Mana mungkin! Orang tuaku sudah kembali ke Amerika kemarin!" bantah Ibram."Tidak, Tuan Ibram. Mereka telah memundurkan jadwal keberangkatan ke Amerika hingga minggu depan," terang Toni lagi.Wajah tampan Ibram pun berubah menjadi sangat gelap dan kelam mendengarnya. Kedua tangannya terkepal kuat, dan pelipis serta gerahamnya bergerak-gerak."SIALAN!!"PRAAANNG!!!Ibram meraih vas bunga dari atas meja dan dengan geram melemparkannya ke dinding hingga bend
Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela
Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta
Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari
Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas
Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi
Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya. Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel. Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa. "Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara. Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!' SARAAPP!!! Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan. Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.' "Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsun
"Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan menga
“Tetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,