ayoo tebak. hari ini otor bom bab lagi ga kira2 šš«°
Sabtu, jam 08.00 pagi. Ibram mereguk jus jeruknya sampai tandas sebagai penutup sarapan paginya hari ini. Ia meraih serbet putih bersih dari atas meja untuk membersihkan mulutnya, sambil melemparkan tatapan tajam pada Toni yang berdiri gelisah di depannya. "Apa maksudmu, Toni?" tukasnya dingin. Ajudan setianya itu pun mendehem pelan. Ibram Mahesa yang murka adalah hal yang paling ia hindari, namun kali ini Toni pun tak mampu berbuat apa pun lagi. "Maaf, Tuan Ibram. Tapi Direksi AD-Hype menolak tawaran kerja sama dengan kita," ulangnya dengan rasa gentar. Keringat dingin mulai menitik di pori-pori keningnya. Ibram memejamkan mata. "Dan... apa alasannya?" tanyanya lagi dengan nada yang semakin dingin. Meskipun Toni merasa suhu udara bagaikan turun sepuluh derajat akibat nada sedingin es dari atasannya itu, namun keringat masih saja menitik di pelipisnya. "Mereka tidak mau melepaskan Iqbal Bimasakti," sahut Toni, berusaha untuk tetap tenang dan tidak gemetar. Sontak, Ibram mera
Iqbal meraih kunci mobil dan keluar dari rumahnya dengan terburu-buru. Ia bahkan tidak mengindahkan sapaan ramah Bi Inah, salah satu asisten rumah tangganya yang berpapasan di tangga ketika ia hendak turun. Pikirannya terlalu fokus mencari solusi cepat untuk masalahnya sekarang. Bi Inah bingung melihat bos yang biasanya sangat ramah itu pun hanya bisa menatap kepergian Iqbal dengan menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Iqbal baru saja mau membuka pintu mobil Tesla-nya, ketika sebuah pemandangan yang benar-benar menguji keimanannya untuk tidak kembali meledak dalam kemurkaan, terpampang jelas di depan matanya. Kintan dan Arga yang sedang bercengkrama di depan rumah, dengan posisi tubuh yang sangat dekat. Iqbal bisa melihat senyum Kintan yang ditujukan pada lelaki itu, dan tangan Arga yang dengan kurang ajarnya merebut selang air dari tangan Kintan dengan menyentuh kulit lembut wanitanya. Iqbal menggeretakkan gigi dan membanting dengan keras pintu mobilnya yang terbuka hingga kemb
"Ya, kurasa aku memang jatuh cinta pada Lula."...Iqbal sebenarnya sudah mati rasa sejak Ibram mengatakan bahwa dia telah mencium bibir Kintan. Dan ia merasa makin gila saat lelaki brengsek itu mengatakan bahwa ia telah jatuh cinta pada calon istrinya itu.Tanpa menunggu lama, Iqbal pun langsung menerjang Ibram dengan merenggut kasar kerah baju lelaki itu, lalu menariknya berdiri. "Otakmu sudah tak waras ya?!! Dia itu sepupumu sendiri, brengsek!!" bentaknya dengan mata berkilat-kilat mengerikan. Lalu sebuah tinju melayang dengan cepat ke wajah Ibram dan membuatnya terjatuh dengan keras.Tubuh Ibram yang masih tergeletak itu langsung dimanfaatkan oleh Iqbal, dan ia pun menendang perut CEO itu dengan sekuat tenaga, berkali-kali dan tanpa jeda.Tendangan yang kuat, cepat dan membabi-buta dari Iqbal itu membuat Ibram kelabakan dan merasa sangat kesakitan di bagian ulu hatinya. Ia meringkuk, berusaha untuk melindungi bagian perutnya yang terus dihajar oleh Iqbal.Ibram berusaha melakuka
Kintan sarapan dengan cepat. Sejak dari pagi tadi perasaannya sudah tidak enak, terutama sejak ia bertemu dengan Iqbal tadi. Entah kenapa ia merasakan ada sesuatu yang buruk akan terjadi, dan hal itu membuatnya sangat gelisah. Berkali-kali ia berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja, tapi perasaan cemas itu tak kunjung hilang juga. Kintan mendesah pelan, tapi beberapa saat kemudian dia baru tersadar. Tunggu sebentar. Sekarang kan hari Minggu? Untuk apa Iqbal tadi bilang mau ke kantor?? Suara dering halus terdengar dari ponsel Kintan. Ia berdiri dari kursi makan dengan bergegas untuk meraih ponselnya yang terletak di meja tamu, mengira itu mungkin saja panggilan dari Iqbal. Karena terlalu terburu-buru, tanpa sengaja jari kelingking kakinya menabrak kaki meja. Kintan pun mengaduh, sambil berjalan tertatih-tatih dan melompat-lompat kecil karena menahan nyeri. Setelah akhirnya ia sampai juga di ruang tamu dan merenggut cepat ponselnya, Kintan segera membaca
Setelah Dokter Wawan selesai memeriksa luka-luka Ibram dan Iqbal serta memastikan bahwa tidak ada luka serius yang harus segera di bawa ke rumah sakit, lelaki berkaca mata itu pun akhirnya pamit pulang. Ibram masih belum sadar dari obat bius dosis ringan yang diberikan oleh Dokter Wawan, sehingga Iqbal pun memutuskan untuk menunggunya siuman. Ia ingin membicarakan masalah Kintan dan juga soal fotonya dengan Nia. Semoga saja kali ini Ibram bisa diajak bicara baik-baik. "Ngomong-ngomong, apakah nanti akan ada istri yang datang sambil menangis histeris dan menamparku?" tanya Iqbal pada Toni dan Zizi, yang juga masih menunggu bosnya siuman. Mereka berdua berdiri di samping sofa tempat Ibram berbaring, seakan bersiap jika setiap saat bosnya itu terbangun. "Maksud anda, Nyonya Katya?" sahut Toni. "Beliau masih berada di Milan selama dua minggu untuk perform dalam fashion show di sana," terangnya. "Dan Tuan Ibram juga sudah melarang kami untuk memberitahukan hal ini pada keluargan
"Maafkan saya, Pak Iqbal!" sesal Nia dalam ledakan suara tangisnya yang tak berhenti dari tadi. Gadis itu menelepon Iqbal kebetulan setelah Sanjaka menutup sambungan teleponnya dengan Iqbal. "Saya terpaksa menandatangani surat pernyataan itu dengan pilihan jika tidak tanda tangan, mereka akan memenjarakan Anda," tuturnya dengan suara serak penuh tangis. "S-saya benar-benar minta maaf, Pak. Semua ini salah saya. Seharusnya waktu itu saya tidak mencium Pak Iqbal.... Maafkan saya!" ucapnya berulang-kali meminta maaf pada Iqbal dalam isaknya. Iqbal hanya bisa menghela napas setelah mematikan sambungan teleponnya dengan Nia. 'Wah, gila juga si Ibram! Luar biasa sekali tipu muslihatnya untuk membuat Direksi yang semula mendukung dan kini malah berbalik ikut menyerangnya!' Mereka memainkan kartu lewat Nia, dengan memaksa gadis itu menandatangani surat pernyataan bahwa Iqbal telah memaksanya melakukan perbuatan tidak senonoh, hanya dengan menggunakan bukti secarik foto. 'Hmm... apa aku
Kintan masih diam termangu di sofa dengan ponsel Iqbal dalam genggaman tangannya, saat lelaki itu masuk kembali ke dalam rumah setelah selesai membuang sampah. Iqbal mengerutkan dahinya melihat Kintan yang melamun dengan tatapan kosong terarah padanya. "Sayang? Kamu kenapa?" tanya Iqbal khawatir. Ia hendak duduk di samping Kintan, namun wanita itu cepat-cepat berdiri dan malah berjalan mendekatinya. "Iqbal, apa benar kamu dipecat?" tanya Kintan langsung dengan menatap mata coklat cemerlang itu lekat-lekat. Iqbal terkesiap. Sesaat ia bingung dari mana Kintan bisa tahu, lalu tatapannya pun tertumbuk pada ponselnya yang berada di dalam genggaman Kintan. SIAL!! Siapa yang memberitahu Kintan??! "Jawab, Iqbal!! Apa kamu dipecat??" desak Kintan dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya, namun dengan wajah yang mengernyit seperti ingin menangis. Iqbal pun menghela napas pelan. "Itu benar. Aku memang diberhentikan dari kantor," jawabnya akhirnya. "Kenapa?" "Seseorang yang tidak me
"Hmm... ya, oke. Aku maafkan. Tapi aku hanya menerima bentuk rasa terima kasihmu di atas ranjang. Sekarang masuk ke kamar dan tunggu aku di sana," perintah Iqbal dengan mata coklat cemerlangnya yang bersinar-sinar diliputi gejolak hasrat.Kintan tertegun dan merona malu mendengar ucapan Iqbal yang tanpa basa-basi itu. "Iqbal, ini masih siang!" bisiknya, padahal di situ tidak ada siapa pun selain mereka berdua. "Malu, ah!"Iqbal mendekap dagu Kintan dengan tangannya, lalu memagut bibir wanita itu dengan keras dan menuntut. Saat lidah Iqbal menerobos paksa mulut Kintan, suara lenguhan puas pun terdengar dari bibir lelaki itu.Kintan sedikit gelagapan dengan ciuman Iqbal kali ini yang begitu cepat, keras dan berapi-api karena biasanya Iqbal memulai semua dengan lembut. Ia memalingkan wajahnya sejenak untuk menarik napas, namun lagi-lagi Iqbal menangkup dagunya dan menarik wajah wanita itu untuk dilumat habis."Huummmpp!!" teriak Kintan dengan mulut yang masih terbungkam oleh Iqbal. Ia m
"Lebih cepat, Toni!" bentak Ibram gusar. Toni pun semakin mempercepat laju mobilnya, menyelip sana-sini mencari celah di antara lalu-lalang kendaraan yang masih memenuhi jalanan. Alarm dari alat penyadap yang ditempelkan pada anting-anting Katya telah berbunyi. Wanita itu dalam bahaya. Ibram benar-benar kecolongan untuk yang kedua kalinya, saat ia mendapati istri dan keponakannya telah menghilang entah kemana. Polisi sudah bertindak dan dikerahkan untuk mencari Katya dan Adel, dengan mengikuti sinyal yang dipancarkan alat penyadap itu. "BRENGSEK! BAJINGAN! LELAKI BIADAB!" Ibram terus memaki sambil memukul dasbor di depannya. "Kali ini kau benar-benar akan kubunuh!" "Pak, orang-orang kita sudah berada dekat dengan Kean, mungkin mereka akan sampai duluan di tempat itu," lapor Toni setelah ia mendapatkan info dari wireless earphone di telinganya. "Serang dia jika Katya dan Adel berada dalam bahaya," perintah Ibram. Beberapa belas menit kemudian, Ibram dan Toni telah s
Ibram, David dan Toni duduk di depan meja bar, sementara Katya, Brissa dan Zizi berada di meja restoran di seberang mereka. "Halo, temanku ini baru saja menikah, tolong berikan minuman yang terbaik dan termahal di sini," ucap David pada bartender yang menghampiri mereka. "Tidak, Dave," tolak Ibram tegas. "Aku harus menyetir pulang nanti." David berdecak kesal. "Ibram, kamu benar-benar tidak menyenangkan! Bukankah Toni yang akan mengantarmu pulang nanti?" "Tidak. Toni akan mengantarmu, Brie dan Zizi. Aku hanya ingin menjaga Katya," tegasnya. David mendesah dan tertawa pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu benar-benar telah berubah, Ibram. Apa itu karena Katya?" Ibram tersenyum. "Aku sekarang seorang suami, Dave. Akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan istriku," tukasnya. David mengangkat gelas berisi minuman keras untuk bersulang pada Ibram. "Untuk suami paling beruntung di dunia," ucap David, ada rasa bangga atas perubahan positif pada sahabatnya itu, nam
Katya terlihat sangat cantik dalam balutan gaun panjang putih dan sederhana. Gaun itu berlengan panjang dengan deretan kancing berlian di sepanjang siku hingga pergelangan tangan, menutup hingga batas bawah lehernya, dan terulur jauh menutupi kaki. Meskipun terkesan sopan dan menutup, namun karena jatuh mengikuti bentuk tubuh Katya, tetap saja terlihat sangat sangat seksi. Ibram bolak-balik menatap Katya sambil menggeleng-gelengkan kepala, tidak rela jika garis tubuh kekasihnya itu dinikmati oleh beberapa pasang mata pria brengsek dan dijadikan fantasi liar mereka. "Nggak ada gaun yang lebih sopan?" tanya Ibram sambil mengerutkan wajah tidak suka pada stylist yang bertugas mengatur kostum pengantin mereka. Wanita berambut bob berkacamata itu hanya bisa menggaruk-garuk kepala bingung. Katya telah bergonta-ganti baju lima kali, dan ini adalah pakaian tersopan yang mereka punya. "Maafkan saya, Pak Ibram... tapi kami tidak memiliki gaun yang lebih tertutup lagi. Masalahnya adalah
Ibram melepaskan ciumannya dan memeluk tubuh Katya, untuk memberikan kesempatan pada gadis itu agar bisa mengatur napasnya. "Katya, menikahlah denganku," ucap Ibram lembut. "Dulu aku pernah melamarmu dan kamu menolaknya karena merasa belum ada cinta di hatiku, bukan?" Ibram mengingat saat-saat dirinya dan Katya berada di rumah pantai miliknya. "Apa sekarang kamu masih juga belum yakin jika aku mencintaimu?" ada nada murung di suara Ibram. "Diriku yang sekarang dan diriku yang dulu sudah jatuh begitu dalam padamu, Katya." lelaki itu pun melepaskan pelukannya untuk menatap lekat Katya yang terdiam membisu. "Jadilah istriku, pendamping hidupku, dan pelindungmu seumur hidup," ucapnya dengan suara parau, sarat akan emosi yang membuncah di dalam dada. "Aku mencintaimu, Katya Lovina. Wanita tercantik di dunia yang beraroma vanilla." Dan Katya pun merasa dadanya meledak dalam kebahagiaan. Tentu saja ia sangat yakin sekarang kalau Ibram benar-benar mencintainya, bukan karena obs
Ibram terbaring di sebelah Katya, berusaha meredakan rasa sakit hebat yang menyerang kepala dan membuatnya kesulitan untuk bernafas. Ingatan-ingatan yang datang padanya bagai ribuan paku yang menghujam deras ke dalam otaknya, membuatnya gemetar menahan rasa sakit yang hampir tak tertahankan. Namun Ibram berusaha untuk menerima dan tidak menolak seluruh pesan dari pikirannya itu, meskipun acak dan berupa kilasan-kilasan cepat bagaikan kilat yang menyambar-nyambar dirinya. Jessi yang menyelingkuhi Gamal. Gamal yang meninggal akibat kanker nasofaring. Kuliahnya yang sempat kacau karena ia sangat berduka. Adel yang masih kecil namun sudah ditinggalkan ayahnya selamanya dan ibunya yang entah kemana. Mengasuh Adel. Mendirikan One Million. Mengakuisisi beberapa perusahaan. Menemukan Katya Lovina. Dan jatuh cinta padanya. Dengan napas yang masih memburu, ia pun menatap ke arah samping. Katya. Gadis itu berbaring di sisinya, dan membalas tatapannya dengan wajah bingung. "Pak Ibram
'APAA??? Dia mengira ada sesuatu antara aku dan Toni??' Katya menepis kasar tangan Ibram dari bahunya. "Pak Ibram, apa maksudmu bertanya seperti itu?" "Kau selingkuh dengan Toni, kan? Mengakulah! Toni memang jauh lebih muda dariku dan kau pasti merasa lebih cocok dengan lelaki yang tidak terlalu jauh perbedaan usianya denganmu!" ucap Ibram ketus. "Hah! Entah apa yang sudah kalian berdua lakukan di belakangku, menjijikkan sekali." "Apa anda sudah puas menghinaku? Sepertinya memang percuma, apa pun yang kukatakan, anda pasti tidak akan pernah percaya bukan? Aku akan selalu jelek di matamu," tukas Katya pelan. Ia sudah benar-benar lelah sekarang. "Anda sudah menuduhku hanya mengincar uangmu, dan kini menuduhku selingkuh dengan orang kepercayaanmu? Selanjutnya apa lagi? Apa lagi yang anda tuduhkan? Begitu sulitkah bagimu menerima bahwa aku benar-benar mencintaimu dengan tulus tanpa ada maksud apa pun?" tanya Katya dengan suara yang mulai parau karena menahan tangis. "Jika memang
Ibram terdiam, namun tubuhnya tetap saja memunggungi Katya. 'Hahh... gadis ini benar-benar keras kepala! Sepertinya dia hanya ingin menggangguku saja.''Meskipun... yah, tidak bisa disalahkan juga karena diriku yang dulu sangat bodoh karena telah memberikan harapan pada gadis ini.' Seketika ada setitik rasa kasihan terbit di dada Ibram saat mengingat ekspresi wajahnya pada acara pertunangan melalui Youtube tadi. Pantas saja gadis ini salah paham, karena Ibram memang bersikap seakan benar-benar mencintainya! 'Apa itu benar? Apa aku pernah mencintainya? AKU?? IBRAM MAHESA??' Perlahan Ibram pun membalikkan badannya menatap Katya. "Apa kau yakin dengan semua ucapanmu itu?" cetus Ibram. "Tidak akan ikut campur urusanku, tidak mengharapkan apa pun dariku, dan hanya merawatku hingga sembuh lalu pergi dari hadapanku?" Ibram mengulang ucapan Katya tadi. Katya mengangguk mantap. "Ya. Aku sangat yakin dengan semua ucapanku, Ibram." Hmm... menarik. "Baiklah. Kau boleh melakukannya. Tapi
Katya menangis dalam kesendirian di teras rumah sakit yang sepi. Ia ingin sekali menjerit kuat-kuat, memuntahkan segala kesedihan yang terus menimpanya bertubi-tubi. Setelah ayahnya, Sienna, dan sekarang Ibram pun juga telah meninggalkannya. Bukan meninggalkan secara harfiah karena tubuhnya masih berada di dunia fana ini, hanya saja ingatannya pada Katya yang telah pergi. Ibram mengalami amnesia retrograde karena cedera akibat benturan keras di kepalanya, dan ingatannya hanya sampai saat ia kuliah di Amerika bersama David... Ia tidak mengingat apa pun setelah itu. Bahkan saat ia diberitahu bahwa Gamal, kakaknya yang telah meninggal, Ibram pun sangat terkejut dan masih tidak percaya. Lalu ketika Katya mengatakan bahwa mereka telah bertunangan, Ibram hanya terdiam dan menatap gadis itu dengan tatapan kosong. Seketika itu juga Katya mengerti, bahwa lelaki itu telah hilang. Lelaki yang ia cintai dan mencintainya. Ibram yang Katya cintai telah pergi, tergantikan oleh Ibram lai
Katya berada di dalam ambulans yang membawa Ibram menuju rumah sakit. Sejak tadi air matanya tidak dapat berhenti mengalir, melihat tubuh kekasihnya yang diam tak bergerak serta darah segar yang terus mengalir dari kepalanya. Wajah dan tubuh Katya telah penuh bersimbah darah, namun ia sudah tidak peduli lagi. Ia hanya ingin Ibram selamat. Katya sangat takut kehilangan lelaki yang begitu dicintainya. Ia telah kehilangan ayahnya dan juga adiknya Sienna, dan ia tidak akan sanggup untuk bernafas lagi jika ia juga kehilangan Ibram. Tidak! Lebih baik ia ikut ke alam yang sama dengan mereka, karena di dunia ini sudah tidak akan ada cinta lagi untuknya. Katya segera menelepon Zizi, Toni, dan David dari ponsel Ibram. Namun hanya ponsel David yang sulit dihubungi. Lagipula, ini semua karena David! Karena pesan dari David yang membingungkan itu, membuat Katya terperangkap sebagai umpan untuk menjebak Ibram. Apakah ponsel David telah di hack? Ibram harus segera dioperasi, kare